Pemanasan global merupakan isu yang sedang hangat belakangan ini. Salah satu penyebab global warming adalah aktivitas deforestasi. Sawit sebagai salah satu minyak nabati yang memiliki popularitas di pasar minyak nabati global sering mendapatkan tuduhan bahwa sawit adalah penyebab deforestasi sehingga menyebabkan pemanasan global. Dalam artikel ini, akan dibahas fakta-fakta ilmiah seputar isu sawit dalam deforestasi.
Materi Sawit dalam Deforestasi
- Mitos 6-12 Seluruh negara di dunia memiliki pengertian hutan dan deforestasi yang sama
- Mitos 6-13 Deforestasi dunia hanya terjadi di negara-negara produsen minyak sawit
- Mitos 6-14 Kawasan produsen minyak sawit utama dunia merupakan kawasan terjadinya deforestasi terbesar di dunia
- Mitos 6-15 Kelapa sawit merupakan komoditas driver utama deforestasi global
- Mitos 6-16 Minyak sawit adalah sumber minyak nabati dunia yang paling rakus deforestasi
- Mitos 6-28 Gerakan “No Palm Oil”, “Palm Oil Free” serta kebijakan “Phase-out” dan “Deforestation-free” minyak sawit bertujuan melestarikan lingkungan global
- Mitos 6-29 Perkebunan kelapa sawit merupakan pemicu utama konversi hutan menjadi non-hutan di Indonesia
- Mitos 6-30 Perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari konversi langsung hutan (deforestasi)
- Mitos 6-31 Perkebunan kelapa sawit Indonesia semakin mendegradasi degraded land secara sosial, ekonomi, dan ekologi
Mitos 6-12
Seluruh negara di dunia memiliki pengertian hutan dan deforestasi yang sama
Ada ratusan definisi hutan dan deforestasi yang dianut oleh negara- negara di dunia yang merupakan kombinasi antara densitas pohon (tree density), tinggi pohon (tree height), tata guna lahan (land use), status legalitas (legal standing), dan fungsi ekologis (Schuck et al., 2002; FAO, 2018; PASPI Monitor, 2022a).
Studi Lund (2013) menemukan bahwa definisi hutan yang berbeda-beda dari aspek administratif, land cover, land use, land capability, serta menemukan hampir sekitar 1,600 pengertian hutan dan sekitar 240 definisi pohon yang berlaku di berbagai negara di dunia baik pada level lokal, nasional maupun international.
Definisi hutan juga berbeda antar negara. Studi Schuck et al. (2002) menemukan terms and definition dari hutan sangat bervariasi antar negara Eropa. Berikut adalah definisi-definisi hutan tersebut :
Jerman
Jerman mendefinisikan hutan sebagai : “sum total of all areas defined as forest, consisting of a productive wooded area and non-wooded area”.
Norwegia
Norwegia mendefinisikan hutan sebagai : “productive forest land (as average potential production higher 1 m3/ha/year) and non-productive forest land (average potential production 0.1-1.0 m3/ha/year)“.
Perancis
Perancis mendefinisikan hutan sebagai : “have a tree (diameter >7.5 cm), have a crown cover percentage reaching at least 10 percent and there are more 500 steam per hectare that viable trees“.
Di Indonesia, istilah hutan dan kebun digunakan oleh masyarakat secara bergantian seperti hutan karet atau kebun karet, kebun bambu atau hutan bambu (Soemarwoto, 1992).
Indonesia
Definisi Hutan Indonesia Menurut UU No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan : “hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan“.
Lembaga-lembaga multinasional juga mendefinisikan hutan untuk keperluan institusinya.
Definisi Hutan Menurut European Union Renewable Energy Directive (EU RED II) : “continuously forested areas, namely land spanning more than one hectare with trees higher than five metres and a canopy cover of more than 30 %, or trees able to reach those thresholds in situ; land spanning more than one hectare with trees higher than five metres and a canopy cover of between 10 % and 30 %, or trees able to reach those thresholds in situ, unless evidence is provided that the carbon stock of the area before and after conversion is such that”.
Definisi Hutan dari Inter Parlement for Climate Change (IPCC) : “forest is a minimum area of land of 0.05 – 1.0 hectares with tree crown cover (or equivalent stocking level) of more than 10 – 30 per cent with trees with the potential to reach a minimum height of 2 – 5 meters at maturity in situ.
A forest may consist either of closed forest formations where trees of various storeys and undergrowth cover a high portion of the ground or open forest. young natural stands and all plantations which have yet to reach a crown density of 10 – 30 per cent or tree height of 2 – 5 meters are included under forest, as are areas normally forming part of the forest area which are temporarily unstocked as a result of human intervention such as harvesting or natural causes, but which are expected to revert to forest”.
Definisi Hutan Menurut FAO (2000) : “forest includes natural forests and forest plantations. It is used to refer to land with a tree canopy cover of more than 10 percent and area of more than 0.5 ha. Forests are determined both by the presence of trees and the absence of other predominant land uses. The trees should be able to reach a minimum height of 5 m. Young stands that have not yet but are expected to reach a crown density of 10 percent and tree height of 5 m are included under forest, as are temporarily unstocked areas.
The term includes forests used for purposes of production, protection, multiple- use or conservation (i.e., forest in national parks, nature reserves and other protected areas), as well as forest stands on agricultural lands (e.g., windbreaks and shelterbelts of trees with a width of more than 20 m), and rubberwood plantations and cork oak stands. The term specifically excludes stands of trees established primarily for agricultural production, for example fruit tree plantations. It also excludes trees planted in agroforestry systems”.
Pengertian tentang hutan yang beragam tersebut berimplikasi pada pengertian tentang deforestasi yang juga bervariasi, setidaknya sebanyak variasi definisi hutan yang ada di masyarakat. Definisi deforestasi juga bervariasi antar negara atau lembaga mengikuti variasi pengertian hutan yang dianut.
Definisi Deforestasi Menurut World Bank : “deforestasi sebagai hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara atau hilangnya tutupan hutan yang tidak menghasilkan kayu“.
Definisi Deforestasi United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2001 : “deforestasi sebagai konversi hutan yang diinduksi oleh manusia secara langsung ke lahan non hutan“.
Definisi Deforestasi Peraturan Menteri Kehutanan No. 30 Tahun 2009 : “perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tak berhutan yang diakibatkan kegiatan manusia“.
Definisi Deforestasi Menurut FAO (2000) : “The conversion of forest to another land use or the long-term reduction of the tree canopy cover below the minimum 10 percent threshold. Deforestation implies the long-term or permanent loss of forest cover and implies transformation into another land use. Such a loss can only be caused and maintained by a continued human- induced or natural perturbation.
