Selama ini berkembang opini sawit dalam isu ekonomi seperti industri sawit hanya menguntungkan pelaku usahanya (eksklusif) dan kurang memberi manfaat bagi perekonomian secara keseluruhan (inklusif). Indonesia telah berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia sekaligus produsen minyak nabati terbesar dunia. Namun, seberapa besar kontribusi industri sawit dalam bidang ekonomi masih sering menjadi pertanyaan publik.
Secara umum, kontribusi industri sawit dalam bidang ekonomi antara lain meningkatkan ketahanan pangan, ketahanan energi, dan ketahanan ekonomi masyarakat di berbagai level baik level lokal/desa, level daerah, level nasional, bahkan level global. Kontribusi industri sawit dalam menciptakan ketahanan ekonomi dapat dilihat pada peningkatan pendapatan petani, perkembangan ekonomi desa, pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) dan nasional (PDB), serta pendapatan negara-negara importir minyak sawit. Bagi Indonesia, industri sawit merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar baik melalui ekspor produk sawit maupun penghematan devisa migas impor dari subsitusi biodiesel sawit.
Pada artikel ini, akan disajikan secara dialektik berbagai mitos, opini, tudingan dengan fakta-fakta tentang peran dan kontribusi industri sawit pada bidang ekonomi baik pada level global, nasional, regional maupun lokal.
Materi Isu Minyak Sawit dalam Isu Ekonomi
- Mitos 3-01 Kontribusi minyak sawit dalam pangan global tidak signifikan
- Mitos 3-02 Kontribusi minyak sawit dalam energi global tidak signifikan
- Mitos 3-03 Produk sawit tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-sehari oleh masyarakat global
- Mitos 3-04 Industri sawit tidak berkontribusi pada perekonomian global
- Mitos 3-05 Sawit dalam Isu Ekonomi : Impor minyak sawit tidak berkontribusi pada penerimaan pemerintah negara importir
- Mitos 3-06 Industri sawit bersifat eksklusif yang manfaat ekonominya hanya dinikmati oleh pelaku usahanya sendiri
- Mitos 3-07 Industri sawit tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB Indonesia
- Mitos 3-08 Industri sawit tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah
- Mitos 3-09 Keberadaan perkebunan kelapa sawit menciptakan keterbelakangan di kawasan pedesaan
- Mitos 3-10 Ketahanan ekonomi Desa Sawit lebih lemah dibandingkan Desa Non-Sawit
- Mitos 3-11 Pendapatan petani sawit lebih rendah dibandingkan pendapatan petani non- sawit
- Mitos 3-12 Ekspansi perkebunan kelapa sawit mengancam ketahanan pangan nasional
- Mitos 3-13 Petani dan desa sawit kekurangan pangan
- Mitos 3-14 Industri sawit Indonesia hanya mengekspor bahan mentah
- Mitos 3-15 Pengembangan biodiesel sawit tidak berdampak pada penurunan ketergantungan impor solar fosil
- Mitos 3-16 Pengembangan biodiesel sawit tidak berdampak pada penghematan devisa solar impor dan neraca perdagangan migas Indonesia
- Mitos 3-17 Pungutan ekspor (export levy) hanya dinikmati oleh pengusaha biodiesel
- Mitos 3-18 Pengembangan biodiesel sawit merugikan perekonomian Indonesia
- Mitos 3-19 Devisa yang dihasilkan industri sawit Indonesia relatif kecil dibandingkan sektor ekspor lainnya
- Mitos 3-20 Industri sawit tidak signifikan berkontribusi pada neraca perdagangan Indonesia
- Mitos 3-21 Industri sawit tidak berkontribusi pada penerimaan pemerintah
- FAQ
Mitos 3-01
Mitos 3-01 Kontribusi minyak sawit dalam pangan global tidak signifikan
Minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO dan Crude Palm Kernel Oil/CPKO) merupakan minyak nabati yang banyak diperdagangkan secara internasional (USDA, 2022; FAO, 2022). Perdagangan minyak sawit global melibatkan hampir seluruh negara di dunia baik sebagai produsen maupun konsumen (Gambar 1) yakni sekitar 10 negara produsen, 39 negara eksportir, dan 220 negara importir/konsumen. Perdagangan minyak sawit dunia mencakup minyak sawit dalam bentuk produk antara (intermediate product) maupun produk jadi (finished product).
Gambar 1 : Minyak Sawit Berperan sebagai Feeding the World (Sumber: Trademap; data diolah PASPI, 2022)
Sekitar 70-90 persen minyak sawit yang diperdagangkan di pasar dunia digunakan untuk pangan (Sheil et al., 2009; Shimizu dan Descrochers, 2012; Gaskell, 2012; Kojima et al., 2016; Parcell et al., 2018; Hariyadi, 2020). Minyak sawit telah dijadikan sebagai sumber pangan bagi masyarakat Afrika sejak abad ke-18. Hingga hari ini berbagai produk pangan berbasis minyak sawit seperti minyak goreng, margarin, shortening, ice cream, creamer, cokelat, biskuit, speciality fats, dan lain-lain, tersedia dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat dunia
Peran minyak sawit sebagai sumber pangan dapat terlihat pada level negara/kawasan. Misalnya pada tahun 2021, penggunaan minyak sawit untuk pangan di China sebesar 66 persen, India sebesar 96 persen, Pakistan sebesar 98 persen dan Uni Eropa sebesar 36 persen.
Terdapat perbedaan konsumsi produk pangan berbasis minyak sawit antara Asia dan Eropa (Rifin, 2011; Kojima et al., 2016). Bagi masyarakat di kawasan Asia, minyak sawit lebih banyak digunakan sebagai minyak goreng yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun industri. Sedangkan di kawasan Eropa dan Amerika, minyak sawit lebih banyak dipergunakan sebagai bahan baku oleh industri pangan untuk menghasilkan produk pangan seperti bakery, biskuit, cokelat, dan lain-lain.
Selain pangan untuk manusia (oleofood), salah satu produk sampingan (by-product) kelapa sawit yakni Palm Kernel Meal (HS 2306.60) juga dipergunakan sebagai bahan baku industri pakan ternak (feedmill) dunia. Palm Kernel Meal (PKM) digunakan oleh industri pakan ternak global (PASPI Monitor, 2021n) untuk memenuhi kebutuhan pakan yang meningkat seiring dengan peningkatan produksi produk peternakan dan tren memelihara hewan kesayangan (pet animal).
Ekspor PKM dari negara produsen minyak sawit, khususnya Indonesia dan Malaysia, menunjukkan peningkatan yakni dari sekitar 2.8 juta ton pada tahun 2000 menjadi sekitar 7 juta ton pada tahun 2021 (Gambar 2). Pangsa ekspor PKM Indonesia meningkat dari 37 persen menjadi 71 persen pada periode tersebut.
Gambar 2 : Volume Ekspor Palm Kernel Meal Dunia (Sumber: USDA, 2022; data diolah PASPI)
Selain PKM, terdapat produk sawit lainnya yang berpotensi digunakan sebagai bahan baku industri pakan (PASPI Monitor, 2021p) yakni POME (Palm Oil Mill Effluent), PPF (Palm Press Fibre), OPF (Oil Palm Fronds). Produk sampingan kelapa sawit merupakan baku pakan ternak unggas, ruminansia, dan perikanan (Sinurat, 2003; Boateng et al., 2008; Kum dan Zahari, 2011, Abdeltawab et al., 2018; Nikhlany et al., 2022).
Dengan demikian kiranya jelas bahwa industri sawit dunia merupakan bagian dari ketahanan pangan global atau feeding the world (PASPI Monitor, 2021d). Berbagai produk pangan berbasis minyak sawit merupakan bahan pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga, industri pangan, maupun food service industry.
Mitos 3-02
Mitos 3-02 Kontribusi minyak sawit dalam energi global tidak signifikan
Selain menghasilkan bahan pangan global, industri sawit juga menghasilkan bahan baku energi baru dan terbarukan (renewable energy) bagi masyarakat dunia. Renewable energy yang dihasilkan dari industri sawit mencakup (Gambar 3):
- Energi Terbarukan Generasi Pertama (First Generation Renewable Energy) yang merupakan hasil olahan minyak sawit (CPO+CPKO) seperti biodiesel/FAME, green diesel, green gasoline, green avtur;
- (2) Energi Terbarukan Generasi Kedua (Second Generation Renewable Energy) yang merupakan hasil olahan biomassa sawit (tandan kosong, pelepah, cangkang, serat) seperti bioethanol, biopellet, briket arang, biocoal, biogas, biolistrik; dan
- (3) Energi Terbarukan Generasi Ketiga (Third Generation Renewable Energy) merupakan hasil olahan dari limbah cair Palm Oil Mill Effluent/POME menghasilkan biogas (dengan teknologi methane capture) dan biodiesel algae (dengan teknologi kolam algae).
Gambar 3 : Energi Baru dan Terbarukan Berbasis Sawit
Renewable energy berbasis sawit seperti biodiesel/FAME dan bio-coal sudah banyak digunakan di berbagai negara. Produk renewable energy generasi pertama lainnya seperti greenfuel sawit (green diesel, green gasoline dan green avtur) sedang dikembangkan di Indonesia. Sementara itu, produk renewable energy generasi kedua dan generasi ketiga (biogas) umumnya sudah digunakan pada tingkat lokal.
Minyak sawit memiliki peran penting dalam industri biodiesel global. Volume penggunaan minyak sawit pada industri biodiesel dunia meningkat dari 3.9 juta ton tahun 2011 menjadi 15.2 juta ton pada tahun 2021 (Gambar 4).
Gambar 4 : Volume Minyak Sawit yang Digunakan sebagai Bahan Baku Industri Biodiesel Dunia
Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia juga mengolah minyak sawit menjadi biodiesel (Faty Acid Methyl Ester/FAME). Bahkan Indonesia menjadi produsen biodiesel berbasis minyak sawit terbesar di dunia atau produsen biodiesel kedua terbesar dunia dengan pangsa sebesar 17 persen, setelah Amerika Serikat dengan biodiesel kedelainya.
