Sebagai produsen terbesar kelapa sawit di dunia (the most biggest producer of palm oil in the world), Indonesia juga dikenal luas oleh masyarakat global sebagai salah satu eksportir kelapa sawit di dunia dengan urutan teratas di samping Malaysia, Thailand, Kolombia, Nigeria, Guatemala, dan Papua Nugini (Tempo, 2022). Pernyataan ini diperkuat melalui data yang dirilis oleh Kementerian Pertanian (Kementan) yang menunjukkan bahwa pada tahun 2020 total nilai ekspor kelapa sawit dari Indonesia menembus angka US$17,36 miliar.
Angka ini turut berkontribusi terhadap kebutuhan masyarakat global (global society) akan produksi kelapa sawit beserta produk turunannya sebesar 53,46% pada tahun 2020 dari total nilai ekspor (total export value) kelapa sawit global yang mencapai angka US$32,48 miliar. Angka tersebut tentunya melampaui total nilai ekspor negara eksportir lainnya yang jika dijumlah hanya sebesar 46,53% dari total nilai ekspor kelapa sawit global (Katadata, 2022).
Berdasarkan data yang telah disebutkan di atas dapat memperkuat anggapan bahwa Indonesia memang terbukti sebagai satu-satunya (the one and only) negara eksportir terbesar kelapa sawit di dunia. Berkenaan dengan total nilai ekspor yang telah disebutkan tadi, jumlahnya diperkirakan akan terus naik mengingat kebutuhan masyarakat global akan konsumsi minyak sawit baik untuk pangan, energi maupun non pangan lainnya terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya jumlah populasi penduduk beserta pendapatannya (PASPI, 2019). Dengan demikian, peningkatan produksi dan konsumsi minyak sawit akan selalu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah populasi penduduk jiwa di setiap tahunnya.
Larangan Ekspor CPO: Sebuah Respon Awal Kebijakan terhadap Krisis
CPO (Crude Palm Oil) merupakan hasil olahan kelapa sawit yang menjadi salah satu produk andalan Indonesia dalam memasok bahan baku kebutuhan masyarakat global. Tersedianya pasokan ini kerap kali terus diikuti dengan adanya peningkatan atas perkembangan produksi minyak sawit di Indonesia. Dalam buku Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2019-2021 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, tercatat bahwa perkembangan produksi kelapa sawit dalam bentuk CPO sejak tahun 1980—2021 terus mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 11,13% per tahun.
Peningkatan ini merupakan implikasi atas masifnya produktivitas kelapa sawit melalui pengelolaan kebun kelapa sawit dengan luas 14 juta lebih hektar yang tersebar di berbagai wilayah terutama Sumatera dan Kalimantan, baik oleh industri swasta, negara, maupun rakyat. Namun semenjak tahun 2010—2019, nilai ekspor CPO Indonesia beserta turunannya tercatat fluktuatif dengan laju penurunan rata-rata sebesar 1,57% per tahun. Laju penurunan ini diperkirakan akan terus berlanjut setidaknya sampai tahun ini, mengingat adanya kebijakan larangan ekspor CPO oleh pemerintah melalui Menteri Perdagangan pada April 2022 silam berdasarkan kabar berita yang dilansir dari Humas Sekretariat Kabinet RI pada laman resminya. Walakin, larangan ekspor CPO di tahun ini tidak berlangsung lama. Larangan itu hanya berlangsung kurang lebih selama 25 hari sejak 28 April—22 Mei 2022 (CNBC, 2022).
Terkait dengan adanya kebijakan atas pelarangan ekspor CPO, jika dicermati secara bersama, di satu sisi pelarangan itu terdapat upaya untuk memprioritaskan kembali akan ketersediaan minyak goreng curah bagi konsumen di pasar-pasar tradisional maupun berbagai usaha menengah kecil di Indonesia. Namun disisi lain, pelarangan tersebut turut diprediksi akan kembali menurunkan nilai ekspor kelapa sawit Indonesia setidaknya di tahun ini. Meskipun pemerintah telah membuka kembali keran ekspor CPO beserta produk turunannya sejak 23 Mei 2022 silam, ini berarti sebab adanya pelarangan ekspor CPO tadi secara berkesinambungan terdapat upaya untuk tetap menjamin akan ketersediaan bahan baku minyak sawit di dalam negeri.
