DMO (Domestic Market Obligation) adalah kewajiban badan usaha untuk menyerahkan sebagian hasil pengolahan tambang atau perkebunan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. DMO diterapkan untuk menjamin pasokan bahan baku dan menjaga harga minyak goreng agar terjangkau
DPO (Domestic Price Obligation) adalah kebijakan yang mengatur harga penjualan minyak sawit di dalam negeri. Kebijakan ini ditetapkan oleh pemerintah untuk menjamin ketersediaan minyak goreng di dalam negeri dan menjaga agar harganya tetap terjangkau.
Indonesia merupakan produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia (PASPI, 2023; USDA, 2024), termasuk produk olahannya yakni minyak goreng sawit (MGS). Meskipun kontribusinya dalam pengeluaran makanan tidak terlalu signifikan, namun minyak goreng termasuk dalam bagian dari sembilan bahan pokok (sembako) sehingga penting untuk menjaga ketersediaan minyak goreng setiap waktu pada setiap tempat (availability) dengan harga terjangkau (affordability) bagi 280 juta masyarakat Indonesia. Kedua hal tersebut sangat penting secara psiko-sosial dan politik. Selain itu, peranan MGS sebagai salah satu input bagi Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) kuliner dan pengolahan pangan dengan jumlah sekitar 1.5 juta UKM (BPS, 2022) yang tersebar di seluruh daerah. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa ketersediaan dan keterjangkauan minyak goreng sawit menyangkut stabilitas ekonomi pada lapisan masyarakat menengah-kebawah (low-middle income class).
Dengan posisi yang demikian, Indonesia perlu mencari titik keseimbangan antara kepentingan ekspor minyak sawit (untuk memperoleh devisa) dengan pemenuhan kebutuhan domestik (Sipayung, 2018). Kedua hal tersebut seringkali dihadapkan pada kondisi trade-off. Jika kebijakan perdagangan minyak sawit Indonesia lebih pro-ekspor (orientasi ekspor) maka kebutuhan minyak goreng domestik dapat terganggu, sebagaimana kondisi tersebut pernah dialami Indonesia khususnya pada periode Januari-Juni 2022. Sebaliknya jika terlalu berorientasi pada pasar domestik, sebagaimana terjadi pada semester 2 tahun 2022, akan berdampak pada penurunan devisa dari ekspor produk sawit.
Sejak terjadinya masalah stabilitas penyediaan minyak goreng sawit pada semester 1/2022, pemerintah menerapkan kebijakan Domestik Market Obligation (DMO) minyak goreng sawit yang diberlakukan pada tanggal 23 Mei 2022 (PASPI Monitor, 2023a). Kebijakan tersebut diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 33 Tahun 2022 (Permendag 33/2022) dan Permendag 41/2022 (PASPI Monitor, 2023b)
Kebijakan DMO tersebut berlangsung hingga pertengahan tahun 2024. Kemudian kebijakan DMO tahun 2022 tersebut diperbaharui dan diperbaiki dengan tata kelola DMO dan DPO baru. Tata kelola tersebut tertuang dalam Permendag 18/2024. Berkaitan dengan hal tersebut, artikel ini akan mendiskusikan tata kelola baru pada minyak goreng rakyat, khususnya terkait beberapa perbaikan dari tata kelola minyak goreng sebelumnya.
TATA KELOLA BARU DMO DAN DPO MINYAK GORENG
Pemerintah telah menata ulang sekaligus memperbaharui tata kelola penyediaan minyak goreng rakyat untuk menjamin ketersediaan minyak goreng domestik. Kebijakan tata kelola baru tersebut ditetapkan dalam Permendag 18/2024 18 tentang Minyak Goreng Sawit Kemasan dan Tata Kelola Minyak Goreng Rakyat.
Secara garis besar, Permendag 18/2024 tersebut memuat beberapa hal penting yang merupakan perbaikan dari tata kelola sebelumnya. Pertama, Penyediaan minyak goreng rakyat (mgr) dilakukan dengan kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestik Price Obligation) yang ditetapkan pemerintah baik volume maupun harga. Kedua, Penyediaan minyak goreng rakyat dalam bentuk kemasan dengan merek Minyakita dikendalikan langsung oleh Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (dengan sistem “SIMIRAH”) dengan melibatkan produsen minyak goreng rakyat, distributor (D1), BUMN, sub distributor (D2), dan retailer/pengecer. Ketiga, Pemenuhan DMO menjadi dasar pemberian izin ekspor RDB Palm Olein dengan memperhitungkan rasio faktor pengali kemasan, faktor pengali ekspor, faktor pengali region, dan insentif tambahan penyaluran ke BUMN Pangan.
