Industri sawit sejak awal menempatkan diri sebagai bagian dari solusi pembangunan termasuk dalam lingkungan. Kemampuan alamiah dari industri sawit (perkebunan sawit) yang menyerap karbon diokasida (melalui fotosintesis) dan energi matahari yang kemudian dirubah menjadi minyak sawit, biomassa, dan karbon stok tanah (melalui biosquestration) menempatkan industri sawit menjadi solusi penting mengatasi emisi karbon dunia.
Masyarakat dunia makin menyadari bahwa penyebab terjadinya perubahan iklim global (global climate change) dan pemanasan global (global warming) yang dirasakan diseluruh planet Bumi adalah akibat dari peningkatan emisi Gas Rumah Kaca/GRK (greenhouse gas, GRK) pada atmosfir Bumi yang telah melampaui konsentrasi alamiahnya. Emisi GRK yang paling dominan di atmosfir Bumi adalah karbon dioksida (Olivier et al., 2022). Konsentrasi karbon dioksida pada atmosfir Bumi telah naik dari sekitar 280 ppmv menjadi 407 ppmv selama periode tahun 1800-an hingga 2018 (IEA, 2019).
Sementara itu, kontributor utama emisi global adalah dari sektor energi fosil yang mencapai sekitar 70 persen (IEA, 2019; Olivier et al., 2022). Secara teoritis, solusi dalam rangka mitigasi perubahan iklim global dan pemanasan global adalah perlunya gerakan masyarakat global untuk mengurangi emisi karbondioksida dan menyerap kembali karbondioksida.
Sebagai bagian dari penguni planet Bumi, Indonesia berkomitmen ikut berkontribusi untuk menurunkan emisi GRK global. Komitmen tersebut telah diputuskan dengan meratifikasi Paris Agreement melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016. Kemudian komitmen tersebut ditindaklanjuti dengan Nationally Determined Contribution (NDC) yang memuat target penurunan emisi sebesar 29 persen (dengan usaha sendiri) dan sampai dengan 41 persen (dengan bantuan internasional) dibandingkan Business As Usual (BAU) pada tahun 2030. Komitmen NDC tersebut merupakan bagian strategi jangka panjang pembangunan rendah karbon berketahanan iklim (Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050) yang menargetkan bahwa Indonesia pada tahun 2060 menjadi negara dengan Net Zero Emission (NZE).
Lantas, bagaimana industri sawit berkontribusi dalam pencapaian NDC dan NZE? Artikel ini akan mendiskusikan kontribusi industri sawit dalam pencapaian NDC dan NZE tersebut.
Target NDC dan NZE
Dengan memposisikan diri sebagai bagian dari solusi lingkungan global, Indonesia telah menyusun Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050 (Pemerintah Republik Indonesia, 2021a) yang menargetkan pengurangan emisi GRK menuju NZE. Menurut strategi tersebut, puncak emisi bersih GRK nasional (seluruh sektor) diproyeksikan tercapai pada tahun 2030 yakni sebesar 1.24 Gt CO2 eq atau setara 4.23 ton CO2 eq per kapita. Kemudian setelah itu, nilai emisi bersih akan ditargetkan terus menurun dan mencapai tingkat emisi bersih sebesar 540 juta ton CO2 eq pada tahun 2050 atau setara dengan 1.6 ton CO2 eq per kapita dan menuju NZE pada tahun 2060 atau lebih cepat (Gambar 1).
Gambar 1 Roadmap Penurunan Emisi Indonesia Menuju Net Zero Emission 2050 Menurut Skenario Low Carbon Scenario Compatible with Paris Agreement Target (Sumber: Pemerintah Republik Indonesia, 2021a).

Energi fosil merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia. Dari total emisi nasional sebesar 1.34 Gt CO2 eq tahun 2010 (Pemerintah Republik Indonesia, 2016), sektor energi menyumbang sekitar 34 persen. Diperkirakan jika tidak ada upaya signifikan untuk menurunkan emisi, maka diproyeksikan emisi total Indonesia akan meningkat menjadi 2.86 Gt CO2 eq pada tahun 2030, dimana sekitar 58 persen (1,669 juta ton CO2 eq) berasal dari emisi GRK sektor energi, FOLU atau Forestry and Other Land Use (714 juta ton CO2 eq juta ton), pertanian (119.6 juta ton CO2 eq), limbah (296 juta ton CO2 eq), dan IPPU atau Industrial Process and Production Use (69.6 juta ton CO2 eq).
