Harga minyak sawit yang lebih kompetitif dibandingkan dengan minyak nabati lain, telah mendorong terjadinya non-price competition dalam pasar minyak nabati dunia. Salah satu bentuk non-price competition tersebut adalah pengkaitan antara isu-isu gizi dan kesehatan dengan minyak sawit. Tuduhan bahwa minyak sawit tidak baik untuk kesehatan sudah mulai dilakukan pesaing minyak sawit sejak akhir tahun 1970-an.
Berbagai riset terkait dengan isu gizi dan kesehatan dalam konsumsi minyak sawit juga sudah banyak dilakukan oleh para ahli baik di Indonesia maupun internasional. Riset-riset tersebut bukan hanya sekedar memberikan empirical evidence untuk meng-counter tuduhan negatif terhadap sawit, tapi juga untuk memberikan informasi yang lebih luas kepada konsumen agar keunggulan gizi yang dimiliki oleh minyak sawit dapat dinikmati konsumen.
Dalam artikel ini akan didiskusikan secara dialektik persepsi-persepsi, opini, mitos terkait dengan isu gizi dan kesehatan pada minyak sawit dengan menghadirkan bukti-bukti empiris. Dengan mendialektikkan antara mitos dengan empirical evidence terkait isu gizi dan kesehatan minyak sawit, diharapkan masyarakat global yang menjadi konsumen minyak sawit tidak dirugikan karena memperoleh informasi yang misleading dan tidak komprehensif.
Materi Isu Gizi dan Kesehatan
- Mitos 5-01 Minyak sawit yang diperdagangkan di pasar merupakan minyak dari biji sawit yang sama dengan minyak kelapa
- Mitos 5-02 Minyak sawit mengandung lemak jenuh dan tak jenuh yang tidak seimbang sehingga tidak baik untuk kesehatan tubuh
- Mitos 5-03 Kandungan vitamin A pada minyak sawit lebih rendah dari bahan pangan sumber vitamin A lainnya
- Mitos 5-04 Kandungan vitamin E pada minyak sawit lebih rendah dari minyak nabati lainnya
- Mitos 5-05 Minyak sawit tidak mengandung senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan
- Mitos 5-06 Minyak sawit tidak mengandung asam lemak esensial yang diperlukan tubuh
- Mitos 5-07 Sawit mengandung asam lemak trans (trans-fatty acids)
- Mitos 5-08 Sawit mengandung kolesterol
- Mitos 5-09 Konsumsi minyak sawit meningkatkan kolesterol darah sehingga memicu penyakit jantung dan kardiovaskuler/aterosklerosis
- Mitos 5-10 Minyak sawit memicu penyakit kanker
- Mitos 5-11 Konsumsi minyak sawit dapat menimbulkan diabetes
- Mitos 5-12 Konsumsi minyak sawit menyebabkan obesitas
- Mitos 5-13 Minyak goreng sawit berbahaya bagi kesehatan karena kandungannya, bukan karena cara penggunaannya yang salah
- Mitos 5-14 Kandungan gizi pada minyak sawit merah lebih buruk sehingga tidak bermanfaat bagi kesehatan
- Mitos 5-15 Aplikasi minyak sawit pada produk pangan hanya terbatas pada minyak goreng
- Mitos 5-16 Produk sawit tidak memiliki manfaat bagi kesehatan kulit
- Mitos 5-17 Minyak sawit tidak memiliki manfaat dalam menjaga kesehatan di masa pandemi Covid-19
Mitos 5-01
Minyak sawit yang diperdagangkan di pasar merupakan minyak dari biji sawit yang sama dengan minyak kelapa
Dalam perdagangan minyak nabati dunia, banyak pihak yang masih mengira bahwa minyak sawit sama dengan minyak kelapa. Meskipun nama kedua minyak nabati tersebut mirip dan sama-sama berasal dari pohon palma (palm trees), namun terdapat perbedaan dalam komposisi kedua minyak tersebut.
Selain minyak sawit dan minyak kelapa, masyarakat dunia juga sering salah menilai bahwa minyak sawit atau Crude Palm Oil (CPO) sama dengan minyak inti sawit atau Palm Kernel Oil (CPKO). Padahal keduanya amat berbeda baik secara fisik maupun kimia. Minyak sawit diekstraksi dari daging buah sawit (mesocarp), sedangkan minyak inti sawit diekstraksi dari inti biji sawit (palm kernel).
Gambar 1 : Sumber Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO)
Gambar 2 : Perbandingan Komposisi Asam Lemak pada Minyak Sawit, Minyak Inti Sawit dan Minyak Kelapa (Sumber: Hariyadi, 2010; MPOC, 2016)
Dari komposisi asam lemaknya, ketiga minyak nabati tersebut dapat diperbandingkan (Gambar 2). Minyak sawit memiliki komposisi asam lemak jenuh (saturated fatty acid) dan tak jenuh (unsaturated fatty acid) yang relatif seimbang. Sedangkan komposisi pada minyak inti sawit dan minyak kelapa lebih didominasi oleh asam lemak jenuh. Minyak kelapa memiliki komposisi asam lemak jenuh yang lebih tinggi dibandingkan minyak inti sawit.
Perbedaan komposisi pada ketiga minyak nabati tersebut juga terletak pada kandungan asam lauratnya. Kandungan asam laurat pada minyak sawit sekitar 0.1-1 persen (Hariyadi, 2010), minyak inti sawit sekitar 46-52 persen (Ketaren, 2008) dan minyak kelapa sekitar 48 persen (Supriatna dan Mala, 2019; Isyanti dan Sirait, 2021). Tingginya kandungan asam laurat pada minyak inti sawit dan minyak kelapa menjadikan kedua minyak tersebut digolongkan sebagai minyak laurat (lauric oil) karena memiliki tingkat ketidakjenuhan yang rendah dan stabilitas oksidatif yang tinggi (Nyberg, 1970).
Referensi :
- Hariyadi P. 2010. Mengenal Minyak Sawit dengan Berbagai Karakter Unggulnya. GAPKI. Tersedia pada: http://phariyadi.staff.ipb.ac.id/files/2015/01/2014-Buku-Mengenal- Minyak-Sawit-dengan-Beberapa-Karakter-Unggulnya.pdf
- Isyanti M, Sirait SD. 2021. Fraksinasi Asam Laurat, Short Chain Trigelyseride (SCT) dan Medium Chain Trigelyseride (MCT) dari Minyak Kelapa Murni. Warta IHP/Journal of Agro-based Industry. 38(2): 160-168.
- Ketaren S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID): UI-Press.
- Nyberg AJ. 1970. The Demand for Lauric Oils in the United States. American Journal for Agricultural Economics. 52(1): 97-102. https://doi.org/10.2307/1238167
- Supriatna D, Mala DM. 2019. Pemanfaatan Kelapa menjadi Virgin Coconut Oil (VCO) dalam Mendukung Visi Indonesia Sehat 2015. Prosiding Seminar Nasional Pendidikan Biologi 2015, Malang Indonesia. 577-584.
Mitos 5-02
Minyak sawit mengandung lemak jenuh dan tak jenuh yang tidak seimbang sehingga tidak baik untuk kesehatan tubuh
Sejak tahun 1980-an, American Soybean Association (ASA) telah mempelopori gerakan anti tropical-oil (minyak sawit dan minyak kelapa). Tingginya kandungan asam lemak jenuh (saturated fats) pada minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya, dianggap berbahaya bagi kesehatan karena menimbulkan berbagai penyakit kronis.
Tuduhan tingginya kandungan asam lemak jenuh pada minyak sawit yang disampaikan oleh para pihak anti sawit tersebut dinilai misleading. Menurut para ahli gizi, minyak sawit mengandung proporsi asam lemak jenuh (Saturated Fatty Acid) dan asam lemak tak jenuh (Unsaturated Fatty Acid) yang relatif seimbang (Tabel 1).
Proporsi asam lemak jenuh pada minyak sawit sekitar 50 persen, yang komposisinya terdiri atas: 44 persen asam lemak palmitat, 4.5 persen asam lemak strearat. Sementara itu, 50 persen lainnya merupakan asam lemak tak jenuh, yang terbagi menjadi dua yaitu 40 persen asam lemak tak jenuh ikatan rangkap tunggal (Monounsaturated Fatty Acid/MUFA) dan 10 persen asam lemak tak jenuh ikatan rangkap jamak (Polyunsaturated Fatty Acid/PUFA).
Tabel 1 : Komposisi Asam Lemak pada Minyak Sawit
Asam Lemak | Kisaran (% Terhadap Asam Lemak Total) | Rata-Rata (% Terhadap Asam Lemak Total) |
---|---|---|
Asam Laurat (C12:0) | 0.1 – 1.0 | 0.2 |
Asam Miristat (C14:0) | 0.9 – 1.5 | 1.1 |
Asam Palmitat (C16:0) | 41.8 – 45.8 | 44.0 |
Asam Palmitoleat (C16:1) | 0.1 – 0.3 | 0.1 |
Asam Stearate (C18:0) | 4.2 – 5.1 | 4.5 |
Asam Oleat (C18:1) | 37.3 – 40.8 | 39.2 |
Asam Linoleat (C18:2) | 9.1 – 11.0 | 10.1 |
Asam Linolenat (C18:3) | 0.0 – 0.6 | 0.4 |
Asam Arakidonat (C20:0) | 0.2 – 0.7 | 0.4 |
Kandungan asam lemak jenuh golongan MUFA pada minyak sawit terdiri dari asam oleat sebesar 39.2 persen dan asam palmitoleat sebesar 0.1 persen. Sementara itu, kandungan asam asam lemak jenuh golongan PUFA pada minyak sawit terdiri dari asam linoleat sebesar 10.1 persen dan asam linolenat sebesar 0.4 persen.
