Parlemen Uni Eropa telah menyetujui untuk mengadopsi undang-undang baru yaitu UU Anti-Produk Deforestasi atau European Union Deforestation-Free Product Regulation (EUDR) pada tanggal 19 April 2023 (PASPI Monitor, 2022a,b,c). Kebijakan EUDR tersebut dengan cut-off date deforestasi per tanggal 31 Desember 2020, dimana kebijakan tersebut melarang seluruh komoditi dan produk turunan yang terkait dengan deforestasi (forest risk commodity) ke pasar Uni Eropa. Tahap awal forest risk commodity yang dimaksud yakni minyak sawit, kedelai, sapi, kakao, kopi, wood product dan pulp, dan karet serta produk turunannya.
Jurnal Terkait : Palm Oil in “Deforestation-Free” Countries/Regions
Untuk komoditi/produk yang termasuk ke dalam forest risk commodity yang telah ditanam sebelum 31 Desember 2020 diwajibkan ikut uji tuntas (due diligence) ketertelusuran (traceability) dengan metodologi yang ditetapkan EU. Selain memastikan bebas dari deforestasi dan forest degradation, due diligence juga ditujukan untuk untuk menetapkan level risiko (low risk, standard risk, high risk). Sertifikat keberlanjutan yang telah diperoleh selama ini khususnya pada minyak sawit seperti RSPO, ISPO, dan ISCC, tampaknya belum mampu meyakinkan EU sebagai jaminan bahwa produk tersebut bebas deforestasi dan forest degradation.
Terlepas dari pro-kontra dan polemik (PASPI Monitor, 2022a), kebijakan EUDR tersebut memiliki dampak yang luas bagi industri sawit nasional, mengingat Indonesia merupakan produsen terbesar minyak sawit dunia dan pemasok terbesar produk sawit ke EU selama ini. Di satu sisi, Indonesia memang harus mengajukan protes atas kebijakan EUDR dengan berbagai argumen yang valid, namun di sisi lain industri sawit nasional juga perlu memasang “kuda-kuda” untuk merespon dan menyiasati tuntutan kebijakan EUDR tersebut.
Artikel ini akan mendiskusikan dampak kebijakan EUDR terhadap industri sawit Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terkait pilihan strategi industri sawit nasional dalam menyiasati kebijakan EUDR tersebut.
Deforestasi dan Kebijakan European Union Deforestation Free (EUDR)
Deforestasi global yang menjadi argumen EUDR tidak hanya terjadi saat ini, tetapi juga telah terjadi sejak awal peradaban manusia di planet Bumi. Bahkan deforestasi merupakan suatu fenomena normal dalam tahapan pembangunan sejak awal pembangunan dimulai (Walker, 1993; Egli, 2001; Bhattarai et al., 2001; Kaplan et al., 2017; Keenan et al., 2015; PASPI Monitor, 2021).
Kaitan tahapan pembangunan global dengan deforestasi telah terkonfirmasi dengan jejak deforestasi global (PASPI, 2023). Proses pembangunan yang lebih dahulu berlangsung di daerah sub-tropis (seperti daratan Eropa, Amerika Utara). Deforestasi hutan (temperate forest) di kawasan sub-tropis tersebut terjadi lebih awal yakni sebelum tahun 1900-an (Gambar 1). Puncak deforestasi di temperate forest terjadi pada periode tahun pre-1700. Deforestasi yang menghabiskan virgin forest di Amerika Serikat terjadi dalam periode tahun 1600-1900 (Tchir et al., 2020).
Gambar 1 : Deforestasi Berdasarkan Tipe Hutan Selama Periode Pra-1700 hingga 2000 (Sumber: FAO, 2012)
![Deforestasi Berdasarkan Tipe Hutan Selama Periode Pra 1700 hingga 2000 [Jurnal 2023] PILIHAN STRATEGIS INDUSTRI SAWIT NASIONAL MERESPON KEBIJAKAN EUROPEAN UNION DEFORESTATION-FREE REGULATION [EUDR] Deforestasi Berdasarkan Tipe Hutan Selama Periode Pra 1700 hingga 2000](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/02/Deforestasi-Berdasarkan-Tipe-Hutan-Selama-Periode-Pra-1700-hingga-2000.webp)
Kemudian negara-negara di daerah tropis yang baru belakangan mulai membangun perekonomiannya sehingga deforestasi hutan tropis (tropical forest) mulai intensif terjadi sejak tahun 1900-an. Puncak deforestasi hutan tropis terjadi pada periode tahun 1950-1979 (FAO, 2012; Roser, 2012).
