Back to Top
Rating & Comment

DUNIA TANPA MINYAK SAWIT, APA YANG AKAN TERJADI ? JURNAL MONITOR 2023

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Vol. III, No. 05/04/2022 : DUNIA TANPA MINYAK SAWIT: LINGKUNGAN LEBIH BAIK ATAU LEBIH BURUK?

Key Takeaways

  • Perkebunan kelapa sawit memiliki produktivitas dan efisiensi lahan tertinggi di antara tanaman minyak nabati lainnya.
  • Tanaman kelapa sawit memiliki siklus produksi yang panjang dan memiliki kemampuan carbon sink dan carbon sequestration yang tinggi.
  • Kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit” justru akan memicu deforestasi dan kerugian lingkungan yang lebih besar, seperti biodiversity loss dan emisi karbon yang lebih tinggi.
  • Gerakan “No palm Oil” atau “Palm Oil Free” sebenarnya akan mengarah pada kerusakan lingkungan yang lebih buruk.
  • Penyediaan minyak nabati dunia akan beralih dari tanaman minyak nabati yang hemat air (seperti kelapa sawit) ke tanaman minyak nabati yang boros air.

Pendahuluan

Industri minyak sawit dunia memperoleh perhatian masyarakat setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Pertumbuhan produksi minyak sawit yang relatif cepat yang dikategorikan sebagai tropical oils crops revolution (Byarlee, et.al. 2016), selain merubah struktur pasar minyak nabati dunia juga memunculkan berbagai polemik ekonomi, sosial dan lingkungan.

Pada aspek lingkungan, perkembangan industri sawit dunia yang sangat cepat sering dikaitkan dengan Land Use Change (LUC) yang didalamnya terkait isu deforestasi (Vijay et al.,2016; European Union, 2013), biodiversity loss (Fitzherber et al., 2009; Foster et al., 2011; Koh dan Wilcove, 2008; Savilaakso et al., 2014; Austin et al., 2019), dan isu lingkungan lainnya.

Pengkaitan minyak sawit dunia dengan isu deforestasi/biodiversity loss telah menjadi tema kampanye jejaring NGO anti sawit global yang sangat intensif diberbagai negara. Platform kampanye anti sawit global telah menggiring masyarakat dunia agar hidup tanpa minyak sawit melalui kampanye “No Palm Oil”, atau “Palm Oil Free”, serta “Zero Deforestation” (PASPI, 2015; Kumar et al., 2015).

Selain kampanye anti sawit tersebut, Pemerintah Uni Eropa juga sedang merancang kebijakan RED II yakni melakukan phase-out minyak sawit dari biofuel negara-negara anggota EU paling lambat tahun 2030 (European Commission, 2019). Sehingga tidak ada lagi industri biofuel EU yang menggunakan produk dari sawit pada tahun 2030.

Hal tersebut kemudian memunculkan pertanyaan penting yakni apakah dari segi kelestarian lingkungan hidup, dunia akan lebih baik tanpa minyak sawit? Dapatkah kontribusi minyak sawit dapat digantikan oleh minyak nabati lainnya?

Artikel ini akan mendiskusikan isu penting tersebut yakni apa yang terjadi pada lingkungan hidup jika dunia tanpa minyak sawit. Diskusi akan difokuskan pada lima isu lingkungan hidup yang menjadi perhatian dunia. Apakah deforestasi dunia akan makin berkurang jika dunia tanpa minyak sawit? Apakah biodiversity loss akan berkurang jika dunia tanpa minyak sawit? Apakah emisi dari produksi minyak nabati dunia akan berkurang jika dunia tanpa minyak sawit? Apakah polusi tanah dan air akan berkurang jika dunia tanpa minyak sawit? Dan apakah penggunaan air makin berkurang dalam produksi minyak nabati jika dunia tanpa minyak sawit?

KEUNGGULAN MINYAK SAWIT

Dalam pasar dunia, terdapat sekitar 17 jenis minyak nabati/hewani yang digunakan sebagai bahan pangan (edible oils) maupun untuk bahan baku (feedstock) biofuel. Dari ke-17 jenis minyak nabati/hewani tersebut, terdapat 4 minyak nabati utama yang berkontribusi lebih dari 90 persen terhadap produksi dan konsumsi minyak nabati dunia (PASPI Monitor, 2021a). Keempat minyak nabati yang dimaksud adalah minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari.

Minyak sawit memiliki berbagai keunggulan (dibandingkan minyak nabati lainnya). Pertama, perkebunan sawit memiliki ukuran batang yang relatif besar, tumbuh dengan cepat dan memiliki siklus hidup (life span) yang panjang (umur tanaman 25-30 tahun). Dengan karakteristik yang demikian, kebun sawit memiliki kemampuan carbon sink dan carbon sequestration yang relatif besar dibandingkan minyak nabati lainnya.

Kedua, produktivitas minyak per hektar (Gambar 1) sekitar 8-10 kali produktivitas minyak nabati lainnya (minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari). Kelapa sawit tidak hanya paling efisien dalam penggunaan lahannya tetapi juga paling tinggi produktivitas minyaknya. Rata-rata produktivitas minyak kelapa sawit (CPO+CPKO) mencapai 4.3 ton per hektar. Sementara itu, produktivitas tanaman rapeseed, bunga matahari dan kedelai dalam menghasilkan minyaknya berturut-turut hanya sebesar 0.7 ton per hektar, 0.52 ton per hektar dan 0.45 ton per hektar.

Figure 1. Comparison of Palm Oil Productivity with Other Vegetable Oils 1
Gambar 1.  Perbandingan Produktivitas Minyak Sawit dengan Minyak Nabati Lainnya

Ketiga, minyak sawit memiliki volume relatif besar bahkan yang terbesar dalam pasar minyak nabati dunia. Menurut data USDA (2021), volume produksi minyak sawit (CPO+PKO) dunia mencapai 84.2 juta ton atau sekitar 40.3 persen dari total produksi minyak nabati dunia. Dengan volume minyak sawit dunia yang begitu besar, dinamika pasokan minyak sawit dunia secara signifikan juga akan mempengaruhi dinamika pasar minyak nabati dunia.