Namun di samping itu, efek dari adanya pelarangan tadi juga berimbas terhadap perekonomian negara. Sebagaimana yang dikutip dari laman resmi CNBC, terkait pelarangan ekspor CPO yang telah berlangsung beberapa waktu lalu, telah berdampak khususnya terhadap penurunan devisa negara sebesar US$ 2,2 miliar yang jika dirupiahkan setara dengan Rp. 29,2 triliun. Angka ini ternyata meleset dari satu prediksi yang terdapat dalam sebuah artikel yang diterbitkan oleh PASPI. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa Indonesia akan kehilangan devisanya sebesar US$ 1,72 miliar atau Rp. 25 triliun oleh sebab adanya kebijakan larangan ekspor CPO (PASPI, 2022). Ini artinya, potensi merosotnya ekonomi negara atas pelarangan CPO mungkin akan semakin besar dibandingkan pelarangan atas komoditas sumber daya alam khususnya pada sektor pertanian atau perkebunan yang lain.
Kendati demikian, pada tahun 2019 silam Indonesia tercatat telah mengekspor CPO beserta produk turunannya sebanyak 36,17 juta ton ke berbagai negara importir (Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, 2021). Ini menunjukkan baik laju peningkatan maupun penurunan nilai ekspor CPO yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir, Indonesia yang notabenenya sebagai produsen dan eksportir kelapa sawit terbesar, senantiasa untuk terus berupaya menstabilkan antara akumulasi permintaan (demand) konsumen lokal maupun global dengan pengelolaan pasokan (supply) kelapa sawit domestik yang boleh dikatakan masih cukup terkendali.
Dari Pandemi hingga Perang: Tantangan Besar Industri Kelapa Sawit
Semenjak akhir 2019 hingga hari ini, industri kelapa sawit kerap menemukan tantangan terbesarnya sebagai salah satu industri pemasok kebutuhan bahan baku primer konsumsi masyarakat secara global di tengah pasang surutnya sektor perekonomian akibat krisis yang ditimbulkan oleh pandemi. Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo dalam Liputan6 (8/21) mengatakan bahwa pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini melahirkan sebuah krisis ekonomi global yang terburuk dalam sejarah. Statemen ini bukan tanpa alasan mengingat dampak dari krisis ini tentu jelas membebani negara-negara di dunia dalam mencari formula untuk mengatasi krisis yang tengah melanda.
Formula ini dapat digambarkan sebagai titik keseimbangan (point of balances) antara upaya pemutusan mata rantai penularan Covid-19 yang semakin massif dengan proses pemulihan ekonomi global yang cenderung melambat. Inilah yang menjadi dasar atas pernyataan mengapa krisis ekonomi global kali ini terbilang buruk. Oleh sebab imbas dari krisis pandemi yang melanda sekarang ini, seluruh sektor perindustrian yang ada tak terkecuali industri sawit, lebih lanjut dihadapkan pada suatu kondisi perekonomian global yang serba tidak pasti.
Hal ini dapat dilihat dari, pertama, adanya potensi gejolak resesi ekonomi disertai inflasi tinggi selama pandemi yang disebabkan karena meningkatnya biaya produksi barang dan jasa (cost push inflation) global akibat dampak dari adanya gangguan rantai pasok (supply chain disruption) yang berlangsung selama pandemi disertai dengan adanya masalah anomali iklim. Kedua, maraknya krisis atau terdisrupsinya pasokan energi, pangan, dan pupuk secara global saat terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung selama triwulan ini. Krisis ini juga sebagai sebab akibat dari kenaikan harga-harga komoditas dunia yang dipicu pertama kali oleh pandemi Covid-19.
Kenaikan harga tersebut diprediksi berlangsung sampai 2024 mendatang sebagaimana yang dilaporkan oleh World Bank pada April 2022 silam dengan laporan yang berjudul Commodity Markets Outlook: The Impact of the War in Ukraine on Commodity Markets (PASPI-Monitor, 2022). Dampak dari poin terakhir ini jelas menimbulkan kontraksi ekonomi yang cukup parah (DW, 2022). Di samping itu, baik krisis pandemi maupun perang Rusia-Ukraina masih terus menjadi konsumsi dan perhatian publik hingga hari ini.
Berdasarkan kedua persoalan yang telah disebutkan di atas, dapat disederhanakan pula bahwa terdapat korelasi yang positif antara krisis pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina terhadap pasang surutnya perekonomian global. Oleh karenanya, keadaan ekonomi yang demikian baik yang disebabkan oleh krisis pandemi maupun perang antara Rusia-Ukraina, semakin memperkuat anggapan sebagian besar masyarakat bahwa Indonesia khususnya, tengah terjebak dalam stagnasi atau bahkan defisit perekonomian yang pada akhirnya menyeret dan meluluhlantakkan sektor kehidupan masyarakat yang lain baik sosial, pendidikan, maupun kesehatan.