Minyak sawit tidak tergolong kepada minyak nabati yang berperilaku asam lemak jenuh. Melainkan secara keseluruhan lebih berperilaku sebagai asam lemak tak jenuh (monounsaturated oils) (USDA, 1979; Cottrell, 1991; Small, 1991; Choudhury et al., 1995; Kritchevsky et al., 2000; Ong dan Goh, 2002; FAO, 2010; Hariyadi, 2010; Giriwono dan Andarwulan, 2016).
Uraian di atas menunjukkan bahwa minyak sawit memiliki komposisi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang relatif seimbang. Para ahli gizi juga mengungkapkan bahwa proporsi yang relatif seimbang tersebut justru berdampak baik bagi kesehatan.
Referensi :
- Choudhury N, Tan L, Truswell AS. 1995. Comparison Of Palm Olein and Olive Oil: Effects on Plasma Lipids and Vitamin E in Young Adults. The American Journal of Clinical Nutrition. 61(5):1043-1051. https://doi.org/10.1093/ajcn/61.4.1043
- Cottrell RC. 1991. Nutritional Aspects of Palm Oil. The American Journal of Clinical Nutrition. 53(4): 989S – 1009S. doi: 10.1093/ajcn/53.4.989Sb
- [FAO] Food Agricultural Organization. 2010. Fats and Fatty Acids in Human Nutrition: Report of an Expert Consultation. FAO Food Nutrition Paper. 91: 1-166. https://agris.fao.org/agris-search/search.do?recordID=XF2016049106
- Giriwono PE, Andarwulan N. 2016. Palm Oil Benefits for Health. Dipresentasikan pada IPOC tanggal 24 November 2016.
- Hariyadi P. 2010. Mengenal Minyak Sawit dengan Berbagai Karakter Unggulnya. GAPKI. Tersedia pada: http://phariyadi.staff.ipb.ac.id/files/2015/01/2014-Buku-Mengenal- Minyak-Sawit-dengan-Beberapa-Karakter-Unggulnya.pdf
- Kritchevsky D, Tepper SA, Kuksis A, Wright S, Czarnecki SK. 2000. Cholesterol Vehicle in Experimental Atherosclerosis. 22. Refined, Bleached, Deodorised (RBD) Palm Oil, Randomised Palm Oil and Red Palm Oil. Nutrition Research. 20(6): 887-892. https://doi.org/10.1016/S0271-5317(00)00166-4
- Ong ASH, Goh SH. 2002. Palm Oil: A Healthful and Cost-Effective Dietary Component. Food and Nutrition Bulletin. 23(1): 11-22. https://doi.org/10.1177/156482650202300102
- Small, D M. 1991. The Effects of Glyceride Structure on Absorption and Metabolism. Annual Review of Nutrition. 11: 413-434. https://doi.org/10.1146/annurev.nu.11.070191.002213
- [USDA] United States of Departement Agricultural. 1979. Composition of Foods: Agriculture Handbook No. 8-4. Washington DC (US): US Department of Agriculture, Science and Education Administration.
Mitos 5-03
Kandungan vitamin A pada minyak sawit lebih rendah dari bahan pangan sumber vitamin A lainnya
Minyak sawit merupakan bahan pangan sumber energi dan asam lemak. Selain sebagai sumber energi, minyak sawit juga mengandung vitamin A yang relatif tinggi dibandingkan dengan bahan pangan lainnya (Tabel 2).
Data dari tabel 2 menunjukkan bahwa minyak sawit (CPO dan Minyak Sawit Merah) mengandung komposisi vitamin A yang besar. Untuk setiap volume yang sama, minyak sawit mengandung vitamin A sebanyak 15 kali lebih besar dari kandungan vitamin A pada wortel. Bahkan dibandingkan dengan kandungan vitamin A yang terdapat pada pisang, kandungan vitamin A minyak sawit hampir 100 kali lipat lebih besar.
Tabel 2 : Perbandingan Kandungan Karotenoid (Setara Retinol) Minyak Sawit Dibanding Bahan Pangan Lainnya
Bahan Pangan | μg Setara Retinol/100 g (edible) |
---|---|
Jeruk | 21 |
Pisang | 50 |
Tomat | 130 |
Wortel | 400 |
Minyak Sawit Merah (refined) | 5000 |
Minyak Sawit Kasar (CPO) | 6700 |
Berbagai studi empiris (Nagendran et al., 2000; Mayamol et al., 2007; Mukherjee dan Mitra, 2009; Dauqan et al., 2011) juga mengungkapkan hal yang sama yakni minyak sawit merupakan “the world’s richest natural source of carotenoids”. Beta karoten/karetonoid pada minyak sawit berperan sebagai antioksida, prekusor dan sumber vitamin A (Krinsky, 1993). Tingginya kandungan karoten pada minyak sawit dapat dilihat dari warna jingga kemerahan pada minyaknya.
Manfaat vitamin A dari minyak sawit bagi kesehatan manusia telah banyak dibuktikan melalui penelitian kesehatan/kedokteran. Diantaranya mencegah defisiensi vitamin A, pencegahan dan penanggulangan kebutaan, memperbaiki kekebalan tubuh.
Vitamin A dari minyak sawit juga bermanfaat bagi pencegahan penyakit kanker/tumor, menghambat pembengkakan hati, peningkatan imunitas tubuh, penurunan kolesterol, fungsionalitas mental, pencegahan penyakit jantung koroner dan pembuluh darah, dan lain-lain. (Oey et al., 1967; Karyadi et al., 1968; Muhilal et al., 1991; Carlier et al., 1993; Richard, 1993; Choo, 1994; Ooi et al., 1994; Nagendran et al., 2000; Van Stuijvenberg dan Benade, 2000; Canfield et al., 2001; Oguntibeju et al., 2009; Rice dan Burns, 2010; Sandjaja et al., 2014). Antioksidan alami pada minyak sawit juga berperan sebagai buffer yang melawan radikal bebas dan melindungi dari berbagai penyakit seperti cellular ageing, atherosclerosis, kanker, artritis, dan Alzheimer (Mukherjee dan Mitra, 2009).
Minyak sawit yang memiliki vitamin A juga bermanfaat untuk mengatasi berbagai penyakit akibat defisiensi vitamin A seperti kebutaan, xeroftalmia, dan hemerolopi. Hasil penelitian Departemen Kesehatan RI tahun 1963-1965 mengungkapkan bahwa penggunaan Red Palm Oil (RPO) dapat meningkatkan status vitamin A yakni dilihat dari kenaikan vitamin A dalam serum anak-anak (Oey et al., 1967). Kemudian hasil penelitian Puslitbang Gizi Bogor (Muhilal et al., 1991) mengungkapkan bahwa minyak sawit dapat menyembuhkan penderita xeroftalmia yang berupa hemerolopi (buta senja).
Berdasarkan uraian di atas sangat jelas menunjukkan bahwa kandungan vitamin A pada minyak sawit lebih besar dibandingkan dengan sumber pangan lainnya yang selama ini dikenal sebagai sumber vitamin A. Dengan tingginya kandungan vitamin A tersebut, menjadikan minyak sawit bukan hanya sekedar sumber pangan kaya vitamin, tetapi juga sebagai “obat” berbagai penyakit.
Referensi :
- Canfield LM, Kaminsky RG, Taren DL, Shaw E, Sander JK. 2001. Red Palm Oil in the Maternal Diet Increases Provitamin a Carotenoids in Breast Milk and Serum of the Mother-Infant Dyad. European Journal of Nutrition. 40: 30-38.
- Carlier C.1993. A Randomised Controlled Trial to Test Equivalence Between Retynil Palmitate & Beta Carotine for Vitamin A Deficiency. British Medical Journal. 307 (6912): 1106-1110 Maison-Laffite, France.
- Choo YM. 1994. Palm Oil Carotenoids. Food and Nutrition Bulletin. 15(2). 1- 8. https://journals.sagepub.com/doi/pdf/10.1177/15648265940150021 2
- Dauqan E, Sani AH, Aminah A, Muhamad H, Top AGM. 2011. Vitamin E and Beta Carotene Composition in Four Different Vegetable Oils. American Journal of Applied Science. 8 (5): 407-421
- Karyadi D, Angkuw ChW, Djoko S, Muhilal H, Sutedjo, Prawiranegara DD.1968. Penelitian Keadaan Gizi Anak Penderita Defisiensi Vitamin A Dengan Latar Belakang Sosial Ekonomi dan Pengobatan Dengan Minyak Kelapa Sawit (Elaesis quineesis jacg). Prosiding Kongres Nasional Pertama, Persatuan Dokter Ahli Mata, Jakarta 30 Juli – 3 Agustus 1968, pp.169-180.
- Krinsky NI. 1993. Actions of Carotenoids in Biological Systems. Annual Review of Nutrition. 13:561-588. https://doi.org/10.1146/annurev.nu.13.070193.003021
- Mayamol PN, Balachandran C, Samuel T, Sundaresan A, Arumughan C. 2007. Process Technology for the Production of Micronutrien Rich Red Palm Olein. Journal of the American Oil Chemists’Society. 84: 587-596.
- Mukherjee S, Mitra A. 2009. Health Effects of Palm Oil. Journal of Human Ecology. 26(3): 197-203. http://dx.doi.org/10.1080/09709274.2009.11906182
- Muhilal. 1991. Minyak Sawit, Suatu Produk Nabati untuk Penanggulangan Atherosclerosis & Penundaan Proses Penuaan. Prosiding Seminar Nilai Tambah Kelapa Sawit untuk Derajat Kesehatan. Jakarta.