Jejak deforestasi tropical forest dan non-tropical forest tersebut juga diperkuat oleh studi Matthew (1983). Pada periode pre-pertanian sampai tahun 1980, deforestasi hutan dunia telah mencapai 701 juta hektar yang terdiri dari deforestasi hutan non-tropis (653 juta hektar) dan deforestasi hutan tropis (48 juta hektar).
Tabel 1 : Perubahan Hutan (Deforestasi) Dunia Pada Periode Pra-Pertanian hingga Tahun 1980
Vegatasi Pra-Pertanian (Juta Hektar) | Vegetasi 1980 (Juta Hektar) | Deforestasi (Juta Hektar) | Deforestasi (%) | |
---|---|---|---|---|
Total hutan dunia | 4,628 | 3,927 | 701 | 15.15 |
Hutan hujan tropis | 1,277 | 1,229 | 48 | 3.75 |
Hutan non-tropis | 3,351 | 2,698 | 653 | 19.50 |
Woodland | 1,523 | 1,310 | 213 | 13.80 |
Semak Belukar (Shrubland) | 1,299 | 1,212 | 87 | 6.70 |
Padang Rumput (Grassland) | 3,309 | 2,743 | 647 | 19.10 |
Tundra | 734 | 734 | – | – |
Gurun (Desert) | 1,582 | 1,557 | 25 | 1.60 |
Tanaman Budidaya (Cultivation) | 93 | 1,756 | -1663 | – |
Sebagian besar deforestasi hutan sub-tropis terjadi di daratan Eropa dan Amerika Utara. Hal ini tercermin dari penurunan forest cover di negara-negara Eropa sebelum tahun 1800 (Kaplan et al., 2017) dan di Amerika Utara (USDA, 2014). Hal ini juga terkonfirmasi oleh hilangnya hutan asli (virgin forest) di daratan Eropa. Studi Sabatini et al. (2018) dan Barredo et al. (2021) mengungkapkan bahwa luas hutan primer Eropa saat ini hanya tersisa 1.4 juta hektar yang tersebar di di Finlandia, Ukraina, Bulgaria dan Rumania.
Gambar 2 : Sejarah Penurunan Forest Cover Hutan Daratan Eropa (Sumber: Kaplan et al., 2009; PASPI, 2023)
![Gambar 2 Penurunan Forest cover Hutan Daratan Eropa [Jurnal 2023] PILIHAN STRATEGIS INDUSTRI SAWIT NASIONAL MERESPON KEBIJAKAN EUROPEAN UNION DEFORESTATION-FREE REGULATION [EUDR] Gambar 2 Penurunan Forest cover Hutan Daratan Eropa](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2022/10/Gambar-2-Penurunan-Forest-cover-Hutan-Daratan-Eropa.webp)
Gambar 3 : Sejarah Deforestasi di Daratan Amerika Serikat 1620-1920 (Sumber: USDA, 2014; PASPI, 2023)
![Sejarah Deforestasi di Daratan Amerika Serikat 1620 1920 [Jurnal 2023] PILIHAN STRATEGIS INDUSTRI SAWIT NASIONAL MERESPON KEBIJAKAN EUROPEAN UNION DEFORESTATION-FREE REGULATION [EUDR] Sejarah Deforestasi di Daratan Amerika Serikat 1620 1920](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/02/Sejarah-Deforestasi-di-Daratan-Amerika-Serikat-1620-1920.webp)
Studi Houghton (1996) juga mengkonfirmasi pola deforestasi global tersebut. Dalam periode tahun 1850-1990, luas area lahan global yang telah dibuka meningkat dari 289 juta hektar menjadi 2.52 miliar hektar yang terdiri dari temperate grassland seluas 1.6 miliar hektar, hutan tropis seluas 508 juta hektar, hutan temperate seluas 91 juta hektar, dan hutan boreal seluas 4 hektar.