Sehubungan dengan hal tersebut, Pemerintah Indonesia telah menyusun target inisiatif untuk penurunan emisi yakni NDC (Gambar 2) yakni dengan menurunkan emisi Indonesia menjadi 1.6 Gt CO2 eq pada tahun 2030. Penurunan emisi tersebut berasal dari penurunan emisi sektor energi menjadi 1.2 Gt ton CO2 eq, emisi sektor limbah menjadi 253 juta ton CO2 eq, emisi sektor pertanian menjadi 108 juta ton CO2 eq, emisi sektor IPPU menjadi 61 juta ton CO2 eq, dan emisi sektor FOLU menjadi negatif 15 juta ton CO2 eq.
Tabel 1 Target National Determined Contribution Indonesia dan Peran Sektor-Sektor.

Untuk mencapai target NDC dan NZE tersebut, terdapat dua kombinasi pendekatan yang dapat dilakukan sekaligus yakni: Pertama, menurunkan emisi GRK untuk setiap sektor-sektor yang menjadi net carbon emiter dan Kedua, peningkatan penyerapan GRK dari sektor-sektor yang berpotensi menjadi Net Carbon Sink seperti kehutanan, pertanian/perkebunan, dan kelautan.
Tiga Jalur Kontribusi Sawit
Secara alamiah, proses produksi pada industri sawit (perkebunan sawit) merupakan proses pemanenan energi surya dengan menyerap karbon dioksida dari atmosfir Bumi (Gambar 3) sehingga dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida di atmosfir. Melalui proses fotosintesis tanaman kelapa sawit, energi matahari dan karbondioksida dirubah menjadi minyak sawit, biomassa, dan sebagian disimpan dalam bentuk karbon stok organik lahan.
Gambar 2 Penyerapan Karbon dioksida Atmosfir Bumi dalam Proses Produksi Perkebunan Sawit
Minyak sawit dan biomassa dari kebun sawit tersebut, selanjutnya melalui proses pengolahan pada industri hilir sawit menghasilkan berbagai produk oleofood, oleokimia, dan bioenergi/biofuel yang rendah karbon (low karbon). Dengan proses produksi industri sawit tersebut terdapat tiga jalur kontribusi industri sawit dalam pencapaian NDC dan NZE.
Pertama, jalur perkebunan sawit yang potensial menjadi Net Carbon Sink (PASPI Monitor, 2021b) untuk mengurangi konsentrasi karbon dioksida dari atmosfir Bumi. Berdasarkan studi Henson (1999), perkebunan sawit menyerap (melalui fotosintesis) karbon dioksida dari atmosfir Bumi sebesar 161 ton CO2 per hektar dan menggunakan (respirasi) sebesar 96.5 ton CO2 per hektar sehingga Net Carbon Sink sebesar 64.5 ton CO2 per hektar (Tabel 2).
Tabel 2 Net Carbon Sink Perkebunan Sawit.
| Indikator | Hutan Tropis | Kebun Sawit |
|---|---|---|
| Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun) | 163.5 | 161.0 |
| Total respirasi (ton CO2/ha/tahun) | 121.1 | 96.5 |
| Asimilasi neto (ton CO2/ha/tahun) | 42.4 | 64.5 |
| Produksi oksigen (ton O2/ha/tahun) | 7.09 | 18.70 |
NCS kebun sawit tersebut memang masih harus dikoreksi dengan direct emission dari proses produksi (pupuk, energi, limbah, dll) dan emisi land use change (asal usul lahan) yang masih debatable baik metode dan asumsi. Namun, kemampuan kebun sawit dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfir adalah hal yang fundamental. Untuk emisi per ton minyak sawit jauh lebih rendah dibandingkan emisi per ton minyak nabati lainya (Beyer et al., 2020; Beyer dan Rademacher, 2021).