- Nagendran B, Unnithan UR, Choo YM, Sundram K. 2000. Characteristics of Red Palm Oil, a Carotene and Vitamin E-Rich Refined Oil for Food Uses. Food and Nutrition Bulletin. 21(2): 189-194. https://doi.org/10.1177/156482650002100213
- Oey KL, Liem TT, Rose CS, Prawirangera DD., ang Grorgy P. 1967. Red Palm Oil in the Prevention of Vitamin A Deficiency – A Trial on Preschool Children in Indonesia. American Journal of Clinical Nutrition. 20: 1267- 1274.
- Oguntibeju O, Esterhuyse AJ, Truter EJ. 2009. Red Palm Oil: Nutritional, Physiological and Therapeutic Roles in Improving Human Wellbeing and Quality of Life. British Journal of Biomedical Science. 66(4):216-222. https://doi.org/10.1080/09674845.2009.11730279
- Ooi CK, Choo YM, Yap SC, Basiron Y, Ong ASH. 1994. Recovery of Carotenoids from Palm Oil. Journal of the American Oil Chemist’s Society. 71(4): 423- 426. https://doi.org/10.1007/BF02540524
- Rice AL, Burns JB. 2010. Moving From Efficacy to Effectiveness: Red Palm Oil’s Role in Preventing Vitamin A Deficiency. Journal of the American College of Nutrition. 29(3): 302-313. https://doi.org/10.1080/07315724.2010.10719845
- Richard SD. 1993. Impact of Vit. A on Immune-Marker in Childern Abnormal T-Cell Subset Proportions in Vit. A-Deficient-Child. Lancet Journal. 341(8836): 5-8.
- Sandjaja, Jus’at I, Jahari AB, Ifrad, Htet MK, Tilden RL, Soekarjo D, Utomo D, Moench-Pfanner E, Soekiman, Koenromp EL. 2014. Vitamin A-Fortified Cooking Oil Reduces Vitamin A Deficiency in Infants, Young Children and Women: Result From A Programme Evolution in Indonesia. Public Health Nutrition. 18(14): 2511-2522. https://doi.org/10.1017/s136898001400322x
- Van Stuijvenberg ME, Benadé AJS. 2000. South African Experience with the Use of Red Palm Oil to Improve the Vitamin A Status Of Primary Schoolchildren. Food and Nutrition Bulletin. 21(2). https://doi.org/10.1177/156482650002100216
Mitos 5-04
Kandungan vitamin E pada minyak sawit lebih rendah dari minyak nabati lainnya
Vitamin E merupakan senyawa gizi yang esensial bagi kesehatan tubuh manusia. Vitamin tersebut bermanfaat sebagai antioksidan, anti penuaan dini, kesehatan kulit, kesuburan reproduksi, mencegah aterosklerosis, anti kanker, dan meningkatkan imunitas (Walton et al., 1980; Hirai et al., 1982; Sylvester et al., 1986; Cross, 1987; Sundram et al., 1989; Komiyama et al., 1989; Goh et al., 1985, 1994; Guthrie et al., 1993, 1995, 1997; Elson dan Qureshi, 1995; Nesaretnam, 2008; Ng et al., 2009; Sen et al., 2010; Anggarwal et al., 2010; Nesaretnam dan Meganathan, 2010; Gopalan et al., 2014).
Vitamin E tidak dapat diproduksi oleh tubuh manusia sehingga harus diperoleh melalui asupan bahan makanan. Salah satu sumber pangan kaya vitamin E adalah minyak sawit. Kandungan vitamin E pada minyak sawit bahkan lebih besar dibandingkan dengan kandungan pada minyak nabati lainnya (Tabel 3). Kandungan vitamin E pada minyak sawit mencapai 1.172 ppm, atau lebih tinggi dari kandungan vitamin E pada minyak kedelai (958 ppm), minyak bunga matahari (546 ppm) dan minyak jagung (782 ppm).
Tabel 3 : Perbandingan Kandungan Vitamin E pada Minyak Sawit Versus Minyak Nabati Lainnya
Jenis Minyak Nabati | Kandungan Vitamin E (ppm) |
---|---|
Sawit | 1.172 |
Kedelai | 958 |
Jagung | 782 |
Biji Kapas | 776 |
Bunga Matahari | 546 |
Kacang Tanah | 367 |
Zaitun | 51 |
Kelapa | 36 |
Hal yang menarik lainnya berkaitan dengan kandungan vitamin E pada minyak sawit adalah komponen utamanya terdiri dari 20 persen tocopherols dan 80 persen tocotrienols (Man dan Haryati, 1997). Memang hampir seluruh minyak nabati memiliki kandungan tocopherols, namun selain mengandung tocopherols yang tinggi, minyak sawit juga mengandung tocotrienols yang relatif tinggi. Bahkan minyak sawit dijuluki sebagai “the richest natural source of tocotrienols” (Chow, 1992; Sheppard et al., 1993; EFSA, 2008).
Tocopherols dan tocotrienols berperan sebagai antioksidan, namun studi mengungkapkan bahwa alpha tocotrienols memiliki kemampuan 40-60 kali lebih efektif dan kuat untuk melawan radikal bebas dibandingkan dengan alpha tocopherols (Serbinova et al., 1991). Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit memiliki kemampuan antioksidan yang sangat kuat.
Beberapa studi empiris melaporkan bahwa tingginya kandungan tocotrienols pada minyak sawit dapat menurunkan kolesterol plasma, menghambat sel kanker, dan melindungi membran seluler untuk melawan kerusakan oksidatif (Nesaretnam et al., 1995; Kamat et al., 1997). Studi terbaru (Zainal, 2022) juga mengungkapkan bahwa kandungan tocotrienols yang melimpah pada minyak sawit mampu mencegah berbagai penyakit yang berhubungan dengan usia seperti demensia, Alzheimer, stroke, cardiovaskuler, dan kerusakan kulit.
Uraian di atas sangat jelas menunjukkan bahwa minyak sawit menjadi lumbung vitamin E yang sangat besar. Selain itu, kandungan vitamin E pada minyak sawit yang lebih didominasi oleh tocotrienols membuat minyak sawit memiliki zat antioksidan yang sangat besar untuk melawan radikal bebas.
Referensi :
- Cross CE. 1987. Oxygen Radicals and Human Disease. Annals of Internal Medicine. 107(4): 526-545. https://doi.org/10.7326/0003-4819-107-4-526
- Elson CE, Qureshi AA. 1995. Coupling the Cholesterol and Tumor- Suppressive Actions of Palm Oil to the Impact of its Minor Constituents on 3- Hydroxy-3-Methylglutaryl Coenzyme a Reductase Activity. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential Fatty Acids. 52(2-3): 205-207. https://doi.org/10.1016/0952-3278(95)90024-1
- Gopalan Y, Shuaib IL, Magosso E, Ansari MA, Bakar MRA, Wong JW, Khan NAK, Liong WC, Sundram K, Ng BH, Karuthan C, Yuen KH. 2014. Clinical Investigation of the Protective Effects of Palm Vitamin E Tocotrienols on Brain White Matter. Stroke. 45(5): 1422-1428. https://doi.org/10.1161/strokeaha.113.004449
- Guthrie N, Nesaretnam K, Chambers AF, Carroll KK. 1993. Inhibition of Breast Cancer Cell Growth by Tocotrienols. FASEB Journal. 7: A70.
- Guthrie N, Nesaretnam K, Chambers AF, Carroll KK. 1995. In Vitro Inhibition of Proliferation of Receptor-Positive MCF-7 Human Breast Cancer Cells by Palm Oil Tocotrienols. FASEB Journal. 9: A988.
- Guthrie N, Gapor A; Chambers AF, Carroll KK. 1997. Inhibition of Proliferation of Estrogen Receptor–Negative MDA-MB-435 And -Positive MCF-7 Human Breast Cancer Cell by Palm Oil Tocotrienols and Tomoxifen, Alone and in Combination. Journal of Nutrition. 127(3): 544S- 548S.
- Goh SH, Choo YM, Ong SH. 1985. Minor Constituents of Palm Oil. Journal of the American Oil Chemists’Society. 62. 237–240
- Hirai S, Okamoto K, Morimatsu M. 1982. Lipid Peroxide in Biology and Medicine. New York (US): Academic Press. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780127680507 500263/pdfft?md5=ffeb504be62c4ba6823a578391f1601b&pid=3-s2.0-B9780127680507500263-main.pdf
- Komiyama K, Iizuka K, Yamaoka M, Watanabe H, Tsuchiya N, Umezawa I. 1989. Studies on the Biological Activities of Tocotrienols. Chemical Pharmaceutical Bulletion. 37(5): 1369-1371. https://doi.org/10.1248/cpb.37.1369
- Nesaretnam K. 2008. Multitargeted Therapy of Cancer by Tocotrienols. Cancer Letters. 269(2): 388-395. https://doi.org/10.1016/j.canlet.2008.03.063
- Sundram K, Khor HT, Ong ASH, Pathmarathan R. 1989. Effect Of Dietary Palm Oils on Mammary Carcinogenesis in Female Rats Induced By 7,12- Dimethylbenz (A) Anthracene. Cancer Research. 49(6): 1447-1451.
- Sylvester PW, Russell, N., lp, M.M. and lp, C. 1986. Comparative Effects of Different Animal and Vegetable Fats Fed Before and During Carcinogen Administration on Mammary Tumorigenesis, Sexual Maturation and Endocrine Function In Rats. Cancer Research. 46(2): 757-762.
- Walton JR, Packer L. 1980. Free Radical Damage and Protection: Relationship to Cellular Aging and Cancer. New York (US): Marcel Dekker.