Dalam periode tahun 2011-2021, produksi biodiesel Indonesia meningkat dari 243 ribu kiloliter menjadi 8.9 juta kiloliter (Gambar 5). Pengembangan biodiesel sawit di Indonesia utamanya ditujukan untuk konsumsi domestik dan sisanya diekspor.
Gambar 5 : Produksi dan Ekspor Biodiesel Sawit Indonesia selama Periode Tahun 2011-2021 (Sumber: Kementerian ESDM, APROBI)
Uraian di atas menunjukkan bahwa industri sawit berkontribusi dalam penyediaan energi global baik sebagai bahan baku maupun sebagai produk akhir. Potensi bahan baku energi dari industri sawit yang belum dimanfaatkan masih cukup besar.
Mitos 3-03
Mitos 3-03 Produk sawit tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-sehari oleh masyarakat global
Minyak sawit adalah bahan baku serbaguna (versatile) yang aplikasinya luas dalam berbagai produk. Minyak sawit digunakan oleh industri manufaktur global sebagai bahan baku untuk menghasilkan berbagai macam produk seperti produk pangan, toiletries dan kosmetik, serta energi.
Produk berbasis sawit digunakan oleh masyarakat global selama 24 jam mulai dari pagi, siang hingga malam (Gambar 6). Masyarakat konsumen menggunakan produk sawit dalam bentuk produk toiletries (sabun, shampo, body lotion, pasta gigi, sabun wajah, shaving foam) dan produk kebersihan lainnya (deterjen) serta produk skincare (pelembab, sunscreen, serum) dan make-up (lipstick, foundation, bedak).
Masyarakat konsumen juga mengkonsumsi produk pangan yang mengandung minyak sawit seperti minyak goreng, creamer, selai cokelat, roti, margarin, sereal, susu, biskuit, keripik kentang, mayonais, salad dressing, dan lain-lain.
Gambar 6. Produk Sawit dalam Kegiatan Sehari-hari
Produk sawit juga dikonsumsi masyarakat konsumen pada kegiatan transportasi dalam bentuk biodiesel sawit sebagai bahan bakar kendaraan. Tidak hanya sumber energi bahan bakar, kelapa sawit juga menjadi komponen lain pada kendaraan seperti car seat, cat kendaraan (car paint), ban, biopelumas hingga helm. Aktivitas di sekolah atau kantor juga tidak luput dari produk sawit yang ditemukan pada tinta buku (palm-based ink), pewarna pada pakaian hingga dinding (wall paint). Produk sawit juga ditemukan pada beragam furniture rumah seperti lemari, kursi dan meja.
Dengan demikian, kiranya cukup jelas bahwa produk sawit merupakan bagian dari kehidupan masyarakat konsumen mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali. Kehadiran industri sawit sangat penting untuk mendukung kehidupan masyarakat global.
Mitos 3-04
Mitos 3-04 Industri sawit tidak berkontribusi pada perekonomian global
Sebagaimana didiskusikan pada isu kontribusi minyak sawit dalam pangan yang tidak signifikan menunjukkan bahwa kontribusi minyak sawit adalah yang terbesar dalam penyediaan minyak nabati dunia. Produksi minyak sawit dunia meningkat dari sekitar 55 juta ton tahun 2010 menjadi 84.2 juta ton tahun 2021 (USDA, 2022). Peningkatan produksi tersebut juga disertai dengan peningkatan volume perdagangan minyak sawit dunia yakni dari sekitar 40.5 juta ton menjadi 42 juta ton pada periode yang sama.
Negara/kawasan yang menjadi importir minyak sawit terbesar di dunia selama periode tahun 2010-2021 (Tabel 1) adalah India (18 persen), Uni Eropa (15 persen), China (15 persen), Afrika (13 persen) dan Amerika Serikat (4 persen).
Minyak sawit yang diimpor oleh kawasan/negara importir tersebut selanjutnya diolah lebih lanjut menjadi berbagai produk hilir. Kegiatan hilirisasi sawit di negara tersebut menciptakan berbagai manfaat ekonomi. Pendalaman dan perluasan hilirisasi sawit di negara importir tidak hanya menciptakan manfaat langsung (direct impact) dan manfaat tidak langsung (indirect impact) bagi sektor-sektor ekonomi secara keseluruhan yang pada akhirnya dinikmati oleh masyarakat secara keseluruhan (induced consumption impact) baik melalui konsumsi produk sawit secara langsung maupun tidak langsung.
Tabel 1. Top-5 Importir Minyak Sawit Dunia Periode Tahun 2010-2021
Negara/Kawasan | 2010* | 2011* | 2012* | 2013* | 2014* |
---|---|---|---|---|---|
Dunia | 36,913 | 43,779 | 48,923 | 50,551 | 51,340 |
India | 5,731 | 8,963 | 9,120 | 9,340 | 8,245 |
China | 6,132 | 5,249 | 6,983 | 7,250 | 8,100 |
EU-27 | 5,498 | 7,426 | 7,350 | 7,050 | 6,900 |
USA | 1,266 | 1,662 | 1,944 | 1,860 | 2,055 |
Africa | 4,659 | 5,377 | 6,374 | 6,818 | 6,818 |
Rest of the World | 13,627 | 15,102 | 17,152 | 18,233 | 19,059 |
Hasil studi European Economics (2016) mengungkapkan terdapat setidaknya 15 sektor penting yang ikut berkembang dengan hilirisasi sawit di negara importir sawit. Sektor-sektor yang dimaksud antara lain adalah sektor pangan, pertanian, hotel dan restauran, tekstil, konstruksi, administrasi publik dan jaminan sosial, perdagangan, kesehatan, pengolahan kayu, kimia dan produk kimia, jasa personal, pendidikan, serta pengolahan pulp dan kertas.
Studi Shigetomi et al. (2020) juga mengkonfirmasi banyaknya sektor- sektor ekonomi dunia yang terlibat dalam aliran supply chain minyak sawit global. Sektor-sektor yang dimaksud mencakup:
- Industri makanan, minuman dan tembakau;
- industri kimia dan produk kimia;
- Industri konstruksi;
- Industri tekstil, produk pakaian dan produk kulit;
- Industri berbasis minyak bumi; serta
- Jasa kesehatan masyarakat dan pekerjaan sosial.
Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa manfaat ekonomi dari industri sawit tidak hanya dinikmati oleh negara importir saja, tetapi juga dinikmati oleh masyarakat global yang terlibat di dalam supply chain produk berbasis atau menggunakan minyak sawit. Rumah tangga di banyak negara sangat bergantung pada konsumsi produk jadi (finished product) berbasis sawit atau disebut dengan hidden palm oil seperti produk pangan dan non- pangan (biofuel, kosmetik dan toiletries) yang diperdagangkan secara internasional.
Kombinasi direct impact, indirect impact dan induced consumption impact dari kegiatan impor dan hilirisasi sawit di negara-negara importir menyumbang pada peningkatan nilai tambah (value added) dan Gross Domestic Product (GDP) dunia. Studi European Economics (2016) mengungkapkan income generating dari hilirisasi sawit yang dinikmati negara-negara importir pada tahun 2013/2014 sebesar USD 32.8 miliar.
Distribusi pendapatan (income generating) akibat kegiatan impor dan hilirisasi bervariasi antar negara importir minyak sawit (Gambar 7). Uni Eropa menikmati manfaat income generating paling besar yakni sebesar 18.7 persen. Kemudian diikuti China (17 persen), India (16.7 persen), Afrika (13.5 persen), Pakistan dan Bangladesh (10.1 persen), USA (7.3 persen), dan Rest of the World (17 persen).
Gambar 7 : Distribusi Income Generating di Negara Importir Minyak Sawit (Sumber: European Economics, 2016, diolah PASPI)
Uraian di atas menunjukkan pentingnya peran minyak sawit dalam perekonomian global. Selain berkontribusi dalam perekonomian negara produsen minyak sawit, melalui impor dan hilirisasi di negara importir serta rantai pasok (supply chain) produk sawit dan produk jadi berbasis sawit, juga menciptakan pendapatan (income generating) yang dinikmati oleh masyarakat dunia baik yang mengkonsumsi sawit maupun yang tidak mengkonsumsi sawit.
Mitos 3-05
Mitos 3-05 Sawit dalam Isu Ekonomi : Impor minyak sawit tidak berkontribusi pada penerimaan pemerintah negara importir
Dalam perdagangan internasional umumnya menerapkan kebijakan tarif impor/ekspor (duty, levy, value added tax/VAT, dan lain-lain), dengan salah tujuannya untuk meningkatkan penerimaan pemerintah (government tax revenue). Dalam perdagangan minyak sawit dunia juga diberlakukan kebijakan tarif impor yang besarannya bervariasi antar negara. Selain pajak perdagangan internasional, penerimaan pemerintah di negara importir minyak sawit juga bersumber dari berbagai jenis pajak yang dipungut sepanjang rantai pasok (supply chain) mulai dari titik importir, pengolahan, perdagangan, dan konsumsi.
Studi European Economics (2014) menunjukkan government tax revenue yang dinikmati oleh pemerintah negara-negara anggota Uni Eropa akibat kegiatan impor dan hilirisasi minyak sawit mencapai € 2.6 miliar (Gambar 8). Distribusi government tax revenue dari impor dan hilirisasi minyak sawit di setiap negara dipengaruhi oleh volume impor dan intensitas hilirisasi sawit di negara tersebut. Top-5 negara penerima government tax revenue terbesar di Uni Eropa adalah Italia (19 persen), Spanyol (8 persen), Jerman (7 persen), Inggris (7 persen) dan Perancis (6 persen).
Gambar 8 : Distribusi Government Tax Revenue yang Dinikmati oleh Negara Importir Minyak Sawit di Uni Eropa
Uraian di atas menunjukkan bahwa negara importir minyak sawit menerima government revenue. Semakin besar impor minyak sawit dan hilirisasi, maka akan semakin besar juga government revenue yang dinikmati oleh negara importir yang bersangkutan.
