Pemanasan global (global warming) merupakan isu yang paling mengemuka dalam abad ini. Dampak pemanasan global yang sangat luas telah mengundang perhatian masyarakat global. Namun, terdapat persepsi yang salah bahwa pemanasan global disebabkan oleh industri kelapa sawit. Artikel ini akan membahas tentang isu sawit dalam pemanasan global, perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca, serta fakta-faktanya.
Materi Isu Sawit dalam Pemanasan Global, Perubahan Iklim dan Emisi GRK
- Mitos 6-01 Pemanasan global (global warming) disebabkan oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit
- Mitos 6-02 Perubahan iklim global disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit
- Mitos 6-03 Sektor perkebunan kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca global
- Mitos 6-04 Emisi GRK global meningkat pesat sejak awal pembangunan perkebunan kelapa sawit dunia
- Mitos 6-05 Indonesia termasuk negara terbesar emitter GRK global
- Mitos 6-06 Emisi Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) sangat besar kontribusinya dalam emisi GRK global
- Mitos 6-07 Perkebunan kelapa sawit merupakan sumber utama emisi GRK global dari sektor pertanian
- Mitos 6-08 Emisi minyak sawit paling besar dibandingkan emisi minyak nabati lainnya
- Mitos 6-09 Perkebunan kelapa sawit secara neto bukan penyerap karbon
- Mitos 6-10 Kemampuan emission saving pada biodiesel sawit lebih rendah dibandingkan biodiesel nabati lain
- Mitos 6-11 Industri sawit global bukan menjadi solusi untuk pencapaian Net Carbon Sink (NCS)
- Mitos 6-41 Pengembangan biodiesel sawit kontradiktif dengan upaya penurunan emisi di Indonesia
Mitos 6-01
Pemanasan global (global warming) disebabkan oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit
Pemanasan global (global warming) merupakan isu yang paling mengemuka dalam abad ini. Dampak pemanasan global yang sangat luas telah mengundang perhatian masyarakat global.
Pemanasan global disebabkan karena meningkatnya intensitas efek gas rumah kaca (greenhouse intensity effect) pada atmosfer bumi. Secara alamiah, atmosfer bumi diisi Gas Rumah Kaca-GRK (Greenhouse Gasses-GHG) terutama uap air (H2O), karbon dioksida (CO2), methane (CH4), dan nitrogen (N2) dengan konsentrasi alamiah tertentu. Fungsi gas rumah kaca tersebut untuk membentuk mekanisme efek rumah kaca (natural greenhouse effect) pada atmosfer bumi sebagai mekanisme alamiah dalam melindungi dan memelihara temperatur atmosfer bumi agar nyaman untuk kehidupan.
Melalui mekanisme alamiah efek gas rumah kaca tersebut, sebagian energi panas yang dipancarkan matahari terperangkap dalam atmosfer bumi dan sebagian lagi dipantulkan ke luar angkasa (Gambar 1). Tanpa mekanisme efek rumah kaca alamiah tersebut, semua energi panas matahari dipantulkan ke luar angkasa sehingga temperatur atmosfer bumi akan sangat dingin (tidak nyaman untuk kehidupan).
Gambar 1 : Mekanisme Efek Gas Rumah Kaca Dalam Fenomena Pemanasan Global/Global Warming (Sumber: US Global Change Research Program)
Peningkatan intensitas efek rumah kaca alamiah tersebut terjadi ketika konsentrasi emisi GRK pada atmosfer bumi meningkat di atas konsentrasi alamiah nya. Penyebabnya adalah peningkatan emisi GRK yang bersumber dari aktivitas manusia di bumi dan munculnya gas-gas buatan manusia seperti golongan Chlorofluorocarbon (CFC) dan halogen (human enhanced greenhouse effect).
Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC (1991) mengungkapkan bahwa konsentrasi emisi GRK di atmosfer bumi mengalami peningkatan dalam periode pre-industri (1800-an) hingga saat ini. Menurut IPCC (1991) konsentrasi CO2 pada atmosfer bumi telah meningkat dari 280 ppmv (part per million volume) pada 1800-an menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Konsentrasi CO2 pada atmosfer bumi tahun 2005 meningkat mencapai 379 ppmv kemudian mengalami kenaikan menjadi 396 ppmv tahun 2013, dan 399 ppmv tahun 2015, kemudian terus meningkat menjadi 407 ppmv pada tahun 2018 (IEA, 2013, 2016, 2019). Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengungkapkan bahwa tingkat konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer bumi pada Mei 2022 telah meningkat menjadi 417.6 ppmv.
Sementara itu pada periode tahun 1800-an hingga 1990, konsentrasi GRK lainnya juga meningkat yakni CH4 dari 0.8 ppmv menjadi 1.72 ppmv, N2O dari 288 ppbv (part per billion volume) menjadi 310 ppbv, dan CFC dari nol menjadi 280-484 pptv (part per trillion volume).
Senada dengan studi di atas, Olivier et al. (2022) juga menunjukkan peningkatan emisi GRK (setara CO2) pada atmosfer bumi dari 32.9 Gt CO2 eq tahun 1990 menjadi 49.8 Gt CO2 eq tahun 2020 (Gambar 2).