Mitos 5-05
Minyak sawit tidak mengandung senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan
Senyawa bioaktif (sebagian menyebutnya sebagai fitonutrient atau mikronutrient) merupakan zat nutrisi yang penting bagi kesehatan. Minyak sawit merupakan salah satu sumber pangan yang kaya senyawa bioaktif (Tabel 4) seperti karoten, tocopherols dan tocotrienols, fitosterol, squalene, co-enzym Q10, phenolics, ubiquinone, dan komponen minor lainnya (Goh et al., 1985; Tay et al., 2000; Berger, 2007; Kumar dan Krishna, 2014).
Tabel 4 : Komposisi Senyawa Bioaktif pada Minyak Sawit
Senyawa Bioaktif | Konsentrasi (ppm) |
---|---|
Carotenoids | 500-700 |
Vitamin E (tocopherols dan tocotrienols) | 600-1,000 |
Phystosterols | 300-620 |
Squalene | 250-540 |
Phospholipids | 20-100 |
Co-enzyme Q10 | 10-80 |
Polyphenols | 40-70 |
Salah satu senyawa bioaktif yang konsentrasinya terbanyak setelah vitamin E (tocols) dan vitamin A (karotenoid) adalah fitosterol (phystosterols). Fitosterol adalah sterol nabati (berasal dari tanaman nabati) yang strukturnya mirip kolesterol (Pateh et al., 2009). Fitosterol bermanfaat bagi kesehatan karena dapat mengurangi kadar kolesterol plasma darah dan meningkatkan ekskresi kolesterol (Miettinen et al., 2000; Zadak et al., 2006; Silalahi, 2006), cardio-protective effects (Hariyadi, 2020), serta dapat mencegah penyakit kanker (Awad dan Fink, 2000). Bahkan European Journal of Clinical Nutrition tahun 2009 menyebutkan bahwa fitosterol dapat mencegah beberapa jenis kanker seperti kanker paru, kanker ovarium, dan kanker usus (Fauziati et al., 2019).
Squalene merupakan salah satu komponen senyawa bioaktif yang ditemukan pada minyak sawit (Kelly, 1999). Konsumsi squalene dapat bermanfaat bagi tubuh untuk melindungi jantung, menghambat sintesis kolesterol, dan bersifat anti-cancer (Longganathan et al., 2010). Saat ini, squalene juga banyak digunakan pada berbagai produk skincare karena dapat melembabkan kulit khususnya bagi kulit sensitif, meningkatkan nutrisi pada sebum kulit, dan memperbaiki kerusakan kulit akibat sinar UV (Sinaga, 2021). Selain itu, squalene juga bersifat antioksidan, antiradang, bahkan antitumor sehingga efektif untuk melawan kerusakan kulit dari radikal bebas, mampu meregenerasi kulit, serta dapat mengatasi kulit berjerawat dan berminyak.
Co-enzyme Q10 atau ubiquinone juga menjadi salah satu komponen senyawa bioaktif yang terkandung dalam minyak sawit. Meskipun komposisinya dalam minyak sawit relatif kecil yakni hanya 10-80 ppm, namun Co-enzyme Q10 ini memiliki kemampuan antioksidan 10 kali lebih besar dibandingkan vitamin E (Ng et al., 2006). Dengan kemampuannya tersebut menjadikan senyawa bioaktif ini memiliki sifat anti-cancer (Portakal et al., 2000) dan juga memiliki manfaat bagi kesehatan kulit seperti mengurangi kerutan, serta mampu mengatasi inflamasi dan penuaan kulit, sehingga banyak digunakan pada produk skincare (Sinaga, 2021).
Komponen senyawa bioaktif lainnya yang terkandung dalam minyak sawit adalah fospolipid dan polifenol. Komposisi fospolipid dalam minyak sawit relatif kecil namun memiliki manfaat kesehatan yang besar seperti berperan dalam pengembangan otak (Suzuki et al., 2000) untuk meningkatkan memori dan mencegah penurunan fungsi otak akibat usia (Jager et al., 2007). Sementara itu, kandungan antioksidan yang tinggi pada polifenol bermanfaat untuk mencegah kanker (Nair et al., 2004; Fink et al., 2007).
Uraian di atas menunjukkan bahwa minyak sawit mengandung berbagai senyawa bioaktif yang sangat penting bagi kesehatan tubuh. Senyawa bioaktif tersebut dapat dikonsumsi ketika mengkonsumsi minyak sawit. Artinya masyarakat konsumen dapat menikmati manfaat tambahan dari senyawa bioaktif secara gratis ketika mengkonsumsi minyak sawit.
Mitos 5-06
Minyak sawit tidak mengandung asam lemak esensial yang diperlukan tubuh
Dari segi ilmu gizi, asam lemak esensial yang diperlukan oleh tubuh diantaranya adalah linoleat (C18:2) atau omega-6 dan linolenat (C18:3) atau omega-3. Asam lemak esensial tersebut diperlukan bagi tubuh karena berperan dalam meningkatkan penyerapan zat gizi, pembentukan sel, membangun sistem kekebalan tubuh, dan penting bagi ibu hamil dalam pembentukan jaringan tubuh janin khususnya otak dan mata (Paramaiswari, 2016). Pada bayi dan anak, asam lemak esensial dibutuhkan untuk pembentukkan sel dan jaringan tubuh serta perkembangan otak (Nahrowi, 2015).
Tubuh memiliki keterbatasan dalam mensintesa asam lemak esensial tersebut, sehingga kebutuhannya harus dipenuhi dari asupan makanan. Secara alamiah, minyak sawit mengandung asam lemak esensial yang cukup dan seimbang. Jika menggunakan Air Susu Ibu (ASI) sebagai pembanding nilai hayati standar, menunjukkan bahwa komposisi asam lemak esensial antara minyak sawit mendekati komposisi Air Susu Ibu (Tabel 5).
Tabel 5 : Perbandingan Komposisi Asam Lemak Minyak Sawit dan Air Susu Ibu
Jenis Asam Lemak | Minyak Sawita (%) | Air Susu Ibub (%) |
---|---|---|
<C14:0 | 0.9 – 1.5 | 13.5 |
C16:0 | 41.8 – 49.3 | 32.2 |
C18:0 | 4.1 – 5.1 | 6.9 |
C18:1 | 36.3 – 40.8 | 36.5 |
C18:2 | 8.3 – 11.0 | 9.5 |
C18:3 | 0.0 – 0.6 | 1.4 |
C20:0 | 0.2 – 0.7 | – |
Asam lemak esensial linoleat (C18:2) yang terkandung dalam minyak sawit berkisar 8.3-11 persen, mendekati kandungan asam linoleat Air Susu Ibu sebesar 9.5 persen. Demikian juga dengan asam lemak (C18:3) pada minyak sawit sebesar 0-0.6 persen dan kandungan asam linolenat pada Air Susu Ibu sebesar 1.4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan asam lemak esensial pada minyak sawit mendekati komposisi asam lemak esensial pada ASI. Selain kedua asam lemak esensial tersebut, minyak sawit juga mengandung asam lemak non-esensial yaitu oleat (C18:1) dengan proporsi sebesar 36.3-40.8 persen atau mendekati kandungan pada ASI yakni sebesar 36.5 persen.
Salah satu komponen utama pada ASI adalah asam palmitat (Genova et al., 2018). ASI mengandung sekitar 25 persen asam lemak palmitat yang sangat diperlukan dalam perkembangan bayi (Marangoni et al., 2000). Sementara itu, kandungan asam palmitat pada minyak sawit berkisar 41.8 hingga 45.8 persen (Tabel 1). Tingginya kandungan asam palmitat pada minyak sawit dapat dimanfaatkan sebagai human milk fat analog yang aman, relatif murah dan halal yang digunakan sebagai salah satu komposisi pada susu formula (pengganti ASI) (Karouw, 2014).
Data-data tersebut menunjukkan bahwa minyak sawit mengandung asam lemak esensial yang cukup seimbang, bahkan mirip dengan komposisi asam lemak esensial pada ASI. Dengan komposisi asam lemak tersebut, minyak sawit dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan baku produk susu formula.
Mitos 5-07
Sawit mengandung asam lemak trans (trans-fatty acids)
Asam lemak trans (trans-fatty acid) mempunyai dampak yang merugikan kesehatan manusia (FAO, 2010). Konsumsi minyak yang mengandung asam lemak trans akan meningkatkan risiko penyakit jantung dan obesitas (Ascherio et al., 1996; Hu et al., 1997; Mozaffarian et al., 2006). Oleh karena itu, lembaga/organisasi kesehatan di seluruh negara, khususnya negara-negara Barat, telah merekomendasikan untuk mengkonsumsi seminimal mungkin bahkan melarang penggunaan asam lemak trans dalam bahan makanan.
Asam lemak trans terbentuk selama proses hidrogenisasi untuk meningkatkan kepadatan suatu minyak nabati dalam pembuatan minyak makan (edible oil). Proses hidrogenisasi (khususnya hidrogenisasi parsial) akan menyebabkan terjadinya perubahan konfirgurasi asam lemak tidak jenuh dari cis ke trans (Hariyadi, 2010).
Minyak nabati yang memiliki komposisi asam lemak tak jenuh ikatan rangkap jamak (polyunsaturated) seperti minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak jagung yang cenderung cair pada suhu ruangan, memerlukan proses hidrogenisasi untuk mendapatkan sifat semi-solid sehingga spesifikasinya sesuai dengan kebutuhan industri produk pangan untuk memproduksi produk pangan seperti margarin/mentega, shortening serta produk roti (MPOC, 2016). Oleh karena itu, pengolahan minyak nabati dengan komposisi asam lemak tersebut melalui proses hidrogenisasi yang kemudian memicu adanya kandungan asam lemak trans pada minyak nabati tersebut. Hariyadi (2010) mengungkapkan bahwa kandungan asam lemak trans pada minyak kedelai yang mengalami proses hidrogenisasi mencapai angka 13-30 persen.
