Indonesia dan Malaysia tidak hanya sekedar sebagai negara yang bertetangga. Hubungan kedua negara ini jauh lebih dekat melebihi dekatnya jarak geografis antar dua negara. Indonesia dan Malaysia merupakan saudara serumpun yang memiliki kedekatan warisan budaya, agama, dan sejarah.
Seperti hubungan adik dan kakak dalam suatu keluarga, hubungan Indonesia dan Malaysia juga cenderung dinamis. Meskipun hubungan kedua negara tersebut dapat dikatakan tidak selalu rukun, namun kedua negara ini akan kembali saling mendukung dan saling bekerjasama.

Di era globalisasi seperti saat ini, kolaborasi menjadi kunci penting untuk meningkatkan pertumbuhan. Oleh karena itu, memperkuat kolaborasi Indonesia-Malaysia merupakan strategi jitu untuk meningkatkan pertumbuhan dan kemajuan masing-masing negara. Kolaborasi kedua saudara serumpun akan menjadikan Indonesia dan Malaysia sebagai Macan dan Harimau yang menguasai Asia, bahkan dunia.
Kolaborasi Indonesia dan Malaysia tersebut tertuang dalam berbagai bentuk program kerjasama bilateral di berbagai bidang seperti ekonomi, pendidikan, dan keamanan. Seiring dengan semakin dinamisnya dinamika yang dihadapi oleh masyarakat global seperti resesi ekonomi, ancaman krisis energi dan pangan, hingga tensi geopolitik, diperlukan penguatan kolaborasi dan kerjasama di berbagai bidang dan sektor antara Indonesia dan Malaysia.
PERTEMUAN BILATERAL PRESIDEN INDONESIA DAN PM MALAYSIA BAHAS SAWIT
Pentingnya penguatan kolaborasi Indonesia dan Malaysia sebagai saudara serumpun ini juga dipandang sebagai sebuah urgensi bagi pimpinan kedua negara ini. Hal tersebut ditunjukkan dengan kunjungan pertemuan antara Presiden Joko Widodo dengan Perdana Menteri (PM) Malaysia Dato’ Seri Anwar Bin Ibrahim pada 9 Januari 2023 di Istana Kepresidenan Bogor.

Pertemuan tersebut merupakan kunjungan diplomasi pertama sejak pelantikkan Anwar Ibrahim sebagai Perdana Menteri (PM) Malaysia pada November 2022. Dalam pertemuan bilateral tersebut, Presiden Indonesia dan PM Malaysia membahas kemajuan kerjasama maupun menjajaki potensi kerjasama baru dalam rangka mengatasi tantangan regional dan global.
Topik yang tidak luput dalam pertemuan bilateral tersebut terkait dengan minyak sawit. Mengingat Indonesia dan Malaysia merupakan Top-2 produsen minyak sawit terbesar di dunia. Data USDA menunjukkan pangsa kedua negara ini dalam produksi minyak sawit global mencapai 83 persen pada tahun 2021/2022.
Hubungan Indonesia dan Malaysia di sektor sawit juga sudah terjalin sejak lama. Banyak investor Malaysia yang menanamkan modalnya di industri sawit Indonesia, baik dari sektor perkebunan hingga sektor hilir. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) juga banyak yang bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit Malaysia.
Industri sawit juga menjadi sektor ekonomi yang penting bagi Indonesia dan Malaysia. Selain menjadi lokomotif ekonomi penyerap tenaga kerja dan menurunkan kemiskinan daerah, industri sawit juga menjadi pahlawan sumber devisa yang besar bagi kedua negara ini. Oleh karena itu, upaya dalam rangka meningkatkan pasar ekspor minyak sawit menjadi salah satu poin pembahasan dalam pertemuan bilateral Indonesia dan Malaysia.
Baca Juga :
Berbagai kebijakan perdagangan di negara importir yang dinilai menghambat dan mendiskriminasi sawit juga menjadi sorotan pembahasan dalam pertemuan bilateral tersebut. Seperti yang kita ketahui bersama, Uni Eropa baru saja mengeluarkan kebijakan yang menghambat perdagangan minyak sawit yakni Deforestation-Free Supply Chain (DFSC). Kebijakan tersebut baru diterbitkan pada Desember lalu dan efektif akan diberlakukan pada tahun 2023.