Gambar 2 : Perkembangan Emisi Gas-Gas Rumah Kaca Global pada Atmosfer Bumi (Sumber: Olivier et al., 2022)
Selama periode tahun 1990-2020, peningkatan emisi terbesar disumbang oleh emisi gas CO2 yang meningkat dari 22.7 Gt CO2 menjadi 49.8 Gt CO2. Kemudian gas CH4 yang juga meningkat dari 6,196 Mt CO2 eq menjadi 7,732 Mt CO2 eq, gas N2O meningkat dari 2,329 Mt CO2 eq menjadi 2,958 Mt CO2 eq, dan F-gas meningkat dari 352 Mt CO2 eq menjadi 1,328 Mt CO2 eq.
Dengan meningkatnya intensitas konsentrasi GRK menyebabkan radiasi/panas sinar matahari yang terperangkap pada atmosfer bumi menjadi lebih besar dari alamiahnya sehingga meningkatkan temperatur udara bumi menjadi lebih panas (Soemarwoto, 1992). Peningkatan temperatur atmosfer bumi tersebut kemudian dikenal sebagai pemanasan global (global warming).
Uraian di atas menegaskan bahwa pemanasan global bukan disebabkan oleh perkebunan kelapa sawit. Peningkatan konsentrasi GRK pada atmosfer bumi yang bersumber dari kegiatan masyarakat dunia sejak era pra-industri (tahun 1800-an) hingga sekarang, telah meningkatkan intensitas efek rumah kaca pada atmosfer bumi sehingga panas matahari semakin banyak terperangkap dan hal inilah merupakan penyebab pemanasan global.
Referensi
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
- Soemarwoto O. 1992. Indonesia dalam Kamcah Isu Lingkungan Global. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
- US Global Change Research Program. tt. Human Influence on the Greenhouse Effect.
Mitos 6-02
Perubahan iklim global disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit
Perubahan iklim global (global climate change) merupakan masalah lingkungan yang telah mengancam kehidupan masyarakat dunia. Perubahan iklim global terjadi akibat dari pemanasan global (IPCC, 1991; Soemarwoto, 1992; IEA, 2014) sehingga tidak ada kaitannya dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit global.
Gambar 3 : Perubahan Iklim Global sebagai Akibat Pemanasan Global (Sumber: Ray, 2009)
Dengan semakin besarnya energi matahari yang terperangkap dalam atmosfer bumi menyebabkan terjadinya perubahan iklim global (Gambar 3) antara lain:
- Evaporasi meningkat;
- Pemanasan/kenaikan;
- Temperatur air laut/samudera;
- Perubahan kondisi tanaman dan hewan;
- Salju dan es meleleh.
Kombinasi perubahan keempat hal tersebut mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk perubahan iklim global seperti curah hujan meningkat, badai, banjir, kekeringan, kebakaran, dan anomali iklim. Bentuk-bentuk perubahan iklim tersebut terjadi dan dirasakan oleh setiap negara di dunia.
Dengan demikian, cukup jelas bahwa perubahan iklim global yang sedang terjadi merupakan akibat dari pemanasan global, dan bukan karena perkebunan kelapa sawit. Mengkambinghitamkan perkebunan kelapa sawit sebagai penyebab perubahan iklim global selain tidak menyelesaikan masalah, tetapi juga membohongi masyarakat dunia.
Referensi
- [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. The Physical Science Basis, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge (UK): Cambridge University Press. Tersedia pada: https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/02/ar4-wg1-frontmatter-1.pdf
- Soemarwoto O. 1992. Indonesia dalam Kamcah Isu Lingkungan Global. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mitos 6-03
Sektor perkebunan kelapa sawit merupakan penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca global
Salah satu isu yang sering dituduhkan kepada perkebunan kelapa sawit adalah kontributor utama emisi GRK global. Tudingan tersebut tidak sesuai dengan data dan fakta empiris. Berbagai studi empiris (IEA, 2016; Olivier et al., 2022) mengungkapkan bahwa sektor energi (energi fosil) merupakan kontributor utama emisi GRK global. Kemudian diikuti oleh sektor pertanian, sektor industri, serta sektor limbah dan lainnya.
Gambar 4 : Emisi GRK Global Berdasarkan Sektor (Sumber: WRI, 2021)
Studi WRI (2021) mengungkap berbagai sektor penyumbang emisi GRK global (Gambar 4). Dari total emisi GRK global sebesar 49.4 Gt CO2 eq, sektor energi (energi fosil) menyumbang sekitar 73.2 persen emisi GRK global yakni emisi dari penggunaan energi pada industri, bangunan (komersial dan perumahan), serta transportasi. Sektor pertanian, kehutanan, dan land use menjadi sektor kedua terbesar yang menyumbang emisi GRK global dengan pangsa sebesar 18.4 persen. Kemudian diikuti oleh sektor industri (5.2 persen) dan limbah (3.2 persen).
Top-5 kontributor emisi GRK global dari sektor pertanian, kehutanan, dan land use terbesar terdiri dari livestock and manure (5.8 persen), agricultural soil (4.1 persen), crop burning (3.8 persen), forest land (2.2 persen), dan crop land (1.4 persen). Data tersebut menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit dunia tidak termasuk sebagai sumber utama emisi GRK dunia atau bukan menjadi kontributor terbesar emisi GRK global.