Berbeda dari minyak nabati lainnya, minyak sawit yang secara alamiah memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang seimbang, bersifat semi-solid dengan titik leleh berkisar antara 33–39oC sehingga tidak memerlukan proses hidrogenisasi dalam penggunaannya sebagai lemak makanan. Hal ini berarti bahwa asam lemak trans tidak terbentu sehingga minyak sawit bebas dari asam lemak trans (Otero, 1997; Hariyadi, 2010).
Dengan demikian, minyak sawit maupun produk pangan berbasis sawit tidak mengandung asam lemak trans (free trans-fatty acid). Keunggulannya tersebut membuat minyak sawit, khususnya fraksi stearin, menjadi produk alternatif alami yang dapat menggantikan minyak nabati terhidrogenisasi yang mengandung asam lemak trans (Hariyadi, 2010; May dan Nesaretnam, 2014; Giriwono dan Andarwulan, 2016).
Mitos 5-08
Sawit mengandung kolesterol
Kolesterol menjadi momok yang menakutkan karena dinilai menjadi pemicu berbagai penyakit berbahaya seperti kanker dan jantung. Oleh karena itu, himbauan untuk mengkonsumsi bahan makanan yang rendah kolesterol terus disuarakan oleh organisasi pegiat kesehatan. Bahkan “bebas kolesterol” juga telah menjadi klaim produk dalam persaingan dagang.
Kolesterol juga menjadi salah satu isu kesehatan yang dikaitkan dengan minyak sawit. Selama ini berkembang persepsi bahkan telah menjadi mitos bahwa minyak goreng sawit mengandung kolesterol. Begitu kuatnya mitos tersebut membuat masyarakat menjadi fobia untuk mengkonsumsi makanan-makanan yang mengandung minyak sawit seperti gorengan.
Persepsi yang demikian, terbentuk akibat kampanye negatif/hitam yang dilakukan ASA pada awal tahun 1980. Untuk memojokkan minyak nabati tropis, khususnya minyak sawit, yang mulai mengancam pasar minyak kedelai di seluruh dunia, ASA melancarkan propaganda yang menuduh minyak sawit mengandung kolesterol dan bahkan sempat mengusulkan agar pemerintah Amerika Serikat melarang minyak sawit masuk ke negara tersebut. Namun tuduhan tersebut tidak pernah terbukti oleh riset-riset ahli gizi dan kesehatan di berbagai negara.
Sejauh ini tak satupun ahli-ahli gizi di dunia yang pernah mengatakan bahwa minyak goreng dari nabati seperti minyak goreng sawit mengandung kolesterol. Kolesterol hanya dihasilkan oleh hewan dan manusia, sedangkan tanaman tidak memiliki kemampuan menghasilkan kolesterol (Calloway dan Kurtz, 1956; USDA, 1979; Cottrell, 1991; Muchtadi, 1998; Muhilal, 1998; Hariyadi, 2010; Giriwono dan Andarwulan 2016).
Sebaliknya, minyak sawit justru mengandung fitosterol merupakan sterol nabati yang berfungsi senyawa bioaktif untuk mengurangi kadar kolesterol di dalam darah (Fauziati et al., 2019). Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit cenderung “net netral” karena tidak mempengaruhi tingkat kolesterol pada tubuh. Senyawa bioaktif lainnya dalam minyak sawit seperti squalene dan polifenol juga memiliki fungsi untuk menghambat penyerapan, reabsorpsi, dan sintesis kolesterol (Longganathan et al., 2010; Hariyadi, 2020).
Mitos 5-09
Konsumsi minyak sawit meningkatkan kolesterol darah sehingga memicu penyakit jantung dan kardiovaskuler/aterosklerosis
Kandungan asam palmitat (termasuk dalam saturated fatty acids) yang relatif tinggi pada minyak sawit (Tabel 1) dijadikan sebagai landasan pihak anti sawit untuk menyebarkan isu/mitos. Salah satu mitos sawit yang berkembang adalah konsumsi minyak sawit dapat meningkatkan kolesterol dan memicu penyakit kardiovaskuler.
Secara alamiah, kolesterol merupakan suatu lemak yang sebetulnya sangat penting untuk kesehatan tubuh. Namun jika kadarnya terlalu tinggi dan tidak seimbang, maka kondisi tersebut tidak menyehatkan bagi tubuh.
Terdapat tiga fraksi lemak yang menentukan kualitas kolesterol dalam tubuh, yakni LDL (Low Density Lipoprotein) atau sering disebut kolesterol jahat, HDL (High Density Lipoprotein) atau sering disebut kolesterol baik, dan asam lemak (Trigliserida). Umumnya LDL dan trigliserida yang tinggi dapat berbahaya bagi kesehatan. Sebaliknya, HDL yang meningkat sampai level tertentu justru diinginkan dan baik untuk kesehatan. Dengan kata lain, segala sesuatu yang dapat menaikkan LDL dan Trigliserida sama artinya dengan menaikkan kadar kolesterol jahat. Sedangkan, jika menaikkan HDL berarti juga meningkatkan kolesterol baik.
Kaitan antara konsumsi minyak goreng sawit terhadap kolesterol tubuh sudah banyak dibuktikan para ahli gizi dan kesehatan. Puluhan hasil riset di dalam dan di luar negeri yang telah mengungkapkan hal tersebut dan dipublikasikan dalam jurnal-jurnal internasional (seperti American Journal of Clinic Nutrition dan Journal Nutrition Biochemistry) telah menguji apakah konsumsi minyak sawit meningkatkan kolesterol tubuh. Studi Mien et al. (1989) mengungkapkan konsumsi minyak sawit dapat menurunkan LDL sebesar 21 persen dan menurunkan trigliserida sebesar 14 persen serta menaikkan HDL sebesar 24 persen. Artinya mengkonsumsi minyak sawit justru menurunkan kolesterol jahat dan sekaligus meningkatkan kolesterol baik sehingga bermanfaat bagi kesehatan tubuh.
Hasil penelitian para ahli lainnya (Lindsey et al., 1990; Hayes et al., 1995; Ng et al., 1992; Goodnight et al., 1992; Truswell et al., 1992; Wood et al., 1993; Hayes et al., 1995; Aro, 1995; Choudhury et al., 1995; Sundram et al., 1994, 1995, 1997; Choudhury et al., 1995; Ghafoorunissa et al., 1995; Zhang et al., 1997b; Hornstra, 1998; French et al., 2002; Voon et al., 2011; Gouk et al., 2013; Gouk et al., 2014) menghasilkan kesimpulan yang mendukung bahwa konsumsi minyak goreng sawit tidak meningkatkan kolesterol tubuh.
Bahkan sebaliknya, konsumsi minyak sawit justru memperbaiki kolesterol tubuh yakni meningkatkan kolesterol baik (HDL) dan menurunkan kadar kolesterol jahat (LDL dan trigliserida) serta mengurangi deposisi lemak tubuh. Sehingga mengkonsumsi minyak sawit sesungguhnya dapat mengurangi/mencegah berbagai penyakit yang terkait dengan kadar dan kualitas kolesterol darah seperti penyakit kardiovaskuler/aterosklerosis.
Isu pengaitan minyak sawit dengan penyakit kardiovaskuler juga masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Studi Marangoni et al. (2017) mengungkapkan bahwa konsumsi minyak sawit pada manusia (dalam batasan konsumsi saturated fatty acid kurang dari 10 persen dari total energi) tidak memiliki efek pada resiko penyakit jantung. Studi Odia et al. (2015) bahkan telah merangkum banyak penelitian ilmiah yang menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit baik pada hewan maupun manusia tidak meningkatkan kadar kolesterol serum sehingga dianggap tidak memiliki risiko tambahan untuk penyakit kardiovaskuler.
Uraian di atas menunjukkan bahwa tidak ada bukti kuat yang menunjukkan konsumsi minyak sawit meningkatkan kolesterol darah yang dapat memicu penyakit jantung. Studi-studi di atas justru menunjukkan peranan minyak sawit untuk meminimalisir resiko terkena penyakit jantung. Minyak sawit yang memiliki kandungan asam lemak yang seimbang, bebas asam lemak trans, dan dilengkapi dengan senyawa bioaktif seperti karotenoid (vitamin A), tocopherols dan tocotrienols (vitamin E), squalene, dan ubiquinone justru berfungsi melindungi kesehatan jantung (cardioprotection effects).
Mitos 5-10
Minyak sawit memicu penyakit kanker
Selain penyakit kardiovaskuler, kandungan asam palmitat (asam lemak jenuh) yang relatif tinggi juga dikaitkan dengan isu minyak sawit sebagai pemicu penyakit kanker. Isu tersebut dipromosikan oleh berbagai studi yang dipublikasikan pada jurnal internasional salah satunya studi Pascual et al., (2021). Studi tersebut (Raharjo, 2022) ternyata diperoleh dari konsumsi minyak sawit berlebihan yakni 42 persen dari total kalori atau melebihi asupan normal (asupan normal adalah maksimal 30 persen total lemak dengan kandungan asam lemak jenuh dibawah 10 persen).