Anggapan ini tanpa disadari dapat memicu stereotip masyarakat terhadap peran pemerintah maupun pelaku industri dalam negeri yang memiliki andil dan tanggung jawab besar terhadap kesejahteraan masyarakat pada umumnya terutama ketika menghadapi situasi yang terjadi akhir-akhir ini. Stereotip ini juga tidak menutup kemungkinan pada akhirnya akan menjadi sebuah mitos yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang cenderung abai terhadap data-data yang ada di lapangan demi menegasikan sebuah kebenaran atas fakta yang sesungguhnya ada. Lantas kemudian, ada pula yang mempersoalkan terkait peran strategis Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi global saat ini terlebih pada krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina.
Lalu, muncul beberapa pertanyaan seperti adakah kontribusi nyata Indonesia terkait penanganan khusus para pemangku kebijakan maupun pengelolaan komoditas sumber daya alam yang dapat diandalkan? Apakah benar khusus terkait pengelolaan komoditas sumber daya alam dalam hal ini ‘kelapa sawit’ Indonesia beserta pendistribusiannya, dapat berperan untuk menghadapi krisis ekonomi global dalam konteks pandemi dan perang Rusia-Ukraina?
Peran Minyak Sawit Indonesia di Tengah Krisis Ekonomi Global
Dalam konteks perekonomian Indonesia saat ini, studi yang dilakukan oleh PASPI (2022) menyatakan bahwa ekonomi Indonesia diproyeksikan tidak akan mengalami gejolak resesi, melainkan sebaliknya ekonomi Indonesia justru akan bertumbuh secara positif pada tahun ini sebesar 5,1%. Bahkan, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan mengklaim bahwa per triwulan kedua, lebih tepatnya sampai bulan Agustus ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh secara positif, yakni sebesar 5,44%.
Adapun untuk kinerja ekspor Indonesia tumbuh dengan baik hingga mencapai angka 19,74%. Lebih lanjut, Zulkifli Hasan juga mengklaim bahwa positifnya pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini telah berhasil melampaui pertumbuhan ekonomi beberapa negara mitra dagang seperti Singapura sebesar 4,8%, Korea Selatan sebesar 2,9%, Amerika Serikat sebesar 1,6%, dan China sebesar 0,4% (Okezone, 2022).
Angka ini tentu sudah melebihi proyeksi dari hasil studi yang dilakukan oleh PASPI. Klaim Menteri Perdagangan tersebut sebelumnya juga diperkuat melalui data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (2022) yang menunjukkan fakta bahwa ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan dari triwulan 1 tahun 2022 sebesar 3,72% menjadi 5,44% pada triwulan 2 tahun 2022. Ini artinya kenaikan akan pertumbuhan dari triwulan 1 ke triwulan 2 mencapai sebesar 1,72%.
Dari pertumbuhan ekonomi tersebut, sisi produksilah yang memiliki kontribusi tertinggi dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Lebih lanjut, pertumbuhan tertinggi dalam sisi produksi terjadi pada Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan yang mencapai 13,15%, meningkat sebesar 4,01% dari triwulan 1 tahun 2022, dan meningkat sebesar 0,2% dari triwulan 2 tahun 2021. Oleh karena adanya pertumbuhan pada sisi produksi khususnya pada sektor kehutanan, tentu di dalamnya terdapat peran, andil, dan kontribusi kelapa sawit yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di tengah gencaran krisis pandemi dan perang Rusia-Ukraina.
Berbicara lebih lanjut terkait kontribusi kelapa sawit terhadap perekonomian nasional dalam menghadapi krisis ekonomi global yang terjadi saat ini, studi yang dilakukan oleh PASPI menunjukkan bahwa selama tahun 2020—2021 (2 tahun/24 bulan terus menerus), neraca perdagangan Indonesia terbilang surplus. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya neraca perdagangan dari US$ 21,7 miliar pada tahun 2020 menjadi US$ 35,4 miliar pada tahun 2021. Menjadi sebuah kabar gembira khususnya bagi pelaku industri sawit bahwa ternyata devisa sawit telah berhasil menyumbangkan kontribusi yang cukup besar terhadap surplusnya neraca perdagangan Indonesia.
