Logo PASPI Indonesia 2023 | W-BG
Jurnal Kelapa Sawit dan Biodiversitas (2023)

Jurnal Kelapa Sawit dan Biodiversitas (2023)

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Share

Poin-Poin Utama dalam Isu Sawit dan Biodiversitas

  1. Isu Lingkungan dan Black Campaign: Isu lingkungan digunakan oleh NGO anti-sawit untuk menjalankan kampanye hitam (black campaign) yang bertujuan merusak citra sawit dan menghambat perdagangan minyak sawit global.
  2. Pengkaitan Kelapa Sawit dengan Biodiversitas Loss: Pengkaitan antara perkebunan kelapa sawit dengan hilangnya biodiversitas (biodiversity loss). Artikel mengacu pada tuduhan bahwa perkebunan kelapa sawit, terutama di negara tropis, berkontribusi pada penurunan biodiversitas.
  3. Isu Monokultur dan Penurunan Biodiversitas: Perkebunan kelapa sawit yang monokultur menyebabkan penurunan biodiversitas. Artikel merujuk pada studi yang menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit monokultural memiliki keragaman spesies yang lebih rendah dibandingkan dengan hutan alami.
  4. Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia: Indonesia telah mengatur tata kelola perkebunan kelapa sawit dengan memisahkan ruang untuk habitat biodiversitas dan kehidupan manusia melalui undang-undang dan regulasi terkait. Minimum 30 persen dari luas daratan Indonesia ditetapkan sebagai hutan.
  5. Perbandingan Luas Areal Komoditas Pertanian Monokultur Dunia: data tentang luas areal komoditas pertanian monokultur di dunia, termasuk kelapa sawit. Data menunjukkan bahwa luas perkebunan kelapa sawit dunia tidaklah menjadi yang terluas.
  6. Komparasi Biodiversity Loss pada Produksi Minyak Sawit: hasil studi Koh & Wilcove (2008), Fitzherbert et al. (2008), dan Qaim et al. (2020) membandingkan biodiversity loss antara minyak sawit dan minyak nabati lainnya. Hasil studi menunjukkan bahwa minyak sawit memiliki biodiversity loss yang lebih rendah dibandingkan minyak nabati lainnya seperti kedelai.
  7. Luas Kawasan Lindung dan Konservasi di Indonesia: Data mengenai luas kawasan lindung dan konservasi di Indonesia, yang merupakan “rumahnya” biodiversitas. Pemerintah Indonesia telah mengatur tata ruang untuk mengharmonisasikan sektor konservasi dan budidaya.
  8. Penggunaan Lahan di Sentra Sawit Indonesia: Perbandingan penggunaan lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan, yang merupakan sentra produksi kelapa sawit. Luas perkebunan kelapa sawit relatif lebih kecil dibandingkan dengan kawasan hutan konservasi dan lindung.
  9. Perbandingan Jumlah Jenis Biodiversitas di Perkebunan Kelapa Sawit: Data mengenai jumlah jenis biodiversitas di perkebunan kelapa sawit, area konservasi, dan area dengan nilai konservasi tinggi. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis biodiversitas di perkebunan kelapa sawit bisa bervariasi, dan di beberapa daerah, jumlahnya bisa lebih tinggi daripada sebelum perkebunan kelapa sawit didirikan.

Data Luas Areal Komoditas Pertanian Monokultur Dunia

Sawit dan Biodiversitas
Gambar 1.  Luas Areal Komoditas Pertanian Monokultur Dunia Tahun 2021 (Sumber: USDA, 2022)
  1. Perubahan penggunaan lahan untuk areal produksi komoditas pertanian berkaitan dengan perubahan biodiversitas.
  2. Budidaya komoditas pertanian dunia secara umum menggunakan sistem monokultur karena dinilai lebih menguntungkan, produktif, efisien, dan mampu mencapai economic of scale, namun juga memiliki risiko menyebabkan penurunan biodiversitas.
  3. Diantara komoditas pertanian monokultur dunia, gandum memiliki luas yang paling besar yakni mencapai 221 juta hektar. Selanjutnya diikuti oleh luas areal jagung sebesar 202 juta hektar dan luas areal padi sebesar 167 juta hektar.
  4. Budidaya tanaman minyak nabati utama dunia juga menggunakan sistem monokultur dengan luas areal terbesar adalah kedelai (130 juta hektar), kemudian diikuti rapeseed (37.8 juta hektar), bunga matahari (28.4 juta hektar), dan kelapa sawit (25 juta hektar).
  5. Data tersebut menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit dunia bukanlah komoditas pertanian monokultur yang terluas di dunia sehingga tuduhan sebagai penyebab utama biodiversity loss dunia merupakan tuduhan salah alamat.

