Logo PASPI Indonesia 2023 | W-BG
Back to Top
Rating & Comment

Sawit Merusak Lingkungan ? Ini 5 Faktanya (2023) - PASPI Archived Post

Bagikan Berita

Beberapa waktu yang lalu, muncul sebuah pernyataan dari pidato Ibu Megawati Soekarnoputri mengenai perkebunan sawit merusak lingkungan dan hutan. Presiden Republik Indonesia ke-5 menyinggung penebangan hutan (deforestasi) dan kebakaran hutan di wilayah Indonesia terjadi sebagai akibat dari perkebunan sawit. Hutan yang habis dan karhutla juga berdampak pada hilangnya biodiversitas (flora dan fauna) otentik asli Indonesia dan tidak ada di negara lain, seperti Kukang dan Tarsius di Pulau Borneo. Hilangnya hutan juga akan menyebabkan mata air yang mengering sehingga banyak masyarakat yang mengeluhkan kekurangan air. Selain itu juga, adanya perkebunan sawit menyebabkan tanah yang dulunya subur karena adanya hutan menjadi miskin zat haranya.

sawit merusak lingkungan

Isu Sawit dan Lingkungan

Isu-isu lingkungan yang mengaitkan dengan perkebunan sawit dalam pidato tersebut, juga merupakan isu yang digunakan LSM anti sawit di tingkat nasional maupun global dalam satu dekade terakhir untuk menghambat dan menjegal industri sawit nasional. Pemerintah Indonesia, para diplomat, para peneliti dan pelaku industri sawit telah berjuang melalui diplomasi, advokasi dan publikasi ilmiah dalam rangka meng-counter isu negatif sawit tersebut. Gigihnya perjuangan stakeholder sawit Indonesia yang paling anyar dalam melawan diskriminasi sawit dan membela kepentingan industri sawit nasional dapat dilihat dari gugatan pemerintah Indonesia ke WTO terkait dengan kebijakan RED II/ILUC Uni Eropa.


Fakta-Fakta Sawit dan Lingkungan

Pernyataan dalam pidato Ibu Megawati Soekarnoputri yang menyebutkan perkebunan sawit merusak lingkungan dinilai bisa menjadi “bom waktu” yang dapat meruntuhkan perjuangan stakeholder sawit nasional yang telah melakukan kampanye dan edukasi publik mengenai nilai positif sawit sekaligus meng-counter kampanye isu negatif sawit. Oleh karena itu melalui artikel ini, PASPI akan menyampaikan fakta-fakta berdasarkan data dan hasil kajian/penelitian yang dapat mematahkan pernyataan dalam pidato tersebut.

1. Perkebunan Sawit Penyebab Deforestasi

Studi Fahmudin dan Gunarso (2019) yang mengkaji asal muasal perkebunan sawit Indonesia selama periode tahun 1990-2018 menunjukkan bahwa sebanyak 23 persen perkebunan sawit di Indonesia berasal dari lahan pertanian (agroforestry). Selain itu, lahan kebun sawit juga banyak yang berasal dari semak belukar dan padang rumput. Kawasan ex-logging yang banyak ditemukan di Pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi berubah menjadi lahan semak belukar yang tidak produktif dan kemudian dimanfaatkan oleh Pemerintah Orde Baru melalui program transmigrasi salah satunya menjadi perkebunan sawit. Studi lain yang dilakukan oleh Eric Meijaard juga mengkonfirmasi fakta serupa yakni hilangnya hutan hujan tropis bukan akibat dari pembangunan perkebunan kelapa sawit.

Jika kebun sawit terus dikaitkan sebagai penyebab dari deforestasi, bagaimana dengan pemukiman, perkotaan, industri, pasar, mall, pertanian dan peternakan yang juga merupakan hasil dari deforestasi? Mengapa selalu perkebunan sawit yang menjadi sorotan seolah-olah menjadi satu-satunya penyebab deforestasi. Sebaliknya, fakta-fakta diatas telah menunjukkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit Indonesia bukan pemicu utama (driver) deforestasi, bahkan kebun sawit justru menghijaukan kembali ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat di wilayah yang rusak akibat logging pada masa sebelumnya. Dengan tingkat produktivitas yang tinggi, perkebunan sawit dapat lebih menghemat penggunaan lahan jika dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak nabati lainnya seperti kedelai dan rapeseed, sehingga dapat mencegah deforestasi global.

2. Perkebunan Sawit Penyebab Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang cukup besar kembali terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia pada tahun 2019, setelah pada tiga tahun sebelumnya mengalami penurunan. Industri sawit juga kembali dituduh sebagai aktor utama dari bencana karhutla, padahal berdasarkan data Global Forest Watch (2019) menunjukkan bahwa sekitar 68 persen titik api ternyata berada di luar konsesi. Sementara itu, titik api di konsesi industri sawit relatif sedikit hanya sebesar 11 persen, atau lebih sedikit dibandingkan dengan titik api di konsesi industri pulpwood (16 persen).

Pelaku industri sawit khususnya perusahaan perkebunan besar justru berupaya melakukan mitigasi dan upaya preventif lainnya dengan membentuk SATGAS untuk berkoordinasi dengan Dinas Kebakaran, TNI-POLRI, BNPB/BPBD, Desa Peduli Api dan SATGAS perusahaan lain untuk mencegah timbulnya titik api pada lahan perkebunannya atau lahan sekitarnya.