Mitos 3-06
Mitos 3-06 Industri sawit bersifat eksklusif yang manfaat ekonominya hanya dinikmati oleh pelaku usahanya sendiri
Eksklusifisme menjadi isu yang sering dituduhkan dan dialamatkan pada industri sawit. Bahkan sejak awal pengembangannya tahun 1970- 1980, para ekonom banyak menilai industri sawit hanya akan menguntungkan dalam bentuk korporasi. Besarnya modal yang diperlukan untuk membuka kebun sawit rakyat serta teknologi pengolahan kelapa sawit (CPO-Mill) yang pada waktu itu di luar jangkauan kemampuan rakyat menjadi hambatan bagi rakyat untuk memasuki usaha perkebunan kelapa sawit (Sipayung, 2018).
Namun dengan dukungan kebijakan pemerintah melalui kemitraan dengan perusahaan perkebunan negara/swasta (PIR/NES), terbukti membuka kesempatan bagi petani rakyat untuk memasuki usaha perkebunan kelapa sawit. Pada tahun 2021, pangsa perkebunan kelapa sawit rakyat mencapai 40 persen dari total luas perkebunan kelapa sawit nasional. Hal ini menunjukkan bahwa petani rakyat juga menikmati manfaat dari perkebunan kelapa sawit.
Manfaat perkebunan kelapa sawit juga tidak hanya dinikmati oleh pelaku usaha tersebut. Hal ini dapat dilihat dari indikator multiplier output, pendapatan, nilai tambah dan tenaga kerja (Tabel 2).
Tabel 2. Indeks Multiplier Perkebunan Kelapa Sawit
Indeks Multiplier | Perkebunan Kelapa Sawit |
---|---|
Output | 1.71 |
Pendapatan | 1.79 |
Tenaga Kerja | 2.64 |
Nilai Tambah | 1.59 |
Indeks multiplier output, pendapatan, tenaga kerja dan nilai tambah perkebunan kelapa sawit lebih besar dari satu. Hal ini mencerminkan bahwa manfaat dari perkebunan kelapa sawit juga dinikmati oleh masyarakat luas. Peningkatan aktivitas ekonomi pada perkebunan kelapa sawit mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke depan (forward linkages) (Syahza, 2005; PASPI, 2014). Perkebunan kelapa sawit memiliki keterkaitan ke belakang dengan suplier input produksi perkebunan dan keterkaitan ke depan dengan industri pengguna minyak sawit (Rifin, 2011; PASPI, 2014; Edwards, 2019).
Peningkatan konsumsi, investasi maupun ekspor sawit akan menciptakan manfaat yang lebih besar (melalui direct effect, indirect effect, dan induced consumption effect) baik dalam bentuk output, pendapatan, nilai tambah, dan penciptaan kesempatan kerja. Manfaat tersebut tidak hanya dinikmati pada perkebunan kelapa sawit saja tetapi juga dalam perekonomian secara keseluruhan (Tabel 3).
Tabel 3. Top Ten Sektor Ekonomi yang Bertumbuh Akibat Pertumbuhan Output, Income, dan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit
Rank | Dampak Output | Dampak Pendapatan | Dampak Nilai Tambah |
---|---|---|---|
1 | Keuangan | Jasa lainnya | Jasa pertanian |
2 | Jasa lainnya | Keuangan | Perdagangan, hotel dan restoran |
3 | Perdagangan, hotel dan restoran | Perdagangan, hotel dan restoran | Peternakan, kehutanan, perikanan |
4 | Industri kimia, pupuk, dan pestisida | Industri kimia, pupuk, dan pestisida | Jasa lainnya |
5 | Industri migas dan tambang | Transportasi | Pertanian Pangan |
6 | Transportasi | Infrastruktur | Transportasi |
7 | Infrastruktur | Industri migas dan tambang | Keuangan |
8 | Industri makanan | Infrastruktur pertanian | Perkebunan lainnya |
9 | Mesin dan peralatan listrik | Jasa pertanian | Industri kimia, pupuk, dan pestisida |
10 | Sektor Lain | Sektor Lain | Sektor Lain |
Uraian di atas menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit secara ekonomi, bukanlah kegiatan ekonomi yang eksklusif melainkan kegiatan ekonomi yang bersifat inklusif. Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit akan menciptakan “kue ekonomi” bagi sektor-sektor ekonomi nasional baik yang terkait langsung maupun yang terkait secara tidak langsung dengan perkebunan kelapa sawit.
Mitos 3-07
Mitos 3-07 Industri sawit tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan PDB Indonesia
Salah satu indikator yang menunjukkan peranan suatu sektor dalam perekonomian adalah sumbangannya dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Kontribusi industri sawit terhadap PDB nasional menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun (Rifin, 2010; PASPI, 2014; Kasryno, 2015).
Kontribusi industri sawit dalam PDB dapat dilihat dari kontribusi perkebunan kelapa sawit serta industri minyak dan lemak. Berdasarkan data Input-Output (Gambar 9) menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai output perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat relatif cepat dari Rp 5 triliun tahun 2000 menjadi Rp 367 triliun pada tahun 2021. Demikian juga dengan industri minyak dan lemak juga mengalami peningkatan output dari Rp 48 triliun menjadi Rp 752 triliun. Secara total, nilai output industri sawit meningkat relatif cepat dari Rp 54 triliun menjadi Rp 1,119 triliun, atau meningkat lebih dari 20 kali lipat pada periode tahun tersebut.
Gambar 9 : Pertumbuhan Output Perkebunan Kelapa Sawit, Industri Minyak dan Lemak, dan Industri Sawit dalam PDB Indonesia Periode Tahun 2000, 2016 dan 2021 (Sumber: BPS, diolah PASPI)
Demikian juga nilai tambah industri sawit pada periode tahun 2000- 2021 yang menunjukkan peningkatan (Gambar 10). Nilai tambah perkebunan kelapa sawit meningkat dari Rp 4 triliun menjadi Rp 270 triliun. Industri minyak dan lemak juga mengalami peningkatan nilai tambah dari Rp 19 triliun menjadi Rp 240 triliun. Sehingga total peningkatan nilai tambah pada industri sawit yakni dari Rp 23 triliun menjadi Rp 510 triliun.
Sementara itu, terkait pangsa industri sawit terhadap total output dan nilai tambah juga mengalami peningkatan selama periode tahun 2000-2021. Pangsa industri sawit terhadap output nasional meningkat dari 2 persen menjadi 3.1 persen. Demikian juga dengan pangsanya terhadap total nilai tambah nasional yang meningkat dari 1.7 persen menjadi 2.7 persen.
Gambar 10 : Pertumbuhan Nilai Tambah Perkebunan Kelapa Sawit, Industri Minyak dan Lemak, dan Industri Sawit dalam PDB Indonesia Periode Tahun 2000, 2016 dan 2021 (Sumber: BPS, diolah PASPI)
Uraian di atas menunjukkan bahwa industri sawit berkontribusi besar pada pertumbuhan PDB Indonesia. Peningkatan kontribusi industri sawit pada PDB nasional akan semakin besar seiring dengan perkembangan hilirisasi sawit domestik yang semakin intensif.
Mitos 3-08
Mitos 3-08 Industri sawit tidak berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi daerah
Pembangunan daerah khususnya daerah pelosok, terisolir, pinggiran merupakan salah satu target penting dari pembangunan nasional. Menggerakkan investasi baru ke daerah-daerah tersebut merupakan kunci pembangunan ekonomi daerah. Pengembangan perkebunan kelapa sawit pada dasarnya menarik investasi baru ke daerah terisolir di pedesaan sehingga dapat mengubah daerah terbelakang menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru.
Hasil studi PASPI (2014) dan Hariyanti et al. (2022) menunjukkan bahwa pertumbuhan produksi minyak sawit (CPO) berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah-daerah sentra sawit (Gambar 11). Pertumbuhan ekonomi daerah bahkan sangat responsif terhadap peningkatan produksi minyak sawit. Peningkatan produksi minyak sawit menarik pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih besar dari peningkatan produksi minyak sawit.
Gambar 11 : Pengaruh Produksi CPO terhadap Produk Domestik Regional Bruto (Sumber: PASPI, 2014)
Hasil studi PASPI (2022) menunjukkan bahwa perekonomian daerah- daerah sentra sawit bertumbuh lebih tinggi dan lebih cepat dibandingkan dengan daerah-daerah bukan sentra sawit. Pertumbuhan PDRB antara daerah sentra sawit dibandingkan dengan daerah bukan sentra sawit berbeda secara signifikan (Gambar 12).
Gambar 12 : Perbandingan PDRB Kabupaten Sentra Sawit dengan Kabupaten Non-Sentra Sawit (Sumber: PASPI, 2022)
Studi Kasryno (2015) mengungkapkan bahwa PDRB provinsi sentra sawit di Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, memiliki tingkat pertumbuhan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi dengan luas perkebunan kelapa sawit yang relatif rendah seperti Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan dan Sulawesi. Ekspansi perkebunan kelapa sawit di berbagai daerah berpengaruh cukup signifikan terhadap kinerja perekonomian yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB yang relatif tinggi (Bunyamin, 2008; Budidarsono et al., 2013; Apresian et al., 2020).
Dengan demikian, pandangan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi daerah tidak sesuai dengan fakta yang ada. Sebaliknya, berbagai fakta menunjukkan bahwa pertumbuhan daerah-daerah sentra sawit lebih tinggi dan signifikan dibandingkan dengan daerah bukan sentra sawit.
Mitos 3-09
Mitos 3-09 Keberadaan perkebunan kelapa sawit menciptakan keterbelakangan di kawasan pedesaan
Perkebunan kelapa sawit umumnya dikembangkan di daerah-daerah pelosok, pinggiran, daerah tertinggal, dan degraded land (ghost town) sehingga sering dikategorikan sebagai pioner kegiatan ekonomi. Melalui perkembangan perkebunan kelapa sawit mampu merestorasi degraded land menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru berbagai daerah di Indonesia.