Keempat, pasokan minyak sawit relatif stabil dari bulan ke bulan sepanjang tahun. Minyak sawit diproduksi dari pohon kelapa sawit yang telah berumur 4 tahun. Dengan komposisi tanaman yang ideal, kelapa sawit dapat menghasilkan minyak (CPO dan PKO) dengan volume yang stabil setiap bulan sepanjang tahun hingga pohon berumur 25 tahun. Stabilitas pasokan minyak sawit tersebut memberi kepastian di pasar minyak nabati dunia.

Kelima, harga minyak sawit dunia lebih kompetitif (murah) dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Dengan keunggulan harga minyak sawit yang lebih kompetitif atau lebih murah serta ditambah dengan volume besar dan pasokan stabil, minyak sawit dapat mencegah terjadinya kenaikan harga berlebihan pada minyak nabati lain.

Fakta tersebut juga terkonfirmasi dari studi Kojima et al. (2016) dan Cui & Martin (2017) yang mengungkapkan bahwa jika terjadi kenaikan harga minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak biji bunga matahari, maka akan disertai dengan peningkatan konsumsi minyak sawit sehingga dapat meredam kenaikan harga yang berlebihan dari ketiga minyak nabati tersebut.

Keenam, minyak sawit merupakan bahan baku yang penggunaanya sangat luas baik baik untuk produk oleofood complex (misalnya minyak goreng, margarine, shortening, chocolates, snacks, etc); oleochemical complex (cosmetic products, soaps and detergents, grease, and printer ink, etc) maupun biofuel complex (biodiesel, green fuel dll). Penggunaan minyak sawit yang luas dalam berbagai aspek kehidupan, tidak hanya digunakan oleh hampir seluruh sektor-sektor ekonomi tetapi juga terjadi pada hampir seluruh negara dunia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat dunia memiliki ketergantungan pada minyak sawit (Shigetomi et al., 2020).

DEFORESTASI PADA “DUNIA TANPA MINYAK SAWIT”

Dengan segala keunggulan yang dimiliki minyak sawit khususnya dari segi produktivitas minyak, memiliki implikasi yang luas bagi isu lingkungan global. Implikasi pada deforestasi, studi Corley (2009) telah menunjukkan implikasi peningkatan konsumsi minyak sawit pada deforestasi. Berikut ini disajikan implikasi dari kondisi Dunia Tanpa minyak Sawit pada deforestasi global.

Selama periode tahun 2000-2020, luas area tanaman kedelai meningkat dari 75.5 juta hektar menjadi 127 juta hektar. Luas tanaman rapeseed juga mengalami peningkatan dari 24.7 juta hektar menjadi 35.5 juta hektar. Disusul kemudian dengan peningkatan luas area tanaman bunga matahari yakni dari 19.7 juta hektar menjadi 27.6 juta hektar. Sementara itu, luas area perkebunan kelapa sawit juga meningkat namun tidak terlalu signifikan yakni dari 10 juta hektar hanya menjadi 24 juta hektar.

Apa yang terjadi pada deforestasi dunia jika tidak ada minyak sawit? Jika Dunia Tanpa minyak Sawit (Tabel 1), produksi minyak sawit yang dihasilkan perkebunan sawit selama ini secara proporsional dipenuhi/digantikan oleh minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari. Artinya pada kondisi tersebut (S1) akan terjadi tambahan deforestasi dunia seluas 167 juta hektar.

dunia tanpa minyak sawit
Table 1. Additional Global Deforestation If “World Without Oil Palm” Condition

Dunia dengan Sawit (S0) adalah kondisi aktual pada tahun 2020, dimana total luas area keempat tanaman minyak nabati dunia adalah seluas 214.1 juta hektar dengan produksi total minyak nabati sebesar 191 juta ton. Sementara itu, Dunia Tanpa minyak Sawit (S1) adalah kondisi skenario jika minyak sawit tidak ada. Untuk mencapai produksi minyak nabati dunia sebesar 191 juta ton pada skenario S1, maka masyarakat dunia harus memenuhinya secara proporsional yakni 54 persen dari minyak kedelai, 25 persen dari minyak rapeseed dan 21 persen dari minyak biji bunga matahari.

Dengan skenario S1 tersebut, terjadi ekspansi kebun kedelai dunia yang mengalami peningkatan dari 127 juta hektar menjadi 239 juta hektar, luas areal tanaman rapeseed dunia juga mengalami peningkatan dari 35.5 juta hektar menjadi 65.5 juta hektar dan luas areal tanaman bunga matahari juga mengalami peningkatan dari 27.6 juta hektar menjadi 52.6 juta hektar.

Selisih antara skenario S1 dengan S0 merupakan tambahan deforestasi dunia akibat dari kondisi “Dunia Tanpa minyak Sawit”. Luas tambahan deforestasi dunia tersebut mencapai 167 juta hektar yang berasal dari 112 juta hektar untuk tambahan ekspansi tanaman kedelai, 30 juta hektar untuk tambahan ekspansi tanaman rapeseed dan 25 juta hektar untuk tambahan ekspansi tanaman bunga matahari.

Dengan demikian sangat jelas bahwa pada kondisi “Dunia Tanpa minyak Sawit”, masyarakat produsen minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari yang tersebar diberbagai negara harus melakukan tambahan deforestasi seluas 167 juta hektar. Artinya “Dunia Tanpa Minyak Sawit” justru memicu deforestasi dunia yang lebih luas.

BIODIVERSITY LOSS PADA “DUNIA TANPA MINYAK SAWIT”

Studi yang dilakukan oleh Beyer et al., (2020) serta Beyer and Rademacher (2021) mengenai komparasi biodiversity loss global antar minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi menjadi tanaman minyak nabati. Studi tersebut mengukur indikator jejak (footprint) Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan sebagai ukuran biodiversity loss (Gambar 2).