Deforestation includes areas of forest converted to agriculture, pasture, water reservoirs and urban areas. The term specifically excludes areas where the trees have been removed as a result of harvesting or logging, and where the forest is expected to regenerate naturally or with the aid of silvicultural measures. Unless logging is followed by the clearing of the remaining logged-over forest for the introduction of alternative land uses, or the maintenance of the clearings through continued disturbance, forests commonly regenerate, although often to a different, secondary condition. In areas of shifting agriculture, forest, forest fallow and agricultural lands appear in a dynamic pattern where deforestation and the return of forest occur frequently in small patches.
To simplify reporting of such areas, the net change over a larger area is typically used. Deforestation also includes areas where, for example, the impact of disturbance, overutilization or changing environmental conditions affects the forest to an extent that it cannot sustain a tree cover above the 10 percent threshold”“.
Dengan demikian sangat jelas bahwa dengan variasi definisi hutan, akan membuat pengertian deforestasi juga bervariasi antar negara. Semak belukar (shrub) di Indonesia yang tidak dikategorikan sebagai hutan di negara-negara tropis, sebaliknya dianggap sebagai hutan jika menggunakan definisi hutan FAO. Demikian juga dengan padang rumput savana yang tidak dapat dikategorikan sebagai hutan berdasarkan definisi FAO, sebaliknya digolongkan sebagai hutan oleh negara-negara di Afrika.
Untuk melihat suatu land use change terkait deforestasi, maka perlu dipastikan terlebih dahulu kesamaan definisi hutan yang akan digunakan dengan definisi hutan yang berlaku di suatu daerah. Meskipun banyak yang merujuk pada definisi FAO, namun faktanya definisi tersebut juga tidak digunakan oleh setiap negara bahkan juga tidak pada lembaga multinasional lainnya.
Dengan definisi FAO tersebut, suatu ekosistem di Uni Eropa, Inggris, Amerika Serikat yang dikategorikan sebagai hutan, sangat mungkin ekosistem tersebut “bukan hutan” di negara-negara tropis. Misalnya di
Indonesia (Gunarso et al., 2013; Santosa et al., 2020; Santosa, 2021; Suharto et al., 2019), terdapat 23 jenis ekosistem daratan dan hanya 5 ekosistem diantaranya yang dikategorikan sebagai hutan. Namun dengan definisi FAO, terdapat sekitar 20 ekosistem dikategorikan sebagai hutan. Sebaliknya, di Indonesia dikenal ada kawasan hutan tak berhutan (non-forested area) yang secara administratif dikategorikan sebagai kawasan hutan, namun menurut definisi FAO justru tidak dikategorikan sebagai hutan.
Perbedaan pengertian dan kontekstual hutan dan deforestasi tersebut, bermuara pada banyaknya ketidakpastian (uncertainty) dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan kebijakan yang mengkaitkan hutan dan deforestasi dengan perdagangan komoditas seperti minyak sawit. Ketidakpastian tersebut akan menimbulkan polemik berkepanjangan yang menyita waktu, biaya, dan energi.
Referensi :
- Gunarso P, ME Hartoyo, Y Nugroho. 2013. Analisis penutupan lahan dan perubahannya menjadi kelapa sawit di Indonesia: Studi kasis di 5 pulau besar di Indonesia periode 1990-2010. Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan. 2(1):10-19.
- [FAO] Food Agricultural Organization. 2017. The State of Food and Agriculture 2017. Tersedia pada: https://www.fao.org/3/I7658E/I7658E.pdf
- PASPI Monitor. 2022a. “Deforestation-Free” Policies And It’s Polemic. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(15): 683-688.
- Santosa Y, Purnamasari I. 2017. Variation Of Butterfly Diversity in Different Ages Palm Oil Plantationsin Kampar, Riau. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiviversitas Indonesia. 3(2): 278-285. https://doi.org/10.13057/psnmbi/m030220
- Santosa Y, Sunkar A, Kwatrina RT. 2020. Is it True that Oil Palm Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation? International Journal of Palm Oil. 3(1): 1-10. https://doi.org/10.35876/ijop.v3i1.37
- Schuck A, R Paivenan, T Hytonen, B Pajari. 2002. Compilation of Terms and Definitions. European Forest Institute. Internal Report No.6, 2002. Tersedia pada: https://efi.int/sites/default/files/files/publication- bank/2018/ir_06.pdf
- Suharto R, Agus F, Santosa Y, Sipayung T, Gunarso, P. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energy Directive (EU Directive 2018/2001) dan EU Commission Delegated Regulation 2019/807 serta Perumusan Posisi Indonesia terhadap Kebijakan Tersebut. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; PT Riset Perkebunan Nusantara.
- Soemarwoto O. 1992. Indonesia dalam Kamcah Isu Lingkungan Global. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mitos 6-13
Deforestasi dunia hanya terjadi di negara-negara produsen minyak sawit
Deforestasi telah menjadi isu lingkungan yang menyita perhatian masyarakat global. Pengaitan deforestasi dan perkebunan kelapa sawit (Wicke et al., 2008; Vijay et al., 2016; European Parlement, 2017) telah menggiring opini global seakan-akan deforestasi pasti dan hanya terjadi pada negara-negara produsen minyak sawit. Apakah benar deforestasi global bersifat uniqueness atau hanya terjadi pada negara-negara produsen minyak sawit?
Dalam sejarah peradaban manusia di planet bumi, deforestasi merupakan fenomena normal yang terjadi pada setiap negara dan setiap zaman. Peningkatan kebutuhan ruang akibat pertumbuhan populasi penduduk baik untuk perumahan, pertanian/pangan, serta infrastruktur dan kawasan/industri komersial di setiap negara dunia, telah mendorong terjadinya konversi hutan menjadi non-hutan (deforestasi).
Proses pembangunan global yang dimulai di daerah sub-tropis (seperti daratan Eropa, Amerika Utara) menyebabkan terjadinya deforestasi hutan sub-tropis (temperate forest) lebih awal yakni sebelum tahun 1990-an dan mencapai puncak pada periode tahun sebelum 1700 (Gambar 1). Pembangunan di negara-negara tropis juga menyebabkan deforestasi hutan tropis (tropical forest) pada tahun 1900-an. Puncak deforestasi hutan tropis terjadi pada periode tahun 1950-1979 (FAO, 2012; Roser, 2012).