Dalam proses restorasi tersebut dapat dibagi menjadi tiga fase (Gambar 13). Fase Perintisan (A dan B) ditunjukkan dengan perkembangan perkebunan kelapa sawit inti dan plasma, yang kemudian diikuti oleh perkembangan perkebunan kelapa sawit swadaya, Usaha Kecil-Menengah (UMKM) dan korporasi swasta.
Gambar 13 : Proses Pengembangan Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit dari Daerah Terbelakang/Terisolasi Menuju Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru di Kawasan Pedesaan
Terbukanya akses jalan masuk, adanya jaminan pasar Tandan Buah Segar (TBS) pada PKS dan keberhasilan petani terdahulu, menjadi magnet bagi pelaku usaha baru untuk masuk dan berinvestasi di wilayah sekitar perkebunan kelapa sawit.
Seiring dengan makin berkembangnya kegiatan perkebunan kelapa sawit turut menggerakkan sektor ekonomi lain seperti sektor jasa seperti jasa transportasi pengangkutan TBS dari kebun ke PKS, jasa transportasi CPO dari PKS ke pelabuhan CPO, jasa keuangan/perbankan, jasa supplier barang perkantoran, jasa perdagangan bahan pangan, jasa warung/restoran makan, jasa perdagangan antar kota, dan lain-lain. Sehingga secara keseluruhan membentuk aglomerasi kota di kawasan pedesaan.
Perkebunan kelapa sawit juga mampu menciptakan manfaat ekonomi bagi masyarakat desa non-sawit bahkan masyarakat kota. Masyarakat yang bekerja pada perkebunan kelapa sawit (petani maupun karyawan perkebunan) adalah konsumen produk-produk pangan maupun non-pangan yang dihasilkan oleh masyarakat perkotaan dan pedesaan. Studi PASPI berdasarkan pengeluaran penduduk (BPS, 2021) mengungkapkan besarnya nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat perkotaan mencapai Rp 367 triliun per tahun (Gambar 14).
Gambar 14 : Nilai Transaksi antara Masyarakat Kebun Sawit dengan Ekonomi Pedesaan dan Perkotaan
Sementara transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat pedesaan sebesar Rp 146 triliun per tahun. Total transaksi antara masyarakat perkebunan kelapa sawit dengan masyarakat di luar perkebunan kelapa sawit secara nasional mencapai Rp 514 triliun per tahun. Dengan kata lain, pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan meningkatkan kapasitas perekonomian daerah pedesaan dalam menghasilkan output, pendapatan, dan kesempatan kerja baik pada perkebunan kelapa sawit maupun pada sektor lain (rural non-farm) di kawasan pedesaan dan perkotaan.
Menurut Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja pada tahun 2013 setidaknya terdapat 50 kawasan pedesaan terbelakang/terisolir telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis produksi minyak sawit. Studi PASPI (2017) mengungkapkan bahwa pusat-pusat pertumbuhan baru berbasis perkebunan kelapa sawit telah berkembang dari Aceh sampai Papua (Tabel 4).
Tabel 4. Pusat-pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru Daerah yang Berbasis Industri Sawit
Provinsi | Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru |
---|---|
Aceh | Nagan Raya, Aceh Singkil, Aceh Timur, Subulussalam, Aceh Barat Daya, Aceh Utara dan lainnya |
Sumatera Utara | Stabat, Belarang, Sei Rampah, Limapuluh, Perdagangan, Rantau Prapat, Aek Kanopan, Aek Nabara, Kota Pinang, Sosa, Sibuhuan, Panyabungan dan lainnya |
Sumatera Barat | Pasaman Barat, Dharmas Raya, Agam, Pesisir Selatan, Sijunjung dan lainnya |
Sumatera Selatan | Sungai Lilin, Tugumulyo, Pematang Panggang, Bayung Lencir, Musi Rawas, Peninjauan, Muara Enim, Lahat. |
Riau | Pasir Pengaraian, Bangkinang, Siak Sri Indrapura, Rengat, Tembilahan, Bengkalis, Bagan Siapi-Api, Teluk Kuantan, Dumai, Pekanbaru dan lainnya |
Jambi | Sarolangun, Sungai Bahar, Sengeti, Kuala Tungkal dan lainnya |
Bengkulu | Bengkulu Selatan, Mukomuko, Seluma, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah dan lainnya |
Kalimantan Barat | Sanggau, Bengkayang, Ketapang, Sintang, Kubu Ra dan lainnya |
Kalimantan Tengah | Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya |
Kalimantan Timur | Sangatta, Tenggarong, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan lainnya |
Kalimantan Selatan | Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya |
Sulawesi | Mamuju, Donggala, Bungku, Luwu, Pasangkayu dan lainnya |
Papua & Papua Barat | Keerom, Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Bintuni, Fak-Fak, Merauke dan lainnya |
Keberhasilan perkebunan kelapa sawit dalam meningkatkan kemajuan pembangunan daerah juga dapat dilihat dari Indeks Desa Membangun (IDM). Studi PASPI (2022) menunjukkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi, sosial, dan lingkungan secara komposit (IDM) pada Desa Sawit lebih tinggi dibandingkan Desa Non-Sawit. Hal ini berarti kehadiran perkebunan kelapa sawit pada kawasan pedesaan mampu meningkatkan kemajuan pembangunan desa. Studi ini juga mengkonfirmasi studi World Growth (2011) yang mengatakan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagai bagian penting dari pembangunan pedesaan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit di kawasan pedesaan tidak membuat desa tersebut semakin terbelakang. Sebaliknya melalui pengembangan perkebunan kelapa sawit mampu mengubah daerah terbelakang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan.
Mitos 3-10
Mitos 3-10 Ketahanan ekonomi Desa Sawit lebih lemah dibandingkan Desa Non-Sawit
Perekonomian desa yang masyarakatnya dominan terlibat pada perkebunan kelapa sawit (disebut dengan Desa Sawit) dinilai ekonominya bersifat homogen sehingga relatif lebih rentan dan beresiko. Penilaian ini sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa pada perkebunan kelapa sawit juga berkembang berbagai kegiatan ekonomi yang beragam. Selain itu, pada Desa Sawit juga berkembang kegiatan ekonomi yang beragam. Sehingga kegiatan ekonomi secara keseluruhan di Desa Sawit sebetulnya sangat beragam.
Para petani sawit mengembangkan berbagai pola integrasi usaha seperti integrasi sawit dengan tanaman pangan (Partohardjono, 2003; Singerland et al., 2019; Baihaqi et al., 2020; Kusumawati et al., 2021) pada masa TBM/Immature dan integrasi sawit-ternak pada fase Tanaman Menghasilkan/Mature (Batubara, 2004; Sinurat et al., 2004; Ilham dan Saliem, 2011; Utomo dan Widjaja, 2012; Winarso dan Basuno, 2013). Selain berkontribusi terhadap peningkatan suplai pangan, pola integrasi ini juga meningkatkan keragaman sektor ekonomi di Desa Sawit.
Di luar perkebunan kelapa sawit, juga berkembang usaha-usaha ekonomi lainnya seperti jasa transportasi dan pengangkutan, jasa keuangan, jasa perdagangan, jasa warung/kedai makanan minuman dan sektor lainnya (Rifin, 2011; Budidarsono et al., 2012; PASPI, 2014). Studi PASPI (2022) mengungkapkan bahwa jumlah dan pertumbuhan UMKM kedai makanan/minuman di Desa Sawit lebih besar dan tumbuh lebih cepat secara signifikan dibandingkan dengan Desa Non-Sawit. Hal yang sama juga ditemukan oleh studi Syahza (2005), Rifin (2011), PASPI (2014), Syahza et al., (2019) yang mengungkapkan bahwa terjadi perkembangan kedai/warung makanan/restaurant di daerah pedesaan dimana perkebunan kelapa sawit berkembang.
Perkembangan kegiatan ekonomi di Desa Sawit yang dihela oleh perkebunan kelapa sawit berkontribusi pada peningkatan kemajuan ekonomi desa yang bersangkutan. Studi PASPI (2022) mengungkapkan bahwa ekonomi Desa Sawit lebih tinggi dan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan Desa Non-Sawit.
Pertumbuhan perkebunan kelapa sawit di pedesaan mampu meningkatkan kapasitas perekonomian desa dalam menghasilkan output, pendapatan, dan kesempatan kerja, baik pada perkebunan maupun pada sektor lain di kawasan pedesaan (rural non-farm). Perkebunan kelapa sawit berperan sebagai lokomotif yang mampu menarik berkembangnya sektor- sektor ekonomi lainnya sehingga meskipun leading sector ekonomi suatu desa adalah perkebunan kelapa sawit, namun perkebunan kelapa sawit tersebut telah menumbuh kembangkan berbagai sektor ekonomi sehingga meningkatkan keragaman ekonomi dari Desa Sawit. Pertumbuhan leading sector yang cepat dan mendorong tumbuh kembangnya keragaman ekonomi dari Desa Sawit merupakan bagian penting dari ketahanan ekonomi Desa Sawit. Studi PASPI (2022) mengungkapkan ketahanan ekonomi Desa Sawit di Indonesia lebih tinggi dan bertumbuh lebih cepat dibandingkan ketahanan ekonomi Desa Non-Sawit.
Mitos 3-11
Mitos 3-11 Pendapatan petani sawit lebih rendah dibandingkan pendapatan petani non- sawit
Dari sudut pandang ekonomi, adopsi usaha budidaya kelapa sawit oleh petani karena kegiatan ekonomi tersebut dinilai lebih profitable dibandingkan komoditas lain seperti karet dan padi (Susila, 2004; Bunyamin, 2008; Feintrenie et al., 2010; Rist et al., 2010; Adebo et al., 2015; Euler et al., 2016; Kubitza; et al., 2018; Nuva et al., 2019). Studi PASPI (2014, 2022) juga mengungkapkan pendapatan petani sawit lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan petani non-sawit. Pendapatan petani sawit bukan hanya lebih tinggi tetapi juga bertumbuh lebih cepat dibandingkan pendapatan petani non-sawit (Gambar 15).