Hasil studi Suharto et al. (2019) mengungkapkan selain kebun sawit di lahan gambut, secara total kebun sawit Indonesia berasal dari tutupan lahan yang stok karbonnya lebih rendah dari stok karbon perkebunan kelapa sawit. Hal ini berarti bahwa emisi Land Use Change (LUC) dari 80 persen kebun sawit Indonesia bukanlah carbon emiter (LUC dari stok karbon tinggi ke stok karbon lebih rendah) melainkan carbon absorbtion (dari stok karbon lebih rendah ke stok karbon lebih tinggi). Hal ini berarti jika emisi LUC diperhitungkan, akan menambah NCS kebun sawit.
Kedua, penggunaan bioenergi/biofuel dan biomaterial sawit yang rendah karbon untuk mengganti/subsitusi energi fosil dan material berbasis fosil untuk mengurangi emisi sektor energi fosil. Subsitusi batubara dengan cangkang sawit dapat menghemat emisi. Demikian juga penggantian produk petrokimia dengan oleokimia sawit juga dapat menghemat emisi. Penghematan emisi yang signifikan adalah penggantian solar fosil dengan biodiesel, subsitusi bensin fosil dengan bensin sawit, subsitusi avtur fosil dengan avtur sawit dan lain- lain.
Biodiesel sawit sebagai pengganti solar fosil dapat menghemat emisi dengan penghematan emisi antara 30-70 persen (Mathews dan Ardiyanto, 2015). Pengalaman Indonesia (PASPI, 2023) dari mandatori B30 untuk mensubstitusi solar fosil dengan biodiesel sawit diklaim telah berhasil menghemat emisi yang lebih besar (Gambar 3).
Gambar 3 Penurunan Emisi Karbon dari Penggantian Solar Fosil Dengan Biodiesel Sawit pada Mandatori B10 hingga Mandatori B30 (Sumber: APROBI, data diolah PASPI, 2022)

Dengan perubahan mandatori biodiesel dari B10 ke B30, penghematan emisi GRK meningkat dari hanya sekitar 592.3 ribu ton CO2 eq tahun 2010 menjadi 22.4 juta ton CO2 eq tahun 2021 (PASPI Monitor, 2021a). Penghematan emisi akibat mandatori B30 tersebut mampu menyumbang 59 persen pencapaian target NDC dari sektor energi dan transportasi pada tahun 2020-2021.
Pengurangan emisi sektor energi kedepan dengan bioenergi sawit masih sangat potensial. Konsumsi bensin fosil (petro gasoline) cukup besar dan masih bertumbuh setiap tahun. Dalam periode 2009-2019, konsumsi bensin fosil Indonesia meningkat dari hanya 21.3 juta kiloliter menjadi 35.3 juta kiloliter atau bertumbuh sekitar 6 persen per tahun (Kementerian ESDM, 2020). Mensubsitusi bensin fosil (petro gasoline) dengan pengembangan bensin sawit (green gasoline) makin memperbesar kontribusi industri sawit dalam NDC maupun NZE (PASPI Monitor, 2022). Demikian juga dengan subsitusi solar fosil dengan biodiesel dan solar sawit (green diesel) maupun avtur fosil dengan avtur sawit (green avtur) akan semakin meningkatkan kontribusi industri sawit tersebut.
Selain di sektor energi, produk turunan sawit (oleochemical complex) juga dapat menggantikan produk-produk petrokimia seperti petroplastik dan barang-barang terbuat dari turunan minyak bumi. Sehingga penurunan emisi akibat konsumsi energi fosil dan turunanya dapat dihemat semaksimal mungkin.
Ketiga, Penurunan emisi rantai pasok industri sawit melalui perbaikan teknologi dan manajemen. Menurut studi Mathews and Ardiyanto (2015), kontribusi emisi terbesar pada tahap proses produksi kebun sawit hingga ke CPO-Mill adalah POME (62 persen), kemudian disusul oleh pupuk (31.5 persen) dan energi fosil (5.1 persen). Sedangkan pada industri hilir, kontributor terbesar adalah energi untuk esterifikasi dan refining serta transportasi.