Figure 2. Species Richness Loss SRL Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils
Gambar 2.  Indeks Species Richness Loss (SRL) Minyak Sawit Vs Minyak Nabati Lainnya

Hasil studi tersebut menggunakan SRL minyak sawit sebagai pembanding dan mengungkapkan bahwa SRL minyak kedelai 284 persen diatas SRL minyak sawit, SRL minyak rapeseed 79 persen diatas SRL minyak sawit dan SRL minyak biji bunga matahari 44 persen diatas SRL minyak sawit. Artinya dengan SRL sebagai indikator biodiversity loss menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang paling rendah biodiversity loss-nya. Sementara itu, minyak nabati yang paling besar biodiversity loss-nya adalah minyak kedelai.

Hal yang menarik dari studi tersebut juga menunjukkan bahwa SRL masing- masing negara produsen minyak nabati utama dunia juga berbeda-beda (Beyer dan Rademacher, 2021). Untuk produsen minyak sawit, SRL di Indonesia, Malaysia dan Thailand lebih rendah dibandingkan dengan SRL minyak sawit di Nigeria.

Untuk minyak kedelai, SRL Brazil dan Argentina jauh lebih tinggi dibandingkan SRL minyak kedelai Amerika Serikat dan India. Sementara untuk minyak rapeseed, SRL yang paling rendah di Kanada dan Jerman, sedangkan SRL minyak rapeseed tertinggi di India dan Australia. Untuk minyak biji bunga matahari, SRL terendah di Perancis dan Amerika Serikat, kemudian disusul Rusia, Ukrania dan China.

Hasil studi Beyer et al. (2020) yang menunjukkan untuk setiap liter minyak nabati yang diproduksi, minyak sawit memiliki biodiversity loss paling rendah dibandingkan dengan sumber minyak nabati utama lainnya. Oleh karena itu, “Dunia Tanpa Minyak Sawit” berarti juga menyebabkan biodiversity loss dunia yang lebih tinggi.

EMISI KARBON PADA “DUNIA TANPA Minyak SAWIT”

Pengkaitan produksi minyak nabati termasuk minyak sawit terhadap emisi karbon juga menjadi isu lingkungan global. Apakah dengan kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit” dapat menurunkan emisi karbon dalam proses produksi minyak nabati global?

Studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) menemukan bahwa pada level ekosistem global, kebun sawit dunia adalah penghasil minyak nabati paling rendah emisinya dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya (Gambar 3).

Dibandingkan dengan emisi karbon kebun sawit untuk setiap liter minyak sawit, emisi minyak kedelai 425 persen lebih tinggi, emisi minyak rapeseed 242 persen lebih tinggi, emisi minyak biji bunga matahari 225 persen lebih tinggi, emisi minyak kacang tanah 424 persen lebih tinggi, emisi minyak kelapa 337 persen lebih tinggi dan emisi minyak zaitun 342 persen lebih tinggi. Dengan demikian, untuk indikator emisi terendah minyak nabati ranking mulai terendah sampai tertinggi adalah minyak sawit, minyak biji bunga matahari, minyak rapeseed, minyak zaitun, minyak kelapa, minyak kedelai dan minyak kacang tanah.

Figure 3. Carbon Emissions Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils
Gambar 3. Index Emisi Karbon Minyak Sawit Vs Minyak Nabati Lainnya

Pada level negara negara produsen minyak nabati juga menarik untuk didiskusikan. Emisi karbon minyak sawit untuk seluruh negara produsen minyak sawit dunia (kecuali Nigeria) lebih rendah dari seluruh emisi negara-negara produsen minyak nabati dunia. Indonesia, Malaysia dan Thailand merupakan produsen minyak sawit yang paling rendah emisi karbonnya. Emisi minyak kedelai paling rendah berasal dari India. Untuk minyak rapeseed, emisi paling rendah di Perancis dan Kanada. Sedangkan untuk minyak biji bunga matahari, emisi terendah dari Amerika Serikat.

Studi tersebut justru membuktikan isu yang menyebutkan emisi karbon minyak sawit lebih tinggi adalah isu yang keliru. Justru sebaliknya, emisi karbon minyak nabati lainnya lebih tinggi dibandingkan emisi minyak sawit. Kampanye “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” yang pada dasarnya bertujuan menciptakan kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit” justru akan membawa masyarakat dunia pada dampak lingkungan yang lebih buruk yakni meningkatnya emisi karbon dalam penyediaan minyak nabati global.

POLUSI TANAH/AIR PADA DUNIA TANPA MINYAK SAWIT

Dampak proses produksi minyak nabati termasuk minyak sawit pada polusi tanah dan air juga menjadi sorotan masyarakat khususnya NGO lingkungan. Penggunaan teknologi pupuk dan pestisida pada proses budidaya menghasilkan residu pada tanah maupun air. Namun, apakah dengan kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit” membuat polusi air dan tanah dunia menjadi berkurang?

Volume produksi tiga minyak nabati dunia tahun 2020 adalah minyak sawit sekitar 83.7 juta ton, minyak kedelai sebesar 58.7 juta ton dan minyak rapeseed sebesar 27.3 juta ton. Dengan produksi tersebut diperkirakan polutan dari ketiga minyak utama dunia tersebut sebesar 2.5 juta ton pupuk Nitrogen (N), 1.8 juta ton pupuk Fosfor (P2O5) dan 1.6 juta ton pestisida (Tabel 2).