Adapun total devisa sawit yang dihasilkan pada tahun 2020 sebesar US$ 26,2 miliar dan meningkat menjadi US$ 41,2 miliar pada tahun 2021 (PASPI-Monitor, 2022). Berdasarkan data ini dapat diartikan bahwa produksi dan pengelolaan kelapa sawit sebagai komoditas terbesar bagi kebutuhan konsumsi global senantiasa meningkat seiring dengan meningkatnya devisa negara, bahkan dalam situasi krisis yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 sekalipun. Di samping itu, kelapa sawit juga turut berkontribusi bagi perekonomian negara dalam menghadapi krisis pangan dan energi global pasca terjadinya perang Rusia-Ukraina.
Terdapat tiga alasan mengapa minyak kelapa sawit dapat berperan dalam menghadapi krisis pangan dan energi yang sedang terjadi sebagaimana yang dikutip dari sebuah artikel yang diterbitkan oleh PASPI akhir-akhir ini. Alasan pertama ialah volume produksi minyak sawit cenderung relatif lebih besar bahkan yang terbesar hingga mencapai angka 43% pada tahun 2021 dalam pasar minyak nabati dunia. Hal ini diakibatkan adanya tata kelola dan produktivitas yang tinggi terhadap kelapa sawit.
Alasan kedua adalah pasokan atas minyak sawit cenderung relatif stabil setiap bulan sepanjang tahun. Dalam satu pohon kelapa sawit saja dapat menghasilkan minyak dalam intensitas dua kali sebulan sepanjang tahun. Ini artinya stabilitas pasokan minyak sawit dapat memastikan akan ketersediaan minyak nabati dunia. Alasan ketiga ialah minyak sawit digunakan dalam beberapa bahan baku untuk produk oleofood complex seperti minyak goreng, margarine, shortening, specialty fat, chocolates, dan lain sebagainya.
Produk-produk tersebut merupakan produk pangan yang kerap dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini artinya ketergantungan masyarakat global terhadap minyak sawit untuk bahan baku produk pangan jauh lebih besar daripada komoditas yang lain. Alasan keempat ialah harga minyak sawit yang cenderung lebih murah dan lebih affordable ketimbang minyak nabati lainnya. Oleh karenanya, minyak sawit cocok dikonsumsi bagi masyarakat yang berpendapatan menengah ke atas hingga berpendapatan menengah ke bawah.
Alasan yang telah disebutkan di atas kian menunjukkan bahwa minyak sawit khususnya di Indonesia dapat berperan penting bagi pemenuhan akan kebutuhan minyak sawit sebagai bahan baku produk pangan dunia. Selain itu, jika dikaitkan dengan kondisi perekonomian saat ini, minyak sawit juga berkontribusi besar dalam menghadapi krisis baik yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19 maupun pasca terjadinya perang Rusia-Ukraina khususnya terhadap perekonomian nasional.
Penutup
Adanya studi dan klaim yang telah disebutkan di atas tentu dapat membantah prediksi IMF (International Monetary Fund) dan World Bank yang sebelumnya menyatakan bahwa negara-negara di dunia tak terkecuali Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi negatif sebagai dampak dari resesi ekonomi disertai dengan adanya krisis pangan dan energi global. Namun secara bersamaan, World Bank malah mengoreksi prediksinya sendiri dengan memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 2 tahun mendatang yang akan menjadi 5,3%. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi Indonesia diharapkan dapat melampaui pertumbuhan ekonomi China (PASPI-Monitor, 2022).
Namun, dengan melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia di triwulan II tahun 2022 ini sebagaimana data-data yang telah disebutkan tadi, telah berhasil melampaui dari prediksi akan pertumbuhan ekonomi yang merupakan hasil proyeksi dari World Bank. Dari berbagai tantangan yang datang silih berganti sekaligus adanya proyeksi yang telah dipaparkan baik oleh institusi atau lembaga nasional maupun internasional, kian melahirkan resistensi dan rasa optimisme terutama bagi industri kelapa sawit di Indonesia untuk menjadi solusi bagi ketahanan pangan dan energi global di tengah keterpurukan ekonomi yang terjadi saat ini.
Ini juga sekaligus menepis anggapan sekaligus menjawab pertanyaan sebelumnya mengenai kontribusi minyak kelapa sawit Indonesia dalam menghadapi krisis global yang saat ini sedang terjadi. Oleh karenanya, sekali lagi tidak berlebihan bila menyebutkan bahwa minyak kelapa sawit di Indonesia dapat berperan dalam menghadapi krisis ekonomi global baik yang disebabkan oleh Covid-19 maupun perang Rusia-Ukraina.
artikelnya keren dan sangat bermanfaat
Mantap banget artikelnya
Artikel bagus dengan isi yg mudah di pahami serta struktur dan poin-poin yg jelas.