Gambar 1 : Deforestasi Berdasarkan Tipe Hutan Selama Periode Pra- 1700 hingga 2000 (Sumber: FAO, 2012)
Jejak deforestasi tropical forest dan non-tropical forest tersebut juga diperkuat oleh studi Matthew (1983). Pada periode pra-pertanian sampai tahun 1980 (Tabel 1), deforestasi hutan dunia telah mencapai 701 juta hektar yang terdiri dari deforestasi hutan non-tropis (653 juta hektar) dan deforestasi hutan tropis (48 juta hektar).
Tabel 1 : Perubahan Hutan (Deforestasi) Dunia masa Pra-Pertanian hingga Tahun 1980
Jenis Hutan | Vegetasi Pra- Pertanian (Juta Hektar) | Vegetasi 1980 (Juta Hektar) | Deforestasi (Juta Hektar) | Deforestasi (%) |
---|---|---|---|---|
Total hutan dunia | 4,628 | 3,927 | 701 | 15.15 |
Hutan hujan tropis | 1,277 | 1,229 | 48 | 3.75 |
Hutan non-tropis | 3,351 | 2,698 | 653 | 19.50 |
Woodland | 1,523 | 1,310 | 213 | 13.80 |
Semak Belukar (Shrubland) | 1,299 | 1,212 | 87 | 6.70 |
Padang Rumput (Grassland) | 3,309 | 2,743 | 647 | 19.10 |
Tundra | 734 | 734 | – | – |
Gurun (Desert) | 1,582 | 1,557 | 25 | 1.60 |
Tanaman Budidaya (Cultivation) | 93 | 1,756 | -1663 | – |
Studi Houghton (1996) juga mengkonfirmasi pola deforestasi global tersebut. Dalam periode tahun 1850-1990, luas lahan global yang telah dibuka meningkat dari 289 juta hektar menjadi 2.52 miliar hektar. Lahan tersebut terdiri dari temperate grass land seluas 1.6 miliar hektar, hutan tropis seluas 508 juta hektar, hutan temperate seluas 91 juta hektar, dan hutan boreal seluas 4 hektar.
Sebagian besar deforestasi hutan sub-tropis terjadi di daratan Eropa dan Amerika Utara. Hal ini tercermin dari penurunan forest cover di negara- negara Eropa (Gambar 2) sebelum tahun 1800 (Kaplan et al., 2009) dan di Amerika Utara (Gambar 3) (USDA, 2014). Hal ini juga terkonfirmasi dari hilangnya hutan asli (virgin forest) di daratan Eropa. Studi Sabatini et al. (2018) dan Barredo et al. (2021) juga mengungkapkan bahwa luas hutan primer Eropa saat ini hanya tersisa 1.4 juta hektar yang tersebar di Finlandia, Ukraina, Bulgaria, dan Rumania.
Gambar 2 : Sejarah Penurunan Forest Cover Hutan Daratan Eropa (Sumber: Kaplan et al, 2009)
Gambar 3 : Sejarah Deforestasi di Daratan Amerika Serikat 1620-1920 (Sumber: USDA, 2014)
Uraian di atas menegaskan bahwa deforestasi merupakan fenomena normal dari proses pembangunan yang terjadi di setiap negara dan setiap zaman. Negara-negara maju saat ini, seperti Eropa dan Amerika Utara, mengawali proses pembangunannya dari hasil deforestasi. Demikian juga negara-negara dunia baru membangun. Tampaknya tidak ada pilihan untuk membangun pada masa itu tanpa deforestasi. Kemajuan dan kekayaan yang dinikmati masyarakat dunia saat ini memiliki akar sejarah deforestasi global.
Referensi
- Barredo J, Brailesco C, Teller A, Sabatini FM, Mauri A, Janouskova K. 2021. Mapping and Assessment of Primary and Old-Growth Forests in Europe. European Commision: JRC Science for Policy Report. Tersedia pada: http://dx.doi.org/10.2760/797591
- European Parlemen. 2017. Palm Oil and Deforestation Rainforest. Tersedia pada: https://www.europarl.europa.eu/doceo/document/TA-8-2017- 0098_EN.html
- [FAO] Food Agricultural Organization. 2012. State of the World Forest. Tersedia pada: https://www.fao.org/3/i3010e/i3010e.pdf
- Kaplan JO, Krumhardt KM, Zimmermann N. 2009. The Prehistoric and Preindustrial Deforestation of Europe. Quaternary Science Reviews. 28: 3016-3034. http://dx.doi.org/10.1016/j.quascirev.2009.09.028
- Matthew E. 1983. Global Vegetation and Land Use: New High-Resolution Data Based for Climate Study. Journal of climate change and applied Meteorology. 22:474-487. https://ui.adsabs.harvard.edu/link_gateway/1983JApMe..22..474M/doi:10.1175/1520-0450(1983)022%3C0474:GVALUN%3E2.0.CO;2
- Sabatini FM, Burrascano S, Keeton WS, Levers C, Lindner M, Pötzschner F, Verkerk PJ, Bauhus J, Buchwald E, Chaskovsky O, Debaive N, Horváth F, Garbarino M, Grigoriadis N Lombardi F, Duarte IM, Meyer P, Midteng N, Mikac S, Mikoláš M, Motta R, Mozgeris G, Nunes L, Panayotov M, Ódor P, Ruete A, Simovski B, Stillhard J, Svoboda M, Szwagrzyk J, Tikkanen OP, Volosyanchuk R, Vrska T, Zlatanov T, Kuemmerle T. 2018. Where are Europe’s Last Primary Forest? Diversity and Distributions. 24(10): 1426- 1439. https://doi.org/10.1111/ddi.12778
- [USDA] United States of Departement Agricultural. 2014. US Forest Resource Facts and Historical Trend. Washington DC (US): US Department of Agriculture, Science and Education Administration.
- Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 11(7): 1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0159668
- Wicke B, Sikkema R, Dornburg V, Junginger M, Faaij A. 2008. Drivers of Land Use Change and The Role of Palm Oil Production in Indonesia and Malaysia: Overview of Past Developments and Future Projections Final Report. Science, Technology and Society Copernicus Institute for Sustainable Development and Innovation Utrecht University. Tersedia pada: http://npnet.pbworks.com/f/Wicke%2C+Faaij+et+al+%282008%29+Palm+oil+and+land+use+change+in+Indonesia+and+Malaysia%2C+Copernicus+Institute.pdf
Mitos 6-14
Kawasan produsen minyak sawit utama dunia merupakan kawasan terjadinya deforestasi terbesar di dunia
Kawasan produsen utama minyak sawit dunia berada di Asia Tenggara yakni Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Sekitar 75 persen areal perkebunan kelapa sawit dunia berada di kawasan Asia Tenggara.