Sebagai tindak lanjut dari Permendag 18/2024, pemerintah juga telah menetapkan DMO dan DPO yakni Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng domestik pada setiap level pasar melalui Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 1028 tahun 2024 (Kepmendag 1028/2024) tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Rakyat, Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation), dan Harga Penjualan di Dalam Negeri (Domestic Price Obligation) Minyak Goreng.
Dalam Kepmendag tersebut juga diatur beberapa hal berikut antara lain: Pertama, volume DMO ditetapkan sebesar 250 ribu ton per bulan. Kedua, HET minyak goreng rakyat sebesar Rp 15,700 per liter. Ketiga, harga minyak goreng kemasan Minyakita (termasuk PPN) dari produsen minyak goreng ke distributor lini 1 (D1) sebesar Rp 13,500 per liter, harga penyerahan dari D1 ke sub-distributor level lini 2 (D2) sebesar Rp 14,000 per liter, dan harga penyerahan dari D2 ke pengecer paling tinggi sebesar Rp 14,500 per liter.
Kemudian insentif atas pemenuhan DMO dan DPO untuk konversi hak ekspor ditetapkan dalam Keputusan Menteri Perdagangan RI No. 1029 tahun 2024 (Kepmendag 1029/2024) tentang Penetapan Faktor Pengali Kemasan, Faktor Pengali Regional, dan Insentif Tambahan Badan Usaha Milik Negara Dibidang Pangan dalam Rangka Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri (Domestic Market Obligation) Minyak Goreng.
Insentif yang dimaksud pada Kepmendag 1029/2024 tersebut adalah Pertama, insentif kemasan dengan faktor pengali kemasan 2 kali jika yang disalurkan dalam bentuk kemasan bantal dan 2.25 kali untuk bentuk kemasan lain. Kedua, insentif berupa faktor pengali regional yakni jika mendistribusikan minyak goreng rakyat ke provinsi-provinsi berkisar antara 1.00 (untuk provinsi terdekat/termudah) hingga 1.65 (untuk provinsi terjauh/tersulit). Ketiga, insentif tambahan sebesar 1.2 kali juga diberikan pada produsen minyak goreng jika mendistribusikan minyak goreng rakyat ke BUMN pada lini 1 (D1).
EFEKTIFITAS TATA KELOLA BARU
Apakah tata kelola baru terkait minyak goreng rakyat ini akan lebih efektif menjaga stabilitas penyediaan minyak goreng domestik? Hal ini penting karena tujuan dari tata kelola minyak goreng rakyat adalah untuk memastikan stabilitas penyediaan minyak goreng domestik.
Dari segi kebijakan, tata kelola DMO dan DPO minyak goreng yang baru tersebut memastikan bahwa orientasi utama dari perdagangan minyak sawit nasional terutama jalur RBD Palm Oil adalah diutamakan untuk memenuhi kebutuhan minyak goreng domestik terlebih dahulu, baru setelah terpenuhi sisanya boleh diekspor. Bagi pelaku industri sawit domestik pilihannya bukan lagi pasar ekspor atau pasar domestik seperti masa sebelumnya, melainkan pemenuhan kebutuhan domestik dahulu baru sisanya untuk ekspor.
Orientasi pasar domestik tersebut diperkuat oleh tiga instrumen penting yakni: Pertama, menetapkan volume yang harus dipasarkan ke pasar domestik (DMO) yakni sebesar 250 ribu ton per bulan atau sekitar 3 juta ton per tahun. Besaran volume ini tentu saja dapat berubah sesuai penilaian kebutuhan pasar domestik. Volume DMO tersebut kira-kira sekitar 50 persen kebutuhan total minyak goreng domestik karena yang disasar kebijakan ini adalah masyarakat menengah ke bawah dan UKM kuliner yang bahan bakunya minyak goreng.
Kedua, menetapkan harga minyak goreng rakyat (DPO) pada lini distributor (D1), lini sub distributor (D2), dan pengecer (level HET). Kebijakan DPO baru ini mengoreksi kebijakan sebelumnya yang hanya menetapkan HET minyak goreng di level konsumen minyak goreng (PASPI Monitor, 2023a,b,c, 2024a,b).