Referensi
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
- [IEA] International Energy Agency. 2016. Emission from Fuel Combustion. Tersedia pada: https://doi.org/10.1787/co2_fuel-2016-en
Mitos 6-04
Emisi GRK global meningkat pesat sejak awal pembangunan perkebunan kelapa sawit dunia
Peningkatan konsentrasi GRK atmosfer bumi telah terjadi sejak awal peradaban manusia di planet bumi (Gambar 5). Konsentrasi CO2 atmosfer bumi pada era pra-industri masih sekitar 180-280 ppmv dan meningkat menjadi 353 ppmv pada tahun 1990. Peningkatan konsentrasi tersebut berlanjut menjadi 379 ppmv tahun 2005, 399 ppmv tahun 2015, dan kemudian meningkat menjadi 407 ppmv pada tahun 2018 (IEA, 2019).
Gambar 5 : Perkembangan Konsentrasi CO2 Atmosfer Bumi Dunia Sejak Masa Peradaban Hingga Masa Sekarang (Sumber: IEA, 2019)
Mengacu pada sumber emisi global, peningkatan konsentrasi GRK atmosfer bumi diperkirakan mengalami peningkatan pesat pada masa setelah revolusi industri dan revolusi hijau. Paradigma pembangunan yang umumnya mengikuti hipotetis Environment Kuznet Curve (EKC) baik pada negara maju maupun negara berkembang (Auci dan Trovato, 2011; Acaravki dan Alkalin, 2017) telah menyebabkan peningkatan emisi GRK selama proses pembangunan. Pada awal pembangunan di suatu negara, konsentrasi GRK cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya intensitas kegiatan ekonomi atau meningkatnya pendapatan. Dan hingga pada level tertentu emisi GRK tersebut akan turun seiring dengan meningkatnya pendapatan atau pertumbuhan ekonomi negara tersebut.
Berdasarkan data historis peningkatan konsentrasi GRK atmosfer bumi tersebut, tampaknya mengkaitkan antara perkebunan kelapa sawit dengan peningkatan emisi GRK tidak didukung fakta dan data. Perkebunan kelapa sawit dunia baru berkembang setelah tahun 1900-an dan itu pun hanya memiliki luas yang relatif sempit. Hal ini semakin diperkuat pula oleh data (Gambar 4) bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah kontributor utama emisi GRK global.
Referensi
- Acaravki A, Alkalin G. 2017. Environmental-Economic Growth Nexus: A Comparative Analysis Developed and Developing Countries. International Journal Energy Economics and Policy. 7(5): 34-43.
- Auci S, Trovato G. 2011 The Environment Kuznet Curve with ini European countries and Sectors; Greenhouse Emission, Production function and Technology. Munich Personal RePec Archieve. 1-21.
- [IEA] International Energy Agency. 2019. Emission from Fuel Combustion. Tersedia pada: https://doi.org/10.1787/2a701673-en
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
Mitos 6-05
Indonesia termasuk negara terbesar emitter GRK global
Studi Ritche and Roser (2017) mengungkapkan bahwa negara kontributor emisi GRK global sejak periode 1700-an (Gambar 6). Pada awal 1700-an hingga 1800-an, Inggris merupakan kontributor utama emisi GRK global. Kemudian pada awal tahun 1800-an, Uni Eropa muncul dan menjadi kontributor utama emisi GRK global. Sejak tahun 1800-an, Amerika Serikat muncul dan menjadi Top-3 kontributor utama emisi GRK global, yang kemudian di susul oleh India dan China.
Hasil studi tersebut sesuai dengan fakta sejarah global berkaitan dengan revolusi industri yang terjadi pertama kali di Inggris pada tahun 1760-an dan kemudian meluas ke daratan Eropa lainnya. Kontribusi Amerika Serikat dalam emisi GRK global juga mulai meningkat dari abad ke- 19 hingga awal abad ke-20. Hal ini merupakan implikasi dari era revolusi industri dan revolusi pertanian yang terjadi di kawasan Amerika Serikat tersebut.
Gambar 6 : Perkembangan Pangsa Negara Kontributor Emisi CO2 Global Sejak Masa Peradaban Bumi (Sumber: Our World)
Uni Eropa (termasuk Inggris), Amerika Serikat, China, dan India secara konsisten menyumbang emisi GRK global terbesar hingga saat ini, dengan pangsa mencapai 51.3 persen dari total emisi GRK global tahun 2020 (Gambar 7). China menjadi negara terbesar emitter GRK global dengan menghasilkan emisi mencapai 14.3 Gt CO2 eq (28.7 persen). Kemudian diikuti negara emitter lainnya yakni Amerika Serikat sebesar 5.64 Gt CO2 eq (11.3 persen), Uni Eropa sebesar 3.44 Gt CO2 eq (6.9 persen), dan India sebesar 2.21 Gt CO2 eq (4.4 persen).
Gambar 7 : Perbandingan GRK Indonesia Versus Top-4 Emitter Global (Sumber: Oliver et al., 2022)
Jika dibandingkan Top-4 negara emitter GRK global tersebut, emisi GRK Indonesia hanya sebesar 1.04 Gt CO2 eq pada tahun 2020. Kontribusi Indonesia tersebut masih relatif kecil dibandingkan negara emitter utama lainnya yakni dengan pangsa hanya sebesar 2.1 persen terhadap total emisi GRK global. Sehingga tudingan yang menyebutkan Indonesia sebagai emitter terbesar GRK global tidaklah sesuai dengan fakta dan data yang ada.