Selama periode tahun 1850-1990, volume logging dari hutan boreal dan temperate meningkat dari 1 juta hektar per tahun menjadi 3.5 juta hektar per tahun. Peningkatan volume logging juga terjadi dari temperate forest yaitu dari 3 juta hektar per tahun menjadi 6 juta hektar per tahun. Sementara itu, volume logging dari hutan tropis pada tahun 1850 masih sangat kecil yaitu kurang 0.5 juta hektar per tahun dan kemudian meningkat menjadi 2 juta hektar per tahun tahun 1950 dan menjadi 8 juta hektar per tahun tahun 1980. Dengan demikian, selama periode tersebut sekitar lebih dari 1 juta hektar hutan dunia telah mengalami logging atau sekitar 77 persen lebih tinggi dari konversi hutan menjadi lahan pertanian.
Bahkan saat ini EU juga terlibat secara tidak langsung pada deforestasi dunia melalui tingginya konsumsi yang melampaui kemampuan produksi pertanian domestiknya sehingga harus mengimpor komoditi dari berbagai negara (European Commission, 2013). Sekitar 19 persen deforestasi hutan tropis yang terjadi pada periode 2008-2017 adalah untuk konsumsi EU (Pendrill et al., 2020).
Dengan jejak deforestasi dunia tersebut dapat dikatakan bahwa hampir seluruh daratan dunia yang menjadi areal pertanian, industri, dan pemukiman/kota saat ini memiliki keterkaitan dengan deforestasi masa lalu. Daratan EU saat ini juga berasal dari deforestasi masa lalu. EU tidak perlu membohongi masa lalu dengan bersikap seakan-akan EU tak pernah terkait deforestasi dan dengan kebijakan EUDR tersebut melemparkan tudingan dan beban ke negara-negara tropis.
Kawasan EU merupakan kawasan yang banyak mengimpor komoditas/produk pertanian termasuk minyak sawit dari berbagai negara. Berdasarkan studi Kissinger et al. (2012), European Commission (2013), dan Pendrill et al. (2020) mengungkapkan bahwa komoditi/produk pertanian yang diimpor EU banyak terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan di berbagai negara eksportir sehingga EU sesungguhnya juga merupakan ikut melakukan/mendorong (driver) deforestasi dan degradasi hutan (embodied deforestation).
Menurut keyakinan EU, dampak dari deforestasi dan degradasi hutan (eksternalitas negatif) yang notabennya juga dilakukan EU di masa lalu menyebabkan terjadinya biodiversity loss dan emisi karbon yang berkontribusi pada global climate change. Kondisi ini terjadi karena terjadi kegagalan pasar (market failure), dimana harga komoditi/produk terkait hutan tidak mencerminkan adanya eksternalitas tersebut. Selain itu juga terjadi kegagalan regulasi (regulatory failure) global yang gagal mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dunia. Oleh karena itu, untuk mengatasi market and regulatory failure tersebut diperlukan koreksi kegagalan pasar dan regulasi tersebut melalui EUDR.
Tujuan dari EDR (European Commission, 2018; European Commission, 2021; Council of European Union, 2023; European Union, 2023) adalah untuk mengoreksi kegagalan pasar dan regulasi global sehingga dapat meminimumkan konsumsi EU pada produk-produk yang berasal dari rantai pasok yang terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan serta meningkatkan konsumsi EU pada produk-produk legal dan berasal dari rantai pasok yang bebas dari deforestasi dan degradasi hutan.
Pada dasarnya EUDR merupakan suatu prosedur uji tuntas (due diligence) terkait dengan traceability untuk memastikan rantai pasok komoditi/produk bebas dari deforestasi, legalitas, dan degradasi hutan di negara-negara produsen minyak sawit. Secara garis besar terdapat tiga tahap EUDR yakni:
- Pertama, pendataan dan pengungkapan rantai pasok hulu-hilir produk/komoditi termasuk geolocation (koordinat lokasi) dan legalitas.
- Kedua, risk assessment untuk mengukur tingkat risiko rantai pasok komoditi/produk terkait legalitas, deforestasi, dan degradasi hutan yang kemudian diklasifikasikan menjadi high risk, standard risk, dan low risk.
- Dan Ketiga, risk mitigation atas potensi risiko tersebut dan langkah-langkah mitigasi yang harus dilakukan, monitoring, dan audit secara profesional dan scientific-based (menggunakan ahli, uji DNA, dan digitalisasi).
