Back to Top
Rating & Comment

KONSUMSI MINYAK NABATI UNI EROPA TIDAK SELARAS DENGAN AMBISI EUROPEAN GREEN DEAL 2050

Bagikan Berita

MEMAHAMI KEMUNAFIKAN EUROPEAN GREEN DEAL YANG BERBANDING TERBALIK DENGAN KONSUMSI MINYAK NABATI UNI EROPA.

Green lifestylesaat ini telah menjadi gaya hidup masyarakat global, khususnya di negara-negara maju. Dalam membuat keputusan untuk membeli dan mengkonsumsi suatu produk/jasa, konsumen negara maju tidak hanya dipengaruhi oleh atribut harga yang melekat pada produk tersebut. Keputusan konsumen juga akan dipengaruhi oleh atribut lainnya yang mendukung green lifestyle, misalnya atribut kelestarian lingkungan.

Tren gaya hidup “hijau” yang berkembang di kalangan masyarakat negara-negara maju era ini, telah membuktikan hipotesis Environment Kuznet Curve (EKC). Environment Kuznet Curve (EKC) atau Kurva Lingkungan Kuznet adalah kurva yang menggambarkan korelasi antara pertumbuhan ekonomi/pendapatan dengan degradasi lingkungan.

Enviromental Kuznet Curve
Enviromental Kuznet Curve

Potret korelasi pendapatan dengan degradasi lingkungan ditunjukkan dalam kurva yang berbentuk huruf “U” terbalik, dimana bentuk kurva tersebut merupakan pengembangan dari kurva Kuznets yang dikembangkan pada tahun 1955. Pada awal pembangunan (pre-industrial economy), suatu negara akan mulai memanfaatkan sumber daya alam (hutan) untuk produksi pangan, menciptakan pendapatan, dan menggerakkan perekonomian yang akan disertai dengan meningkatnya degradasi mutu lingkungan hidup. Degradasi lingkungan tersebut mencapai level tertinggi dan kemudian terjadi Turning Point pada fase ekonomi industri, Degradasi lingkungan tersebut mencapai level tertinggi dan kemudian terjadi Turning Point pada fase ekonomi industri,

dimana pertumbuhan ekonomi tidak akan diikuti oleh kerusakan lingkungan. Selanjutnya akan memasuki fase post-industrial economy (service economy) dengan tingkat pendapatan dan pertumbuhan ekonomi terus bertumbuh namun tingkat degradasi lingkungan yang terus berkurang.

Apa yang terjadi di Uni Eropa saat ini adalah contoh konkret yang menggambarkan kurva EKC. Masyarakat Uni Eropa tampaknya telah memasuki fase decreasing dalam Environment Kuznet Curve.

Sejak awal tahun 1600-an, masyarakat Uni Eropa telah memulai pembangunannya hingga telah menikmati kemakmuran tinggi saat ini. Namun, kemakmuran dan kemajuan Uni Eropa yang kita lihat saat ini diperoleh dari eksploitasi sumberdaya di masa lampau yang menyebabkan tingginya deforestasi dan emisi karbon. Eropa telah melakukan deforestasi total sehingga hutan asli Eropa saat ini hampir habis hingga menyebabkan biodiversitas aslinya punah. Masyarakat Eropa juga telah menjadi emiter gas rumah kaca (GRK) terbesar dunia.

Seiring dengan tingkat perekonomian dan kemakmuran yang tinggi, Uni Eropa merasa turut bertanggung jawab atas degradasi lingkungan yang terjadi di dalam kawasan tersebut maupun di luar kawasan. Oleh karena itu, Uni Eropa berkomitmen untuk bertanggung jawab dengan mendeklarasikan European Green Deal (EGD). 