Peneliti sebelumnya yakni Fattore dan Fanelli (2013) serta Gesteiro et al. (2019) justru menunjukkan temuan studi yang berbeda. Kedua studi tersebut menunjukkan bahwa tidak ada bukti spesifik yang menunjukkan konsumsi minyak sawit dapat meningkatkan resiko kanker. Bahkan berbagai studi justru menunjukkan konsumsi minyak sawit dapat berperan menekan perkembangan sel kanker, menurunkan, dan mengendalikan pertumbuhan (berat dan volume) tumor serta dapat mencegah berbagai penyakit degeneratif lainnya (Sylvester et al., 1986; Chong, 1987; Sundram et al., 1989; Komiyama et al., 1989; Muhilal et al, 1991; Iwasaki dan Murokoshi, 1992; Goh et al., 1994; Guthrie et al., 1993, 1995).
Minyak sawit yang kaya antioksidan seperti karoten (Vitamin A) serta tocopherols dan tocotrienols (Vitamin E) mampu melawan radikal bebas sebagai penyebab mutasi sel kanker sehingga dapat mencegah penyakit kanker (Sundram et al., 1990; Oluba et al., 2009). Sebagai catatan, minyak sawit memiliki kandungan antioksidan yang lebih tinggi, dimana kandungan tocotrienols pada minyak sawit dua kali lebih banyak dibandingkan dengan minyak kedelai (Cho et al., 2009) sehingga kemampuan minyak sawit dalam mencegah kanker lebih besar (McIntyre et al., 2000).
Uraian di atas menunjukkan bahwa belum ada studi empiris yang membuktikan bahwa konsumsi minyak sawit pemicu kanker. Kandungan antioksidan yang tinggi pada minyak sawit justru menjadi “obat” yang mencegah berkembangnya sel kanker. Selain karotenoid, tocopherols, dan tocotrienols yang kaya antioksidan, senyawa bioaktif lain yang terkandung dalam minyak sawit seperti fitosterol, squalene, polifenol, dan co-enzyme Q10 (ubiquinone) juga memiliki sifat anti-cancer (Loganathan et al., 2010).
Mitos 5-11
Konsumsi minyak sawit dapat menimbulkan diabetes
Dalam beberapa tahun terakhir memang berkembang isu mengkaitkan konsumsi minyak nabati dengan diabetes. Penelitian tentang pengaruh konsumsi minyak sawit terhadap diabetes sampai saat ini sangat terbatas dilakukan para ahli gizi dan kesehatan karena kasusnya jarang ditemukan.
Bukti terkait efek konsumsi minyak sawit pada biomarker metabolisme glukosa masih terbatas (Zulkiply et al., 2019). Studi tersebut juga mengungkapkan tidak ada manfaat tambahan dari penggantian minyak sawit dengan minyak nabati lain yang kaya akan asam lemak tak jenuh tunggal atau asam lemak tak jenuh ganda terhadap perubahan metabolisme glukosa.
Sementara itu, beberapa penelitian (Odia et al., 2015; Marangoni et al., 2017; Genova et al., 2018) menunjukkan bahwa sama seperti penyakit kronis lainnya yang dikaitkan dengan minyak sawit seperti kardiovaskuler dan kanker, konsumsi minyak sawit dalam diet seimbang nampaknya juga tidak menimbulkan peningkatan risiko terhadap penyakit diabetes pada orang dewasa atau populasi pediatrik.
Kasus diabetes terkait dengan sekresi insulin yang sangat penting dalam metabolisme gula darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minyak sawit tidak mempengaruhi sekresi insulin sehingga tidak menimbulkan diabetes bahkan cenderung menurunkan kasus diabetes. Penelitian Sundram et al. (2007), Peairs et al. (2011), dan Filippou et al. (2014) menemukan bahwa konsumsi minyak sawit tidak mempengaruhi laju aktivitas/fungsi (sekresi) insulin maupun kadar glukosa darah. Bahkan studi Bovet et al. (2009) mengungkapkan bahwa penurunan konsumsi minyak sawit justru meningkatkan kasus diabetes.
Hal yang menarik adalah bahwa konsumsi minyak kedelai hidrogenisasi penuh (fully hydrogenated soybean oil) maupun hidrogenisasi parsial (partially hydrogenated soybean oil) justru menghambat produksi kelenjar insulin, meningkatkan kadar glukosa darah, dan menurunkan HDL kolesterol (Sundram et al., 2007). Dengan demikian sangat jelas bahwa konsumsi minyak sawit sebagai bahan makanan tidak mempengaruhi sekresi insulin maupun diabetes. Sebaliknya konsumsi minyak kedelai yang mengalami hidrogenisasi justru menghambat produksi insulin sehingga berpotensi meningkatkan kasus diabetes.
Uraian di atas menunjukkan bahwa belum ada bukti kuat yang mengungkapkan bahwa konsumsi minyak sawit menyebabkan penyakit diabetes. Meskipun masih terbatas, berbagai studi justru menunjukkan bahwa minyak sawit tidak mempengaruhi sekresi insulin sehingga tidak menimbulkan diabetes. Selain itu, kandungan tocotrienols pada minyak sawit juga memiliki manfaat kesehatan salah satunya anti-diabetic (Budin et al., 2009; Muharis et al., 2010; Longganathan et al., 2010).
Mitos 5-12
Konsumsi minyak sawit menyebabkan obesitas
Saat ini, obesitas telah menjadi salah satu masalah kesehatan yang mendapatkan fokus masyarakat global. Bahkan World Health Organization (WHO) telah menggolongkan obesitas sebagai epidemi global yang harus segera ditangani. Hal ini dikarenakan obesitas yang ditunjukkan dengan peningkatan berat badan diasosiasikan dengan resiko berbagai penyakit kronis seperti kardiovaskuler, diabetes melitus, stroke, dan beberapa jenis kanker.
Beberapa studi (Murase et al., 2001; Yusuf at al., 2005) mengungkapkan adanya kaitan kuat antara konsumsi asam lemak jenuh (saturated fat) terhadap obesitas. Berkaitan dengan hasil studi tersebut, minyak sawit yang mengandung proporsi asam lemak jenuh yang tinggi (Tabel 5.1) kembali diasosiasikan sebagai pemicu obesitas dan kardiovaskuler (Chong dan Ng, 1991; Sowers, 2003). Namun selain asam lemak jenuh, minyak sawit juga mengandung asam lemak tak jenuh yang relatif tinggi sehingga secara keseluruhan perilaku dari asam lemak minyak sawit cenderung sebagai asam lemak tak jenuh.
Jika dilihat dari definisi WHO, obesitas adalah penumpukan lemak tubuh yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu yang lama. Minyak sawit sendiri merupakan pangan sumber lemak yang memiliki peranan penting bagi tubuh baik sebagai sumber energi, menyuplai asam lemak esensial bagi tubuh, bermanfaat untuk penyerapan vitamin A, D, E, K, serta menyediakan substrat penting untuk sintesis senyawa aktif metabolik seperti hormon steroid, testosteron, estrogen, dan progresteron (MPOC, 2016; Olabiyi et al., 2021).
Namun dengan mengkaitkan konsumsi minyak sawit secara langsung menyebabkan obesitas merupakan pandangan yang berlebihan. Obesitas dipengaruhi oleh multi faktor seperti dietary habits, aktivitas, dan gaya hidup. Hal ini juga searah dengan studi Muhamad et al. (2018) yang telah merangkum berbagai studi dan menyimpulkan bahwa tidak ada bukti yang jelas dan tegas menunjukkan hubungan yang kuat antara konsumsi minyak sawit dengan obesitas.
Hal yang lebih penting untuk mengatasi obesitas, bukanlah dengan “mengkambinghitamkan” asam lemak jenuh yang terkandung dalam minyak sawit. Menekankan keseimbangan energi dan pemilihan lemak sehat untuk menggantikan karbohidrat sederhana dan gula rafinasi adalah kunci untuk mencegah masalah kelebihan berat badan dan obesitas. Minyak sawit justru menjadi alternatif diet untuk mengurangi resiko obesitas karena bebas asam lemak trans (free trans-fat) dan tidak mengandung kolesterol.
Mitos 5-13
Minyak goreng sawit berbahaya bagi kesehatan karena kandungannya, bukan karena cara penggunaannya yang salah
Sebagian besar minyak goreng yang diperdagangkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia merupakan minyak goreng sawit. Secara alamiah, minyak sawit memiliki banyak keunggulan. Minyak sawit memiliki keunggulan dari aspek gizi dan nutrisi yang seimbang. Keunggulan sifat fisik dan kimiawi seperti tingkat stabilitas oksidatif yang tinggi, stabil pada temperatur tinggi, titik asap tinggi, tidak mudah tengik sehingga awet dalam penyimpanan, penyerapan minyak rendah pada makanan, tidak berbau, dan beraroma netral (Hariyadi, 2010; MPOC, 2018) telah menjadikan minyak sawit sebagai minyak goreng terbaik yang dapat digunakan baik pada proses menggoreng (deep frying) atau menumis (sauteing).
Namun sangat disayangkan dibalik keunggulannya tersebut, persepsi dan mitos negatif terkait bahaya mengkonsumi minyak goreng sawit telah mengakar kuat. Informasi menyesatkan ditambah dengan framing media berhasil membentuk persepsi negatif konsumen global terhadap minyak goreng sawit karena dianggap meningkatkan kolesterol sehingga memicu penyakit kronis seperti kardiovaskuler, kanker, diabetes, dan obesitas.
Persepsi negatif dan mitos tersebut harus diluruskan dengan fakta bahwa bukan minyak goreng sawit yang berbahaya, melainkan cara penggunaan minyak goreng sawit yang salah. Penggunaan minyak goreng sawit yang berulang pada suhu tinggi (160-180 derajat celcius) memicu reaksi oksidasi sehingga menyebabkan penurunan kualitas minyak goreng sawit yang ditunjukkan dengan berbau tengik hingga membentuk radikal bebas yang membahayakan kesehatan (Ketaren, 1986; Retno, 1995; Husnah dan Nurlela, 2020; Sinaga, 2021). Penggunaan minyak goreng sawit yang berulang tersebut menyebabkan penurunan nilai gizi (Zahra et al., 2013).