Gambar 15 : Perbandingan Indeks Pendapatan Petani Sawit dan Petani Non Sawit (Sumber: data diolah PASPI, 2022)
Berbagai studi (Euler et al., 2016; Qaim et al., 2020; Apresian et al., 2020; Chrisendo et al., 2021) mengungkapkan bahwa pendapatan petani sawit lebih tinggi dibandingkan petani komoditas lain. Stern Review (World Growth, 2011) mengungkapkan pendapatan petani sawit sebesar USD 960- 3,340 per hektar, atau lebih tinggi dibandingkan petani karet (USD 720 per hektar), petani padi (USD 280 per hektar), petani ubi kayu (USD 190 per hektar) dan petani kayu (USD 1,099 per hektar).
Studi Syahza et al. (2021) mengungkapkan rata-rata pendapatan petani sawit Riau pada umur tanaman kelapa sawit yang optimum sebesar Rp 6.4 juta per bulan untuk luas kepemilikan lahan 2-4 hektar atau sekitar Rp 2.1 juta per hektar per bulan. Proporsi peningkatan pendapatan yang diterima oleh petani sawit dari budidaya kelapa sawit akan terus naik seiring dengan umur tanaman kelapa sawit yang diusahakannya (Budidarsono et al., 2013). Petani sawit menikmati peningkatan pendapatan sebesar 200-300 persen setelah lima tahun melakukan budidaya kelapa sawit, kemudian pendapatannya terus meningkat menjadi 400-1,300 persen setelah 5-10 tahun dan terus meningkat menjadi 2,200-25,000 persen setelah umur tanaman kelapa sawit menginjak usia lebih dari 10 tahun. Data tersebut menunjukkan pendapatan petani sawit tidak hanya berkelanjutan tetapi juga meningkat seiring dengan peningkatan umur tanaman.
Selain pendapatan yang diterima lebih tinggi, petani sawit juga memperoleh pendapatan yang stabil karena pendapatan tersebut diperoleh secara reguler setiap bulan dari penjualan Tandan Buah Segar (Balde et al., 2019; Apreisan et al., 2020). Indikator lainnya yang membuktikan bahwa pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dan stabil ditunjukkan oleh kemampuan petani sawit untuk membayar hutang/pinjaman (hutang biaya produksi) lebih cepat dibandingkan waktu jatuh tempo (Susila, 2004; Feintrenie et al., 2009; Rist et al., 2010).
Uraian di atas menunjukkan bahwa pendapatan petani sawit meningkat lebih tinggi, bertumbuh cepat dan relatif berkelanjutan dibandingkan petani komoditas lainnya. Hal ini menciptakan masyarakat berpendapatan menengah (middle income class) di kawasan pedesaan.
Mitos 3-12
Mitos 3-12 Ekspansi perkebunan kelapa sawit mengancam ketahanan pangan nasional
Konversi lahan pertanian baik antar komoditas maupun antar sektor merupakan fenomena normal yang terjadi seiring dengan kemajuan pembangunan. Meskipun UU No. 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, memberikan kebebasan bagi petani untuk memilih komoditas yang ditanam, namun besarnya konversi lahan pangan utama yakni lahan padi dapat mengancam penyediaan beras nasional.
Perkembangan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia yang hampir seluruhnya di luar Pulau Jawa ternyata tidak mengurangi luas areal padi nasional. Berdasarkan data BPS (2022), luas areal pertanian padi (luas areal dan luas panen) di luar Pulau Jawa masih meningkat sehingga total keseluruhan areal padi mengalami peningkatan (Gambar 16).
Gambar 16 : Perkembangan Luas Areal Panen Padi di Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa (Sumber: BPS, 2022)
Sebaliknya, luas lahan padi di Pulau Jawa mengalami penurunan namun luas areal panen padi masih meningkat. Sehingga secara keseluruhan luas areal panen padi di Pulau Jawa masih cenderung meningkat. Data tersebut menunjukkan bahwa perluasan perkebunan kelapa sawit di luar Pulau Jawa secara keseluruhan tidak mengurangi luas areal tanaman padi.
Tentu saja pada level daerah/lokal terjadi konversi areal pertanian padi menjadi areal non-padi, termasuk untuk perkebunan kelapa sawit rakyat. Petani rakyat merasa lebih menguntungkan dengan mengembangkan usaha non-padi. Pilihan petani untuk memilih komoditas/usaha yang menguntungkan baginya dilindungi UU No. 12 Tahun 1992. Namun secara keseluruhan ekspansi perkebunan kelapa sawit yang seluruhnya di luar Pulau Jawa, juga diikuti ekspansi areal tanaman padi.
Di pihak lain, pada perkebunan kelapa sawit juga berkembang pola integrasi tanaman pangan, sayuran, buah-buahan dan hewan ternak dengan perkebunan kelapa sawit. Petani sawit juga mengembangkan berbagai pola integrasi seperti integrasi sawit dengan tanaman pangan (Partohardjono, 2003; Singerland et al., 2019; Baihaqi et al., 2020; Kusumawati et al., 2021) pada masa TBM/Immature dan integrasi sawit-ternak pada fase Tanaman Menghasilkan/Mature (Batubara, 2004; Sinurat etal., 2004; Ilham dan Saliem, 2011; Utomo dan Widjaja, 2012; Winarso dan Basuno, 2013). Pola integrasi ini berkontribusi terhadap peningkatan suplai pangan khususnya di daerah sentra sawit.
Uraian di atas menunjukkan bahwa perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia secara keseluruhan tidak mengancam ketersediaan sumber pangan bagi masyarakat. Justru sebaliknya, kehadiran perkebunan kelapa sawit meningkatkan ketahanan pangan di daerah sentra sawit melalui peningkatan produksi komoditas pertanian
Mitos 3-13
Mitos 3-13 Petani dan desa sawit kekurangan pangan
Isu kekurangan pangan mencakup ketersediaan (availability) dan keterjangkauan (affordability) terhadap bahan pangan. Keterjangkauan pangan erat kaitannya dengan pendapatan petani. Pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dan relatif stabil sepanjang tahun berdampak pada peningkatan daya beli bahan pangan bagi petani dan anggota keluarganya. Peningkatan pendapatan petani sawit berarti meningkatkan akses rumah tangga petani sawit pada pangan (Apreisan et al., 2020).
Berbagai studi empiris (Rist et al., 2010; Budidarsono et al., 2012; Euler et al., 2017; Qaim et al., 2020; Chrisendo et al., 2019) mengungkapkan peningkatan pendapatan petani sawit berkontribusi pada terpenuhinya kebutuhan nutrisi/kalori (nutrition intake) pada rumah tangga petani sawit. Artinya pemenuhan nutrisi tersebut mampu mengurangi prevalansi malnutrisi, meningkatkan kualitas dietary, dan menjamin tercapainya food security pada level rumah tangga petani sawit.
Demikian juga dengan masyarakat desa lainnya yang tidak terlibat secara langsung dengan perkebunan kelapa sawit tetapi bekerja pada sektor ekonomi lainnya yang berkembang akibat perkebunan kelapa sawit. Pendapatan dan daya beli masyarakat desa secara keseluruhan juga turut mengalami peningkatan sehingga dapat memenuhi kebutuhan pangan. Dari demand side, peningkatan pendapatan meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap bahan pangan.
Sementara itu dari supply side, masyarakat Desa Sawit juga memiliki peningkatan akses (accessibility) dan ketersediaan (availability) terhadap sumber pangan di sekitar pedesaan melalui tiga mekanisme. Pertama, budidaya integrasi sawit dengan tanaman pangan dan peternakanyang meningkatkan ketersediaan bahan pangan di sekitar pedesaan. Kedua, masyarakat di Desa Sawit juga memperoleh produk pangan yang disuplai oleh masyarakat desa lainnya (Desa Non-Sawit) yang menjadi sentra pertanian, peternakan, perikanan (Gambar 14). Dan ketiga, berkembangnya UMKM warung/kedai makanan di Desa Sawit. Patut dicatat, petani sawit secara langsung memang merupakan produsen bahan baku minyak goreng sawit, namun petani sawit juga sekaligus menjadi konsumen minyak goreng sawit baik yang dikonsumsi dalam rumah tangga maupun yang dikonsumsi di luar rumah tangga (UMKM warung/kedai makanan).
Uraian di atas menunjukkan bahwa meningkatnya pendapatan (affordability) dan ketersediaan (availability) berkontribusi pada peningkatan akses (accessibility) petani sawit dan masyarakat Desa Sawit terhadap pangan. Dengan kondisi yang demikian, dapat dipahami bahwa petani sawit maupun masyarakat Desa Sawit tidak mengalami kesulitan atau kekurangan pangan.
Mitos 3-14
Mitos 3-14 Industri sawit Indonesia hanya mengekspor bahan mentah
Sejarah panjang mewarnai industri sawit Indonesia sejak masa kolonial. Pada periode sebelum 1978, industri sawit Indonesia lebih berorientasi pada pasar ekspor (export orientation), kemudian berubah menjadi ke orientasi pasar domestik (domestic market orientation) dan kemudian kembali berorientasi ekspor setelah tahun 2000 (Tomic dan Mawardi 1995; Sato, 1997; Sipayung, 2011; PASPI Monitor, 2021e).
Perkembangan hilirisasi sawit di dalam negeri secara signifikan baru terjadi setelah tahun 2011. Secara umum hilirisasi minyak sawit yang sedang berlangsung di Indonesia terdiri atas tiga jalur hilirisasi yaitu oleopangan (oleofood complex), oleokimia (oleochemical complex), dan biofuel/bioenergy (biofuel/bioenergy complex). Keberhasilan hilirisasi sawit di Indonesia tercermin dari perubahan komposisi ekspor produk sawit (Gambar 17).