European Green Deal (EGD) merupakan serangkaian inisiatif kebijakan yang mengarahkan Uni Eropa pada jalur transisi hijau dengan tujuan akhir untuk menciptakan kawasan Uni Eropa sebagai climate neutral pada tahun 2050. Artinya Uni Eropa akan menjadi kawasan yang memiliki keseimbangan antara tingkat emisi yang diproduksi dengan tingkat emisi yang diserap.

Untuk mewujudkan ambisi EGD, akan didukung dengan penerbitan/revisi 26 kebijakan Uni Eropa, dimana kebijakan-kebijakan tersebut mengatur kegiatan produksi dan konsumsi suatu komoditas/produk secara berkelanjutan. Kebijakan yang dimaksud antara lain RED II ILUC, Deforestation-Free Supply Chain, Farm to Fork, dan New Circular Economy Action Plan. Penerbitan kebijakan tersebut juga menjadi upaya Uni Eropa untuk menunjukkan bahwa paham “hijau” sudah menjadi gaya hidup Eropa yang didukung oleh pasar dan konstituen.

Melalui implementasi inisiatif kebijakan dalam kerangka EGD, Uni Eropa telah menunjukkan dirinya dalam global norm setting sehingga dapat memainkan perannya sebagai global regulatory power. Semangat dan komitmen “hijau” dari Uni Eropa tersebut akan diterjemahkan menjadi kebijakan dan standar mutu produk yang harus diikuti oleh negara atau produsen yang akan menyuplai komoditas/produk untuk masuk ke pasar Uni Eropa. Hal ini menunjukkan cara Uni Eropa untuk ikut mengontrol dunia.

Seperti dua mata pisau, kebijakan maupun instrumennya (tarif maupun non-tarif) yang diberlakukan oleh Uni Eropa untuk komoditas/produk tertentu merupakan langkah untuk mewujudkan carbon neutral, namun di sisi lain juga bertentangan dengan tujuan penghilangan hambatan perdagangan yang telah diusahakan oleh World Trade Organization (WTO). Selain itu, kebijakan tersebut juga berpotensi sebagai proteksionisme gaya baru untuk mendiskriminasi komoditas/produk tertentu sehingga dapat mencederai prinsip fair trade dalam perdagangan internasional.

Konsumsi Minyak Nabati Uni Eropa
European Green Deal Berpotensi Bentrok dengan Prinsip WTO

KONSUMSI MINYAK NABATI UNI EROPA

Minyak nabati kaya akan lemak yang menjadi sumber energi bagi tubuh manusia. Tidak hanya bagi manusia, minyak nabati juga dapat menghasilkan energi yang ramah lingkungan sebagai pengganti energi fosil.

Pemanfaatan minyak nabati baik sebagai produk pangan maupun energi, telah dilakukan oleh banyak negara, termasuk Uni Eropa. Penggunaan minyak nabati oleh Bangsa Eropa telah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Bahkan penggunaannya semakin intensif di masa Revolusi Industri tahun 1750-an.

konsumsi minyak nabati uni eropa
Top-4 Minyak Nabati Utama yang Dikonsumsi Uni Eropa

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi penduduk berimplikasi pada peningkatan kebutuhan minyak nabati Uni Eropa. Diantara tujuh belas minyak nabati yang diperdagangkan di Uni Eropa, terdapat empat minyak nabati utama yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat Uni Eropa. Keempat minyak nabati tersebut adalah minyak rapeseed, minyak bunga matahari, minyak kedelai, dan minyak sawit.

Konsumsi minyak nabati Uni Eropa pada tahun 2000 didominasi oleh minyak rapeseed (34 persen). Kemudian disusul oleh minyak sawit (24 persen), minyak bunga matahari (22 persen), dan minyak kedelai (19 persen). Minyak rapeseed kembali mendominasi konsumsi minyak nabati Uni Eropa tahun 2010. Posisi yang relatif sama juga ditempati oleh minyak sawit, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai.

Meskipun masih mendominasinya struktur konsumsi minyak nabati Uni Eropa tahun 2021, namun minyak rapeseed mengalami penurunan baik dari volume konsumsi maupun pangsanya.