Referensi
- Ritchie H, Roser M. 2017. CO2 and Other Greenhous Gas Emissions [internet]. Tersedia pada: https://ourworldindata.org/co2-and-other-greenhouse- gas-emissions
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
Mitos 6-06
Emisi Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) sangat besar kontribusinya dalam emisi GRK global
Land Use, Land Use Change and Forestry (LULUCF) banyak terjadi di negara-negara yang sedang membangun atau negara berkembang. Perubahan penggunaan lahan (Land Use Change/LUC) maupun konversi dari hutan menjadi non-hutan di negara-negara yang sedang membangun, masih marak terjadi.
LULUCF tidak selalu menghasilkan emisi. Hal ini tergantung pada perubahan stok karbon. Jika LUC terjadi dari ekosistem dengan stok karbon tinggi ke ekosistem dengan stok karbon rendah, misalnya perubahan dari perkebunan kelapa sawit menjadi semak belukar, maka perubahan tersebut akan disertai dengan peningkatan emisi (carbon source).
Hal ini disebabkan karena karbon stok perkebunan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dengan karbon stok perkebunan kedelai. Sebaliknya, jika LUC terjadi dari ekosistem dengan stok karbon rendah ke ekosistem dengan stok karbon tinggi, misalnya perubahan dari semak belukar menjadi perkebunan kelapa sawit, maka perubahan tersebut justru menyerap emisi CO2 (carbon sink).
Indirect Land Use Change (ILUC) merupakan bagian dari LULUCF tersebut. Council of the European Union (2018) mendefinisikan ILUC yakni :
“Indirect land-use change occurs when the cultivation of crops for biofuels, bioliquids and biomass fuels displaces traditional production of crops for food and feed purposes. This additional demand may increase the pressure on land and can lead to the extension of agricultural land into areas with high carbon stock such as forests, wetlands and peat land causing additional greenhouse gas emissions”.
Council of the European Union (2018)
Kata kunci ILUC adalah Land Use Change (LUC), sedangkan faktor yang men-drive LUC tersebut bisa bersifat direct (dLUC) maupun indirect (ILUC) sehingga dLUC dan ILUC seharusnya sudah termasuk ke dalam perhitungan LULUCF global.
Secara internasional (Gambar 8), total emisi GRK global tahun 2019 mencapai 51.7 Gt CO2 eq (tidak termasuk emisi LULUCF). Jika dimasukkan emisi LULUCF, maka total emisi GRK dunia mencapai 58.8 Gt CO2 eq. Besarnya emisi LULUCF global tersebut sebesar 7.1 Gt CO2 eq atau sekitar 12 persen dari total emisi GRK dunia tahun 2019.
Gambar 8 : Perkembangan Emisi LULUCF dalam Emisi GRK Global (Sumber: Olivier et al., 2022)
Dengan demikian, kontribusi emisi LULUCF terhadap total emisi GRK global relatif kecil yakni dibawah emisi GRK sektor energi bahkan dibawah emisi GRK sektor pertanian. Dengan fakta tersebut, mempersoalkan emisi LULUCF, termasuk di dalamnya emisi ILUC, tidak terlalu signifikan dalam upaya menurunkan emisi GRK global. Upaya untuk mengurangi penggunaan energi fosil secara global tetap menjadi langkah strategis untuk menurunkan emisi GRK global.
Referensi
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
Mitos 6-07
Perkebunan kelapa sawit merupakan sumber utama emisi GRK global dari sektor pertanian
Pada dasarnya, seluruh aktivitas manusia menghasilkan emisi GRK, termasuk sektor pertanian. Perkebunan kelapa sawit yang termasuk dalam sektor pertanian dunia, selain juga menyerap karbon dioksida (C02), juga pasti menghasilkan emisi namun karbon dioksida yang diserap lebih besar dibandingkan dengan yang dilepaskan ke atmosfer bumi. Apakah perkebunan kelapa sawit menjadi kontributor terbesar emisi GRK global? Hal ini perlu didiskusikan.
Sektor pertanian dunia (termasuk perkebunan kelapa sawit) tahun 2019 berkontribusi sebesar 20 persen (10.6 Gt CO2 eq) dari total emisi GRK dunia (Olivier et al., 2022). Berdasarkan sumber emisi, FAO (2021) mengungkapkan sumber emisi terbesar pada sektor pertanian global (Gambar 9) berasal dari sektor peternakan dengan pangsa sebesar 76 persen. Emisi dari peternakan global tersebut mencakup :
- Enteric fermentation (67 persen),
- Manure management (7 persen),
- Manure left on pasture (2 persen)
- Manure applied to soil (0.4 persen).
Gambar 9 : Sumber Emisi Sektor Pertanian Global (Sumber: FAO, 2020)
Selain dari sektor peternakan, emisi sektor pertanian global yang relatif besar juga dihasilkan dari kegiatan budidaya padi (rice cultivation) sebesar 17 persen. Emisi juga dihasilkan dari pembakaran padang rumput (burning savana) dan sisa tanaman (burning crop residue) masing-masing dengan kontribusi sebesar 4 persen dan 1 persen. Kontribusi penggunaan pupuk anorganik (synthetic fertilizers) sebesar 2 persen. Pemanfaatan lahan gambut global (cultivated organic soil) juga menghasilkan emisi dengan kontribusi sebesar 0.3 persen.
Data di atas menunjukkan bahwa sektor peternakan dan pertanian padi menyumbang sekitar 93 persen emisi GRK sektor pertanian global. Perkebunan kelapa sawit tidak termasuk pada sektor peternakan dan pertanian padi tersebut. Sehingga cukup jelas bahwa perkebunan kelapa sawit global tidak termasuk sebagai kontributor utama emisi GRK sektor pertanian global.