Dengan ketiga tahap EUDR tersebut akan memerlukan biaya dan sumberdaya yang tidak sedikit dan kompleksitas yang tak terbayangkan sehingga menyulitkan bagi industri sawit Indonesia untuk memenuhinya. Prosedur tersebut juga mencakup seluruh mata rantai pasok hulu-hilir termasuk industri hilir (oleofood complex, oleochemical complex, bioenergy complex). Industri refinery harus mengungkap dan memetakan dari PKS (CPO-Mill) mana saja CPO tersebut diperoleh, lalu dari setiap PKS juga harus bisa mengungkapkan (data, koordinat, legalitas dll) kebun-kebun yang memasok TBS-nya dan seterusnya.
Mungkin beberapa grup besar memiliki sumberdaya yang cukup untuk melakukan prosedur tersebut. Namun sebagian besar pelaku industri sawit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan prosedur tersebut, baik karena legalitas maupun sumberdaya. Untuk meminimumkan resiko dari ketidaksanggupan untuk melakukan prosedur tersebut, grup perusahaan perkebunan sawit diperkirakan akan mengisolasi rantai pasoknya dan fokus pada grupnya. Perkebunan sawit rakyat dan UKM sawit, dimana sebagian besar masih belum memiliki legalitas, akan terancam bahkan tersingkir dari rantai pasok EUDR dan akan mengalami kesulitan dalam memasarkan TBS. Proses due diligence tersebut yang cukup rumit akan memerlukan waktu dan sumberdaya yang cukup besar. Kebijakan EUDR bisa saja sebagai penyingkiran (phase-out) petani sawit dari rantai pasok minyak sawit dunia.
Jika hal tersebut terjadi, maka dapat dipastikan akan berdampak pada aspek sosial ekonomi dan keamanan yang luas dan rumit. Tidak hanya terjadi pada industri sawit saja, tapi dapat meluas ke seluruh sektor perekonomian, mengingat keterkaitan ekonomi industri sawit dengan sektor-sektor ekonomi nasional selama ini sudah sangat intensif dan luas (PASPI, 2023).
Pilihan Strategi Untuk Menghadapi Kebijakan European Union Deforestation Free (EUDR)
Menghadapi EUDR yang penuh risiko ketidakpastian dan rumit tersebut, pemerintah bersama pelaku industri sawit Indonesia perlu menyusun strategi untuk merespon kebijakan EUDR tersebut. Indonesia tidak perlu menghabiskan semua energi untuk memenuhi tuntutan EUDR yang sebetulnya dapat dimaknai dengan pengalihan beban rasa berdosa masa lalu EU untuk menjadi beban negara-negara berkembang sebagai produsen minyak sawit. Pemerintah juga harus melindungi kebun sawit rakyat yang didalamnya terdapat jutaan rakyat berjuang keluar dari kemiskinan, agar tidak tersingkir dari rantai pasok minyak sawit global hanya untuk alasan memenuhi EUDR yang berbau imperialisme regulasi tersebut.
Realita pasar minyak sawit dunia beragam dalam kaitanya dengan tuntutan lingkungan termasuk deforestasi dan degradasi hutan. Ada negara yang sangat kuat menuntut deforestasi dan degradasi hutan seperti EU dan Amerika Serikat. Banyak juga negara-negara yang menyikapinya secara moderat seperti India, China, dan Eurasia. Namun ada sebagian besar negara yang belum memberi perhatian pada isu tersebut karena masih berjuang keluar dari kemiskinan seperti negara kawasan Afrika, Bangladesh, dan Pakistan.
Tipologi perkebunan sawit nasional juga beragam. Sebagian perkebunan sawit di Indonesia, khususnya grup perkebunan the big six, telah memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan ketat sustainability seperti yang dituntut EUDR. Namun sebagian besar khususnya kebun sawit rakyat dan UKM sawit yang belum memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan EUDR karena berbagai keterbatasan. Dan sebagian perkebunan sawit kelas menengah memiliki kapasitas moderat dalam memenuhi tuntutan lingkungan seperti pada kebijakan EUDR.
