Indonesia telah melangkah maju dengan mendirikan Bursa CPO (Crude Palm Oil) pada bulan Oktober 2023 yang lalu. Pemerintah mempercayakan penyelenggara Bursa CPO kepada Indonesia Commodity & Derivatives Exchange (ICDX).
Sebagai produsen CPO terbesar dunia (PASPI, 2023), pengembangan Bursa CPO tersebut diharapkan dapat menjadi barometer dan pasar acuan (price discovery dan price reference) harga CPO dunia ke depan. Selain itu, kehadiran bursa CPO tersebut juga diharapkan dapat menghadirkan satu harga CPO sebagai harga acuan di pasar domestik baik untuk pemerintah maupun dunia usaha.
Mengembangkan bursa CPO Indonesia menjadi acuan global tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bursa CPO Indonesia harus mampu bersaing dengan bursa sejenis seperti Bursa Malaysia dan Bursa Rotterdam yang telah hadir lebih dahulu dan lama sebagai acuan harga minyak sawit dunia. Bursa CPO Indonesia harus mampu bersaing baik dengan bursa sawit dunia tersebut maupun dengan alternatif pasar CPO konvensional.
Sebagai pemula, fondasi Bursa CPO Indonesia perlu dibangun terlebih dahulu agar memiliki pijakan kuat untuk membangun daya saing yang lebih berkelanjutan ke depan. Fondasi pengembangan suatu bursa dapat belajar dari pengalaman negara-negara lain (success story dan failure story) yang telah lama mengembangkan bursa komoditi.
Dari pengalaman berbagai negara, terdapat empat aspek yang menjadi fondasi suatu bursa yang berhasil atau gagal. Keempat aspek tersebut mencakup governance conditions, commodity market conditions, market infrastructure conditions, dan exchange design conditions (USAID, 2017).
Artikel ini akan mendiskusikan bagaimana membangun fondasi bursa komoditi. Kemudian didiskusikan juga terkait beberapa masalah/tantangan dalam pengembangan bursa CPO Indonesia ke depan.
FONDASI BURSA
Dari pengalaman banyak negara (UNCTAD, 2009; Robbins, 2011; Pochara, 2012; Mezui et al., 2013; Ngmenipuo dan Issah, 2014; USAID, 2017), terdapat kondisi eksternal dan internal yang menentukan sukses atau tidaknya suatu bursa. Faktor eksternal yang dimaksud mencakup tata kelola sektor/industri (governance condition), kondisi pasar komoditi (market commodity conditions), dan infrastruktur pasar (market infrastructure conditions). Sedangkan faktor internal yakni pengelolaan operasional bursa (exchange design conditions).
Tata kelola sektor/industri yang dimaksud antara lain mencakup kebijakan pemerintah pada industri/sektor, dimana bursa dioperasikan, kepastian hukum, dan stabilitas makroekonomi. Pada dasarnya, pembentukan harga (price discovery) pada bursa merupakan hasil mekanisme pasar murni (supply demand mechanism). Oleh karena itu, kebijakan pemerintah pada industri/sektor hendaknya menciptakan iklim yang kondusif bagi berlangsungnya mekanisme pasar. Intervensi pemerintah pada industri sawit jangan bersifat distortif dan menciptakan risiko ketidakpastian bagi pelaku usaha baik produsen maupun pembeli. Selain itu, bursa komoditi yang pada dasarnya berbasis pada kontraktual berdasarkan hukum yang berlaku dan memerlukan kepastian hukum (enforceable). Oleh karena itu, pemerintah juga perlu memastikan adanya kepastian hukum. Kontrak yang telah dibuat berdasarkan hukum haruslah dapat dieksekusi secara cepat dan efektif. Kepastian hukum ini akan berkontribusi pada kepercayaan bursa.