Referensi
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
- FAO] Food Agricultural Organization. 2020. Agricultural Emission by Country [internet]. Tersedia pada: http://www.fao.org/faostat/en/#data/GT
Mitos 6-08
Emisi minyak sawit paling besar dibandingkan emisi minyak nabati lainnya
Minyak nabati menjadi salah satu bahan pangan masyarakat dunia yang direkomendasikan oleh FAO. Terdapat 17 jenis sumber minyak nabati dunia, dimana empat terbesar yang menguasai pangsa 90 persen dari produksi minyak nabati dunia adalah minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Pertanyaannya adalah diantara keempat minyak nabati utama dunia tersebut, minyak nabati mana yang paling boros menghasilkan emisi dan minyak nabati mana yang paling hemat emisi?
Berdasarkan studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) menemukan bahwa pada level ekosistem global, untuk setiap ton minyak nabati yang dihasilkan (Gambar 10), sumber minyak nabati yang paling boros emisi adalah minyak kedelai. Kemudian disusul oleh minyak kacang tanah, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Sedangkan sumber minyak nabati yang paling hemat emisi adalah minyak sawit.
Gambar 10 : Perbandingan Emisi Karbon antara Sumber Minyak Nabati Dunia (Sumber: Beyer et al., 2020; Beyer dan Rademacher, 2021; PASPI Monitor, 2021b)
Jika dibandingkan dengan emisi karbon yang dihasilkan untuk memproduksi minyak sawit, emisi karbon dari produksi minyak kedelai lebih tinggi 425 persen, emisi minyak kacang tanah lebih tinggi 424 persen, emisi minyak rapeseed lebih tinggi 242 persen, dan emisi minyak bunga matahari lebih tinggi 225 persen.
Hasil studi tersebut membuktikan bahwa produksi minyak nabati dari minyak sawit adalah yang paling hemat emisi karbon. Sedangkan emisi karbon dari produksi minyak nabati lainnya (minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari) jauh lebih boros.
Referensi
- Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2020.02.16.951301
- Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact? Sustainability. 13: 1813. https://doi.org/10.3390/su13041813.
- PASPI Monitor. 2021b. Carbon Emissions in Oil Palm Plantation versus Other Vegetable Oil Plantations. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(46): 569-574.
Mitos 6-09
Perkebunan kelapa sawit secara neto bukan penyerap karbon
Setiap detik atmosfer bumi dijejali sampah karbon dioksida dari kegiatan manusia di planet bumi. Manusia, hewan, kendaraan bermotor, dan pabrik-pabrik di seluruh dunia membuang karbon dioksida (emisi GRK) yang berlebihan ke atmosfer bumi. Hal ini telah memicu terjadinya pemanasan global. Untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi selain menurunkan emisi gas rumah kaca, juga diperlukan penyerapan kembali gas rumah kaca tersebut.
Sama seperti tanaman/tumbuhan lainnya, perkebunan kelapa sawit berperan solutif pada perubahan iklim melalui penyerapan karbon atau carbon sink (PASPI Monitor, 2020; 2021). Melalui proses fotosintesis asimilasi, tanaman kelapa sawit menyerap CO2 dari atmosfer bumi (Hardter et al., 1997; Henson, 1999; Fairhurst dan Hardter, 2003) dan menyimpannya menjadi stok karbon dalam bentuk biomassa baik yang berada di atas tanah (above ground biomass) maupun di bawah tanah (below ground biomass).
Tabel 1 : Carbon Sink Perkebunan Kelapa Sawit Versus Hutan Tropis
Indikator | Hutan Tropis | Kebun Sawit |
---|---|---|
Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun) | 163.5 | 161.0 |
Total respirasi (ton CO2/ha/tahun) | 121.1 | 96.5 |
Asimilasi neto (ton CO2/ha/tahun) | 42.4 | 64.5 |
Produksi oksigen (ton O2/ha/tahun) | 7.09 | 18.70 |
Indeks luas daun | 7.3 | 5.6 |
Efisiensi fotosintesis (%) | 1.73 | 3.18 |
Efisiensi konversi radiasi (g/mj) | 0.86 | 1.68 |
Total biomas di area (ton/ha) | 431 | 100 |
Incremental biomas (ton/ha/tahun) | 5.8 | 8.3 |
Produktivitas bahan kering (ton/ha/tahun) | 25.7 | 36.5 |
Tanaman kelapa sawit yang merupakan tanaman tahunan (parennial plant) dengan sistem perakaran yang intensif, berukuran relatif besar, pertumbuhan cepat, dan produksi tinggi dengan siklus pertanaman selama 25 tahun atau lebih. Karakteristik tanaman yang demikian membuat perkebunan kelapa sawit berperan menjadi “mesin biologis” penyerap karbon dioksida (CO2) yang cukup besar dari atmosfir bumi.
Berdasarkan studi Henson (1999), secara rataan besarnya carbon sink dari perkebunan kelapa sawit secara neto mencapai 64.5 ton CO2 per hektar per tahun (Tabel 1). Penyerapan neto CO2 pada perkebunan kelapa sawit tersebut lebih besar dibandingkan dengan hutan tropis. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit secara neto mampu menyerap karbon dioksida dari atmosfer bumi dan menghasilkan oksigen (PASPI Monitor, 2021).