Gambar 17 : Perubahan Komposisi Ekspor Produk Sawit Indonesia (Sumber: BPS, data diolah PASPI, 2022)
Komposisi ekspor produk sawit Indonesia pada tahun 2011 masih didominasi oleh minyak sawit mentah (CPO+CPKO) dengan pangsa 54 persen, sedangkan pangsa produk olahan baru mencapai 44 persen dan produk jadi berbasis minyak sawit hanya sebesar 2 persen. Pada tahun 2021, komposisi ekspor produk sawit Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Pangsa ekspor minyak sawit mentah mengalami penurunan yang drastis menjadi hanya sekitar 7 persen. Sedangkan sisanya dalam bentuk produk olahan dan produk jadi.
Data-data di atas menunjukkan bahwa Indonesia tidak lagi mengekspor minyak sawit mentah. Pendalaman dan perluasan hilirisasi sawit di dalam negeri masih terus berlangsung baik pada jalur oleofood complex, oleochemical complex, maupun biofuel/bioenergy complex sehingga akan memperbesar porsi produk jadi berbasis minyak sawit (finished product) untuk ditujukan baik kepada pasar domestik maupun pasar ekspor.
Mitos 3-15
Mitos 3-15 Pengembangan biodiesel sawit tidak berdampak pada penurunan ketergantungan impor solar fosil
Sejak tahun 2004, Indonesia berubah dari net exporter minyak bumi menjadi net importer minyak bumi, termasuk net importer solar fosil. Impor solar fosil Indonesia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Sementara, kebutuhan solar di dalam negeri masih terus meningkat baik akibat pertumbuhan populasi penduduk maupun pertumbuhan ekonomi. Jika tidak dilakukan substitusi solar impor di dalam negeri, maka ketergantungan Indonesia pada solar impor akan semakin tinggi.
Salah satu tujuan pengembangan energi baru terbarukan, termasuk biodiesel, sebagaimana dimuat dalam Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Keputusan Presiden No. 20 Tahun 2006 adalah untuk mengurangi ketergantungan pada penggunaan pada bahan bakar fosil (impor).
Untuk mengurangi ketergantungan pada solar impor, Indonesia telah mengembangkan kebijakan substitusi impor dengan biodiesel sawit yang dikenal dengan kebijakan mandatori biodiesel. Kebijakan tersebut diimplementasikan pada tahun 2009 dengan tingkat pencampuran (blendingrate) antara 1 persen biodiesel sawit dengan 99 persen solar fosil (B1). Kemudian meningkat menjadi B10 dalam periode tahun 2013-2014 dan B15 pada tahun 2015 (Sipayung, 2018).
Kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan ketika mandatori biodiesel B20 diterapkan pada tahun 2016. Kemudian pada tahun 2019, dilakukan perluasan B20 untuk sektor PSO (Public Service Obligation) dan sektor non-PSO. Pada tahun 2020, komitmen Pemerintah Indonesia untuk mensubstitusi solar fosil impor dengan biodiesel sawit semakin menguat yakni dengan menerapkan kebijakan mandatori biodiesel B30 pada sektor PSO dan sektor non-PSO (PASPI Monitor, 2021j).
Kebijakan mandatori biodiesel yang semakin intensif berdampak pada penghematan solar impor (Kementerian ESDM, 2021; PASPI Monitor, 2021j; APROBI, 2022). Selama periode tahun 2011-2020 (Gambar 18), konsumsi biodiesel domestik meningkat dari 359 ribu kilo liter menjadi 8.4 juta kilo liter. Peningkatan konsumsi biodiesel sawit tersebut berdampak pada pengurangan penggunaan solar fosil di dalam negeri yakni dari 33.5 juta kilo liter menjadi 27.6 juta kilo liter. Penurunan penggunaan solar fosil di dalam negeri tersebut juga menyebabkan penurunan ketergantungan solar impor yang cukup signifikan yakni dari 41 persen menjadi 12 persen pada periode tahun tersebut.
Gambar 18 : Pengurangan Ketergantungan Impor Diesel sebagai Dampak Kebijakan Mandatori Biodiesel (Sumber: Kementerian ESDM, APROBI, data diolah PASPI, 2022)
Uraian di atas menunjukkan bahwa pengembangan biodiesel sawit di Indonesia terbukti mampu menurunkan ketergantungan penggunaan solar fosil impor. Pengurangan ketergantungan terhadap solar fosil akan tetap menjadi agenda pemerintah baik melalui peningkatan blending rate biodiesel sawit (beyond B30) maupun dengan pengembangan substitute baru yakni green diesel berbasis minyak sawit yang dinilai lebih berkualitas.
Mitos 3-16
Mitos 3-16 Pengembangan biodiesel sawit tidak berdampak pada penghematan devisa solar impor dan neraca perdagangan migas Indonesia
Kebijakan mandatori biodiesel merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memperbaiki neraca perdagangan migas yang selalu defisit melalui substitusi solar impor dengan biodiesel sawit domestik. Keberhasilan program mandatori biodiesel untuk menurunkan ketergantungan impor solar diharapkan berdampak pada penghematan devisa impor solar yang semakin besar (Gambar 19).
Gambar 19 : Penghematan Devisa Impor Diesel Fosil sebagai Dampak Kebijakan Mandatori Biodiesel pada Tahun 2015-2020 (Sumber: Sipayung, 2018; Kementerian ESDM, 2021; Tjakrawan, 2021, PASPI Monitor, 2021i)
Penghematan devisa solar impor mengalami peningkatan dari USD 0.34 miliar tahun 2015 menjadi USD 3.09 miliar pada tahun 2020. Nilai penghematan devisa solar impor per liter biodiesel akibat substitusi dengan biodiesel berkisar USD 0.366 – 0.372 per liter pada periode tahun tersebut.
Penghematan devisa solar impor akibat substitusi solar impor dengan biodiesel sawit domestik (disebut “Devisa Subsitusi Impor”) menyumbang pada perbaikan neraca perdagangan migas (Sipayung, 2020; Tjakrawan, 2021; PASPI Monitor, 2021j, 2022f). Pengaruh devisa substitusi solar impor pada “Neraca Migas” terlihat pada perbedaan antara “Neraca Migas Dengan Biodiesel” dan “Neraca Migas Tanpa Biodiesel” .
“Neraca Migas Tanpa Biodiesel” selalu mengalami defisit dari tahun ke tahun dengan nilai yang cukup besar. Dengan adanya mandatori biodiesel sawit membuat nilai defisit neraca migas Indonesia (“Neraca Migas Dengan Biodiesel”) lebih rendah dibandingkan dengan “Neraca Migas Tanpa Biodiesel”.
Tabel 5. Dampak Mandatori Biodiesel Pada Neraca Perdagangan Migas Indonesia Tahun 2011-2021
Tahun | Devisa Substitusi Solar Fosil Impor | Neraca Migas Tanpa Biodiesel | Neraca Migas Dengan Biodiesel |
---|---|---|---|
2014 | 1.58 | -15.02 | -13.44 |
2015 | 0.46 | -6.40 | -5.94 |
2016 | 1.15 | -6.78 | -5.63 |
2017 | 1.27 | -9.85 | -8.57 |
2018 | 2.35 | -15.05 | -12.70 |
2019 | 3.74 | -13.84 | -10.10 |
2020 | 3.15 | -9.10 | -5.95 |
2021 | 4.98 | -18.23 | -13.25 |
Program mandatori B30 pada tahun 2021, membuat defisit “Neraca Migas Dengan Biodiesel” sebesar USD 13.25 miliar, atau lebih kecil dibandingkan dengan defisit pada kondisi “Neraca Migas Tanpa Biodiesel” yakni sebesar USD 18.23 miliar.
Uraian di atas menunjukkan bahwa implementasi kebijakan mandatori biodiesel sawit mampu menghemat devisa solar impor yang sekaligus menurunkan defisit neraca perdagangan migas Indonesia. Tentu saja besarnya dampak devisa substitusi impor solar terhadap penghematan devisa dan neraca perdagangan migas tersebut dipengaruhi oleh harga minyak fosil dunia dan realisasi blending rate. Semakin mahal harga minyak fosil dunia, maka akan semakin besar manfaat mandatori biodiesel pada perbaikan neraca perdagangan migas.
Mitos 3-17
Mitos 3-17 Pungutan ekspor (export levy) hanya dinikmati oleh pengusaha biodiesel
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015 jo. Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2018, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memiliki tugas untuk menghimpun dana sawit yang bersumber dari pungutan yang dikenakan kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor produk sawit. Selain itu, BPDPKS juga mengelola dan menyalurkan dana sawit tersebut untuk pembiayaan program pengembangan industri sawit nasional (BPDPKS, 2022). Program yang dimaksud adalah:
- Pengembangan SDM;
- Riset penelitian dan pengembangan;
- Promosi;
- Peremajaan;
- Sarana dan prasarana;
- Pemenuhan kebutuhan pangan;
- Hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit; serta
- Penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN).
Salah satu program pemanfaatan dana sawit yang telah disebutkan di atas adalah insentif pengembangan BBN, khususnya biodiesel sawit. Dana sawit yang disalurkan untuk program tersebut selama periode 2015-2021 mencapai Rp 110 triliun atau 79 persen dari dana sawit yang berhasil dihimpun dari pungutan ekspor (exportlevy) pada periode tersebut (BPDPKS, 2022). Besarnya proporsi penyaluran dana sawit pada program insentif biodiesel menyebabkan program ini banyak disoroti publik.
Insentif biodiesel dibayarkan oleh BPDPKS untuk menutupi selisih kurang antara Harga Indeks Pasar (HIP) BBM solar (yang telah ditetapkan oleh Dirjen Migas) dengan HIP Biodiesel (yang telah ditetapkan oleh Dirjen EBTKE). Insentif tersebut diberikan oleh BPDPKS kepada Badan Usaha Bahan Bakar Nabati (BU BBN) sebagai produsen biodiesel (FAME) untuk mendukung komitmen Pemerintah Indonesia dalam pengembangan biodiesel.