Melalui kebijakan DFSC, Uni Eropa akan bertanggung jawab atas deforestasi yang dihasilkan dari produksi dan konsumsi produk pertanian, salah satunya minyak sawit dan produk sawit. Bentuk tanggung jawabnya tersebut dengan memastikan produk yang masuk dan dipasarkan di pasar Uni Eropa adalah produk yang tidak berkontribusi pada deforestasi atau degradasi hutan, baik yang terjadi di Uni Eropa maupun negara-negara lain. Jika sistem uji tuntas (due diligence) pada kebijakan DFSC tersebut mengelompokkan minyak sawit dan produk turunannya sebagai komoditas high-risk, maka produk tersebut tidak boleh masuk ke pasar Uni Eropa.
Selain Uni Eropa, kebijakan deforestation-free untuk perdagangan minyak sawit juga telah disahkan negara maju lainnya. Misalnya Amerika Serikat dengan Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act (FOREST Act 2021) dan Inggris dengan UK Environment Act 2021.
Jika menggunakan helicopter view, Uni Eropa dan Amerika Serikat yang telah mengesahkan kebijakan deforestation-free untuk perdagangan minyak sawit dan produk turunannya merupakan negara produsen kompetitor minyak sawit. Minyak nabati utama Uni Eropa adalah minyak rapeseed, sementara minyak nabati utama Amerika adalah minyak kedelai. Hal ini juga mengindikasikan bahwa persaingan dagang antar minyak nabati menjadi faktor yang memiliki andil besar dalam formulasi kebijakan tersebut.
Argumen Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris dibalik kebijakan tersebut terkesan “menyalahkan” minyak sawit sebagai komoditas penyebab deforestasi, emisi, dan masalah lingkungan lainnya. Padahal argumen tersebut juga tidak sesuai dengan data.Faktanya jika dibandingkan dengan minyak nabati lainnya, minyak sawit dengan produktivitas yang tinggi terbukti paling efisien dalam penggunaan lahan sehingga meminimalisir deforestasi, biodiversity loss, dan emisi GRK. Bahkan kelapa sawit dapat membantu Uni Eropa untuk mencapai ambisi European Green Deal melalui kontribusinya sebagai solusi dalam penurunan emisi GRK.
Baca juga :
- Minyak Sawit Lebih Hemat Lahan Dapat Mencegah Deforestasi dibandingkan Minyak Nabati Lain
- Biodiversity Loss Dalam Produksi Minyak Sawit Lebih Rendah Rendah Dibandingkan Minyak Nabati Lain
- Emisi dari Produksi Minyak Sawit Lebih Rendah Rendah Dibandingkan Minyak Nabati Lain
- Kelapa Sawit Solusi Penurunan Emisi GRK
Secara teknis, kebijakan deforestation-free baik yang berlaku di Uni Eropa maupun negara lain (USA dan UK) masih dipertanyakan apakah cukup aplikatif. Hal ini berkaitan dengan polemik deforestasi. Definisi hutan dan deforestasi yang ada di dunia sangat bervariasi. Definisi dianut oleh Uni Eropa, USA, UK maupun organisasi internasional (FAO/World Bank) berbeda dengan yang dianut oleh negara produsen komoditas yang dihambat oleh kebijakan tersebut.
Suatu ekosistem oleh Uni Eropa dapat dikategorikan sebagai hutan, namun mungkin saja ekosistem tersebut tidak dikategorikan sebagai hutan di Indonesia dan Malaysia. Dan mungkin saja deforestasi yang dianut oleh Uni Eropa juga berbeda dengan yang dianut oleh Indonesia dan Malaysia.
Berbagai fakta di atas semakin menunjukkan bahwa kebijakan deforestation-free yang diimplementasikan di negara konsumen minyak sawit yang juga negara produsen minyak nabati kompetitor, merupakan kebijakan yang tidak berdasar, tidak adil, crop-apartheid dan mendiskriminasi minyak sawit dalam perdagangan global. Kebijakan tersebut merupakan bentuk proteksionisme dari negara produsen minyak nabati kompetitor yang “kalah bersaing” dengan minyak sawit.