Jika skenario “Dunia Tanpa Minuyak Sawit”, maka secara proporsional produksi minyak kedelai harus meningkat menjadi 100.6 juta ton dan minyak rapeseed juga perlu ditingkatkan menjadi 69.2 juta ton agar dapat menutupi minyak sawit yang berhenti berproduksi. Dengan produksi minyak kedelai dan minyak rapeseed tersebut menyebabkan polutan Nitrogen meningkat menjadi 3.9 juta ton atau meningkat sebesar 56 persen. Polutan Fosfor juga meningkat menjadi 3.2 juta ton atau meningkat 71 persen. Polutan yang dihasilkan dari penggunaan pestisida juga meningkat menjadi 2.9 juta ton atau meningkat sebesar 81 persen.

Table 2. Impact of World Without Oil Palm on World Water and Soil Pollution
Tabel 2.  Dampak “Dunia Tanpa Minyak Sawit” pada Polusi Air dan Tanah Dunia.

Dengan demikian sangat jelas bahwa segala upaya untuk menyingkirkan minyak sawit dari pasar dunia seperti gerakan/kampanye “No Palm Oil” atau labelisasi “Palm Oil Free” atau rencana RED II – EU terkait “phase out minyak sawit”, akan berdampak pada peningkatan pada polutan/emisi Nitrogen, Fosfor dan Pestisida yang cukup signifikan. Kenaikan emisi atau polutan tersebut terjadi pada negara-negara produsen minyak kedelai dan minyak rapeseed. Kenaikan polutan/emisi tersebut akan mengancam kehidupan pada teristerial maupun perairan.        

Dengan kata lain, kampanye yang bertujuan untuk “Dunia Tanpa Minyak Sawit” berarti juga menjadi kampanye peningkatan emisi/polutan residu nitrogen, fosfor dan pestisida. Hal ini juga berarti kampanye tersebut berpotensi mengancam kehidupan teristerial dan perairan dunia.

HEMAT AIR PADA DUNIA TANPA MINYAK SAWIT

Selain isu deforestasi, biodiversity, emisi karbon, polusi air/tanah, isu penggunaan air dalam proses produksi minyak nabati juga sering dikritisi masyarakat. Penggunaan air yang boros dinilai tidak ramah lingkungan.

Gerbens-Leenes et al. (2009) mengungkapkan bahwa tanaman penghasil bioenergi paling rakus air adalah rapeseed, disusul oleh kelapa, ubi kayu, jagung, kedelai dan tanaman bunga matahari. Untuk menghasilkan setiap giga joule bionergi (minyak), tanaman rapeseed (tanaman minyak nabati Eropa) memerlukan 184 m3 air. Sementara, tanaman kelapa yang juga banyak ditemukan di Indonesia, Philipina, India memerlukan air dengan rata-rata sebesar 126 m3 Ubi kayu (penghasil etanol) juga memerlukan air dengan rata-rata sekitar 118 m3 (Gambar 4).

Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa kelapa sawit ternyata termasuk paling hemat (setelah tebu) dalam menggunakan air untuk setiap Giga Joule (GJ) bioenergi yang dihasilkan. Kelapa sawit hanya menggunakan air sebanyak 75 m3, sedangkan kedelai memerlukan rata-rata 100 m3 air untuk setiap GJ bioenergi yang dihasilkan.

Mekonnen & Hoekstra (2010) juga melakukan penelitian mengenai perbandingan kebutuhan air pada pada komoditas pertanian dengan menggunakan konsep “water footprint”. Definisi dari konsep tersebut adalah total volume air (freshwater) yang digunakan komoditas pertanian untuk memproduksi suatu produk. Secara total, komoditas pertanian dengan persentase global water footprint yang terbesar selama periode tahun 1996-2005 adalah gandum (15 persen), padi (13 persen) dan jagung (10 persen). Sementara itu, kontribusi kelapa sawit hanya sebesar 2 persen terhadap global water footprint.

Figure 4. Water Requirement to Produce One Giga Joule of Bioenergy in Various Crops
Gambar 4.  Kebutuhan Air untuk Menghasilkan Satu Giga Joule Bioenergi pada Berbagai Tanaman

Konsep Water Footprint pada penelitian Mekonnen & Hoekstra (2010) juga menggunakan tiga definisi sumber air yang berbeda yaitu: (a) Blue Water yang mengacu pada air permukaan dan air tanah yang dikonsumsi (evaporasi); (b) Green Water yang mengacu pada air hujan yang dikonsumsi; dan (c) Grey Water mengacu pada kebutuhan air yang diperlukan untuk mengasimilasi polutan berdasarkan standar kualitas air eksisting, dimana Grey Water juga dijadikan sebagai indikator dari volume polusi air.

Hasil penelitian Makonnen & Hoekstra (2010) juga menyajikan informasi keterkaitan antara kebutuhan air pada berbagai komoditas feedstock biodiesel (Gambar 5).

Dalam penelitian tersebut mengungkap kan untuk menghasilkan 1 liter biodiesel, kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sebagai feedstock sebesar 157,617 liter air. Sementara itu, feedstock lain yang banyak digunakan oleh industri biodiesel dunia seperti bunga matahari, kedelai dan rapeseed juga memiliki kebutuhan air yang relatif tinggi untuk menghasilkan 1 liter biodiesel yakni berturut-turut sebesar 15,841 liter air,11,397 liter air, dan 6,429 liter air.

Figure 5. Comparison of Water Needs for Palm Oil and Feedstocks
Gambar 5. Perbandingan Kebutuhan Air Kelapa sawit dan Feedstock Lainnya

Sedangkan kebutuhan air yang digunakan oleh kelapa sawit untuk menghasilkan 1 liter biodiesel hanya sebesar 5,166 liter air. Hal ini menunjukkan fakta bahwa selain dapat menghasilkan energi yang ramah lingkungan, kelapa sawit juga membutuhkan air yang lebih rendah dibandingkan feedstock lain.