Bahan baku minyak sawit yang digunakan untuk biodiesel berasal dari TBS yang dihasilkan perkebunan korporasi maupun perkebunan rakyat. Pengembangan biodiesel sebagai bagian dari kebijakan mandatori biodiesel juga dimaksudkan untuk memperluas pasar minyak sawit domestik sehingga dapat menstabilkan tingkat harga TBS yang relatif menguntungkan di tingkat petani.
Selain pengembangan BBN berbasis minyak sawit (biodiesel), pemanfaatan dana sawit juga ditujukan untuk program yang manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh pelaku usaha dalam industri sawit nasional. Data BPDPKS (2022) mengungkapkan realisasi pembiayaan program sampai dengan tahun 2021 adalah sebagai berikut: Rp 6.59 triliun untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR); Rp 21.1 miliar untuk program sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit rakyat; Rp 199 miliar untuk program pengembangan SDM (pelatihan petani sawit dan beasiswa anak petani sawit); dan Rp 389.3 miliar untuk program riset penelitian dan pengembangan.
Dengan demikian, pemanfaatan dana sawit yang dihimpun dari pungutan ekspor selama periode Juli 2015-2021, memang sebagian besar digunakan untuk menyukseskan kebijakan mandatori biodiesel. Namun kebijakan mandatori biodiesel menciptakan berbagai manfaat yang secara tidak langsung dinikmati oleh seluruh masyarakat yakni dalam bentuk pengurangan ketergantungan pada impor solar sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan migas, penurunan emisi, dan stabilisasi harga CPO/TBS domestik.
Mitos 3-18
Mitos 3-18 Pengembangan biodiesel sawit merugikan perekonomian Indonesia
Sebagian kalangan berpendapat bahwa implementasi kebijakan mandatori biodiesel B30 cenderung menimbulkan kerugian dalam perekonomian. Argumennya adalah bahwa program mandatori B30 belum tentu menjamin pengurangan defisit neraca perdagangan Indonesia. Namun di pihak lain, Indonesia mengalami penurunan devisa ekspor minyak sawit akibat digunakan untuk menghasilkan B30 di dalam negeri.
Pengembangan biodiesel sawit yang didukung dengan kebijakan mandatori biodiesel bertujuan untuk mengurangi ketergantungan bahan bakar fosil (impor), mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (mitigasi perubahan iklim), mendorong pembangunan pedesaan dan daerah sebagai sumber bahan baku biodiesel, serta pengelolaan pasar minyak sawit dunia.
Implementasi kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia sebagai bagian dari substitusi impor berdampak pada penurunan penggunaan/konsumsi solar fosil, terutama solar fosil impor yang berdampak pada penghematan devisa solar impor dan penurunan defisit pada neraca migas Indonesia, serta penurunan emisi GRK.
Dari sudut pandang ekonomi, pengembangan biodiesel juga berdampak pada perekonomian daerah. Industri biodiesel merupakan salah satu jalur hilirisasi berbasis minyak sawit. Bahan baku yang digunakan oleh industri biodiesel adalah minyak sawit yang dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit di daerah, termasuk perkebunan rakyat. Hal ini menunjukkan perkembangan industri biodiesel akan berdampak pada masyarakat yang terlibat di perkebunan kelapa sawit (petani dan tenaga kerja perusahaan perkebunan).
Data Kementerian ESDM (2021) menunjukkan bahwa implementasi kebijakan mandatori biodiesel berdampak pada peningkatan penyerapan tenaga kerja pada subsektor perkebunan kelapa sawit dari 2,426 orang pada
tahun 2017 (kebijakan mandatori B20) menjadi 8,678 orang tahun 2021 (kebijakan mandatori B30). Peningkatan penyerapan tenaga kerja juga terjadi pada subsektor hilir dari 321,446 orang menjadi 1.15 juta orang pada periode tahun yang sama. Implikasi lebih lanjut dari peningkatan penyerapan tenaga kerja yang terlibat pada industri biodiesel adalah peningkatan pendapatan yang akan bermuara pada pertumbuhan ekonomi serta pembangunan daerah.
Indikator lainnya yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi akibat pengembangan biodiesel di Indonesia adalah peningkatan nilai tambah. Nilai tambah yang tercipta akibat implementasi kebijakan mandatori biodiesel tahun 2017 sebesar Rp 3.45 triliun, kemudian mengalami kenaikan menjadi Rp 11.26 triliun pada tahun 2021. Peningkatan nilai tambah tersebut juga searah dengan berbagai studi yang mengungkapkan bahwa produksi biodiesel sawit di Indonesia berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi (Susila dan Munadi, 2008; Joni,2012; Obidzinski etal.,2012; Singagerda etal., 2018; Nuva etal, 2019).
Berbagai studi empiris lainnya juga menunjukkan kontribusi biodiesel terhadap pertumbuhan ekonomi di berbagai negara. Studi Jaafar etal.(2010) mengungkapkan pengembangan biodiesel di Malaysia menciptakan multiplier output sebesar 2.8, atau lebih besar dibandingkan multiplier output dari petro-diesel yang hanya sebesar 1.61. Artinya untuk setiap Rp 10 triliun biodiesel yang dikonsumsi, akan menciptakan output perekonomian sebesar Rp 20.8 triliun. Jika dibandingkan dengan petrodiesel (solar fosil) yang hanya menciptakan output dalam perekonomian sebesar Rp 16 Triliun.
Sektor biodiesel di Amerika Serikat tahun 2018 (LMC Internasional, 2019) juga menghasilkan pendapatan sebesar USD 17 miliar dan menciptakan kesempatan kerja sebanyak 65.6 ribu orang dengan total pendapatan (upah) tenaga kerja sebesar USD 2.5 miliar. Demikian juga dengan industri biodiesel di Kanada pada tahun 2020 (Grensing etal.,2021) mampu menciptakan 3,750 kesempatan kerja dengan memberikan pendapatan tenaga kerja (upah dan manfaat lainnya) sebesar USD 200 juta. Selain itu, industri biodiesel Kanada juga berkontribusi terhadap peningkatan nilai tambah lebih dari USD 400 juta dan output sebesar USD 1.5 miliar.
Selain berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, kebijakan mandatori biodiesel juga merupakan upaya Indonesia dalam pengelolaan pasar minyak sawit dunia, mengingat posisinya sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia. Implementasi kebijakan mandatori biodiesel akan meningkatkan penyerapan minyak sawit di dalam negeri sehingga mengurangi volume ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar dunia. Penurunan volume ekspor tersebut akan menjaga stok minyak sawit di pasar global (tidak terjadi oversupply) sehingga harga minyak sawit dunia relatif stabil dan menguntungkan.
Mistry (2020) menyebutkan bahwa implementasi program mandatori biodiesel (B30) di Indonesia menjadi game changer atas tren peningkatan harga minyak sawit global tahun 2020. Harga CPO dunia yang menguntungkan akan ditransmisikan (pass-through) pada harga TBS petani (PASPI Monitor, 2020l).
Dengan demikian, implementasi kebijakan mandatori biodiesel di Indonesia harus dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial dan ekologi secara komprehensif. Bukan hanya dilihat dari sudut pandang finansial semata, atau hanya sebatas untung dan rugi finansial.
Mitos 3-19
Mitos 3-19 Devisa yang dihasilkan industri sawit Indonesia relatif kecil dibandingkan sektor ekspor lainnya
Peran industri sawit sebagai penyumbang ekspor bagi Indonesia telah banyak diungkapkan berbagai studi empiris (World Growth, 2011; Rifin, 2011; PASPI, 2014; Sipayung, 2018; Edwards, 2019). Sejak tahun 2000, kebijakan perdagangan industri sawit Indonesia berorientasi ekspor. Dengan kebijakan orientasi ekspor tersebut, industri sawit mampu mencetak devisa ekspor yang terus meningkat.
Seiring dengan peningkatan produksi minyak sawit dan hilirisasi sawit domestik berdampak pada peningkatan volume ekspor dan komposisi ekspor. Produk sawit yang diekspor Indonesia terdiri dari minyak sawit mentah (CPO+CPKO), minyak sawit olahan/intermediate product (RefinedPalm Oil/RPO + Refined Palm Kernel Oil/RPKO) dan produk jadi (finishedproduct) berbasis sawit seperti minyak goreng sawit, biodiesel dan produk oleokimia.
Data Badan Pusat Statistik (Gambar 20) menunjukkan bahwa pertumbuhan devisa ekspor produk sawit relatif berfluktuasi dengan tren yang meningkat. Devisa ekspor produk sawit pada tahun 2000 hanya sebesar USD 1.08 miliar kemudian meningkat menjadi USD 36.2 miliar pada tahun 2021.
Gambar 20 : Devisa Ekspor Produk Sawit Tahun 2000-2021 (Sumber: BPS, data diolah PASPI, 2022)
Nilai ekspor tersebut merupakan ekspor neto (devisa) karena Indonesia tidak mengimpor minyak sawit maupun produk turunannya. Pada tahun 2021, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar USD 35.34 miliar (BPS, 2022), sementara neto ekspor produk sawit pada tahun yang sama mencapai USD 36.2 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa devisa sawit lebih besar dibandingkan neraca perdagangan Indonesia. Seandainya tidak ada devisa sawit, maka neraca perdagangan Indonesia akan defisit.
Mitos 3-20
Mitos 3-20 Industri sawit tidak signifikan berkontribusi pada neraca perdagangan Indonesia
Dalam neraca perdagangan produk Indonesia (goods trade account), biasanya dibedakan antara neraca perdagangan migas (oil and gas trade account) dan neraca perdagangan non-migas (non-oil and gas trade account). Transaksi perdagangan minyak dan gas bumi (ekspor-impor) dicatat dalam neraca perdagangan migas. Sedangkan transaksi perdagangan barang di luar minyak dan gas bumi, termasuk minyak sawit dan produk olahan nya, dicatat dalam neraca perdagangan non-migas. Seberapa besar kontribusi industri sawit dalam neraca perdagangan Indonesia dapat dilihat pada “Neraca Non- Migas”, “Neraca Migas”, dan “Neraca Perdagangan Indonesia” (Tabel 6).