Volume konsumsi minyak rapeseed menurun dari 9.3 juta ton (2010) menjadi 8.8 juta ton (2021). Pangsa minyak rapeseed juga menurun dari 47 persen menjadi 38 persen pada periode tersebut.

Berbeda dengan minyak rapeseed, volume dan pangsa konsumsi minyak sawit justru mengalami peningkatan dari 4.7 juta ton (24 persen) menjadi 6.7 juta ton (29 persen) pada periode 2010-2021.

Demikian juga dengan konsumsi minyak bunga matahari yang mengalami peningkatan dari 3.3 juta ton (17 persen) menjadi 5.2 juta ton (22 persen). Sedangkan volume konsumsi minyak kedelai meningkat sedikit yakni dari 2.4 juta ton menjadi 2.7 juta ton, namun pangsanya menurun sedikit dari 12 persen menjadi 11 persen.

Dari uraian data di atas dapat dikatakan bahwa masyarakat Uni Eropa makin menyukai minyak sawit. Terbukti dari peningkatan konsumsi minyak sawit baik dari volume maupun pangsanya. Hal lain yang lebih menarik adalah minyak sawit yang digemari oleh masyarakat Uni Eropa tersebut seluruhnya berasal dari impor. Sementara minyak rapeseed yang merupakan minyak nabati utama yang diproduksi Uni Eropa, justru mengalami penurunan konsumsi. 

MINYAK SAWIT DALAM PUSARAN EUROPEAN GREEN DEAL

Minyak sawit dan produk turunannya menjadi salah satu target komoditas dalam European Green Deal dan kebijakan turunannya. Misalnya dalam kebijakan RED II ILUC yang menggolongkan minyak sawit sebagai high-risk Indirect Land Use Change (ILUC). Komisi Uni Eropa menganggap produksi minyak sawit yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel menyebabkan terjadinya konversi areal pangan/pakan sehingga memicu terjadinya konversi hutan atau lahan dengan stok karbon tinggi untuk lahan produksi pangan/pakan. Implikasinya penggunaan minyak sawit sebagai feedstock biodiesel Uni Eropa akan dikurangi secara drastis dan harus phase-out pada tahun 2030.

Kebijakan RED II ILUC Mendiskriminasi Minyak Sawit Dok CPOPC
Kebijakan RED II ILUC Mendiskriminasi Minyak Sawit

Ditengah menunggu keputusan atas gugatan Indonesia ke WTO atas kebijakan RED II ILUC yang dinilai mendiskriminasi minyak sawit, Uni Eropa kembali mengeluarkan kebijakan turunan EGD yang juga kembali menargetkan minyak sawit dan produk turunannya. Kebijakan yang dimaksud adalah a Deforestation-Free Supply Chain (DFSC). Kebijakan tersebut baru diterbitkan pada tanggal 6 Desember 2022 dan diperkirakan akan mulai diimplementasikan pada tahun 2023.

Kebijakan tersebut bertujuan untuk memastikan produk yang masuk dan dipasarkan di pasar Uni Eropa adalah produk yang tidak berkontribusi pada deforestasi atau degradasi hutan, baik yang terjadi di Uni Eropa maupun negara-negara lain. Jika berdasarkan sistem uji tuntas (due diligence) pada kebijakan DFSC mengelompokkan minyak sawit dan produk turunannya sebagai komoditas high-risk, maka produk tersebut terancam phase-out dari pasar Uni Eropa.

Kebijakan DFSC juga disinyalir mendiskriminasi minyak sawit. Meskipun ada beberapa komoditi yang menjadi target regulasi DFSC seperti minyak kedelai, sapi, kakao, dan kopi, namun tampaknya regulasi tersebut telah menyasar minyak sawit sebagai target utama. Sejak awal fase perancangan kebijakan tersebut pada tahun 2013, komisi Uni Eropa telah menempatkan minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi (embodied deforestation) di kawasan negara tersebut. Sehingga tidak mengherankan jika kebijakan tersebut sesungguhnya dirancang untuk menghambat laju minyak sawit dalam perdagangan global.