Kontributor emisi tersebut menjadi area improvement ke depan melalui perbaikan teknologi dan manajemen. Misalnya untuk menurunkan emisi POME dapat dilakukan melalui adopsi teknologi methane capture, dimana teknologi tersebut mampu menurunkan emisi POME sekitar 97 persen. Saat ini sebagian kebun sawit telah mengadopsi teknologi methane capture sehingga perlu lebih diperluas ke depan. Berdasarkan berbagai hasil studi (Seng et al., 2021; Vincenza, 2021) menunjukkan bahwa kombinasi perbaikan teknologi dan manajamen dapat menurunkan emisi GRK pada produksi minyak sawit (Gambar 4).
Gambar 4 Penurunan Emisi pada Produksi Minyak Sawit dengan Kombinasi Perbaikan Teknologi dan Manajemen (Sumber: PASPI Monitor, 2021b; PASPI, 2023)

Ket:
- A : Kebun sawit dengan tanpa adopsi GAP, Methane Capture, dan energi berbasis biomassa sawit
- B : Kebun sawit yang mengadopsi GAP dan tanpa adopsi Methane Capture dan energi berbasis biomassa sawit
- C : Kebun sawit yang mengadopsi GAP dan energi biomassa sawit tanpa adopsi Methane Capture
- D : Kebun sawit yang mengadopsi GAP dan Methane Capture tanpa menggunakan energi biomassa
- E : Kebun sawit yang mengadopsi GAP, Methane Capture, dan menggunakan energi berbasis biomassa sawit
- F : Akumulasi improvement
Dengan perbaikan teknologi dan manajemen tersebut, emisi pada proses produksi minyak sawit akan makin menurun secara signifikan. Bahkan proses produksi emisinya bukan hanya makin rendah menuju nol. Sehingga jika digabungkan dengan net carbon sink hasil fotosintesis pada kebun sawit akan menghasilkan net carbon sink yang cukup besar. Hal ini selanjutnya akan memperbesar penghematan emisi jika biodiesel digunakan pengganti solar fosil. Demikian juga jika dihasilkan bensin sawit untuk mengganti bensin fosil atau oleokimia sawit mengganti petrokimia akan semakin menghemat emisi.
Dengan ketiga jalur tersebut, industri sawit bukan hanya membantu mencapai NDC tetapi juga memperbesar kontribusi industri sawit menuju NZE bahkan Net Sink. Kontribusi tiga jalur yang cukup besar tersebut mungkin hanya dimiliki industri sawit. Sektor lain termasuk kehutanan, mungkin hanya berkontribusi pada satu jalur yakni jalur carbon sink saja.
Kesimpulan
Merespons gerakan masyarakat dunia untuk menurunkan emisi GRK, Indonesia telah menyusun NDC untuk target penurunan emisi menuju tahun 2030 dan Long Term Strategy Low Carbon and Climate Resilience 2050 yang menargetkan tercapainya NZE pada tahun 2050.
Industri sawit menempatkan diri sebagai solusi untuk NDC dan NZE tersebut melalui kontribusi tiga jalur. Ketiga jalur yang dimaksud adalah jalur pertama yakni perkebunan sawit sebagai net carbon sink untuk mengurangi konsentrasi karbondioksida pada atmosfir bumi melalui proses fotosintesis. Kemudian jalur kedua yakni menghasilkan bioenergi/biofuel sawit yang relatif rendah karbon (low carbon) sebagai subsitusi energi fosil yang tinggi karbon (high carbon) untuk mengurangi emisi karbon ke atmosfir bumi. Dan jalur ketiga merupakan kombinasi perbaikan teknologi dan manajemen hulu-hilir industri sawit untuk menurunkan emisi lebih lanjut (jalur kedua) dan sekaligus memperbesar net carbon sink (jalur pertama).