Keberhasilan bursa komoditi Malaysia (Bursa Malaysia Derivatives Berhad/BMD), bursa komoditi Afrika Selatan (South African Future Exchange/SAFEX), dan bursa komoditi Argentina (Rosario Future Exchange/ROFEX) karena didukung kebijakan pemerintah yang pro pasar. Sebaliknya, bursa komoditi Zambia (Zambian Commodity Exchange/ZAMACE) dan bursa komoditi Zimbabwe (Zimbabwe Mercantile Exchange/ZIMACE) mengalami kegagalan dan bahkan akhirnya shutdown akibat kebijakan pemerintah yang distortif (USAID, 2017).
Fondasi bursa berikutnya adalah kondisi pasar komoditi. Kondisi pasar yang dimaksud antara lain besarnya pasar (market size) yang merujuk pada banyaknya penjual dan pembeli. Dengan melihat sejarah, bursa komoditi yang berhasil adalah bursa yang melibatkan banyak pelaku usaha (penjual dan pembeli). Harga yang terbentuk akan lebih efisien jika pelaku pasar sebanyak mungkin.
Selain besarnya pasar, faktor lain yang mempengaruhi kondisi pasar komoditi yakni penyimpanan komoditi (commodity storability), variasi harga antar waktu, dan ketersediaan jasa pembiayaan. Jika komoditas tidak dapat disimpan dan tidak memiliki variasi harga dalam jangka waktu tertentu (overtime), maka komoditas tersebut sulit masuk bursa.
Faktor eksternal lainnya berkaitan dengan kondisi infrastruktur pasar. Infrastruktur yang dimaksud mencakup soft infrastructure (standarisasi dan grading) serta physical infrastructure (jalan, ICT, fasilitas penyimpanan).
Sementara itu, faktor pengelolaan operasional bursa mencakup antara lain ketersediaan manajemen pergudangan (management warehouse), jasa asuransi, jasa dispute resolution, jasa contract legal, trading platform yang terpercaya dan dapat diandalkan, serta struktur tata kelola organisasi bursa yang efektif.
Jika keempat fondasi bursa komoditi tersebut dapat diciptakan maka sejumlah manfaat dari bursa akan terjadi/dinikmati yang tidak diperoleh dari pasar fisik (physical market). Beberapa manfaat dari adanya bursa antara lain: (1) price discovery yakni terbentuknya harga berdasarkan mekanisme pasar (penjual dengan pembeli); (2) meminimumkan biaya pedagang antara yang tidak menciptakan nilai tambah; (3) transparansi pasar merujuk pada akses pada pembeli dan penjual dengan kuantitas yang tersedia di pasar; (4) minimisasi risiko fluktuasi harga; (5) meminimumkan biaya transaksi; (6) meningkatkan akses pada lembaga keuangan/pembiayaan; dan (7) perlindungan hukum penjual dan pembeli.
MASALAH PENGEMBANGAN BURSA CPO
Fondasi bursa tersebut perlu terlebih dahulu dibangun sebagai ekosistem bursa CPO di Indonesia. Kebijakan yang menjadi basis legal pembentukan dan pengoperasian bursa CPO memang sudah dikeluarkan pemerintah. Namun, sejumlah tantangan yang terkait dengan tata kelola kondisi (governance conditions) bursa CPO masih harus dibenahi jika ingin membangun bursa CPO yang berdaya saing.
Pertama, Indonesia sebagai produsen sekaligus konsumen CPO terbesar dunia (USDA, 2024), pada kondisi tertentu seringkali memaksa pemerintah terpaksa melakukan intervensi untuk memastikan ketersediaan CPO domestik untuk minyak goreng dengan harga yang ditetapkan secara administratif (di bawah harga mekanisme pasar). Intervensi kebijakan yang paling terakhir (PASPI Monitor, 2023a, 2023b, 2024a, 2024b) adalah larangan ekspor CPO yang kemudian diganti dengan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) atau Harga Eceran Tertinggi (HET). Instrumen kebijakan tersebut memiliki tujuan yang sangat mulia yakni untuk menyediakan minyak goreng murah bagi masyarakat konsumen berpendapatan rendah dan jutaan UKM Kuliner/Pangan. Namun, intervensi kebijakan yang unpredictable dan mematikan mekanisme pasar yang demikian tidak kondusif untuk mengembangkan dan meningkatkan daya saing bursa CPO. Barangkali perlu dicari mekanisme yang lebih pro pasar, dimana kebutuhan konsumen domestik dapat terpenuhi sesuai harapan pemerintah namun mekanisme pasar CPO tidak terganggu sehingga masih kondusif untuk berkembangnya bursa CPO.