UNI EROPA KONSUMSI MINYAK NABATI YANG TIDAK SUSTAINABLE

Implementasi EGD dan kebijakan turunannya menjamin bahwa komoditas/produk yang dikonsumsi oleh masyarakat Uni Eropa adalah komoditas/produk yang sustainable serta tidak menimbulkan deforestasi dan degradasi lingkungan sehingga dapat mewujudkan ambisi carbon neutral. Namun apakah selama ini Uni Eropa telah mengkonsumsi komoditas/produk yang sustainable?

Seperti yang telah diuraikan di atas, masyarakat Uni Eropa mengkonsumsi empat minyak nabati utama yaitu minyak rapeseed, minyak sawit, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai. Dengan menggunakan kelima indikator sustainability lingkungan, kita dapat mengetahui minyak nabati mana yang relatif lebih sustainable dan minyak nabati mana yang paling tidak sustainable.

Persaingan Minyak Nabati yang Paling Sustainable untuk Uni Eropa
Persaingan Minyak Nabati yang Paling Sustainable untuk Uni Eropa

Kelapa sawit memiliki keunggulan produktivitas. Tanaman kelapa sawit mampu menghasilkan minyak mencapai 3.36 ton minyak per hektar per tahun. Dari satu hektar perkebunan kelapa sawit mampu menghasilkan minyak dengan volume sebesar 3.36 ton per tahun.

Sedangkan produktivitas tanaman minyak nabati lainnya jauh lebih rendah dibandingkan kelapa sawit. Produktivitas minyak bunga matahari sebesar 0.78 ton per hektar, produktivitas minyak rapeseed sebesar 0.75 ton per hektar, dan produktivitas minyak kedelai hanya sebesar 0.47 ton per hektar. Artinya produktivitas minyak per hektar yang dihasilkan kelapa sawit hampir 4-7 kali lipat produktivitas tanaman minyak nabati utama lainnya.

Dengan keunggulan tingkat produktivitas tersebut, untuk menghasilkan satu ton minyak maka perkebunan kelapa sawit membutuhkan lahan yang relatif lebih sedikit dibandingkan lahan yang digunakan tanaman kedelai, rapeseed, dan bunga matahari. Hal ini tentu saja berimplikasi pada tiga indikator sustainability lingkungan.

Dengan keunggulan tingkat produktivitas tersebut, untuk menghasilkan satu ton minyak maka perkebunan kelapa sawit membutuhkan lahan yang relatif lebih sedikit dibandingkan lahan yang digunakan tanaman kedelai, rapeseed, dan bunga matahari. Hal ini tentu saja berimplikasi pada tiga indikator sustainability lingkungan.

Kebutuhan lahan perkebunan kelapa sawit yang relatif lebih sedikit akan lebih menghemat deforestasi, meminimumkan biodiversity loss, dan menurunkan emisi.

Sebaliknya, tanaman minyak nabati lain seperti kedelai, rapeseed, dan bunga matahari yang membutuhkan lahan yang lebih luas untuk menghasilkan minyak akan menyebabkan deforestasi lebih meluas, memperbesar biodiversity loss, dan menyumbang emisi yang lebih banyak.

Selain menghasilkan minyak yang lebih banyak, kelapa sawit juga efisien dalam penggunaan input produksi.  Untuk menghasilkan satu ton minyak, penggunaan input pupuk dan pestisida pada tanaman kelapa sawit lebih sedikit dibandingkan tanaman minyak nabati lain.

Pupuk dan pestisida yang diaplikasikan pada tanaman tidak semua terserap oleh tanaman. Sebagian terbuang sebagai emisi atau polutan yang mencemari tanah dan air yang beresiko mencemari kehidupan biota tanah maupun perairan.