Uraian di atas menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit secara neto adalah menyerap karbon (carbon sink). Oleh karena itu, perkebunan kelapa sawit merupakan bagian solusi dari upaya global dalam menurunkan emisi karbon dari atmosfer bumi. Kontribusi perkebunan kelapa sawit dapat dilakukan melalui dua jalur sekaligus yakni menyerap kembali karbon dioksida dari atmosfer bumi melalui proses fotosintesis dan mengurangi emisi karbon dioksida dengan mengganti (substitusi) energi fosil boros emisi dengan biofuel sawit yang hemat emisi.
Referensi
- Hardter R, Woo YC, Ooi SH. 1997. Intensive Plantation Cropping: A Source of Sustainable Food and Energy Production in The Tropical Rain Forest Areas In South Asia. Forest Ecology and Management. 91(1): 93-102.
- Henson I. 1999. Comparative Ecophysiology of Palm Oil and Tropical Rainforest. Oil Palm and Environment: A Malaysian Perspective. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Oil Palm Brower Council.
- PASPI Monitor. 2020g. Palm Oil Industry as Part of the Global Warming and Climate Change Solution. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(09): 49-54
- Oil Palm Plantations Are Part Of The “Lungs” For The Earth Ecosystem. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(10): 333-338.
- The Palm Oil Industry as a Global Climate Change Solution. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(39): 521-526
- Fairhurst T, R Hardter. 2003. Oil Palm Management for Large and Sustainable Yields. International Potash Institute. https://www.ipipotash.org/publications/publication-59
Mitos 6-10
Kemampuan emission saving pada biodiesel sawit lebih rendah dibandingkan biodiesel nabati lain
Penghematan emisi (emission saving) dari berbagai sumber biodiesel dunia telah menjadi perdebatan panjang para ahli. Perdebatan berkisar antara metodologi yang digunakan, atau apakah menggunakan salah satu atau kombinasi dari direct emission, direct land use change emission, dan indirect land use change emission. Ketidakpastian (uncertainty) seberapa besar penghematan emisi semakin tinggi karena berbagai ketidakpastian Life Cycle Analysis yang digunakan pada ketiga metode tersebut (Liska dan Cassman, 2008; Liska et al., 2009; Malca dan Freire, 2011; Liska, 2015).
Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman yang memiliki kemampuan fotosintesis yang secara neto menyerap karbon dioksida (carbon sink) dari atmosfer bumi serta menyimpannya (carbon sequestration) baik dalam bentuk biomassa sawit maupun produksi minyak sawit. Dan jika dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya, emisi minyak sawit jauh lebih rendah.
Mengingat minyak nabati merupakan bahan baku utama biodiesel, maka biodiesel sawit (palm oil-based biodiesel) lebih hemat emisi dibandingkan dengan biodiesel kedelai (soybean-based biodiesel), biodiesel rapeseed (rapeseed-based biodiesel), dan biodiesel bunga matahari (sunflower-based biodiesel). Dan jika dibandingkan dengan emisi karbon dari solar fosil, maka biodiesel sawit secara neto jauh lebih hemat emisi.
Berbagai penelitian membuktikan bahwa emission saving dari biodiesel sawit bervariasi antar peneliti. European Commission Joint Research Centre (2013) mengungkapkan bahwa biodiesel sawit yang dihasilkan dari PKS (CPO Mill) yang menerapkan teknologi methane capture mampu menghemat emisi (emission saving) mencapai 62 persen (Gambar 11). Kemampuan biodiesel sawit tersebut juga lebih tinggi dibandingkan biodiesel nabati lain seperti biodiesel rapeseed (45 persen), biodiesel kedelai (40 persen), dan biodiesel bunga matahari (58 persen).
Gambar 11 : Pengurangan Emisi CO2 dari Berbagai Jenis Bahan Baku Biodiesel dibandingkan dengan Emisi Diesel (Sumber: European Commission Joint Research Centre, 2013)
Hasil penelitian Mathews dan Ardyanto (2015) juga mendukung temuan Uni Eropa tersebut, dimana penggunaan biodiesel sawit sebagai pengganti diesel fosil dapat menurunkan emisi GRK di atas 60 persen. Studi Euro Lex (2009) juga mengungkapkan bahwa biodiesel sawit mampu menghemat emisi sekitar 62 persen lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan dari fosil.
Banyak kajian ilmiah (Gambar 12) yang dilakukan para ahli juga menunjukkan kemampuan penghematan emisi oleh biodiesel sawit berkisar 40-71 persen.
Gambar 12 : Riset Internasional terkait Penghematan Emisi Biodiesel Sawit (Sumber: PASPI Monitor, 2020g)
Uraian di atas menunjukkan bahwa penghematan emisi GRK biodiesel sawit lebih tinggi dibandingkan dengan penghematan emisi biodiesel kedelai, biodiesel rapeseed, dan biodiesel bunga matahari. Dengan kata lain, penggunaan biodiesel minyak sawit sebagai pengganti diesel fosil dapat menurunkan emisi GRK yang lebih besar dibandingkan dengan jika menggunakan biodiesel minyak nabati lainnya.