Berdasarkan realita pasar minyak sawit dan perkebunan sawit yang demikian perlu reorganisasi dan reorientasi rantai pasok sawit. Pengelolaan industri sawit nasional baik pada level kebijakan, asosiasi, maupun level perusahaan perlu berubah dari pengelolaan tersekat-sekat, jalan sendiri-sendiri, kepada pengelolaan terintegrasi vertikal hulu-hilir (rantai pasok hulu-hilir) sehingga mudah memenuhi tuntutan pasar yang menuntut traceability dan sustainability.
Pertama, rantai pasok perusahaan perkebunan sawit (the big six) yang telah memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan sustainability yang relatif ketat, maka produk dari rantai pasok tersebut dapat diperuntukkan untuk memenuhi target pasar utama seperti EU dan Amerika Serikat. Selama ini, rantai pasok the big six telah memiliki industri hilir di negara-negara tersebut sehingga akan lebih mudah merebut pasar dengan segala atribut yang dituntut pasar.
Kedua, rantai pasok perkebunan sawit menengah dengan kemampuan moderat dan konsolidasi integrasi vertikal hulu-hilir dapat ditargetkan untuk memenuhi tujuan pasar moderat seperti India, China, dan kawasan Eurasia.
Ketiga, rantai pasok kebun sawit rakyat dan kebun sawit skala kecil-menengah dengan konsolidasi integrasi vertikal hulu-hilir bersama grup PTPN dapat ditargetkan untuk pasar utama yakni memenuhi kebutuhan pasar domestik dan beberapa kawasan seperti Afrika, Bangladesh, dan Pakistan. Dalam kaitan ini program pengembangan koperasi sawit rakyat untuk bergerak ke hilir yang dihela grup PTPN saat ini, merupakan salah satu langkah untuk itu. Dengan memfokuskan rantai pasok kebun sawit rakyat dan skala kecil-menengah pada pasar domestik, juga sekaligus untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan produk sawit domestik dalam rangka mencapai ketahanan pangan dan energi nasional.
Dengan reorganisasi dan reorientasi rantai pasok yang demikian, diharapkan industri sawit nasional dapat memanfaatkan pasar sawit dunia yang beragam tersebut dan tanpa mengganggu ketersediaan produk sawit untuk kebutuhan domestik.
Bersamaan dengan melakukan reorganisasi dan reorientasi rantai pasok sawit tersebut, Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan negara produsen minyak sawit dunia (baik anggota maupun bukan anggota CPOPC) harus tetap menyampaikan protes keras atas kebijakan EUDR tersebut sebagai kebijakan yang mengandung banyak ketidakpastian, diskriminatif, dan bentuk crop apartheid maupun bentuk proteksionisme gaya baru bahkan bentuk neokolonialisme modern yang berpotensi memicu perang dagang dunia. Indonesia (bersama CPOPC) juga perlu melakukan ancaman kebijakan retaliasi perdagangan atas produk-produk ekspor UE ke Indonesia. Protes kebijakan EUDR tersebut sangat diperlukan selain bersifat tekanan bagi EUDR juga mencegah penularan kebijakan EUDR ke kawasan lain dan ke masyarakat domestik.
Kesimpulan
Kebijakan EUDR berpotensi menghambat industri sawit nasional ke pasar minyak sawit global. Diperkirakan sebagian besar perusahaan sawit nasional sulit memenuhi tuntutan EUDR tersebut.
Realita pasar minyak sawit dunia adalah beragam terkait dengan tuntutan atribut sustainability lingkungan termasuk deforestasi dan degradasi hutan dari kategori tinggi, moderat, dan rendah. Demikian juga kemampuan perkebunan sawit dalam memenuhi tuntutan atribut tersebut juga berbeda-beda dari yang tinggi, moderat, dan rendah. Hal ini memerlukan reorganisasi dan reorientasi rantai pasok sawit nasional.