Uraian di atas menunjukkan bahwa dari segi kandungan gizi, minyak goreng sawit merupakan bahan pangan yang sehat. Namun jika penggunaannya tidak tepat, misalnya menggunakan minyak goreng sawit berulang-ulang (minyak jelantah/Used Cooking Oil), selain menurunkan nilai gizi juga berpotensi merugikan kesehatan. Oleh karena itu, menggunakan minyak goreng sawit secara tepat guna, perlu menjadi salah satu bahan edukasi publik agar publik dapat menikmati keunggulan gizi minyak goreng sawit.
Mitos 5-14
Kandungan gizi pada minyak sawit merah lebih buruk sehingga tidak bermanfaat bagi kesehatan
Para peneliti gizi dunia menyebut minyak sawit sebagai “the world’s richest natural source of carotenoids”. Warna merah kekuning-kuningan pada Crude Palm Oil (CPO) mencerminkan bahwa tingginya kandungan karotenoid sebagai prekusor vitamin A. Minyak sawit juga kaya akan vitamin E dan senyawa bioaktif lainnya yang bermanfaat bagi tubuh manusia.
Sebagian besar pemanfaatan minyak sawit untuk pangan adalah dalam bentuk minyak goreng. Aplikasi teknologi pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng selama ini sengaja mereduksi bahkan menghilangkan karoten agar menghasilkan minyak berwarna kuning keemasan (Yuliasari et al., 2014) sehingga sesuai dengan preferensi masyarakat Indonesia dan lebih diterima pasar. Selain mengakomodir preferensi masyarakat yang terbiasa mengkonsumsi minyak goreng dengan warna putih (minyak kelapa, minyak inti sawit) dan warna kuning (minyak sawit), standar perdagangan minyak goreng selama ini adalah minyak goreng berwarna putih dan kuning.
Untuk mempertahankan kandungan senyawa bioaktif alami pada minyak sawit, kemudian dikembangkan minyak sawit merah (Red Palm Oil/Red Palm Olein). Proses pengolahan minyak sawit merah dilakukan penyesuaian teknologi seperti tanpa bleaching dan deodorisasi suhu rendah (Alyas et al., 2006; Ayustaningwarno, 2012; Hasibuan et al., 2021). Dengan modifikasi pengolahan yang demikian, minyak sawit merah masih mengandung senyawa bioaktif dengan kadar yang lebih tinggi (Tabel 6).
Tabel 6 : Komposisi Senyawa Bioaktif pada Minyak Sawit Merah
Senyawa Bioaktif | Konsentrasi (PPM) |
---|---|
Carotenoids | 600-750 |
Vitamin E | 717-863 |
Phystosterols | 235-365 |
Squalene | 14-15 |
Co-enzyme Q10/Ubiquinone | 18-25 |
Kadar senyawa bioaktif pada minyak sawit merah relatif tidak jauh berbeda dengan minyak sawit mentah (CPO) yang belum diolah. Berbagai studi (Nesaretnam et al., 2002; Kritchevsky et al., 2002; Cooper et al., 2002; Oguntibeju, 2009; Ayeleso et al., 2012; Katengua‐Thamahane et al., 2014; Loganathan et al., 2017; Sinaga, 2021; Olabiyi et al., 2021) mengungkapkan bahwa tingginya kandungan antioksidan yang bersumber dari karoten dan vitamin E (tocopherols dan tocotrienols) serta senyawa bioaktif lainnya pada minyak sawit merah bermanfaat bagi kesehatan seperti mencegah kanker, melindungi kesehatan jantung, mencegah atherosclerosis, menurunkan kolesterol, menurunkan tekanan darah, menyehatkan organ reproduksi, memperbaiki metabolisme berkaitan dengan diabetes, melindungi sel-sel dalam tubuh dari kerusakan dan inflamasi, meningkatkan kesehatan otak, serta menjaga imunitas tubuh.
Kandungan karoten yang tinggi pada minyak sawit merah juga dapat dijadikan sebagai sumber vitamin A untuk mengurangi dan mencegah kekurangan vitamin A (Scrimshow, 2000; Longganathan et al., 2017) seperti stunting. Untuk tujuan pencegahan stunting, minyak sawit merah dapat diolah lebih lanjut sebagai bahan fortifikasi produk pangan (misal minyak goreng sawit) maupun produk suplemen kesehatan (Hasibuan dan Siahaan, 2014; PASPI Monitor, 2021).
Mitos 5-15
Aplikasi minyak sawit pada produk pangan hanya terbatas pada minyak goreng
Masyarakat Afrika telah mengkonsumsi minyak sawit baik sebagai bahan pangan maupun pengobatan tradisional, sejak sebelum masa penjajahan di abad ke-18. Tidak hanya diekstraksi minyaknya, buah sawit matang juga difermentasi untuk menghasilkan wine (Carrere, 2013). Dan hingga saat ini, sekitar 70-90 persen minyak sawit dunia digunakan untuk produk pangan (Sheil et al., 2009; Shimizu dan Descrochers, 2012; Gaskell, 2012; Kojima et al., 2016; Parcell et al., 2018; Hariyadi, 2020).
Minyak sawit memiliki karakteristik seperti stabil pada suhu tinggi baik terhadap oksidasi atau proses degradasi lainnya, memiliki zat pengawet alami sehingga lebih tahan lama, tekstur yang lembut dan creamy, tidak berbau, tidak ada rasanya, memiliki kecenderungan untuk mengkristal, serta memiliki kandungan gizi dan nutrisi yang bermanfaat bagi tubuh (Hariyadi, 2014; Pande et al., 2012; Mba et al., 2015). Minyak sawit memiliki komposisi asam lemak jenuh dan tak jenuh yang unik, seimbang, dan fleksibel sehingga menjadikannya sebagai bahan baku produk turunan yang serbaguna atau versatile functionality (MPOC, 2018) seperti emulsifier dan stabilizer. Ditambah dengan harganya yang relatif lebih kompetitif (murah), pasokan dalam volume besar dan stabil sepanjang tahun, membuat industri pangan dunia semakin “menyukai” minyak sawit.
Minyak goreng merupakan salah satu produk pangan berbasis minyak sawit (khususnya dari fraksi olein) yang banyak digunakan baik dalam konsumsi rumah tangga maupun industri. Dengan keunggulan yang telah disebutkan diatas, menjadikan minyak goreng sawit sebagai “the gold standard in frying” (Hariyadi, 2014).
Selain minyak goreng sawit, masih banyak produk pangan olahan lainnya berbasis minyak sawit yang sudah banyak digunakan oleh masyarakat dunia. Produk pangan yang dihasilkan dari pengolahan minyak sawit dapat dikelompokkan menjadi Culinary Oils/Fats, Bakery Oils/Fats, Chocolate and Confectionery Fats, Dairy Fats Alternatives dan Functional Oils/Fats (Gambar 3). Selain produk pangan, pengolahan kelapa sawit juga dapat menghasilkan produk non-pangan yang ditunjukkan pada Tabel 7.
Gambar 3 : Pohon Industri Produk Oleopangan Berbasis Sawit
Pengolahan minyak sawit menghasilkan dua fraksi yakni olein dan stearin. Olein adalah fraksi cair yang digunakan pada minyak goreng sawit (culinary oils). Sementara stearin adalah fraksi padat pada suhu ruang dan banyak digunakan sebagai komponen lemak keras (hard fat) untuk produk bakery oils/fats seperti margarin dan shortening untuk kue, roti, pastry, biskuit, mie instan, dan lain-lain.
Minyak sawit juga mengandung lemak spesial (speciality fats) yang dapat menjadi alternatif pengganti lemak nabati/hewani. Salah satu penggunaan speciality fats berbasis minyak sawit adalah untuk menggantikan lemak kakao pada produk berbasis cokelat (seperti cocoa butter replacer/substitute), mengganti lemak hewani pada produk krimer (non-diary creamer), keju, ice cream, dan lain-lain. Lemak spesial berbasis minyak sawit juga dapat digunakan dengan tujuan untuk memberikan fungsionalitas tertentu (Functional Oils/Fats), seperti fungsional kesehatan misalnya berperan sebagai human milk fat substitute yang ditemukan pada produk susu formula.
Produk pangan berbasis sawit juga dapat dihasilkan dari pengolahan biomassa seperti batang sawit. Di dalam batang sawit terdapat air nira yang dapat diolah menjadi gula merah sawit (Agustira et al., 2019; PASPI Monitor, 2019g). Keunggulan dari gula merah kelapa sawit lebih sehat dibandingkan gula merah lainnya karena susunan komposisinya berupa fruktosa sehingga cocok untuk pasien diabetes.