Referensi :
- European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation. Tersedia pada: https://ec.europa.eu/environment/forests/pdf/1.%20Report%20analy sis%20of%20impact.pdf
- Euro-Lex. 2009. Directive 2009/28/EC of the European Parliament and of the Council Of 23 April 2009 on the Promotion of the Use of Energy from Renew- able Sources and Amending and Subsequently Repealing Directives 2001/77/EC and 2003/30/EC. L 140/16. Tersedia pada: http://eur- lex.europa.eu
- Liska AJ, Cassman KG. 2008. Towards Standardization of Life-Cycle Metrics for Biofuels: Greenhouse Gas Emissions Mitigation and Net Energy Yield. Journal Biobased Materials Bioenergy. 2(3): 187–203. http://dx.doi.org/10.1166/jbmb.2008.402
- Liska AJ, Yang HS, Bremer VR, Klopfenstein TJ, Walters DT, Erickson GR, Cassman KG. 2009. Improvements in Life Cycle Energy Efficiency and Greenhouse Gas Emissions of Corn-Ethanol. Journal of Industrial Ecology. 13(1): 58–74. https://doi.org/10.1111/j.1530-9290.2008.00105.x
- Liska AJ. 2015. Eight Principles of Uncertainty for Life Cycle Assessment of Biofuel Systems. http://dx.doi.org/10.1515/9783110275896-014
- Malca J, Freire F. 2011. Uncertainty Analysis of the Life-Cycle Greenhouse Gas Emissions and Energy Renewability of Biofuels. Tersedia pada: https://www.intechopen.com/chapters/19177
- Mathews J, Ardiyanto A. 2015. Estimation of Greenhouse Gas Emissions for Palm Oil Biodiesel Production: A Review and Case Study within the Council Directives 2009/28/Ec of the European Parliament. Journal of Oil Palm, Environment and Health. 6:25-41. http://dx.doi.org/10.5366/jope.2015.03
Mitos 6-11
Industri sawit global bukan menjadi solusi untuk pencapaian Net Carbon Sink (NCS)
Diskusi terkait penurunan emisi global menjadi topik hangat pada beberapa waktu terakhir, terutama setelah pelaksanaan COP-26 Glassglow di awal November tahun 2021. Negara di dunia, termasuk Indonesia, menargetkan pencapaian Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2060 atau lebih cepat. Untuk mencapai target tersebut, semua sektor diharapkan dapat berkontribusi pada pencapaian Net Carbon Sink (NCS) tersebut.
Industri sawit sebagai salah satu industri/sektor ekonomi yang penting baik bagi Indonesia maupun dunia, memiliki potensi menjadi sektor ekonomi yang berkontribusi pada pencapaian NCS (PASPI Monitor, 2021s). Perkebunan kelapa sawit secara alamiah lebih banyak menyerap karbon dioksida dari atmosfer bumi dibandingkan dengan melepas karbon dioksida ke atmosfer bumi sehingga berkontribusi untuk mencapai NCS. Selain itu, pemanfaatan bioenergi/biofuel sawit, misalnya biodiesel sawit, sebagai pengganti energi fosil dapat menghemat emisi karbon global ke atmosfer bumi.
Untuk memperbesar kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap pencapaian NCS masih dapat dilakukan melalui perbaikan tata kelola dan teknologi pengolahan. Aplikasi teknologi pengolahan yang dimaksud adalah penangkapan emisi pada Palm Oil Mill Effluent (POME) dengan teknologi Methane Capture. Selain itu, pemanfaatan energi biomassa sawit sebagai pengganti energi fosil pada CPO-Mill serta penggunaan pupuk organik dan hayati sebagai pengganti pupuk anorganik. Teknologi yang demikian dapat menurunkan emisi GRK pada perkebunan kelapa sawit.
Berbagai studi (Yee et al., 2009; Matthews dan Ardianto, 2015; Seng dan Tamahrajah, 2021; Vicenza, 2021) menunjukkan bahwa perbaikan tata kelola dan optimalisasi Good Agricultural Practices (GAP) pada perkebunan kelapa sawit serta teknologi pengolahan pada CPO-Mill mampu menurunkan emisi GRK secara signifikan (Gambar 13).
Gambar 13 : Emisi GRK (CO2 eq) pada Berbagai Kondisi Pengelolaan, GAP dan Teknologi di Perkebunan Kelapa Sawit, dan CPO-Mill
Pada kondisi (A), dimana perkebunan kelapa sawit tidak menerapkan GAP secara penuh, tidak menggunakan teknologi methane capture untuk pengolahan POME, dan menggunakan energi pada CPO-Mill yang bersumber dari energi eksternal (listrik, diesel fosil) menghasilkan emisi karbon dioksida yang relatif cukup besar mencapai 2.94 ton CO2 eq per ton CPO.
Penurunan emisi yang sangat signifikan terjadi pada kondisi (E), dimana perkebunan kelapa sawit telah menerapkan GAP secara penuh, aplikasi teknologi methane capture, serta pemanfaatan biogas dan biomassa sawit sebagai sumber energi pada CPO-Mill. Kondisi tersebut menghasilkan emisi karbon yang sangat rendah yakni hanya sebesar 0.07 ton CO2 eq per ton CPO.
Studi tersebut menunjukkan bahwa aplikasi teknologi berupa implementasi GAP, teknologi methane capture, serta penggunaan biomassa sawit dan biogas POME sebagai sumber energi bagi CPO-Mill, mampu menurunkan emisi sekitar 96 persen. Sehingga jika emisi ini digabungkan dengan kemampuan carbon sink pada hasil neto fotosintesis, maka akan semakin memperbesar kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap pencapaian target NCS.