Ketiga, kontrol rantai pasok minyak goreng rakyat dari hulu ke hilir baik melalui instrumen SIMIRAH dan keterlibatan BUMN Pangan (Bulog, ID food) dalam penyaluran minyak goreng pada lini D1 dan D2. Dengan instrumen mengendalikan rantai pasok minyak goreng rakyat tersebut dapat lebih memastikan aliran minyak goreng dari produsen minyak goreng hingga ke level konsumen.
Dengan tiga instrumen tata kelola minyak goreng rakyat yang baru tersebut memang akan memperbaiki stabilitas penyediaan minyak goreng domestik, setidaknya lebih baik dari masa sebelumnya. Kepastian volume DMO dan harga setiap level pasar serta kontrol rantai pasok yang ada diharapkan dapat menjamin stabilitas minyak goreng domestik.
Namun demikian, kebijakan DMO dan DPO baru tersebut bukan tanpa kelemahan. Tata kelola baru minyak goreng rakyat tersebut masih harus diuji oleh dinamika pasar minyak nabati khususnya minyak sawit dunia ke depan. Pada kondisi harga minyak sawit dunia meningkat (excess demand), kebijakan HET tersebut memang akan efektif melindungi masyarakat dari kenaikan harga minyak goreng. Namun pada kondisi demikian biasanya terdapat gap/disparitas harga minyak goreng domestik dengan harga internasional yang potensial menimbulkan penyelundupan dengan berbagai cara sehingga bisa terjadi kelangkaan minyak goreng rakyat domestik. Sebaliknya pada kondisi pasar minyak goreng dunia sedang lesu, harga minyak goreng dunia bisa lebih murah dari HET yang berlaku sehingga kondisi ini merugikan konsumen (PASPI Monitor, 2024a).
Oleh karena itu, tata kelola minyak goreng rakyat baru tersebut perlu dimonitoring secara reguler oleh pemerintah agar stabilitas penyediaan minyak goreng domestik dapat dipastikan dalam dinamika pasar minyak sawit dunia yang senantiasa berubah. Selain untuk mengoreksi kebijakan, monitoring yang reguler terus dilakukan juga dapat mencegah masuknya mafia pasar dalam rantai pasok minyak goreng rakyat.
Kesimpulan
Terdapat tiga instrumen/kebijakan tata kelola baru minyak goreng domestik yang menjamin stabilitas penyediaan minyak goreng domestik yakni: Pertama, orientasi perdagangan minyak sawit Indonesia yang mengutamakan kebutuhan domestik (Domestic Market Orientation) dengan menetapkan volume DMO sebesar 250 ribu ton per bulan. Kedua, penetapan harga minyak goreng (Domestic Price Obligation) pada level distributor (D1), sub distributor (D2), dan level konsumen (HET). Ketiga, kontrol rantai pasok minyak goreng domestik melalui SIMIRAH dan keterlibatan BUMN Pangan pada level distribusi (D1 dan D2).
Implikasi Kebijakan
Dalam rangka stabilisasi penyediaan minyak goreng domestik yang lebih baik, khususnya minyak goreng rakyat, pemerintah memodifikasi kebijakan DMO-DPO (Permendag 33/2022 dan Permendag 41/2022) yang telah berlangsung hingga pertengahan tahun 2024. Kebijakan dan tata kelola baru tersebut tertuang dalam Permendag 18/2024. Hal lain yang belum terakomodir dalam tata kelola baru (khususnya berkaitan dengan DPO) yakni dinamika harga minyak sawit global yang berpotensi menciptakan gap/disparitas harga minyak goreng domestik dengan harga internasional.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.
Daftar Pustaka (LINK)
- Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2023. Evaluasi Kebijakan Domestic Market Obligation Minyak Goreng Rakyat. Materi Presentasi pada Indonesia Palm Oil Conferences pada tanggal 2 November 2023.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos Vs Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial,Ekonomi dan Lingkungan. Edisi keempat. Bogor. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
- PASPI Monitor. 2023a. Kaleidoskop 2022: Industri Sawit Nasional Bergejolak. Berita Sawit.
- PASPI Monitor. 2023b. Kebijakan Stabilisasi Minyak Goreng Sawit Domestik Antisipasi Masa El Nino 2023/2024. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(8).
- PASPI Monitor. 2023c. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) serta Alternatif Kebijakan untuk Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(12).
- PASPI Monitor. 2024a. Waspadai Kenaikan Harga Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(18).
- PASPI Monitor. 2024b. Rencana Kenaikan HET Minyakita dan Solusi Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(22).
- Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Bogor.