Sebagaimana didiskusikan sebelumnya bahwa deforestasi merupakan fenomena normal dalam pembangunan global sejak masa pra-pertanian hingga saat ini yang terjadi di seluruh negara. Peningkatan kebutuhan pangan dan pemukiman serta sarana prasarana dan infrastruktur menjadi driver utama terjadinya deforestasi global.
Berdasarkan studi European Commission (2013), luas deforestasi dunia selama periode 1990-2008 (Gambar 4) mencapai 239 juta hektar. Deforestasi pada periode tersebut terjadi di negara-negara kawasan Benua Amerika (40 persen), Kawasan Afrika (31.6 persen) dan Kawasan Asia (26.2 persen). Sisanya berada di negara-negara Eropa (1.5 persen) dan Oceania (2 persen).
Gambar 4 : Kawasan Driver Deforestasi Global Periode Tahun 1990-2008 (Sumber: European Commission, 2013)
Kawasan dengan deforestasi global terbesar pada periode tersebut adalah Kawasan Amerika (Amerika Selatan dan Amerika Tengah) dan Kawasan Afrika. Sekitar 71 persen deforestasi dunia berada di kedua kawasan tersebut. Sementara itu, pangsa deforestasi kawasan Asia Tenggara hanyalah sebesar 19 persen.
Berdasarkan data-data di atas, jelas bahwa kawasan perkebunan kelapa sawit utama dunia yakni Asia Tenggara, bukanlah driver utama deforestasi global. Pangsa deforestasi Asia Tenggara hanya sebesar 19 persen, jauh lebih kecil dibandingkan pangsa deforestasi kawasan Amerika Selatan (33 persen) dan Afrika (31.6 persen).
Referensi :
- European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation. Tersedia pada: https://ec.europa.eu/environment/forests/pdf/1.%20Report%20analy sis%20of%20impact.pdf
Mitos 6-15
Kelapa sawit merupakan komoditas driver utama deforestasi global
Perkembangan perkebunan kelapa sawit dunia yang relatif cepat dan tergolong revolusioner (Byarlee et al., 2016), telah memicu tuduhan bahwa kelapa sawit adalah driver utama deforestasi global (Wicke et al., 2008; Vijay et al., 2016; European Parlement, 2017). Pengaitan perkebunan kelapa sawit dengan deforestasi bahkan telah menjadi argumen proteksionisme gaya baru dalam perdagangan minyak sawit dan produk turunannya yang dilakukan oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat.
Studi European Commission (2013) menunjukkan bahwa top-4 driver deforestasi global pada periode tahun 1990-2008 adalah :
- Sektor pertanian (54 persen),
- bencana alam (17 persen),
- pembangunan rumah infrastruktur (4 persen),
- dan industri (2 persen)
Komposisi driver deforestasi global tersebut konsisten dengan sejarah dan driver deforestasi dunia, dimana kebutuhan ruang untuk produksi pangan dan perumahan menjadi driver utama deforestasi global.
Hasil studi European Commission terkonfirmasi dalam laporan FAO (2016) yang menyebutkan bahwa sektor pertanian masih menjadi penyebab (driver) yang signifikan terhadap deforestasi global. Hal serupa juga disebutkan pada studi Kissinger et al. (2012) mengungkapkan bahwa penyebab langsung (direct driver) deforestasi yang utama adalah ekspansi pertanian, aktivitas logging dan produksi kayu, urbanisasi, serta kegiatan pertambangan.
Diantara komoditas sektor pertanian yang berhasil teridentifikasi (di luar natural disaster dan unexplained factor), komoditas pertanian yang menjadi driver deforestasi dunia periode tahun 1990-2008 (Gambar 5) adalah peternakan (24 persen), serealia (8 persen), kedelai (6 persen), roots pulses (4 persen), dan tanaman lainnya (4 persen).
Gambar 5 : Komoditas Pertanian Driver Deforestasi Global 1990-2008 (Sumber: European Commission, 2013)
Dari segi komoditas, deforestasi terbesar terjadi untuk pengembangan pertanian/perkebunan tanaman serelia (8 persen) dan kedelai (6 persen). Sedangkan ekspansi perkebunan kelapa sawit dunia hanya 2 persen dari deforestasi global. Bahkan jika ditelusuri sejarah perkembangan empat minyak nabati utama dunia, menunjukkan bahwa deforestasi terbesar adalah untuk kedelai, kemudian disusul oleh rapeseed dan bunga matahari. Sedangkan perkebunan kelapa sawit hanya mengambil porsi yang relatif kecil.
Referensi
- Byarlee D, WP Falcon, RL Naylor. 2016. The Tropical Oil Crops Revolution: Food, Feed and Forest. Oxford (UK): Oxford University Press.
- European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation. Tersedia pada: https://ec.europa.eu/environment/forests/pdf/1.%20Report%20analy sis%20of%20impact.pdf
- European Parlemen. 2017. Palm Oil and Deforestation Rainforest. Tersedia pada: https://www.europarl.europa.eu/doceo/document/TA-8-2017- 0098_EN.html
- Kissinger G, M Herold, V De Sy. 2012. Drivers of Deforestation and Forest Degradation: A Synthesis Report for REDD+ Policymakers. Vancouver (CN): Lexeme Consulting. Tersedia pada: https://www.forestcarbonpartnership.org/sites/fcp/files/DriversOfDef orestation.pdf_N_S.pdf
- Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 11(7): 1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0159668
- Wicke B, Sikkema R, Dornburg V, Junginger M, Faaij A. 2008. Drivers of Land Use Change and The Role of Palm Oil Production in Indonesia and Malaysia: Overview of Past Developments and Future Projections Final Report. Science, Technology and Society Copernicus Institute for Sustainable Development and Innovation Utrecht University. Tersedia pada: http://np-net.pbworks.com/f/Wicke%2C+Faaij+et+al+%282008%29+Palm+oil+a nd+land+use+change+in+Indonesia+and+Malaysia%2C+Copernicus+In stitute.pdf
Mitos 6-16
Minyak sawit adalah sumber minyak nabati dunia yang paling rakus deforestasi
Empat tanaman minyak nabati utama dunia yaitu kelapa sawit, kedelai, rapeseed, dan bunga matahari memasok sekitar 85-90 persen minyak nabati dunia. Menurut data USDA (2021) dan Oil World (2020) menunjukkan bahwa pertumbuhan luas area keempat tanaman minyak nabati utama dunia tersebut mengalami pertumbuhan relatif cepat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir.
Berdasarkan data USDA (2021), produktivitas tanaman kelapa sawit dalam menghasilkan minyak nabati mencapai 3.36 ton minyak per hektar per tahun. Sedangkan produktivitas tanaman minyak nabati lainnya jauh lebih rendah dibandingkan kelapa sawit.