Besaran carbon sink tersebut juga masih dapat ditingkatkan melalui peningkatan produktivitas (PASPI Monitor, 2021b). Hasil studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) mengungkapkan bahwa peningkatan produktivitas minyak sawit global sebesar 54 persen, dapat menurunkan emisi perkebunan kelapa sawit global sebesar 35 persen. Peningkatan produktivitas akan menurunkan beban emisi baik melalui peningkatan carbon sink pada proses fotosintesis maupun menurunkan carbon source per ton minyak yang dihasilkan.
Dengan demikian, industri sawit memiliki potensi besar untuk berkontribusi pada pencapaian NCS. Penerapan GAP, teknologi methane capture, pemanfaatan energi biogas dan biomassa sawit, serta peningkatan produktivitas kebun, yang sedang dilaksanakan pada perkebunan kelapa sawit dapat memastikan industri sawit menjadi bagian solusi dari pencapaian NCS.
Referensi :
- Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2020.02.16.951301
- Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact? Sustainability. 13: 1813. https://doi.org/10.3390/su13041813.
- Mathews J, Ardiyanto A. 2015. Estimation of Greenhouse Gas Emissions for Palm Oil Biodiesel Production: A Review and Case Study within the Council Directives 2009/28/Ec of the European Parliament. Journal of Oil Palm, Environment and Health. 6:25-41. http://dx.doi.org/10.5366/jope.2015.03
- PASPI Monitor. 2021s. Palm Oil Industry Will Become A Net Carbon Sink. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(47): 575-580.
- Seng QK, J Tamahrajah. 2021. My Say: The Palm Oil Industry Can Be Net-Zero Carbon by 2040. Edge Malaysia Weekly. Tersedia pada: https://www.theedgemarkets.com/article/my-say-palm-oil-industry- can-be-netzero-carbon-2040
- Vincenza M. 2021. The Environmental Impacts of Palm Oil and Main Alternative Oils. Euro-Mediterranean Centre on Climate Change (CMCC).
- Yee KF, KT Tan, AZ Abdullah, KT Lee. 2009. Life Cycle Assessment of Palm Biodiesel: Revealing Facts and Benefits for Sustainability. Applied Energy. 86:189–196. https://doi.org/10.1016/j.apenergy.2009.04.014
Mitos 6-41
Pengembangan biodiesel sawit kontradiktif dengan upaya penurunan emisi di Indonesia
Manfaat yang tak kalah pentingnya dari pengembangan biodiesel sawit di Indonesia adalah manfaat lingkungan (environment benefit). Biodiesel sawit digunakan untuk mensubstitusi penggunaan solar fosil yang merupakan salah satu kontributor utama emisi GRK di setiap negara, termasuk Indonesia. Biodiesel sawit lebih unggul dari petrodiesel dalam hal clean-burning, non-toxicity, renewablity, sustainability and acceptability, (Zahan et al., 2018). Substitusi solar fosil dengan biodiesel sawit akan menurunkan emisi GRK.
Selama implementasi kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia, penghematan emisi mengalami peningkatan yang cukup signifikan (Gambar 14). Pengurangan emisi GRK meningkat dari hanya sekitar 592.3 ribu ton CO2 eq tahun 2010 meningkat menjadi 22.3 juta ton CO2 eq tahun 2020 atau peningkatannya sebesar 400 kali lipat selama periode tahun tersebut.
Gambar 14 : Pengurangan Emisi GRK dari Mandatori Biodiesel yang Terus Meningkat selama Periode Tahun 2010-2020 (Sumber: Kementerian ESDM dalam PASPI Monitor, 2020i)
Penghematan emisi GRK dari mandatori biodiesel tersebut berkontribusi penting bagi pencapaian Paris Agreement. Dalam dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) bahwa pada tahun 2030, target penurunan emisi GRK Indonesia mencapai 29 persen dengan inisiatif sendiri dan 41 persen dengan dukungan kerjasama internasional.
Untuk mencapai target NDC tersebut, pengurangan emisi GRK dari sektor energi dan transportasi tahun 2020 ditargetkan sebesar 0.038 Giga Ton CO2 eq. Dengan mandatori biodiesel B30 tahun 2020 mampu mengurangi emisi sekitar 59 persen dari target sektor energi dan transportasi. Dengan demikian biodiesel sawit telah membantu Indonesia untuk mencapai target NDC.
Uraian di atas menunjukkan bahwa industri sawit telah menjadi bagian solusi bagi untuk mewujudkan komitmen Indonesia dalam rangka penurunan emisi GRK global. Kontribusi tersebut diwujudkan melalui penggantian solar fosil yang lebih boros emisi dengan biodiesel sawit yang lebih hemat emisi. Peluang industri sawit nasional untuk menurunkan emisi GRK, khususnya dari sektor energi dan transportasi, juga akan semakin terbuka lebar di masa depan melalui pengembangan green fuel sawit (green diesel/diesel sawit, green gasoline/bensin sawit, dan green avtur/avtur sawit) untuk menggantikan konsumsi diesel fosil, bensin fosil, dan avtur fosil yang terus meningkat. Selain itu pemanfaatan bioenergi sawit generasi kedua (berbasis biomassa) dan bioenergi generasi ketiga (berbasis POME) juga potensial untuk dijadikan sebagai sumber energi yang lebih sustainable.
Referensi :
- PASPI Monitor. 2020i. Prognosis of New CPO Export Levy and Alternative Implementation to Minimize The Worse-Off. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(16): 99-106.
- Zahan KA, M Kano. 2018. Biodiesel Production from Palm Oil, Its By- Products, and Mill Effluent; A Review. Energies. 11(8): 213. https://doi.org/10.3390/en11082132