Data Komparasi Biodiversity Loss pada Produksi Minyak Sawit Versus Minyak Nabati Lain

Sawit dan Biodiversitas
Gambar 2. Komparasi Spices Richness Loss Antar Minyak Nabati (Beyer et al., 2020)
  1. Beyer et al. (2020) dan Beyer & Rademacher (2021) melakukan studi tentang komparasi biodiversity loss global pada produksi minyak nabati dunia.
  2. Indikator yang digunakan untuk mengukur jejak (footprint) biodiversity loss adalah Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan.
  3. Secara relatif dengan SRL minyak sawit sebagai pembanding menunjukkan bahwa indeks SRL minyak kedelai 284 persen, indeks SRL minyak rapeseed 179 persen dan indeks SRL minyak bunga matahari 144 persen.
  4. Artinya minyak sawit adalah minyak nabati yang paling rendah biodiversity loss-nya, sedangkan minyak nabati yang paling besar biodiversity loss-nya adalah minyak kedelai.

Data Luas Kawasan Lindung dan Konservasi Biodiversitas di Indonesia

Tabel 1. Luas Kawasan Lindung dan Konservasi sebagai “Rumahnya” Biodiversitas di Indonesia

No.Fungsi Kawasan KonservasiJumlah (Unit)Luas (Ha)
1Cagar Alam2124,178,626
2Suaka Margasatwa804,895,320
3Taman Nasional5416,247,460
4Taman Wisata Alam133798,323
5Taman Hutan Raya36373,089
6Taman Buru11171,821
7KSA/KPA34384,294
Total56027,048,933
Sumber: Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (2021)
  1. Pemerintah Indonesia telah mengatur tata ruang untuk menciptakan harmonisasi antar sektor konservasi/lindung dan sektor budidaya.
  2. Luas kawasan hutan lindung dan konservasi biodiversitas Indonesia mencapai 27 juta hektar yang memiliki fungsi sebagai “rumahnya” satwa-satwa liar (seperti Orang Utan, Mawas, Harimau Sumatera, Gajah, Badak Bercula, Komodo, dan lain-lain) dan biodiversitas lainnya serta berfungsi untuk proteksi alam dan melestarikan stok karbon tinggi.
  3. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia menjadi salah satu sektor yang dikembangkan oleh masyarakat di kawasan budidaya atau berada di luar hutan lindung dan hutan konservasi.

Data Luas Kawasan Lindung dan Konservasi Biodiversitas Versus Perkebunan Kelapa Sawit pada Sentra Sawit Indonesia

Tabel 2. Penggunaan Lahan di Pulau Sumatera dan Kalimantan

Penggunaan LahanSumateraKalimantan
Kawasan Lindung
– Hutan Konservasi (KSA-KPA)
– Hutan Lindung

5,063.20 (11%)
5,604.10 (12%)

4,956.30 (10%)
7,031.60 (15%)
Kawasan Budidaya
– Hutan Produksi Terbatas
– Hutan Produksi
– Hutan Produksi Konversi

2,835.20 (6%)
7,369.50 (16%)
1,731.00 (4%)

10,621.70 (23%)
10,793.70 (23%)
3,104.50 (7%)
Sub Total Hutan22,603.0036,507.80
Perkebunan Kelapa Sawit7,945 (17%)5,820.41 (12%)
Sektor Lainnya16,643 (35%)10,729.49 (23%)
Total Daratan47,190.20 (100%)53,057.70 (100%)
Sumber: KLHK (2021), Kementerian Pertanian (2021)
  1. Pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan sentra sawit di Indonesia sehingga sering dikaitkan dengan isu biodiversity loss tropis.
  2. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di kedua pulau sentra sawit tersebut memiliki luas yang relatif lebih kecil dibandingkan kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Luas perkebunan kelapa sawit hanya sekitar 17 persen dari daratan Sumatera dan 12 persen dari daratan Kalimantan.
  3. Pemerintah daerah telah mengalokasikan kawasan konservasi sebagai “rumahnya” biodiversitas (flora dan fauna) endemik kedua pulau tersebut.