Pertama, rantai pasok perusahaan sawit (the big six) yang telah memiliki kemampuan untuk memenuhi tuntutan sustainability yang relatif ketat dapat diperuntukkan untuk memenuhi target pasar utama seperti EU dan Amerika Serikat. Kedua, rantai pasok perkebunan sawit menengah dengan kemampuan moderat dan konsolidasi integrasi vertikal hulu-hilir dapat ditargetkan untuk memenuhi tujuan pasar moderat seperti India, China, dan kawasan Eurasia. Dan Ketiga, rantai pasok kebun sawit rakyat dan kebun sawit kecil-menengah dengan konsolidasi integrasi vertikal hulu-hilir bersama grup PTPN dapat memenuhi kebutuhan pasar utama yakni pasar dalam negeri dan beberapa kawasan seperti Afrika, Bangladesh, dan Pakistan.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka
- Barredo J, Brailesco C, Teller A, Sabatini FM, Mauri A, Janouskova K. 2021. Mapping and Assessment of Primary and Old-Growth Forests in Europe. European Commision: JRC Science for Policy Report. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.2760/797591
- Belmaker G. 2018. More Than Half of Europe’s Forests Lost Over 6,000 Years. https://news.mongabay.com/2018/01/more-than-half-of-europes-forests-lost-over-6000-years/
- Bhattarai M, Haming M. 2001. Institution and The Environmental Kuznet Curve for Deforestation: A Cross Country Analysis for Latin America, Africa and Asia. World Development. 29(6): 995-1010.
- Council of European Union. 2022. Draft Regulation of the European Parliament and of the Council on the Making Available on the Union Market as well as Export from the Union of Certain Commodities and Products Associated with Deforestation and Forest Degradation and Repealing Regulation (EU) No 995/2010. General approach
- Egli H. 2001. Area Cross Country Study of the Environmental Kuznet Curve Misleading? New evidence from time series data to Germany. Greifswald (DE): Universiteit Greifswald.
- Council of European Union. 2022. Draft Regulation of the European Parliament and of the Council on the Making Available on the Union Market as well as Export from the Union of Certain Commodities and Products Associated with Deforestation and Forest Degradation and Repealing Regulation (EU) No 995/2010. General approach
- Egli H. 2001. Area Cross Country Study of the Environmental Kuznet Curve Misleading? New evidence from time series data to Germany. Greifswald (DE): Universiteit Greifswald.
- European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation.
- European Commision. 2018. Impact Assesment: Minimising Risk if Deforestation and Forest Degradation Associated of Product Placed on EU Market.
- European Commission. 2019. Supplementing Directives 2018/2001 As Regards The Determination of High Indirect Land Use Change Tisk Feedstock for Which A significant Expansion of the production Area Into With High Carbon Stock Is Observed and Certification of Low. Indirect Land Use Change Risk Biofuels, Bioliquids and Biomass Fuels. Brussels
- European Commision. 2021. Proposal for a Regulation of The European Parliament and of the Council on the Making Available on the Union Market as well as Export from the Union of Certain Commodities and Products Associated with Deforestation and Forest Degradation and Repealing Regulation (EU) No 995/2010.
- European Union 2023. Regulation of The European Parliament and of the Council on the Making Available on the Union Market as well as Export from the Union of Certain Commodities and Products Associated with Deforestation and Forest Degradation and Repealing Regulation (EU) No 995/2010.
- [FAO] Food Agricultural Organization. 2007. Manual on Deforestation, Degradation, and Fragmentation Using Remote Sensing and GIS. https://www.fao.org/forestry/18222-045c26b711a976bb9d0d17386ee8f0e37.pdf
- [FAO] Food Agricultural Organization. 2012. State of the World Forest. Tersedia pada: https://www.fao.org/3/i3010e/i3010e.pdf
- [FAO] Food Agricultural Organization. 2018. Terms and Definition: Forest Resources Asesment 2020. https://www.fao.org/3/I8661EN/i8661en.pdf
- Houghton RA. 1999. Land Use Change and Teristerial Carbon: The Temporal Record in Forest Ecosystem, Forest Management and the Global Carbon Cycles (ed. MJ Apps & D.T. Price).
- Kaplan JO. 2017. Constraining the Deforestation History of Europe: Evaluation of Historical Land Use Scenarios with Pollen-Based Land Cover Reconstructions. Land. 6(4): 1-20. https://doi.org/10.3390/land6040091
- Keenan RJ. 2015. Dynamics of Global Forest Area: Results from the FAO Global Forest Resources Assessment 2015. Forest Ecology and Management. 352:9-20.