Untuk menanggapi kebijakan deforestation-free yang menargetkan minyak sawit dan produk sawit maupun instrumen kebijakan proteksionisme lainnya, pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat untuk bersatu menyusun strategi dalam memerangi diskriminasi terhadap sawit. Secara terpisah, Pemerintah Indonesia dan Malaysia juga telah menyampaikan sikap terkait proteksionisme yang mendiskriminasi minyak sawit tersebut. Pemerintah Malaysia dengan tegas menyampaikan opsi untuk mencari pasar lain dan menghentikan ekspor ke Uni Eropa, jika kebijakan tersebut terbukti menghambat ekspor sawitnya. Sementara itu, strategi mitigasi yang dilakukan Indonesia berkaitan dengan kebijakan tersebut adalah dengan meningkatkan penyerapan domestik melalui perluasan mandatori biodiesel menjadi mandatori B35 yang akan diimplementasikan di awal Februari 2023.
PERKUAT KERJASAMA SAWIT INDONESIA DAN MALAYSIA MELALUI CPOPC
Minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia. Fakta tersebut tentu saja membuat pesaing minyak sawit yaitu produsen minyak nabati lainnya tidak menyukai hal itu. Dinamika tersebut kemudian menciptakan persaingan non-harga yang berujung pada maraknya penyebaran black campaign hingga kebijakan proteksionisme negara importir yang mendiskriminasi sawit.
Untuk melawan diskriminasi sawit yang semakin intensif sekaligus melindungi industri sawit global, dibutuhkan upaya kolaboratif antar negara-negara produsen minyak sawit dibawah satu komando The Council of Palm Oil Producing Country (CPOPC) atau Dewan Negara Produsen Minyak Sawit. CPOPC merupakan organisasi antar pemerintah negara produsen minyak sawit yang saat ini beranggotakan Indonesia dan Malaysia dan membuka kesempatan untuk negara produsen minyak sawit lainnya untuk bergabung.
Sebagai organisasi yang menaungi negara-negara produsen minyak sawit, CPOPC bertujuan untuk mempromosikan, mengembangkan, dan memperkuat kerja sama dalam budidaya dan komoditas kelapa sawit di antara negara-negara anggota. Dalam rangka mencapai tujuannya tersebut CPOPC melakukan promosi dan advokasi sawit.
Baca juga: CPOPC sebagai Kendaraan Diplomasi-Promosi Lawan Diskriminasi Sawit
Dalam membangun narasi untuk meng-counter black campaign dan mempromosikan nilai positif sawit, CPOPC telah membentuk Scientific Committee yang terdiri peneliti Indonesia dan Malaysia yang bertugas untuk memproduksi dan menganalisis studi empiris sehingga narasi fakta yang disampaikan lebih valid. Sementara itu, dalam menghadapi black campaign maupun gerakan yang mendiskriminasi sawit serta mempromosikan sawit, CPOPC melakukan berbagai upaya seperti mengirimkan Objection Letters kepada pihak yang mendiskriminasi sawit, memproduksi artikel dan buku dan mengadakan forum diskusi sawit internasional.
Kerjasama Indonesia, Malaysia dan negara produsen minyak sawit lainnya dalam CPOPC telah teruji yakni dalam menghadapi kebijakan RED II ILUC Uni Eropa yang mendiskriminasi minyak sawit. Dalam suatu artikel jurnal yang dipublikasikan di Indonesian Journal of Global Discourse, dikemukakan langkah-langkah strategi yang dilakukan oleh CPOPC untuk melindungi industri sawit global dari kebijakan RED II ILUC tersebut.

Meskipun Indonesia yang mengajukan gugatan atas kebijakan tersebut ke World Trade Organization (WTO), namun CPOPC bersama negara-negara produsen minyak sawit memiliki peran penting khususnya selama persiapan gugatan tersebut melalui inisiasi Ministrial Meeting, Joint Meeting, membantu dalam konsultasi dan negosiasi pada First and Second Substantive Meeting dalam proses penyelesaian sengketa, serta merilis informasi dan artikel ilmiah yang meng-counter isu dan tudingan tersebut.
Kedepan saat diskriminasi sawit semakin intensif, diharapkan kolaborasi dan kerjasama antara Indonesia dan Malaysia maupun negara produsen minyak sawit lainnya semakin kuat. Kolaborasi dan kerjasama tersebut dibutuhkan agar eksistensi industri sawit di pasar global terus terjaga sehingga dapat optimal memberikan manfaat dan kontribusinya baik bagi masing-masing negara produsen maupun dunia. Pesan ini juga yang disampaikan dalam pertemuan bilateral Presiden Indonesia dan PM Malaysia pada awal Januari lalu.