Data Luas Kawasan Lindung dan Konservasi Biodiversitas Versus Perkebunan Kelapa Sawit pada Sentra Sawit Indonesia

Tabel 3. Perbandingan Jumlah Jenis Biodiversitas

Taska / EkosistemSumatera Utara Prov. RiauSumatera SelatanKalimantan BaratKalimantan TengahSulawesi
Barat
MAMALIA
– Benchmark*
– Kebun sawit
– HCV/NKT

2-4
3-5
2-4

0-7
0-5
2-6

3
4
4

0-4
3-4
3-7

0-3
1-4
3-6

0-2
1
3
BURUNG
– Benchmark*
– Kebun sawit
– HCV/NKT

12-21
17
10-24

9-32
14-21
9-27

35
26
33

7-26
11-19
14-23

13-30
9-22
17-33

12-36
17-33
20-22
HERPETOFAUNA
– Benchmark*
– Kebun sawit
– HCV/NKT

7-9
9-14
6-7

3-13
6-16
2-11

11
18
6

2-13
7-12
4-11

4-12
9-13
9-15

4-5
3-11
6
KUPU-KUPU
– Benchmark*
– Kebun sawit
– HCV/NKT

17-22
13-23
10-19

11-29
12-31
9-22

14
30
12

3-21
11-20
6-26

5-19
14-28
15-37

10-23
10-19
12
TUMBUHAN
– Benchmark*
– Kebun sawit
– HCV/NKT

51-66
61-75
73-85

25-120
55-59
8-129

8
n.a
15

31-71
16-61
34-99

5-22
n.a
6-51

25-53
31-39
45-50
Sumber: Erniwati et al. (2017), Santosa et al. (2017), Santosa dan Purnamasari (2017), Suharto et al. (2019)
  1. Studi diatas menunjukkan perbandingan tingkat biodiversitas di perkebunan kelapa sawit, Ecosystem Benchmark (lahan sebelum dijadikan perkebunan kelapa sawit), dan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) atau High Conservation Value (HCV) di 23 perkebunan kelapa sawit besar yang tersebar di enam provinsi sentra sawit utama.
  2. Hasil studi menunjukkan:
    • Jumlah jenis tumbuhan yang hidup di areal kebun sawit (16-75 jenis) relatif lebih kecil dibandingkan dengan areal HCV/NKT (8-129 jenis) atau ecosystem benchmark (8-120 jenis)
    • Jumlah jenis mamalia yang hidup di areal kebun sawit (0-5 jenis) relatif lebih kecil dibandingkan dengan areal HCV/NKT (2-7 jenis) atau ecosystem benchmark (0-7 jenis).
    • Jumlah jenis kupu-kupu yang hidup di areal kebun sawit (10-31 jenis) relatif lebih banyak dibandingkan dengan areal ecosystem benchmark (3-29 jenis) meskipun masih lebih sedikit dibandingkan yang hidup di areal HCV/NKT (6-37 jenis).
    • Jumlah jenis burung yang hidup di areal kebun sawit sama dengan di areal HCV/NKT (9-33 jenis), meskipun relatif lebih kecil dibandingkan ecosystem benchmark (7-36 jenis).
    • Jumlah jenis herpetofauna yang hidup di areal kebun sawit (3-16 jenis) relatif lebih banyak dibandingkan dengan areal ecosystem benchmark (2-13 jenis) dan HCV/NKT (4-11 jenis).
    • Hal ini menunjukkan bahwa jumlah jenis biodiversitas di kebun sawit tidak selalu lebih rendah dibandingkan dengan biodiversitas yang ada di Ecosystem Benchmark atau HCV/NKT. Bahkan pengembangan kebun sawit di beberapa daerah lokasi penelitian, justru meningkatkan jumlah jenis biodiversitas seperti herpetofauna (di enam provinsi) dan kupu-kupu (Sumut, Riau, Sumsel) dibandingkan jumlah jenis biodiversitas di Ecosystem Benchmark atau HCV/NKT.
  3. Perusahaan perkebunan sawit besar yang mengalokasikan lahannya untuk dibiarkan tetap berhutan (HCV/NKT) maka akan memiliki jumlah jenis biodiversitas yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah jenis di areal NKT saja atau di areal ecosystembenchmark atau lahan sebelum dijadikan kebun sawit.