Implikasi Kebijakan
Potensi industri sawit berkontribusi pada pencapain NDC dan NZE sangat besar yakni melalui perkebunan sawit sebagai net carbon sink, menghasilkan bioenergi sawit low carbon mengganti energi fosil yang high carbon, serta kombinasi perbaikan teknologi dan manajemen hulu-hilir industri sawit untuk menurunkan emisi lebih lanjut. Tiga jalur kontribusi tersebut merupakan joint product industri sawit sebagai penghasil oleofood, oleokimia, dan bionergi/biofuel. Oleh karena itu, industri sawit perlu dijadikan pemerintah salah satu lokomotif penting (bersama sektor kehutanan) yang tidak hanya untuk mencapai NDC dan NZE, tetapi juga lebih luas yakni ketahanan pangan, ketahanan energi, ketahanan ekonomi, dan ketahanan lingkungan.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.
Daftar Pustaka
- [APROBI] Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia. 2022. The Status and Challeges of Indonesia Biodiesel Implementation Programs. Dipresentasikan pada Webinar 3rd Palm Oil Biodiesel Conferences pada 24 Maret 2022.
- Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2020.02.16.951301
- Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813. https://harvardforest1.fas.harvard.edu/sites/harvardforest.fas.harvard.edu/files/publications/pdfs/Beyer_Sustainability_2021.pdf
- [IEA] International Energy Agency. 2019. Emission from Fuel Combustion. https://iea.blob.core.windows.net/assets/eb3b2e8d-28e0-47fd-a8ba-160f7ed42bc3/CO2_Emissions_from_Fuel_Combustion_2019_Highlights.pdf
- Henson I. 1999. Comparative Ecophysiology of Palm Oil and Tropical Rainforest. Oil Palm and Environment: A Malaysian Perspective. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Oil Palm Brower Council.
- Mathews J, Ardiyanto A. 2015. Estimation Of Greenhouse Gas Emissions for Palm Oil Biodiesel Production: A Review And Case Study Within The Council Directives 2009/28/Ec Of The European Parliament. Journal of Oil Palm, Environment & Health. 6:25-41. https://www.jopeh.com.my/index.php/jopecommon/article/view/95/128
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report. https://www.pbl.nl/sites/default/files/downloads/pbl-2022-trends-in-global-co2-and_total-greenhouse-gas-emissions-2021-summary-report_4758.pdf
- PASPI. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute
- PASPI Monitor. 2021a. Multiple Benefits of the palm oil Biodisel Mandatory. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(16): 369-376.
- PASPI Monitor. 2021b. Palm Oil Industry Will Become A Net Carbon Sink. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(47): 575-580
- PASPI Monitor. 2022. Towards Net Zero Emissions And The Mandatory Palm Gasoline. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(3): 595-600
- Pemerintah Republik Indonesia. 2016. First Nationally Determined Contribution. https://unfccc.int/sites/default/files/NDC/2022-06/First%20NDC%20Indonesia_submitted%20to%20UNFCCC%20Set_November%20%202016.pdf
- Pemerintah Republik Indonesia. 2021a. Long-term Strategy on Low Carbon and Climate Resilience 2050. https://unfccc.int/sites/default/files/resource/Indonesia_LTS-LCCR_2021.pdf
- Pemerintah Republik Indonesia. 2021a. Updated Nationally Determined Contribution. https://unfccc.int/process-and-meetings/the-paris-agreement/nationally-determined-contributions-ndcs
- Seng QK, J Tamahrajah. 2021. My Say: The Palm Oil Industry Can Be Net-Zero Carbon by 2040. Edge Malaysia Weekly. https://www.theedgemarkets.com/article/my-say-palm-oil-industry-can-be-netzero-carbon-2040
- Suharto R, Agus F, Santosa Y, Sipayung T, Gunarso, P. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energy Directive (EU Directive 2018/2001) dan EU Commission Delegated Regulation 2019/807 serta Perumusan Posisi Indonesia terhadap Kebijakan Tersebut. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; PT Riset Perkebunan Nusantara.Vincenza M. 2021. The Environmental Impacts of Palm Oil and Main Alternative Oils. Euro- Mediterranean Centre on Climate Change (CMCC)