Kedua, masalah multi harga acuan. Hingga saat ini, stakeholder sawit di Indonesia masih menganut multi harga acuan (multi price reference) untuk CPO. Dalam kebijakan bea keluar ekspor (export duty) dan pungutan ekspor (export levy) untuk CPO dan produk turunannya menggunakan harga acuan (Harga Patokan Ekspor/HPE) yang ditetapkan Kementerian Perdagangan dengan mengacu pada harga tertimbang (weighted) CPO di bursa Malaysia, Rotterdam, dan harga penjualan ekspor (FOB Dumai) dalam bentuk US dollar. Sementara itu, untuk formulasi kebijakan penetapan Harga Indeks Pasar (HIP) Biodiesel (untuk mandatori biodiesel) digunakan harga acuan CPO KPBN (Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara). Sedangkan dalam penetapan formulasi harga acuan pembelian TBS petani sawit menggunakan harga CPO FOB Dumai. Kemudian setelah bursa CPO beroperasi, formulasi harga TBS menggunakan harga bursa CPO sebagai acuan.
Selain berpotensi besar dalam masalah tata kelola keuangan negara dan konsekuensi masalah hukum, penggunaan multi harga acuan CPO yang berbeda tersebut juga mencerminkan tata kelola industri sawit nasional yang memerlukan pembenahan dan perbaikan. Hal tersebut perlu segera dilakukan dalam rangka mengembangkan bursa CPO ke depan.
Ketiga, masalah kondisi pasar CPO versus minyak sawit (market commodity conditions). Hal ini menyangkut data yang akurat tentang produksi minyak sawit, produsen CPO (jumlah, kapasitas produksi, lokasi, skedul produksi), pedagang CPO, pembeli CPO, dan lain lain.
Penugasan pemerintah kepada bursa CPO (dengan pengelola ICDX) hanyalah untuk komoditi CPO saja. Sedangkan komoditi PKO (Palm Kernel Oil) dan produk turunannya maupun produk turunan CPO (hasil proses refinery seperti RBDPO, RBDO, RBD Stearin, PPFAD) tidak termasuk dalam bursa CPO, padahal produk-produk tersebut merupakan produk sawit terbesar yang diperdagangkan baik domestik maupun ekspor. Dalam struktur ekspor produk sawit Indonesia selama 10 tahun terakhir, pangsa ekspor CPO sekitar 10 persen dari total ekspor sawit nasional, sisanya produk olahan sawit. Hal ini berbeda dengan Bursa Malaysia, dimana seluruh produk turunan CPO dan PKO diperdagangkan dalam bursa.
Pembatasan komoditi yang diperdagangkan pada bursa CPO tersebut membuat market size bursa CPO Indonesia menjadi kecil dan tidak menarik. Pembatasan ini juga membuka kemungkinan adanya bursa lain yang memperdagangkan produk turunan CPO dan PKO di Indonesia, dimana market size-nya lebih besar.
Keempat, masalah tangki timbun minyak sawit. Salah satu infrastruktur pasar yang sangat diperlukan dalam mendukung operasi bursa adalah fasilitas tangki timbun (storage tank) CPO dan produk turunannya yang tersertifikasi. Tangki timbun CPO atau produk turunannya umumnya berada di lokasi PKS dan pelabuhan-pelabuhan baik milik produsen maupun milik pedagang.
Dalam konteks mengembangkan bursa CPO, informasi tangki terkait dengan kapasitas, lokasi, informasi stok, dan terstandar/tersertifikasi, harus disampaikan secara transparan kepada pelaku bursa. Selain itu, fasilitas tangki timbun ini juga perlu pembenahan.
Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, masih banyak aspek fondasi bursa yang harus dibenahi. Tata kelola dan kapasitas pengelolaan bursa CPO (ICDX) yang mumpuni perlu dibangun untuk membangun kepercayaan pasar. Literasi bursa kepada produsen, pedagang, masyarakat, dan regulator juga tidak kalah pentingnya untuk membangun dukungan pada bursa CPO.
Jika bursa CPO Indonesia ingin menjadi barometer pasar minyak sawit dunia dan menjadi harga acuan, maka fondasi bursa CPO harus lebih cepat dibenahi. Fondasi bursa CPO Indonesia harus lebih baik dari fundasi bursa Malaysia atau Rotterdam.
Saat ini, bursa CPO di Indonesia memang masih baru dioperasikan sehingga memerlukan waktu panjang untuk terus berbenah. Namun sebagai pendatang baru, bursa CPO Indonesia jangan malu untuk belajar dari pengalaman negara lain yang telah terlebih dahulu dan berhasil membangun bursa komoditi.
Kesimpulan
Untuk membangun bursa yang sukses, fondasi bursa harus dibenahi terlebih dahulu. Setidaknya empat aspek fondasi bursa CPO yang perlu diperhatikan tata kelola industri sawit (governance condition), kondisi pasar sawit (market commodity conditions), infrastruktur pasar (market infrastructure conditions), dan pengelolaan operasional bursa (exchange design conditions).
Selain itu, terdapat juga setidaknya empat tantangan/masalah awal yang perlu segera dibenahi secepatnya untuk membuat bursa CPO menarik yakni intervensi kebijakan industri sawit nasional yang pro market dan memberikan kepastian hukum, multi harga acuan, masalah market size pasar sawit domestik, dan infrastruktur pasar yang mendukung operasi bursa CPO.
Implikasi Kebijakan
Kehadiran bursa CPO di Indonesia akan menciptakan manfaat yang dapat dinikmati oleh pelaku usaha baik di sektor hulu dan hilir (produsen dan konsumen). Untuk mengoptimalkan manfaat tersebut, maka pengembangan bursa tersebut harus didukung dengan fondasi yang tepat. Selain itu, untuk membangun bursa CPO yang berdaya saing maka diperlukan dukungan ekosistem kebijakan, perbaikan tata kelola, peningkatan kapasitas operator bursa dan lembaga terkait serta literasi bursa kepada produsen, pedagang, masyarakat, dan regulator.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.
Daftar Pustaka (LINK)
- Mezui CAM, Rutten L, Sekioua S, Zhang J, N’diaye MM, Kabanyane N, Arvanitis Y, Duru U, Nekati B. 2013. Guidebook on African Commodity and Derivatives Exchanges. African Development Bank.
- Ngmenipuo MI, Issah O. 2014. Developing an Organized Commodity Exchange in Ghana: Challenges and Economic Prospects. International Journal of Finance and Banking. 1(5): 14-29.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
- PASPI Monitor. 2023a. Kaleidoskop 2022: Industri Sawit Nasional Bergejolak. Berita Sawit.
- PASPI Monitor. 2023b. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) serta Alternatif Kebijakan untuk Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(12).
- PASPI Monitor. 2024a. Waspadai Kenaikan Harga Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(18).
- PASPI Monitor. 2024b. Rencana Kenaikan HET MinyaKita dan Solusi Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(22).
- Pochara F. 2012. Commodities Exchange: Options for Addressing Price Risk and Price Volatility in Rice. Asian Development Bank.
- Robbins P. 2011. Commodity Exchanges and Smallholders in Africa. International Institute for Environment and Development Sustainable Food Lab.
- [UNCTAD] United Nations Conference on Trade and Development. 2009. Development Impacts of Commodity Exchanges in Emerging Markets.
- [USAID] United States Agency for International Development. 2017. Assessing the Preconditions for Commodity Exchange Success A Guidance Document.
- [USDA] United States Department of Agriculture. 2024. European Union: Oilseed and Products Annual.