Tabel 6. Kontribusi Industri Sawit Dalam Neraca Perdagangan Indonesia Periode 2011-2021 (USD Miliar)
2014 | 2015 | 2016 | 2017 | 2018 | 2019 | 2020 | 2021 | |
---|---|---|---|---|---|---|---|---|
Nilai Ekspor Sawit | 21.1 | 18.64 | 18.1 | 23 | 20.54 | 20.2 | 22.96 | 36.34 |
Sawit Nilai Penghematan Solar Impor | 1.58 | 0.46 | 1.15 | 1.27 | 2.35 | 3.74 | 3.15 | 4.98 |
Neraca Migas | ||||||||
Tanpa Biodiesel | -15.02 | -6.4 | -6.78 | -9.85 | -15.05 | -13.84 | -9.1 | -18.23 |
Dengan Biodiesel | -13.44 | -5.94 | -5.63 | -8.57 | -12.7 | -10.1 | -5.95 | -13.25 |
Neraca Non Migas | ||||||||
Tanpa Sawit | -9.86 | -5 | -3.63 | -2.59 | -16.54 | -13.15 | 4.73 | 12.26 |
Dengan Sawit | 11.24 | 13.64 | 14.47 | 20.41 | 4.00 | 7.05 | 27.69 | 48.6 |
Neraca Perdagangan Indonesia | ||||||||
Tanpa Sawit dan Biodiesel | -24.88 | -11.4 | -10.41 | -12.43 | -31.59 | -26.99 | -4.37 | -5.97 |
Dengan Sawit dan Biodiesel | -2.2 | 7.7 | 8.84 | 11.84 | -8.7 | -3.04 | 21.74 35.34 | 35.34 |
Pada “Neraca Non-Migas”, kontribusi industri sawit akan lebih terlihat jelas dengan membandingkan “Neraca Non-Migas Dengan Sawit” versus“Neraca Non-Migas Tanpa Sawit”. Dalam periode tahun 2011-2020, “Neraca Non-Migas Tanpa Sawit” mengalami surplus hanya terjadi pada tiga tahun yaitu tahun 2011, 2020 dan 2021. Di luar ketiga tahun tersebut, “Neraca Non-Migas Tanpa Sawit” selalu mengalami defisit. Jika ekspor sawit diperhitungkan yakni menjadi “Neraca Non-Migas Dengan Sawit” ternyata mengalami surplus setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa industri sawit bukan hanya mampu menutup defisit tetapi juga mampu membuat surplus “Neraca Non-Migas” Indonesia.
Sementara itu pada “Neraca Migas”, kontribusi industri sawit lebih jelas ditunjukkan dengan membandingkan “Neraca Migas Dengan Biodiesel” versus“Neraca Migas Tanpa Biodiesel”. Kebijakan mandatori biodiesel secara ekonomi merupakan subsitusi impor yang menghemat devisa impor solar fosil. Penghematan devisa impor tersebut akan memperbaiki “Neraca Migas” yang dalam hal ini ditunjukkan pada “Neraca Migas Dengan Biodiesel”.
“Neraca Migas Tanpa Biodiesel” selalu mengalami defisit dari tahun ke tahun dengan nilai yang cukup besar. Meskipun “Neraca Migas Dengan Biodiesel” tetap mengalami defisit namun nilainya lebih kecil dari “Neraca Migas Tanpa Biodiesel”. Penurunan defisit “Neraca Migas Dengan Biodiesel” tersebut merupakan kontribusi dari industri sawit melalui kebijakan mandatori biodiesel.
Secara total, kontribusi industri sawit dalam neraca perdagangan Indonesia ditunjukkan dengan “Neraca Perdagangan Indonesia Dengan Sawit dan Biodiesel” versus“Neraca Perdagangan Indonesia Tanpa Sawit dan Biodiesel”. Pada kondisi “Neraca Perdagangan Indonesia Tanpa Sawit dan Biodiesel” selalu mengalami defisit pada periode tahun 2014-2021. Namun dengan memasukkan kontribusi industri sawit (baik ekspor produk sawit maupun substitusi solar impor dengan biodiesel sawit), sangat terlihat jelas bahwa industri sawit dapat menutup defisit bahkan membuat surplus pada “Neraca Perdagangan Indonesia Dengan Sawit dan Biodiesel”.
Industri sawit mampu memperkecil defisit neraca perdagangan Indonesia seperti pada tahun 2014 (USD -2.2 miliar dari USD -24.8 miliar) dan tahun 2018 (USD -3.04 miliar dari USD -26.9 miliar). Bahkan industri sawit mampu menciptakan surplus perdagangan yang besar di tengah masa pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi global pada tahun 2020 (USD 21.7 miliar) dan 2021 (USD 35.3 miliar).
Surplus neraca perdagangan tersebut memberikan peluang untuk menutup neraca jasa (service account) yang senantiasa defisit. Dengan nilai surplus neraca perdagangan yang cukup besar seperti tahun 2020 dan 2021, akan membuat neraca transaksi berjalan (current account) menjadi surplus. Surplus neraca transaksi berjalan merupakan injeksi darah baru yang memperbesar volume perekonomian dalam menciptakan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan (Palley, 2012; Kang, 2015; Murugesan, 2019).
Uraian di atas menunjukkan bahwa devisa yang dihasilkan industri sawit mampu membuat neraca perdagangan Indonesia semakin sehat bahkan menikmati surplus devisa. Sebaliknya tanpa industri sawit, neraca perdagangan Indonesia semakin memburuk karena menderita defisit devisa yang berkepanjangan.
Mitos 3-21
Mitos 3-21 Industri sawit tidak berkontribusi pada penerimaan pemerintah
Selain sebagai sumber devisa negara, ekspor minyak sawit dan produk turunannya juga menjadi sumber penerimaan pemerintah dari implementasi pajak ekspor. Untuk perdagangan internasional minyak sawit dan produk turunannya, Pemerintah Indonesia menerapkan dua instrumen pajak ekspor yaitu bea keluar (duty) dan pungutan ekspor (levy).
Gambar 21 : Akumulasi Penerimaan Pemerintah dari Bea Keluar Minyak Sawit (Sumber: Kementerian Keuangan, 2016 dalam Sipayung, 2018)
Secara akumulatif, penerimaan pemerintah dari bea keluar meningkat dari Rp 4.2 triliun pada tahun 2007 menjadi Rp 100.3 triliun pada tahun 2016 (Gambar 21). Sementara itu, akumulasi penerimaan pemerintah dari pungutan ekspor yang mulai diimplementasikan pada tahun 2015, juga menunjukkan peningkatan yakni dari Rp 6.9 triliun menjadi Rp 139.2 triliun pada tahun 2021 (Gambar 22).
Gambar 22 : Akumulasi Pungutan Ekspor Minyak Sawit Periode Juli 2015- 2021 (Sumber: BPDPKS, 2022)
Selain dari bea keluar dan pungutan ekspor, penerimaan pemerintah juga bersumber dari penerimaan pajak yang dikenakan kepada industri sawit. Sama seperti sektor ekonomi lainnya, industri sawit juga dikenakan berbagai instrumen pajak seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Perorangan maupun Badan. Sumber lain dari kontribusi industri sawit dalam penerimaan pemerintah adalah berasal dari dividen BUMN perkebunan kelapa sawit (PTPN). Sayangnya, data terkait penerimaan pajak dari industri sawit maupun dividen BUMN secara rinci belum dapat ditampilkan.
Uraian di atas menunjukkan besarnya kontribusi industri sawit terhadap penerimaan pemerintah melalui berbagai macam instrumen pajak. Seiring dengan tren peningkatan harga dan ekspor produk sawit serta berkembangnya industri sawit nasional akan semakin memperbesar penerimaan pemerintah yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan Indonesia.
FAQ Isu Sawit dalam Isu Ekonomi
Apakah minyak sawit memberikan kontribusi signifikan dalam pangan global?
Minyak sawit merupakan sumber pangan yang penting dan digunakan secara luas dalam produk makanan seperti minyak goreng, margarin, dan produk olahan lainnya. Penggunaan minyak sawit dalam pangan global mencakup sekitar 70-90% dari total perdagangan minyak sawit di pasar dunia.
Bagaimana kontribusi industri sawit dalam energi global?
Industri sawit juga berperan dalam menghasilkan energi terbarukan, seperti biodiesel, bioethanol, biogas, dan produk energi terbarukan lainnya. Minyak sawit digunakan sebagai bahan baku dalam produksi biodiesel dan memiliki peran penting dalam industri biodiesel global.
Apakah produk sawit digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat global?
Minyak sawit digunakan dalam berbagai produk sehari-hari, termasuk produk pangan, toiletries, dan kosmetik. Misalnya, minyak sawit digunakan dalam pembuatan sabun, pasta gigi, sampo, dan produk perawatan kulit lainnya yang banyak digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia.
Apakah industri sawit berkontribusi pada perekonomian global?
Industri sawit memiliki kontribusi signifikan pada perekonomian global. Industri ini melibatkan banyak negara sebagai produsen, eksportir, dan importir minyak sawit. Perdagangan minyak sawit dunia melibatkan berbagai produk jadi dan minyak sawit dalam bentuk produk antara.
Apakah impor minyak sawit memberikan kontribusi pada penerimaan pemerintah negara importir?
Impor minyak sawit memberikan kontribusi pada penerimaan pemerintah negara importir. Negara-negara yang mengimpor minyak sawit dapat menghemat devisa dari substitusi impor solar fosil dengan biodiesel sawit. Selain itu, ada penerimaan pemerintah dari pungutan ekspor (export levy) yang diterapkan pada produk sawit.