- Kissinger G, M Herold, V De Sy. 2012. Drivers of Deforestation and Forest Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Vancouver (CN): Lexeme Consulting. Tersedia pada: https://www.forestcarbonpartnership.org/sites/fcp/files/DriversOfDeforestation.pdf_N_S.pdf
- Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters. 1(2): 60–64. https://doi.org/10.1111/j.1755-263X.2008.00011.x
- Matthew E. 1983. Global Vegetation and Land Use: New High-Resolution Data Based for Climate Study. Journal of climate change and applied Meteorology. 22:474-487. https://ui.adsabs.harvard.edu/link_gateway/1983JApMe..22..474M/doi:10.1175/1520-0450(1983)022%3C0474:GVALUN%3E2.0.CO;2
- McCarty J. 2022. What Is the FOREST Act? Everything to Know About the US Bill to Fight Deforestation [internet]. Dapat diakses pada: https://www.globalcitizen.org
- NoMorePlanet.com. (2020). Origins & History of Deforestation. https://nomoreplanet.com/history-of-deforestation/
- Panayotou T. 1993. Green Markets: The Economics of Sustainable Development. Cambridge (US): Harvard Institute for International Development.
- PASPI Monitor. 2021. Is Deforestation a Normal Phenomenon in the Development Process? Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(11): 340-344.
- PASPI Monitor. 2022a. “Deforestation-Free” Policies and It’s Polemic. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3 (15): 683-688.
- PASPI Monitor. 2022b. Palm Oil in “Deforestation-Free” Countries/Regions. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3 (16): 689-694.
- PASPI Monitor. 2022c. “Deforestation-Free” Policy, Embodied Deforestation and Deforestation Footprints. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(17): 695-702.
- PASPI. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
- Pendrill F, Persson UM, Kastner T. 2020. Deforestation risk embodied in production and consumption agricultural and forestry comodites 2005-2017. Environmental Research Letters. 14 (5). https://doi.org/10.1088/1748-9326/ab0d41
- Roda JM. 2019. The Geopolitics of Palm Oil and Deforestation. Tersedia pada: https://www.thejakartapost.com/academia/2019/07/08/the-geopolitics-of-palm-oil-and-eforestation.html
- Rostow WW. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non Comunist Manifesto. https://doi.org/10.1017/CBO9780511625824
- Sabatini FM, Burrascano S, Keeton WS, Levers C, Lindner M, Pötzschner F, Verkerk PJ, Bauhus J, Buchwald E, Chaskovsky O, Debaive N, Horváth F, Garbarino M, Grigoriadis N Lombardi F, Duarte IM, Meyer P, Midteng N, Mikac S, Mikoláš M, Motta R, Mozgeris G, Nunes L, Panayotov M, Ódor P, Ruete A, Simovski B, Stillhard J, Svoboda M, Szwagrzyk J, Tikkanen OP, Volosyanchuk R, Vrska T, Zlatanov T, Kuemmerle T. 2018. Where are Europe’s Last Primary Forest? Diversity and Distributions. 24(10): 1426-1439. https://doi.org/10.1111/ddi.12778
- Tchir TL, E Johnson, L Nkemdirim. 2020. Deforestation in North America: Past, Present and Future. Regional Sustainable Development Review: Canada and USA. (1). http://www.eolss.net/Eolss-sampleAllChapter.aspx
- [USDA] United States of Departement Agricultural. 2014. US Forest Resource Facts and Historical Trend. Washington DC (US): US Department of Agriculture, Science and Education Administration.
- Vancura V. 2020. The History of European Forest Exploitation. https://wilderness-society.org/history-of-european-forest-exploitation
- Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 11(7): 1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0159668
- Walker. 1993. Deforestation and Economic Development. https://idjs.ca/images/rcsr/archives/V16N3-Walker.pdf
- Wicke B, Sikkema R, Dornburg V, Junginger M, Faaij A. 2008. Drivers of Land Use Change and The Role of Palm Oil Production in Indonesia and Malaysia: Overview of Past Developments and Future Projections Final Report. Science, Technology and Society Copernicus Institute for Sustainable Development and Innovation Utrecht University. Tersedia pada: http://np-net.pbworks.com/f/Wicke%2C+Faaij+et+al+%282008%29+Palm+oil+and+land+use+change+in+Indonesia+and+Malaysia%2C+Copernicus+Institute.pdf