Berdasarkan indikator global water footprint periode tahun 1996-2005 menunjukkan bahwa persentase konsumsi air yang dibutuhkan kelapa sawit secara global hanya sebesar 2 persen atau sebesar 1,097 m3 per ton. Sedangkan tanaman serelia (seperti gandum, padi, jagung) dan kedelai memiliki persentase water footprint berkisar 5-15 persen. Hasil studi yang menarik lainnya adalah sumber utama pemenuhan kebutuhan air pada perkebunan kelapa sawit adalah green water atau air hujan. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan kelapa sawit tidak mengeksploitasi air tanah dan bersaing dengan manusia.

Implikasi dari hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa jika pada kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit” melalui gerakan “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” maka proses penyediaan minyak nabati dunia akan bergeser dari tanaman minyak nabati relatif hemat air (minyak sawit) ke minyak nabati relatif boros air seperti minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari.

Kesimpulan

Perkebunan kelapa sawit merupakan tanaman minyak nabati yang paling tinggi produktivitasnya dan efisien dalam penggunaan lahan. Selain itu, minyak sawit juga memiliki siklus produksi (life span) yang relatif panjang (dengan umur tanaman 25 tahun) sehingga mampu memproduksi minyak dengan pasokan yang relatif stabil. Selain volume produksi minyak yang besar dan stabil, tanaman kelapa sawit juga memiliki kemampuan carbon sink dan carbon sequestration yang relatif tinggi dibandingkan tanaman minyak nabati lainnya.

Dengan kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit” justru akan memicu deforestasi dunia yang lebih luas dengan tambahan deforestasi seluas 167 juta hektar. Selain tambahan deforestasi, kerugian lingkungan lainnya yang ditimbulkan adalah biodiversity loss dunia yang lebih tinggi dan emisi karbon yang lebih tinggi dalam penyediaan minyak nabati dunia. Kondisi ini juga meningkatkan emisi/polutan residu Nitrogen, Fosfor dan Pestisida. Penyediaan minyak nabati dunia akan bergeser dari tanaman minyak nabati relatif hemat air (minyak sawit) ke minyak nabati relatif boros air seperti seperti minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari.

Dengan demikian, gerakan dan kampanye “No palm Oil” atau “Palm Oil Free” untuk menciptakan kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit”, justru merupakan gerakan menuju kerusakan lingkungan global yang lebih buruk. 

Daftar Pustaka

  • Afriyanti D, Kroeze C, Saad A. 2016. Indonesia Palm Oil Production Without Deforestation and Peat Conversion By 2050. Science Total Environmental. 557–558.
  • Austin KG, Schwantes A, Gu Y, Kasibhatla PS. 2019. What Causes Deforestation In Indonesia? Environmental Research Letter. 14(2).
  • Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts Of Palm Oil And Its Alternatives.
  • Beyer R, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813.
  • Byarlee D, WP Falcon, RL Naylor. 2016. The Tropical Oil Crops Revolution: Food, Feed and Forest. Oxford University Press.
  • Carlson KM, Curran LM, Asner GP, Pittman AM, Trigg SN, Adeney JM. 2013. Carbon Emissions from Forest Conversion by Kalimantan Oil Palm Plantations. Natural Climate Change Journal. 3:283–287.
  • Corley RHV. 2009. How Much Palm Oil Do We Need? Environmental Science Policy. 12(2): 134–139.
  • Cui JJ, I Martin. 2017. Impact of US biodiesel Mandat on World Vegetable Oil Market. Energy Economics. 65(3): 148-160.
  • Danielsen F, Beukema H, Burgess ND, Parish F, Brühl CA, Donald PF, Murdiyarso D, Phalan, B, Reijnders L, Struebig, M. 2009. Biofuel Plantations on Forested Lands: Double Jeopardy for Biodiversity and Climate. Conservation Biology. 23: 348–358.
  • European Commission. 2019. Supplementing Directives 2018/2001 As Regards The Determination of High Indirect Land Use Change Risk Feedstock for Which A significant Expansion of the production Area Into With High Carbon Stock Is Observed and Certification of Low Indirect Land Use Change Risk Biofuels,Bioluquids and Biomass Fuels. Brussels.
  • European Parlement. 2017. Palm Oil and Deforestation Rainforest. Brussels.
  • European Union. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation. Brussels.
  • Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, A Brühl, Donald PF, Phalan B. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends Ecology and Evolution. 23 (10):538– 545.
  • Foster WA, Snaddon JL., Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV. 2011. Establishing The Evidence Base for Maintaining Biodiversity And Ecosystem Function In The Oil Palm Landscapes Of South East Asia. Philosophical Transactions Biological Sciences. 366 (1582): 3277–3291.
  • [IEA] International Energy Agency. 2018. CO2 Emissions from Fuel Combustion 2018.
  • Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters. 1: 60–64.
  • Kojima Y, Parcell J, Cain J. 2016. A Global Demand Analysis of Vegetable Oils for Food Use and Industrial Use. Bahan Presentasi Konferensi Agricultural and Applied Economic Association pada 31 Juli-2 Agustus 2016 di Boston, Massachusetts.
  • Kumar UM, C Diaconu, Y Basiron. K Sundram. 2015. Why “No Palm Oil” Labeling Misleads the Consumer. Journal of Oil Palm, Environment & Health. 6:56-64.
  • Marlier ME, DeFries RS, Kim PS, Koplitz SN, Jacob DJ, Mickley LJ, Myers SS. 2015. Fire Emissions and Regional Air Quality Impacts from Fires in Oil Palm, Timber, and Logging Concessions in Indonesia. Environmental Research Letters. 10(8).
  • Mba OI, Dumont MJ, Ngadi M. 2015. Palm Oil: Processing, Characterization and Utilization in The Food Industry—A Review. Food Bioscience. 10: 26–41
  • Mekonen MM, Hoekstra AY. 2010. The Green, Blue and Grey Water Footprint of Crops and Derived Crop Products. Volume 1: Main Report. Value Of Water Research Report Series No. 47
  • Merten J, Röll A, Guillaume T, Meijide A, Tarigan S, Agusta H, Dislich C, Dittrich Ch, Faust H, Gunawan D, Hein J, Hendrayanto, Knohl A, Kuzyakov Y, Wiegand K, Hölscher D. 2016. Water Scarcity and Oil palm Expansion: Social Views and Environmental Process. Ecology Society. 21(2):5
  • Oil World. 2018. Oil World Statistics. ISTA Mielke.
  • [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Insitute. 2015. Labelisasi “Palmoil Free”, Gerakan Boikot Minyak Sawit. Jurnal Monitor. 1(15): 103-107.
  • PASPI Monitor. 2021a. Contribution of Palm Oil Industry: Feeding the World. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(4): 299-304.
  • PASPI Monitor. 2021b. Carbon Emissions in Oil Palm Plantation Versus Other Vegetable Oil Plantations. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(46): 570-574.
  • PASPI Monitor. 2021c. Palm Oil Plantation: Save Water And Conserve Groundwater. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(27): 445-450.
  • PASPI Monitor. 2021d. Palm Oil Free is Driving the Global Deforestation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(14):357-361.
  • PASPI Monitor. 2021e. Biodiversity loss to Produce Palm Oil is Higher Than Other Vegetable Oils, Isn’t True? Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(45): 563-568. PASPI Monitor. 2021f. The “No Palm Oil” Campaign Is Leading to Bigger Soil/Water Pollution in The World. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(40): 527-531.
  • PASPI Monitor. 2021g. Palm Oil Industry Saves Global Deforestation? Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(18): 383-390.
  • Qaim M, KT Sibhatu, H. Siregar, I Grass. 2020. Environmental, Economic, and Social Consequences of the Oil Palm Boom. Annual Review Resource Economics. 12:321–44.
  • Savilaakso S, Garcia C, Garcia-Ulloa J, Ghazoul J, Groom M, Guariguata MR, Laumonier Y, Nasi, R, Petrokofsky G, Snaddon J. 2014. Systematic Review of Effects on Biodiversity from Oil Palm Production. Environmental Evidence. 3(4): 1–20
  • Shigetomi Y, Shimura Y, Yamamoto Y. 2020. Trends in Global Dependency on the Indonesian Palm Oil and Resultant Environmental Impacts. Scientific Reports. 10:20624.
  • Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. PLos One. 11(7):1-19.
  • Wilcove DS, Koh LP. 2010. Addressing the Threats to Biodiversity from Oil-Palm Agriculture. Biodiversity and Conservation. 19(4): 999–100.