Produktivitas minyak bunga matahari hanya 0.78 ton per hektar, produktivitas minyak rapeseed hanya 0.75 ton per hektar, dan produktivitas minyak kedelai hanya 0.47 ton per hektar. Hal ini menunjukkan bahwa produktivitas minyak per hektar yang dihasilkan kelapa sawit hampir 4-7 kali lipat produktivitas tanaman minyak nabati utama lainnya. Dalam konteks penyediaan minyak nabati dunia, pertanyaannya adalah untuk menyediakan kebutuhan minyak nabati dunia, tanaman minyak nabati mana yang paling hemat deforestasi?
Berdasarkan produktivitas tersebut, secara implisit telah terlihat bagaimana intensitas deforestasi antar minyak nabati utama dunia. Jika indeks deforestasi didefinisikan sebagai indeks kebutuhan lahan untuk menghasilkan setiap ton minyak nabati, maka dapat dilakukan perbandingan sumber minyak nabati mana yang paling rakus deforestasi dan minyak nabati mana yang paling hemat deforestasi.
Dengan asumsi bahwa semua ekspansi minyak nabati merupakan suatu deforestasi dan indeks deforestasi minyak sawit sebagai benchmark (indeks=100), maka indeks deforestasi minyak kedelai mencapai 710, indeks deforestasi minyak rapeseed sebesar 448 dan indeks deforestasi minyak bunga matahari mencapai 430 (Gambar 6).
Gambar 6 : Indeks Deforestasi Minyak Sawit Versus Minyak Nabati Lain
Artinya dengan deforestasi minyak sawit sebagai benchmark, deforestasi minyak kedelai mencapai 7.1 kali dari minyak sawit. Sementara itu, deforestasi minyak rapeseed mencapai 4.48 kali dari minyak sawit dan deforestasi minyak bunga matahari mencapai 4.3 kali dari minyak sawit.
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa minyak sawit merupakan minyak nabati yang paling hemat deforestasi, sedangkan minyak nabati lainnya relatif boros deforestasi. Dengan melihat komposisi produksi minyak nabati dunia tahun 2021, dimana pangsa minyak sawit dalam empat minyak nabati utama dunia sebesar 43 persen, maka indeks deforestasi tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 57 persen minyak nabati dunia diproduksi dari minyak nabati yang boros deforestasi.
Dan sekitar 43 persen minyak nabati dunia dihasilkan dari minyak nabati yang relatif hemat deforestasi. Jika masyarakat dunia ingin menurunkan deforestasi dalam penyediaan minyak nabati, maka komposisi produksi minyak nabati tersebut perlu diubah dengan meningkatkan pangsa minyak sawit yang relatif lebih hemat deforestasi.
Mitos 6-28
Gerakan “No Palm Oil”, “Palm Oil Free” serta kebijakan “Phase-out” dan “Deforestation-free” minyak sawit bertujuan melestarikan lingkungan global
Dalam dua puluh tahun terakhir, pengaitan minyak sawit dengan isu- isu lingkungan (seperti deforestasi, biodiversity loss, emisi, dan polutan) semakin intensif, hingga memunculkan gerakan anti minyak sawit atau “No Palm Oil”. Gerakan tersebut dimotori NGO dan jejaringnya di berbagai negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan lain-lain. Tidak hanya melalui gerakan/kampanye, gerakan NGO tersebut juga mendorong penggunaan label “Palm Oil Free” pada kemasan berbagai produk berbasis sawit seperti produk pangan, produk toiletries, dan produk lainnya (PASPI, 2015; Kumar et al., 2015). Penggunaan label produk tersebut bertujuan untuk membentuk opini publik yang menyudutkan minyak sawit agar konsumen global dapat mengurangi bahkan menghentikan penggunaan produk berbasis sawit.
Gerakan NGO juga meningkatkan lobi-lobi untuk mempengaruhi dan memaksa kebijakan pemerintah agar membatasi bahkan menghapus minyak sawit dalam perdagangan dunia. Uni Eropa mengeluarkan kebijakan phase- out dalam RED II-ILUC yang akan menyingkirkan minyak sawit sebagai bahan baku biofuel dalam kebijakan renewable energy Uni Eropa 2020-2030 (PASPI Monitor, 2019c,h; Suharto et al., 2019). Selain itu, Uni Eropa juga mengeluarkan Regulation on Deforestation-Free Commodity/Product atau kebijakan “Deforestation-free” yang mulai berlaku tahun 2023. Kebijakan tersebut mengikuti kebijakan sebelumnya yang sudah ada yakni di Amerika Serikat dengan FOREST Act 2021 dan Inggris dengan Environment Act 2021 (PASPI Monitor, 2022b,e,i).
Gerakan “No Palm Oil” dan “Palm Oil Free” maupun kebijakan “Phase- out” dan “Deforestation-free” tersebut bermuara untuk menciptakan “Dunia Tanpa Sawit”. Apakah dengan “Dunia Tanpa Sawit” tersebut akan membuat deforestasi dunia, biodiversity loss, emisi GRK, dan polusi tanah/air berkurang? Untuk menjawab pertanyaan terkait “Dunia Tanpa Sawit” akan lebih baik atau lebih buruk bagi lingkungan global, perlu analisis sebagai berikut.
Menurut data USDA tahun 2021, total produksi/konsumsi minyak sawit dunia sebesar 75.5 juta ton. Dengan kondisi “Dunia Tanpa Sawit” berarti masyarakat dunia harus mencari pengganti minyak sawit dengan volume sebesar 75.5 juta ton per tahun dari sumber minyak nabati lainnya seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari (Tabel 2). Jika mengacu pada kondisi luas areal dan produktivitas tahun 2021 (USDA, 2022), maka diperlukan ekspansi luas area perkebunan kedelai, rapeseed, dan bunga matahari di negara-negara produsen minyak nabati tersebut jika diberlakukan skenario “Dunia Tanpa Sawit”.
Tabel 2 : Dunia Tanpa Sawit akan Meningkatkan Deforestasi Global
Uraian | Dunia dengan Sawit (S0) | Dunia tanpa Sawit (S1) | Tambahan Deforestasi Dunia |
---|---|---|---|
Tanaman (Juta Ha) | |||
Kedelai | 130.0 | 218.3 | 88.3 |
Rapeseed | 37.8 | 63.4 | 25.7 |
Bunga Matahari | 28.4 | 47.7 | 19.3 |
Kelapa Sawit | 25.1 | – | – |
Total | 221.3 | 329.4 | – |
Produksi minyak nabati (juta ton) | 186.8 | 186.8 | 133.2 |
“Dunia Dengan Sawit” (S0) adalah kondisi aktual tahun 2020, dimana total luas area keempat tanaman minyak nabati dunia mencapai 221.3 juta hektar dengan produksi total minyak nabati sebesar 186.8 juta ton. Sementara itu, “Dunia Tanpa Sawit” (S1) adalah skenario jika minyak sawit tidak ada. Untuk mencapai produksi minyak nabati dunia sebesar 186.6 juta ton pada skenario S1, maka masyarakat dunia harus memenuhi secara proporsional dari 55 persen minyak kedelai, 25 persen dari minyak rapeseed, dan 20 persen dari minyak bunga matahari.