Penggunaan input pupuk dan pestisida pada kelapa sawit yang lebih sedikit juga akan menghasilkan polutan air/tanah juga akan lebih sedikit dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya. Sementara itu, lebih banyaknya input pupuk dan pestisida yang digunakan pada tanaman minyak nabati lain juga akan menghasilkan polutan yang lebih banyak.

Seluruh tanaman, termasuk tanaman minyak nabati, memiliki kemampuan carbon sink melalui mekanisme fotosintesis yakni menyerap karbon dioksida dan memproduksi oksigen. Meskipun memiliki kemampuan yang relatif sama, namun perbedaan morfologi tanaman akan mempengaruhi besar atau kecilnya kemampuan carbon sink yang melekat pada tanaman tersebut.

Dilihat dari karakteristik morfologi tanaman, tanaman kelapa sawit berbeda dengan tanaman sumber minyak nabati lainnya (kedelai, rapeseed, dan bunga matahari). Kelapa sawit adalah tanaman tahunan (parennial plant) dengan siklus produksi (life span) selama 25-30 tahun dan memiliki morfologi berbentuk pohon dengan diameter yang relatif besar dan tinggi. Sementara tanaman minyak nabati lainnya merupakan tanaman semusim dengan siklus produksi pendek dan tidak berkayu.

Minyak Sawit Menang dalam Persaingan Minyak Nabati yang Paling Sustainable
Minyak Sawit Menang dalam Persaingan Minyak Nabati yang Paling Sustainable

Keunggulan morfologi pada tanaman kelapa sawit tersebut, menjadikannya memiliki kemampuan carbon sink yang lebih besar dibandingkan tanaman minyak nabati lain. Bahkan kapasitas carbon sink perkebunan kelapa sawit lebih besar dibandingkan dengan hutan tropis.

Uraian di atas telah berhasil menunjukkan bahwa minyak nabati yang lebih sustainable adalah minyak sawit. Minyak sawit secara relatif lebih sustainable dibandingkan minyak nabati lain untuk indikator deforestasi, biodiversity loss, emisi, carbon sink, maupun polutan. Sedangkan minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari dapat digolongkan sebagai minyak yang tidak sustainable.

Jika kembali menilik pola konsumsi minyak nabati di atas menunjukkan bahwa minyak nabati yang tidak sustainable mendominasi konsumsi minyak nabati masyarakat Uni Eropa. Sebanyak 71 persen minyak nabati yang dikonsumsi oleh Uni Eropa bersumber dari minyak rapeseed, minyak bunga matahari, dan minyak kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan EGD Uni Eropa yang bertujuan mengarahkan konsumsi masyarakat Uni Eropa yang semakin sustainable belum tercermin dalam konsumsi minyak nabatinya.

Inkonsistensi kebijakan EGD dengan pola konsumsi minyak nabati EU makin terlihat dengan sejumlah kebijakan/inisiatif yang menyertai EGD tersebut. Kebijakan RED II ILUC dan Deforestation-Free Supply Chain memiliki motif untuk memphase-out minyak sawit dari perdagangan global, justru kontraproduktif dengan tujuan kebijakan EGD tersebut.

Minyak sawit yang terbukti relatif lebih sustainable dari aspek lingkungan dibandingkan minyak nabati lainnya, seharusnya menjadi salah satu kendaraan bagi Uni Eropa untuk mewujudkan ambisi climate neutral pada tahun 2050, bukan sebaliknya dihambat dan dilarang untuk diperdagangkan di pasar Uni Eropa. Karena sejatinya, menciptakan kondisi

“Eropa Tanpa Sawit” atau “Dunia Tanpa Sawit” justru semakin mensponsori kerusakan lingkungan yang lebih buruk.

Bagikan Berita
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x