FAQ (Frequently Asked Questions)

Apa keunggulan dari perkebunan sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya?

Bagaimana produktivitas minyak per hektar dari kelapa sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya?

Berapa volume produksi minyak sawit dunia dan seberapa besar kontribusi minyak sawit dalam pasar minyak nabati dunia?

Bagaimana pasokan minyak sawit?

Apa saja produk turunan dari minyak sawit

Apa yang akan terjadi pada deforestasi dunia jika minyak sawit tidak ada?

Bagaimana produksi minyak nabati dunia di skenario S1 akan dipenuhi?

Berapa luas ekspansi tanaman kedelai, rapeseed, dan bunga matahari di skenario S1?

Dari mana sumber tambahan deforestasi dunia di skenario S1?

Apakah “Dunia Tanpa Minyak Sawit” justru memicu deforestasi dunia yang lebih luas?

Apakah perbedaan luas deforestasi dunia antara skenario S1 dan S0?

Apa yang menyebabkan tambahan deforestasi dunia dalam skenario S1?

Bagaimana implikasi dari kondisi “Dunia Tanpa minyak Sawit” pada deforestasi global?

Apakah minyak sawit memiliki biodiversity loss paling rendah dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya?

Bagaimana perbandingan SRL minyak sawit dengan minyak nabati lainnya?

Bagaimana komparasi biodiversity loss global antar minyak nabati menurut studi Beyer et al. (2020) dan Beyer dan Rademacher (2021)?

Apakah studi Beyer et al. (2020) dan Beyer dan Rademacher (2021) menunjukkan bahwa minyak sawit memiliki emisi karbon yang lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lainnya?

Apakah tanaman minyak kedelai memiliki lebih tinggi biodiversitas loss dibandingkan dengan minyak sawit?

Apakah dengan kondisi “Dunia Tanpa Minyak Sawit” dapat menurunkan emisi karbon dalam proses produksi minyak nabati global?

Bagaimana perbandingan emisi karbon minyak sawit dengan minyak nabati lainnya?

Negara mana yang memiliki emisi karbon minyak sawit paling rendah?

Apakah dampak produksi minyak nabati termasuk minyak sawit pada polusi tanah dan air?

Apakah dunia tanpa minyak sawit dapat mengurangi polusi tanah dan air?

Berapa persen kenaikan polutan Nitrogen jika skenario “dunia tanpa minyak sawit” terjadi?

Berapa persen kenaikan polutan Fosfor jika skenario “dunia tanpa minyak sawit” terjadi?

Berapa persen kenaikan polutan Pestisida jika skenario “dunia tanpa minyak sawit” terjadi?

Apa yang dimaksud dengan water footprint dan bagaimana cara perhitungannya?

Apakah kelapa sawit memiliki persentase water footprint yang rendah dibandingkan dengan tanaman lain yang digunakan sebagai feedstock biodiesel?

Apakah proses produksi minyak nabati dari kelapa sawit memerlukan air yang lebih sedikit dibandingkan dengan minyak nabati dari jenis tanaman lain?

Berapa jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 liter biodiesel dari minyak kelapa sawit?

Berapakah persentase konsumsi air yang dibutuhkan oleh perkebunan kelapa sawit secara global?