Dengan skenario S1 tersebut, terjadi ekspansi kebun kedelai dunia yang meningkat dari 130 juta hektar menjadi 218.3 juta hektar, luas areal tanaman rapeseed dunia juga mengalami peningkatan dari 37.8 juta hektar menjadi 63.4 juta hektar, dan luas areal tanaman bunga matahari juga mengalami peningkatan dari 28.4 juta hektar menjadi 47.7 juta hektar. Sehingga total luas area perkebunan ketiga tanaman minyak nabati pada skenario S1 sebesar 329.4 juta hektar.
Selisih luas areal perkebunan tanaman minyak nabati antara skenario S1 dengan S0 yakni sebesar 133.2 juta hektar. Artinya tambahan deforestasi dunia akibat penggantian minyak sawit pada kondisi “Dunia Tanpa Sawit” mencapai 133.2 juta hektar yang berasal dari tambahan ekspansi tanaman kedelai (88.3 juta hektar), tanaman rapeseed (25.7 juta hektar), dan tanaman bunga matahari (19.3 juta hektar).
Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa penggantian minyak sawit dengan sumber minyak nabati lainnya, justru akan meningkatkan deforestasi dunia seluas 133.2 juta hektar. Bukankah “Dunia Tanpa Sawit” memicu deforestasi dunia yang lebih luas?
“Dunia Tanpa Sawit” tidak hanya memicu peningkatan deforestasi dunia saja. Mengacu pada poin “Produksi minyak sawit menyebabkan biodiversity loss yang lebih besar dibandingkan minyak nabati lainnya“, peningkatan deforestasi tersebut juga meningkatkan biodiversity loss yang lebih besar. Artinya “Dunia Tanpa Sawit” akan menempatkan penyediaan minyak nabati global pada minyak nabati yang biodiversity loss-nya lebih tinggi.
Tidak hanya meningkatkan deforestasi dan biodiversity loss, mengacu pada poin Emisi minyak sawit paling besar dibandingkan emisi minyak nabati lainnya, “Dunia Tanpa Sawit” juga meningkatkan emisi karbon yang lebih besar. Artinya “Dunia Tanpa Sawit” juga menempatkan penyediaan minyak nabati global pada minyak nabati yang boros emisi. Hal ini sangat ironis, dimana masyarakat global sedang berjuang untuk menurunkan emisi di setiap bidang kehidupan, tapi di sisi lain ada gerakan yang memaksakan penyediaan minyak nabati global pada minyak nabati yang lebih boros emisi.
“Dunia Tanpa Sawit” bukan hanya meningkatkan deforestasi, biodiversity loss, dan emisi, tetapi juga meningkatkan polusi tanah/air yang lebih besar. Mengacu pada poin Polusi air/tanah yang dihasilkan minyak sawit lebih besar dibandingkan minyak nabati lain, penggantian minyak sawit oleh minyak kedelai dan/atau minyak rapeseed sama artinya dengan menempatkan penyediaan minyak nabati dunia pada minyak nabati yang lebih tinggi polutan dari residu pupuk dan pestisida.
Uraian di atas menunjukkan bahwa “Dunia Tanpa Sawit” yang diciptakan oleh gerakan “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” maupun kebijakan “Phase-out” dan “Deforestation-free”, justru memperburuk lingkungan global melalui peningkatan deforestasi, biodiversity loss, emisi dan polutan tanah/air. Menghindarkan masyarakat konsumen global dari konsumsi minyak sawit dan beralih pada minyak nabati lainnya yang lebih inferior dari segi dampak lingkungan, justru akan semakin merugikan masyarakat global dan menurunkan mutu lingkungan hidup global.
Referensi
- Kumar PKP, Krishna AGG. 2014. Physico-Chemical Characteristic and Nutraceutical Distribution of Crude Palm Oil and Its Fractions. Grasas Y Aceites. 65(2): 1-12.
- PASPI Monitor. 2015. Labelisasi Produk “Palm Oil Free”: Gerakan Boikot Minyak Sawit? Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(15): 103-108
- PASPI Monitor. 2019c. Kebijakan ILUC Uni Eropa : “Semut di Mata Orang Dipersoalkan, Gajah di Pelupuk Mata Sendiri Diabaikan. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 5(11): 1451-1456.
- PASPI Monitor. 2019h. Emisi Indirect Land Use Change Red Uni Eropa : Minyak Sawit Bahan Baku Biodiesel Eu Paling Kompetitif?. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 5(13): 1463-1472
- PASPI Monitor. 2022b. “Deforestation-Free” Policy, Embodied Deforestation and Deforestation Footprints. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(17): 695-702.
- PASPI Monitor. 2022e. Palm Oil In “Deforestation-Free” Countries/Regions. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(16): 689-694.
- PASPI Monitor. 2022i. “Deforestation-Free” Policy For Palm Oil Cause Wider Global Deforestation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(19): 709-714.
- Suharto R, Agus F, Santosa Y, Sipayung T, Gunarso, P. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energy Directive (EU Directive 2018/2001) dan EU Commission Delegated Regulation 2019/807 serta Perumusan Posisi Indonesia terhadap Kebijakan Tersebut. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; PT Riset Perkebunan Nusantara.
Mitos 6-29
Perkebunan kelapa sawit merupakan pemicu utama konversi hutan menjadi non-hutan di Indonesia
Tudingan bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan pemicu utama konversi hutan menjadi non-hutan (deforestasi), telah banyak dilontarkan oleh para peneliti (Thiollay, 1999; Donald, 2004; Dumbrell dan Hill, 2005; Pacienca dan Prado, 2005; Benayas et al., 2007; Steveson dan Aldana, 2008; Koh dan Wilcove, 2008; Byarlee et al., 2016; Vijay et al., 2016).
Definisi hutan dan deforestasi masih menjadi perdebatan global. Perhitungan kapan dimulainya deforestasi, definisi deforestasi secara administrasi atau secara teknikal dan lain-lain, belum menjadi kesepakatan internasional. Faktanya hampir tidak ada negara di dunia yang melarang deforestasi secara eksplisit.