Tabel 7 : Penggunaan Minyak Sawit untuk Produk-Produk Pangan, Farmasi, Toiletries dan Kosmetik, serta Energi dan Pelumas
Produk Makanan I | Produk Makanan II |
---|---|
Cooking Oils | Expanded and Extruded Snacks |
Margarine | Nuts (Dried) |
Trans-free Margarine | Doughnuts |
Palm Based Pourable Margarine | Oriental Noodles |
Reduced Fat Spreads | Confentionary Fat and Coating |
Shortening | Sugar Confectionary |
Vanaspati | Ice Cream |
Bakery Fats | Filled Milk |
Biscuit Fats | Coffee Whiteners |
Peanut Butter | Palm Based Santan Powder |
Flour Confectionery | Palm Based Processed Cheese |
Pastry | Microencapsulated Palm Based Product |
Drycake and Pastry Mixed | Palm Based Youghurt |
Palm Based Spray Oil | Palm Olein Salad Dressing |
Frying Oils and Fats | Soup Mixes |
Potato Chips | Emulsifiers |
Produk Farmasi, Kesehatan, Toiletries, Kosmetika I |
---|
Vitamin E |
Provitamin A (Carotine) |
Micro Encapsulated |
Sabun Cuci |
Sabun Mandi |
Sabun Transparan |
Moisturazing Cream |
Anti-Wrinkle Cream |
Skin Whitening Cream |
Suncreen Cream |
Facial Cleansing Cream |
Showed Bath |
Produk Farmasi, Kesehatan, Toiletries, Kosmetika I |
---|
Body Scrub |
Body deodorant |
Colour Cosmetic |
Sampo |
Konditioner |
Hand Wash |
Oral Care |
Detergen |
Lotion |
Lipstick |
Antioksidan |
Produk Bahan Bakar Pelumas | Produk Bahan Bakar Pelumas |
---|---|
Biodiesel Fuel | Transformer Oil |
Hydraulic Fluid | Metal Working Fluid |
Gear Oil | Drilling Mud |
Chainsaw Oil | Grease |
Compressor Oil | Car Shampo |
Turbin Oil | Ethanol/Biopremium |
Biolistrik | Biogas |
Selain diolah menjadi produk pangan, minyak sawit juga dapat diolah menjadi produk kesehatan dalam bentuk vitamin atau suplemen. Kandungan senyawa bioaktif dalam minyak sawit seperti karoten, tokoferol, dan tokotrienol dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan berbagai produk suplemen kesehatan yang jika dikonsumsi dapat membantu dalam menjaga kesehatan tubuh (Tarigan et al., 2022). Produk superfood berbasis minyak sawit merah sudah banyak diperdagangkan di pasar Indonesia dan Malaysia.
Uraian di atas menunjukkan banyaknya produk olahan dari kelapa sawit baik produk pangan maupun non-pangan yang sangat beragam. Dengan semakin berkembangnya riset inovasi di bidang hilir sawit akan semakin memperluas dan memperdalam hilirisasi produk pangan dan non- pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat dunia.
Mitos 5-16
Produk sawit tidak memiliki manfaat bagi kesehatan kulit
Minyak sawit merupakan salah satu sumber oleokimia alami yang tersedia di alam. Salah satu produk olahan (finished product) berbasis oleokimia sawit yang telah banyak digunakan masyarakat dunia adalah biosurfaktan seperti produk-produk personal care dan toiletries seperti sabun, deterjen, shampoo, skincare, kosmetik dan lain-lain (Tabel 7). Biosurfaktan sawit dapat mensubsitusi penggunaan surfaktan berbasis petrokimia dari fosil yang relatif tidak ramah lingkungan dan tidak dapat diperbarui (Hambali et al., 2019).
Biosurfaktan berbasis sawit yang diaplikasikan pada produk sabun, deterjen dan produk kebersihan lainnya, memiliki karakteristik disperse yang baik dengan sifat penyabunan yang baik terutama pada air (Hambali, 2019; Hidayati et al., 2005). Biosurfaktan sawit memiliki kemampuan untuk menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat berperan sebagai cleansing agent yang menghasilkan efek busa banyak dan memiliki sifat mikroba spektrum luas yang efektif mematikan bakteri dan virus, serta dapat dengan mudah mengangkat kotoran namun tetap menjaga kesehatan kulit.
Penggunaan minyak sawit dan turunannya sebagai produk perawatan kulit (skincare) juga semakin diminati oleh masyarakat global. Hal ini dikarenakan minyak sawit adalah bahan alami yang memiliki keunggulan dari segi keamanan dibandingkan dengan minyak mineral maupun komponen sintesis. Produk skincare berbasis sawit yang dihasilkan bebas dari senyawa hidrokarbon polisiklik aromatic yang berbahaya bagi kulit manusia.
Komponen senyawa bioaktif seperti karoten (vitamin A) dan vitamin E pada minyak sawit yang kaya antioksidan juga memiliki manfaat bagi kesehatan kecantikan kulit seperti melembabkan kulit, mempercepat penyembuhan luka bakar, mampu meregenerasi kulit, memperlambat penuaan (anti-aging), dan lain-lain (Longganathan et al., 2010). Senyawa bioaktif lainnya dalam minyak sawit seperti squalene dan ubiquinone juga menjadi salah satu komposisi yang banyak digunakan pada produk skincare (Sinaga, 2021).
Squalene mampu memberikan kelembaban pada kulit khususnya bagi kulit sensitif, memperbaiki kerusakan kulit akibat sinar UV hingga mengatasi kulit berjerawat dan berminyak. Sementara itu, penggunaan ubiquinone yang dikombinasikan dengan karoten juga efektif untuk memperlambat penuaan pada kulit seperti mengurangi kerutan dan mengatasi inflamasi. Bahkan kandungan asam palmitat pada minyak sawit membuat produk tersebut lebih aman digunakan oleh semua jenis kulit karena bersifat non- comedogenic.
Uraian di atas menunjukkan bahwa aplikasi minyak sawit untuk berbagai produk toiletries dan personal care (termasuk skincare) sangat luas dan bervariasi. Kandungan senyawa bioaktif dalam minyak sawit menambah keunggulan produk toilleteries dan skincare berbasis minyak sawit karena dapat memberikan manfaat bagi kesehatan kulit. Diharapkan dengan meningkatnya consumer awareness terhadap produk yang lebih alami dan berkelanjutan, semakin mendorong pemanfaatan minyak sawit yang lebih luas pada produk toiletries dan skincare.
Mitos 5-17
Minyak sawit tidak memiliki manfaat dalam menjaga kesehatan di masa pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 merupakan suatu krisis yang dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia pada abad ke-21. Virus Covid-19 dan variasinya menyebabkan kematian jutaan orang di berbagai negara. Jumlah kasus virus Covid-19 di seluruh dunia juga masih terus terkonfirmasi. Hal ini menunjukkan bahwa virus tersebut masih berada di sekitar kita.
Masyarakat dunia harus menerima keberadaan virus Covid-19 dan variasinya sebagai bagian dari kehidupan, namun tetap berupaya untuk beradaptasi agar tetap produktif. Bentuk adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat dunia di era New Normal diantaranya adalah dengan melakukan vaksin serta menjaga kesehatan dan imunitas tubuh melalui konsumsi makanan yang bergizi dan menjaga higenitas/kebersihan tubuh.
Industri sawit global dapat berperan bagi masyarakat dunia untuk beradaptasi di masa pandemi Covid-19. Peran tersebut ditunjukkan melalui produksi produk pangan yang bergizi dan produk toiletries berbasis sawit (PASPI Monitor, 2020m).
Aplikasi minyak sawit pada produk pangan dan kesehatan sangat luas seperti minyak goreng, margarin, hingga speciality fats dan suplemen/vitamin. Selain memenuhi asupan kalori, konsumsi produk pangan berbasis minyak sawit juga berperan untuk menjaga kesehatan khususnya di masa pandemi Covid-19. Hal ini dikarenakan kandungan karoten (vitamin A), tocopherols dan tocotrienols (vitamin E), serta komponen senyawa bioaktif lainnya pada minyak sawit dapat berperan sebagai antioksidan yang mampu melawan radikal bebas dan meningkatkan imunitas tubuh.
Raharjo (2021) mengungkapkan manfaat lain dari minyak sawit yang berkaitan dengan virus Covid-19. Asam palmitat khususnya pada minyak sawit merah memiliki komponen utama terdiri dari sekitar 60 persen senyawa fosfolipida yang melapisi dinding bagian dalam rongga alveoli paru-paru. Fospolipida tersebut menjaga kesehatan paru-paru karena berfungsi sebagai surfaktan yang dapat membantu memudahkan pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida) dari rongga alveoli ke pembuluh darah atau sebaliknya. Jika seseorang terkena virus Covid-19, maka sel-sel alveoli dalam paru-paru tidak mampu memproduksi fosfolipida yang mengakibatkan terganggunya proses pertukaran gas tersebut. Oleh karena itu, penting untuk menjaga asupan asam palmitat dari makanan sehingga dapat menjaga kesehatan paru-paru.
Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) juga sedang melakukan penelitian terkait pengembangan produk/material baru bebasis minyak sawit untuk meningkatkan sistem imunitas sebagai pertahanan tubuh untuk melawan virus dan bakteri, termasuk virus Covid-19 (PASPI Monitor, 2020m). Penelitian tersebut memanfaatkan asam laurat yang terdapat dalam minyak inti sawit sebagai material imunomodulator untuk memodulasi sistem kekebalan tubuh sebagai tindakan preventif infeksi virus (Panjaitan, 2020).
Peran industri sawit dalam menghadapi pandemi Covid-19 ditunjukkan melalui produksi produk toiletries. Selain produk toiletries berbasis oleokimia sawit yang sudah dikenal publik (seperti sabun, deterjen, dan lain-lain), industri sawit juga berinovasi untuk menghasilkan hand sanitizer dan biodisinfektan yang banyak dibutuhkan untuk menjaga higenitas/kebersihan diri dan lingkungan di masa pandemi.
Penerapan protokoler kesehatan seperti rajin mencuci tangan serta menjaga kebersihan diri dan lingkungan menjadi kebiasaan baru yang dilakukan oleh seluruh masyarakat di dunia ditengah pandemi. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan permintaan terhadap produk-produk toiletries berbasis oleokimia sawit (Hutabarat, 2021).
Uraian di atas menunjukkan peranan industri sawit menghasilkan produk pangan dan toiletries yang dibutuhkan oleh masyarakat global untuk beradaptasi di era pandemi Covid-19. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit juga menjadi bagian solusi adaptasi New Normal.