Unduh Jurnal

Vol. III, No. 14/08/2022 : “NO PALM OIL EFFECT” UNI EROPA PERBESAR DEFORESTASI DAN EMISI DUNIA

Poin-Poin Inti

  1. Gerakan Uni Eropa yakni “No Palm Oil”, “Palm Oil Free” maupun phase out minyak sawit dari biofuel (RED II) merupakan gerakan yang menempatkan Uni Eropa pada kondisi makin inferior baik secara ekonomi dan ekologi.
  2. Secara ekonomi, “No Palm Oil Effect” akan merugikan Uni Eropa sendiri yakni penurunan GDP dan penerimaan pemerintah serta meningkatkan pengangguran.
  3. Sementara itu, efek gerakan tersebut secara ekologi akan meningkatkan deforestasi, biodiversity loss, emisi karbon, serta polusi tanah dan air global.
  4. Masyarakat global akan dirugikan karena terciptanya lingkungan global yang semakin buruk.

Pendahuluan

Uni Eropa (UE) merupakan salah satu kawasan tujuan pasar ekspor atau konsumen minyak sawit dunia. Sekitar 5-6 juta ton minyak sawit dikonsumsi oleh Uni Eropa setiap tahun baik sebagai bahan pangan (oleofood), oleokimia maupun produk biofuel.

Selain minyak sawit, terdapat tiga jenis minyak nabati utama dunia yang diproduksi dan dikonsumsi di Uni Eropa yakni minyak rapeseed, minyak bunga matahari dan minyak kedelai. Minyak rapeseed merupakan minyak nabati yang banyak diproduksi oleh Uni Eropa. Di sisi lain, besarnya kebutuhan minyak nabati Uni Eropa melebihi kemampuan produksi domestik. Kondisi ini membuat Uni Eropa harus mengimpor minyak nabati dari luar kawasan. Sekitar 60 persen dari kebutuhan minyak nabati Uni Eropa berasal dari impor, termasuk minyak sawit.

Kehadiran minyak sawit di Uni Eropa sering dikaitkan dengan isu deforestasi (Vijay et al., 2016; European Union, 2013), biodiversity loss (Fitzherber et al., 2009; Foster et al., 2011; Koh dan Wilcove, 2008; Savilaakso et al., 2014; Austin et al., 2019), emisi GHG dan isu lingkungan lainnya. Pengkaitan minyak sawit dunia dengan isu deforestasi/biodiversity loss telah menjadi tema kampanye NGO anti sawit global yang sangat intensif diberbagai negara anggota Uni Eropa. Bahkan platform kampanye anti sawit telah berhasil menggiring masyarakat Uni Eropa agar hidup tanpa minyak sawit melalui kampanye “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” (PASPI, 2015; Kumar et al., 2015, European Commission. 2019).

Selain kampanye anti sawit tersebut, dengan argumen mengurangi deforestasi, biodiversity loss dan emisi GHG global, Pemerintah Uni Eropa juga merancang kebijakan RED II dengan merencanakan phaseout minyak sawit dari biofuel negara-negara anggota Uni Eropa paling lambat tahun 2030 (European Commission, 2019). Lantas, benarkah gerakan No Palm Oil atau Palm Oil Free atau phase out minyak sawit yang dikampanyekan Uni Eropa akan berhasil mengurangi deforestasi, biodiversity loss dan emisi GHG global?

Artikel ini akan mendiskusikan dampak “No Palm Oil” yang dikampanyekan Uni Eropa bagi kawasan negaranya sendiri maupun bagi komunitas global khususnya terkait deforestasi dan emisi karbon. Artikel ini juga menggunakan hasil studi Europe Economics (2014, 2016), Beyer et al. (2020) dan Beyer and Rademacher (2021).

KONSUMSI MINYAK NABATI UNI EROPA

 Dari ke-17 minyak nabati dunia, terdapat 4 nabati utama yang paling dominan diproduksi dan dikonsumsi secara internasional termasuk di Uni Eropa. Keempat minyak nabati tersebut adalah minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari dan minyak sawit. Dari keempat minyak nabati utama yang konsumsi Uni Eropa, terdapat tiga minyak nabati yang diproduksi di Uni Eropa yakni minyak rapeseed, minyak bunga matahari dan minyak kedelai. Sedangkan minyak sawit tidak diproduksi di Uni Eropa karena tanaman ini merupakan tanaman tropis yang tidak dapat tumbuh di kawasan negara tersebut.

Pertumbuhan konsumsi minyak nabati Uni Eropa yang lebih cepat dari pertumbuhan produksi minyak nabati domestik, menyebabkan ketergantungan Uni Eropa dari minyak nabati impor semakin meningkat. Pada tahun 2000, produksi minyak nabati Uni Eropa mencapai 9.75 juta ton sementara konsumsinya telah mencapai 12 juta ton. Sehingga pada tahun tersebut produksi domestik hanya mampu memenuhi 81 persen dari total konsumsi domestik dan sekitar 19 persen kebutuhan domestiknya harus dipenuhi dari impor.

Pada tahun 2010, produksi minyak nabati Uni Eropa mencapai 13.76 juta ton. Namun, peningkatan konsumsinya telah menjadi 20.56 juta ton. Artinya produksi domestik hanya mampu memenuhi 66 persen dari kebutuhanya sehingga sekitar 34 persen kebutuhan minyak nabati domestik harus dipenuhi dari impor.

Pola konsumsi minyak nabati Uni Eropa juga telah mengalami perubahan dalam 20 tahun terakhir (Gambar 1). Pada kurun waktu 2000-2021, pola konsumsi minyak rapeseed (rapeseed oil) naik dari 27 persen menjadi 38 persen, kemudian diikuti minyak sawit (palm oil) naik menjadi 29 persen, minyak bunga matahari (sunflower oil) naik menjadi 18 persen. Sementara itu, pangsa konsumsi minyak kedelai (soybean oil) turun dari 18 persen menjadi 12 persen pada periode tersebut.