3. Perkebunan Sawit Penyebab Hilangnya Biodiversitas

Sejak awal pembangunan, berdasarkan UU 41/1999 tentang Kehutanan, Indonesia sudah mengklasifikasi mana hutan yang dapat dikonversi (deforestable) mana hutan yang harus dipertahankan (non deforestable) yang disebut dengan hutan konservasi dan hutan lindung. Berdasarkan Statistik Kehutanan (2018) menunjukkan luas hutan konservasi mencapai 17.35 juta hektar dan luas hutan lindung mencapai 23.91 juta hektar, atau proporsi keduanya mencapai 44 persen dari total hutan Indonesia. Proporsi yang relatif tinggi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki hutan/lahan dengan stok karbon tinggi (HCS) yang cukup besar dan nilai konservasi tinggi (HCV) sebagai “rumahnya” satwa-satwa liar dan ragam tumbuhan asli Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian juga banyak menunjukkan bahwa jumlah jenis biodiversitas di kebun sawit tidak selalu lebih rendah dibandingkan dengan biodiversitas yang ada di Ecosystem Benchmark (tutupan lahan yang serupa dengan tutupan lahan sebelum dijadikan kebun sawit) atau area HCV (hutan). Bahkan pengembangan kebun sawit di beberapa daerah lokasi penelitian tersebut, justru meningkatkan jumlah jenis biodiversitas seperti herpetofauna  dan kupu-kupu.

4. Perkebunan Sawit Penyebab Tanah Tandus

Kelapa sawit juga termasuk jenis tumbuhan yang diciptakan oleh Tuhan, yang memiliki peran untuk konservasi tanah, bukan sebaliknya membuat tanah kekeringan dan menjadi gurun. Fakta empiris menunjukkan kebun sawit di Pulau Raja (Asahan Sumatera Utara) yang sudah dibudidayakan sejak lebih dari satu abad lalu masih berbentuk kebun tidak berubah menjadi gurun. Banyak penelitian juga membuktikan bahwa biomassa pada kebun sawit  meningkat dengan semakin tua umur kelapa sawit dan memiliki peran penting dalam meningkatkan kesuburan tanah.

Biomas dari TBS yang sudah dipanen dan diolah menjadi minyak sawit seperti tandan kosong, cangkang dan lumpur (sludge) juga dapat dikembalikan ke lahan sehingga lahan tetap subur. Selain dari penambahan biomassa tersebut, untuk mempertahankan kesuburan lahan juga dilakukan melalui pemupukan sesuai dengan umur untuk meningkatkan produktivitas tanaman.

5. Perkebunan Sawit Penyebab Kekeringan

Selain tuduhan sebagai penyebab hilangnya zat hara, perkebunan sawit juga dianggap sering dianggap sebagai tanaman boros air yang bisa menyebabkan kekeringan. Tuduhan tersebut tidak sesuai dengan fakta yang disampaikan dari hasil penelitian para ahli. Misalnya, penelitian Coster (1938) menyatakan bahwa tingkat evapotranspirasi yang menunjukkan kebutuhan air pada kebun sawit lebih rendah dibandingkan dengan bambu, lamtoro, akasia, sengon, pinus dan karet.

Penelitian Pasaribu et al, (2012) juga menunjukkan persentase curah hujan yang digunakan kelapa sawit juga lebih lebih rendah dibandingkan dengan mahoni dan pinus. Dikaitkan dengan perannya sebagai sumber energi terbarukan (bioenergi), kelapa sawit juga tergolong tanaman yang paling hemat air. Penelitian Makonnen & Hoekstra (2010) menyebutkan kebutuhan air pada kelapa sawit untuk menghasilkan 1 liter biodiesel lebih rendah dibandingkan kebutuhan air kelapa, rapeseed, dan kedelai.


Kesimpulan

Fakta-fakta yang telah disampaikan diatas diharapkan mampu men-debunk pernyataan yang menyebutkan perkebunan sawit sebagai driver utama dari deforestasi, karhutla dan hilangnya biodiversitas endemik Indonesia serta mengakibatkan lahan perkebunan menjadi gurun karena  menghilangkan zat hara pada tanah dan boros air. Fakta-fakta yang bersumber dari penelitian para ahli tersebut juga diharapkan dapat menjadi dasar point of view seluruh masyarakat Indonesia dalam melihat peran industri sawit, mengingat besarnya kontribusi industri sawit dalam peningkatan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi daerah maupun nasional. Terlebih pada kondisi saat ini, faktanya industri sawit mampu menjadi sumber devisa terbesar dalam neraca perdagangan Indonesia pada Semester 1/2020 dan tetap menjadi lokomotif ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Hasan Kleib, Duta Besar/Wakil Tetap RI untuk PBB, WTO dan organisasi internasional lain di Jenewa, dalam Webinar #PalmINATalk mengatakan bahwa seluruh masyarakat Malaysia kompak dalam membela industri sawitnya karena seluruh informasi dan berita mengenai sawit yang beredar bernada positif dan tidak ada kampanye atau pernyataan negatif yang menyudutkan sawit. Hal itulah yang diperlukan oleh bangsa Indonesia baik pemerintah, pelaku usaha, LSM, pers, mahasiswa, tenaga peneliti, tenaga pendidik dan masyarakat umum, untuk berjuang bersama-sama dan kompak dalam “satu bahasa” dalam kampanye positif sawit dan membela kepentingan sawit.

Bagikan Berita
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x