Deforestasi merupakan fenomena normal pembangunan yang terjadi di setiap negara-negara dunia sejak beribu tahun yang lalu hingga saat ini. Gelombang deforestasi mengikuti gelombang sejarah pembangunan di setiap negara. Di kawasan Eropa, deforestasi berlangsung sebelum abad ke-17. Sementara deforestasi di Amerika berlangsung tahun 1620 sampai tahun 1950. Kemudian di daerah tropis, deforestasi mulai berlangsung pada sekitar abad ke-19. Tidak satupun negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, yang tidak terkait dengan jejak deforestasi.
Di Indonesia, deforestasi telah berlangsung sejak zaman kolonialisme, baik pada masa kolonial Inggris, Belanda, maupun Jepang dan kemudian berlanjut ke masa pembangunan saat ini (PASPI, 2014; Santosa et al., 2020). Sebagaimana yang terjadi di setiap negara, konversi hutan menjadi non- hutan merupakan jalan untuk memenuhi kebutuhan ruang bagi pembangunan. Pertumbuhan penduduk dan perluasan pembangunan di segala sektor khususnya untuk pemenuhan pangan, memerlukan tambahan ruang yang meningkat.
Luas daratan Indonesia sebesar 187.8 juta hektar. Sebelum tahun 1950 (termasuk masa kolonial), luas deforestasi telah mencapai 25.5 juta hektar (Gambar 7). Luas hutan di Indonesia pada tahun 1950 adalah 162.3 juta hektar. Kemudian terjadi deforestasi seluas 68.1 juta hektar selama kurun waktu 1950-1985. Sementara itu, perluasan perkebunan kelapa sawit pada periode yang sama hanya sekitar 0.6 juta hektar atau hanya 0.9 persen dari luas deforestasi periode tersebut.
Gambar 7 : Sejarah Luas Hutan dan Deforestasi di Indonesia (Sumber: Hanibal, 1950; PASPI, 2014; PASPI Monitor, 2020c; Santosa et al., 2020; KLHK, 2021; Kementerian Pertanian, 2021)
Deforestasi di Indonesia telah dimulai sejak masa pemerintahan kolonial dan semakin intensif terjadi di masa Orde Baru (PASPI Monitor, 2020c). Pada masa Orde Baru (tahun 1969-2000), Kementerian Kehutanan banyak memberikan izin logging yang masif tanpa kontrol tercermin dari jumlah dan luas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang diberikan kepada perusahaan logging (Pagiola, 2000; Kartodihardjo dan Supriono, 2000). Luas HPH pada masa Orde Baru yang tercatat mencapai 61.7 juta hektar tahun 1993 dan 69.4 juta hektar tahun 2000 (Kementerian Kehutanan, 2014). Sedangkan kegiatan logging yang tak tercatat diperkirakan sekitar 95 juta hektar hutan produksi (yang ditetapkan oleh TGHK, 1984) telah menjadi areal logging selama masa Orde Baru.
Seiring dengan kebutuhan ruang yang meningkat, konversi kawasan hutan menjadi kawasan non-hutan di Indonesia secara akumulasi juga meningkat menjadi seluas 106.2 juta hektar dalam kurun waktu 1950-2020. Salah satu pengguna areal ex-HPH adalah untuk pengembangan pemukiman dan pertanian dalam program transmigrasi (Tjondronegoro, 2004).
Dengan demikian sampai dengan tahun 2020, konversi hutan menjadi non-hutan di Indonesia telah mencapai 106.2 juta hektar, atau sekitar 57 persen dari total luas daratan Indonesia. Sementara pada periode yang sama, Statistik Perkebunan Kelapa Sawit mencatat luas areal perkebunan kelapa sawit Indonesia baru seluas 14.9 juta hektar (Kementerian Pertanian, 2021). Artinya dari 106.2 juta hektar deforestasi yang terjadi, areal yang menjadi perkebunan kelapa sawit hanya 14 persen. Dan sisanya yakni 86 persen menjadi areal pertanian lainnya, pemukiman dan perkotaan, infrastruktur, dan lain-lain. Perlu dicatat bahwa sebagian besar areal yang digunakan oleh perkebunan kelapa sawit tidak langsung dari konversi hutan, melainkan dari konversi hutan menjadi semak belukar atau degraded land, baru kemudian menjadi perkebunan kelapa sawit (Santosa, 2019; Roda, 2019).
Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah driver utama deforestasi di Indonesia. Penggunaan lahan daratan untuk perkebunan kelapa sawit sampai tahun 2020 hanya mencapai 14 persen dari total luas konversi hutan menjadi non-hutan sejak zaman kolonial sampai tahun 2020. Bahkan luas perkebunan kelapa sawit Indonesia hanya 8 persen dari total luas daratan Indonesia.
Referensi
- Byarlee D, WP Falcon, RL Naylor. 2016. The Tropical Oil Crops Revolution: Food, Feed and Forest. Oxford (UK): Oxford University Press.
- Kartodihardjo H, A Supriono. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral Terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam; Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia. Center for International Forestry Research (CIFOR). Tersedia pada: https://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-26i.pdf
- Pagiola S. 2000. Land Use Change in Indonesia. World Bank. Tersedia pada: https://www.researchgate.net/publication/23748814_Land_Use_Chang e_in_Indonesia
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Startegic Policy Institute. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry Its role in: Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Bogor: PASPI.
- PASPI Monitor. 2020c. Indonesian Palm Oil Plantation Is Not A Deforestation Driver, But Reforestation Economic, Social, and Ecology in Abandoned Land. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(05): 25-30.
- Santosa Y, Sunkar A, Kwatrina RT. 2020. Is it True that Oil Palm Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation? International Journal of Palm Oil. 3(1): 1-10. https://doi.org/10.35876/ijop.v3i1.37
- Tjondronegoro SMP. 2004. From Colonization to Transmigration: Changing Policies in Population Resettlement. Kyoto (JP): Kyoto University Press and Trans-Pacific Press.
- Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 11(7): 1-19. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0159668
Mitos 6-30
Perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari konversi langsung hutan (deforestasi)
Isu ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagai buah dari konversi langsung hutan menjadi salah satu narasi yang banyak digunakan oleh pihak anti sawit dalam menyebarkan black campaign. Studi Koh dan Wilcove (2008) juga menyebutkan paling tidak sekitar 67 persen perkebunan kelapa sawit Indonesia berasal dari konversi hutan primer dan sekunder. Studi Fitzherdbert et al. (2008) juga menyatakan bahwa perkembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia periode 1990-2015 merupakan hasil dari deforestasi akibat konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit diperkirakan sebesar 16 persen. Tampaknya definisi hutan yang digunakan pada studi Koh dan Wilcove (2008) dan Fitzherdbert et al. (2008) tidak jelas dan berbeda yang dianut di Indonesia.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu menelusuri asal-usul perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia (PASPI Monitor, 2021 ab). Daratan Indonesia terbagi atas 22 tipe ekosistem mulai dari hutan tak terganggu (Undisturbed Upland Forest) hingga lahan terlantar (Bare Soil), diantaranya hanya empat tipe yang dikategorikan sebagai hutan (Gunarso et al., 2012; Suharto et al., 2019; Santosa et al., 2020).
Studi terkait asal usul lahan perkebunan sawit di Indonesia telah dilakukan oleh Gunarso et al. (2013) untuk tahun 1990-2010 dan dilanjutkan oleh Suharto et al. (2019) untuk periode tahun 2010-2018 (Gambar 8). Studi tersebut menggunakan data-data land use change dari potret citra satelit yang dikeluarkan oleh Badan Planologi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Gambar 8 : Asal Usul Lahan Kebun Sawit Indonesia Periode Tahun 1990- 2018 (Sumber: Gunarso et al., 2013; Suharto et al., 2019)
Berdasarkan asal usul lahan perkebunan sawit Indonesia menunjukkan bahwa sumber lahan terbesar dari ekspansi perkebunan sawit di Indonesia selama periode 1990-2018 adalah dari degraded land sebesar 61.6 persen. Degraded land ini mencakup upland shrub & grassland, swamp shrub & grassland, disturbed swamp forest, disturbed upland forest, bare soil, and others.
Sumber kedua asal perkebunan kelapa sawit Indonesia adalah dari lahan pertanian/perkebunan sebesar 37 persen, dimana mencakup intensive agriculture, plantation, dan agroforestry. Sedangkan sisanya yakni sebesar 1.4 persen berasal dari hutan tak terganggu atau undisturbed upland forest, undisturbed swamp forest dan undisturbed mangrove.
Data di atas menunjukkan bahwa sebagian besar perkebunan kelapa sawit Indonesia (dengan pangsa sebesar 98.6 persen) bukan berasal dari konversi langsung hutan (bukan deforestasi). Hal yang sama juga ditemukan oleh Erniwati et al. (2017), Sunkar et al. (2018), Roda (2019), dan Santosa et al. (2020) mengungkapkan bahwa deforestasi di Indonesia tidak berkorelasi positif secara langsung dengan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Referensi
- Erniwati, Zuhud EAM, Anas I, Sunkar A, Santosa Y. 2017. Independent Smallholder Oil Palm Expansion and Its Impact on Deforestation: Case Study in Kampar District, Riau Province, Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 23(3): 119-127.
- Fitzherbert E, MK.Struebug, A Morel, F Danielsen, CA Bruhi, PF Donald, B. Phalan. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends in Ecology and Evolution. 23(10): 538-545.
- Gunarso P, ME Hartoyo, Y Nugroho. 2013. Analisis penutupan lahan dan perubahannya menjadi kelapa sawit di Indonesia: Studi kasis di 5 pulau besar di Indonesia periode 1990-2010. Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan. 2(1):10-19.
- Gunarso P. ME Hartoyo, F Agus, TJ Killeen. 2013. Oil Palm and Land Use Change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Tropenbos Organization. Tersedia pada: https://www.tropenbos.org/resources/publications/oil+palm+and+lan d+use+change+in+indonesia%2C+malaysia+and+papua+new+guinea
- Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters. 1(2): 60–64. https://doi.org/10.1111/j.1755-263X.2008.00011.x
- PASPI Monitor. 2021ab. The Origin History of Indonesian Oil Palm Plantation And The Polemic of Deforestation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(34): 489-494.
- Roda JM. 2019. The Geopolitics of Palm Oil and Deforestation. Tersedia pada: https://www.thejakartapost.com/academia/2019/07/08/the-geopolitics-of-palm-oil-and-eforestation.html.
- Santosa Y, Sunkar A, Kwatrina RT. 2020. Is it True that Oil Palm Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation? International Journal of Palm Oil. 3(1): 1-10. https://doi.org/10.35876/ijop.v3i1.37
- Suharto R, Agus F, Santosa Y, Sipayung T, Gunarso, P. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energy Directive (EU Directive 2018/2001) dan EU Commission Delegated Regulation 2019/807 serta Perumusan Posisi Indonesia terhadap Kebijakan Tersebut. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; PT Riset Perkebunan Nusantara.
- Sunkar A, Erniwati, Santosa Y. 2018. Benarkah Kebun Sawit Rakyat Penyebab Deforestasi? Studi Kasus Terhadap 16 Kebun Sawit Rakyat Swadaya di Provinsi Riau. Dipresentasikan pada seminar di IPB International Convention Centre Bogor tanggal 12 April 2018
Mitos 6-31
Perkebunan kelapa sawit Indonesia semakin mendegradasi degraded land secara sosial, ekonomi, dan ekologi
Sebagian besar asal-usul lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia berasal dari degraded land di wilayah pelosok, pinggiran, terisolir, dan terbelakang, dimana sebagian besar merupakan lahan ex-logging (lahan kritis). Lahan-lahan ex-logging yang telah berubah menjadi semak belukar mengalami degradasi secara sosial, ekonomi dan ekologi sehingga menjadi kantong-kantong kemiskinan dan keterbelakangan.
Kehadiran perkebunan kelapa sawit merestorasi baik secara sosial, ekonomi dan ekologi. Secara ekonomi, degraded land yang menjadi perkebunan kelapa sawit telah tumbuh sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di daerah yang meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, sehingga berkontribusi pada PDB Nasional, serta menjadi sumber devisa ekspor yang berkontribusi pada perbaikan neraca perdagangan dan meningkatkan penerimaan pemerintah.
Perkebunan kelapa sawit juga merestorasi secara sosial melalui penciptaan kesempatan kerja, mengurangi kemiskinan pedesaan dan kemiskinan nasional. Selain itu, kehadiran perkebunan kelapa sawit juga meningkatkan akses masyarakat terhadap infrastruktur dan fasilitas sosial, serta fasilitas pendidikan dan kesehatan.
Perkebunan kelapa sawit juga merestorasi secara ekologi. Kehadiran perkebunan kelapa sawit justru menghijaukan kembali ekologi lahan yang terdegradasi bekas aktivitas logging dan karhutla. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga merestorasi jasa-jasa ekologi seperti carbon sink, meningkatkan kesuburan lahan, konservasi tanah dan air serta daur hidrologi.