Jurnal Terkait Sawit dan Biodiversitas

Benarkah Biodiversitas Loss untuk Memproduksi Minyak Sawit Lebih Tinggi dari Produksi Minyak Nabati Lain? – Jurnal PASPI Nomor 45 Tahun 2021

  • Ekspansi perkebunan sawit yang relatif cepat sering dituding berdampak pada biodiversity loss sehingga isu tersebut dijadikan salah satu argumen pembenaran proteksi perdagangan minyak sawit secara internasional hingga memunculkan gerakan/kampanye “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free
  • Studi Beyer et al., (2020) dan Beyer & Rademacher (2021) mengungkapkan bahwa SRL minyak sawit yang paling rendah artinya biodiversity loss dari produksi minyak sawit paling rendah dibandingkan minyak nabati lainnya.
  • Gerakan/kampanye “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” justru memicu terjadinya biodiversity loss global yang lebih tinggi.
  • Mengurangi konsumsi minyak sawit yang kemudian disubsitusi dengan meningkatkan konsumsi minyak nabati lainnya, sama artinya meningkatkan biodiversity loss secara global.

Kebun Sawit Berjaya, Biodiversitas Indonesia Tetap Kaya dan TerjagaJurnal PASPI Nomor 4 Tahun 2020

  • Tuduhan LSM yang menuding kebun sawit sebagai penyebab menurunkan tingkat biodiversitas di Indonesia juga menggunakan paradigma yang kurang tepat.
  • Hal ini dikarenakan penilaian dampak tersebut didasarkan pada perbandingan tingkat biodiversitas pada kebun sawit dengan hutan alam, hal ini menyebabkan bias karena adanya perbedaan karakteristik jenis tutupan lahan.
  • Dalam satu lanskap ekosistem kebun sawit memiliki beberapa tipe habitat yang selama ini luput dari penilaian sehingga penilaiannya tingkat biodiversitas cenderung underestimate.
  • Perkebunan kelapa sawit juga selalu “dikambinghitamkan” sebagai ancaman bagi habitat satwa-satwa liar sehingga satwa liar tersebut terlibat konflik dengan manusia dan menurunkan populasi satwa liar asli seperti orangutan, gajah dan harimau.
  • Isu tersebut tidak sesuai data dan fakta, karena penurunan populasi satwa liar lebih banyak disebabkan karena illegal logging, perburuan dan pembakaran hutan karena pembukaan lahan pertanian skala kecil.
  • Faktor-faktor tersebut menunjukkan masih buruknya tata kelola hutan lindung dan konservasi sebagai habitat alami satwa liar.
  • Tata kelola hutan konservasi dan hutan lindung yang buruk tersebut harus segera diperbaiki oleh pemerintah Indonesia agar biodiversitas Indonesia tetap terjaga.

Kebijakan Pelestarian Biodiversitas di IndonesiaJurnal PASPI Nomor 3 Tahun 2020

  • Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, dituduh menjadi aktor dari menurunnya tingkat biodiversitas khususnya di kawasan tropis Asia Tengara
  • Sejak awal pembangunan, pemerintah Indonesia telah memiliki kebijakan pembangunan nasional dengan menggunakan paradigma pembangunan berkelanjutan sehingga pembangunan antar sektor baik sektor pengembangan maupun sektor konservasi di Indonesia dapat dilakukan berdampingan secara harmoni pada ruang yang berbeda.
  • Pemerintah Indonesia menetapkan minimum 30 persen dari luas daratan telah ditetapkan sebagai hutan dan telah membagi daratan Indonesia terbagi atas dua kawasan yakni Kawasan Lindung/Konservasi (untuk pelestarian biodiversitas) dan Kawasan Budidaya (pemukiman, sektor industri, sektor pertanian, termasuk untuk perkebunan kelapa sawit)
  • Indonesia masih memiliki hutan primer yang cukup luas sehingga FAO (2016) menetapkan sebagai salah satu Global Top-Ten Countries with Forest Area for Conservation of Biodiversity. Selain itu, beberapa Kawasan Konservasi utama Indonesia bahkan telah diakui eksistensinya di dunia internasional.

FAQ

Apa yang dimaksud dengan isu lingkungan dan kampanye hitam terkait minyak sawit?

Bagaimana pengkaitan antara perkebunan kelapa sawit dengan penurunan biodiversitas?

Mengapa perkebunan kelapa sawit monokultur dapat menyebabkan penurunan biodiversitas?

Bagaimana tata kelola perkebunan kelapa sawit di Indonesia terkait dengan biodiversitas?

Apakah benar bahwa minyak sawit memiliki biodiversity loss yang lebih rendah dibandingkan minyak nabati lainnya?

Bagaimana luas kawasan lindung dan konservasi di Indonesia memengaruhi biodiversitas?

Apakah perkebunan kelapa sawit dapat memiliki jumlah jenis biodiversitas yang tinggi?

Share
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x