Figure 1. The Changes of European Union Vegetable Oil Consumption
Gambar 1.    Perkembangan dan Perubahan Konsumsi Minyak Nabati Uni Eropa (Sumber: USDA)

Untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak nabati domestik yang terus meningkat, Uni Eropa harus mengimpor minyak nabati dengan volume yang juga terus mengalami peningkatan. Impor minyak nabati terbesar adalah minyak sawit dengan volume yang terus meningkat dari sekitar 2.8 juta ton tahun 2000 menjadi sekitar 7 juta ton tahun 2021 atau naik hampir tiga kali lipat.  

Dengan kata lain, Uni Eropa semakin tergantung pada impor minyak nabati. Selain itu dengan meningkatnya pangsa minyak sawit dalam konsumsi minyak nabati, berarti juga ketergantungan Uni Eropa pada impor minyak sawit juga semakin meningkat dari tahun ketahun.

“NO PALM OIL EFFECT”

 Setidaknya dalam dua puluh tahun terakhir, kampanye anti minyak sawit “No Palm Oil” yang dimotori NGO dan jejaringnya sangat intensif terjadi diberbagai negara khususnya di Uni Eropa. Berbagai isu sosial, ekonomi, kesehatan dan lingkungan yang dituduhkan ke minyak sawit agar citra minyak sawit terpuruk di pasar dunia. Bukan sekedar kampanye negatif terhadap minyak sawit tetapi juga kampanye untuk tidak menggunakan minyak sawit. Pemaksaan label “Palm Oil Free” pada kemasan berbagai produk berbasis sawit yang dihasilkan oleh industri pangan, industri kosmetik bahkan industri pakan ternak merupakan cara sistematis yang digunakan NGO untuk menghentikan penggunaan minyak sawit (PASPI, 2015; Kumar et al., 2015).

 Kampanye penghentian konsumsi minyak sawit juga menular pada rencana kebijakan Uni Eropa yang mengkaitkan isu deforestasi dengan konsumsi minyak sawit di kawasan negara tersebut. Komisi Uni Eropa dalam kebijakan RED II/ILUC juga memiliki rencana untuk menerapkan kebijakan phase-out minyak sawit dari kebijakan renewable energy (RED-EU) paling lambat pada tahun 2030 (European Commission, 2019).

 Apa yang terjadi jika gerakan “No Palm Oil”, “Palm Oil Free” atau phase out minyak sawit (selanjutnya disebut “No Palm Oil”) benar-benar diberlakukan dan diikuti oleh masyarakat Uni Eropa? Secara ekonomi, kondisi tersebut akan sangat merugikan Uni Eropa sendiri karena masyarakat Uni Eropa akan menghadapi kekurangan minyak nabati setidaknya untuk sementara waktu. Selain itu, masyarakat Uni Eropa dan industri pengguna minyak sawit tidak bisa menikmati minyak nabati yang relatif murah dan harus beralih ke minyak nabati dengan harga yang lebih mahal.  

Jika mengacu pada studi Europe Economics (2014, 2016), Uni Eropa setidaknya akan kehilangan GDP sebesar 5.7 milyar Euro (PASPI Monitor, 2021b). Selain itu pemerintah Uni Eropa juga akan kehilangan penerimaan sebesar 2.6 milyar Euro. Dan sekitar 117 ribu orang masyarakat Uni Eropa akan kehilangan pekerjaan (PASPI Monitor, 2021a).

Apa dampaknya pada deforestasi dan emisi global? Mengacu pada studi Beyer et al. (2020), Beyer&Rademacher (2021) dan PASPI Monitor (2021f,g) bahwa gerakan “No Palm Oil” dengan menggantikan sebagian konsumsi minyak sawit Uni Eropa dengan minyak nabati lain. Artinya minyak sawit sebagai minyak nabati yang relatif ramah lingkungan (lebih hemat deforestasi, emisi carbon dan biodiversity loss) akan digantikan dengan minyak nabati lain (minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari) yang relatif lebih boros deforestasi, emisi carbon dan biodiversity loss (Gambar 2).

no palm oil effect
Gambar 2. Perbandingan Deforestasi (A), Emisi Karbon (B), dan Biodiversity Loss (C) Minyak Nabati

 Artinya jika masyarakat Uni Eropa memilih “No Palm Oil”, artinya mereka secara tidak langsung telah dijerumuskan untuk memilih minyak nabati yang lebih inferior dari segi ekonomi maupun lingkungan. Dengan kata lain, Uni Eropa akan terjerumus pada pilihan yang mengorbankan kesejahteraan baik secara ekonomi maupun ekologis.

Mengacu pada produktivitas minyak dari tanaman minyak nabati yang ada, dengan asumsi pola dan volume konsumsi Uni Eropa tetap, maka efek “No Palm Oil” tersebut akan menggantikan sekitar 7 juta ton minyak sawit dengan minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Sehingga Uni Eropa memerlukan tambahan produksi minyak rapeseed 3.8 juta ton, minyak bunga matahari sebesar 2.1 juta ton dan minyak kedelai sebesar 1.1 juta ton (Tabel 1).

Tabel 1.   “No Palm Oil Effect” Uni Eropa pada Deforestasi Global

Minyak NabatiVolume Konsumsi BaU (juta ton)No Palm Oil Effect Uni Eropa
(Tambahan Volume Konsumsi (juta ton))
No Palm Oil Effect Uni Eropa
(Tambahan Deforestasi (juta Ha))
Minyak Rapeseed8.83.85.4
Minyak Biji Bunga Matahari5.22.14.0
Minyak Kedelai2.71.12.2
Minyak Sawit7.0
Total23.77.011.7
Sumber: USDA, data diolah PASPI

Tambahan produksi minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari (untuk menggantikan minyak sawit) memerlukan ekspansi areal (tambahan deforestasi). Tambahan areal yang dibutuhkan yakni 5.4 juta hektar untuk areal rapeseed, 4.04 juta hektar untuk areal bunga matahari dan 2.24 juta hektar untuk areal kedelai. Sehingga secara total tambahan areal yang dbutuhkan sekitar 11.68 juta hektar (PASPI Monitor, 2021c).

Dengan tambahan deforestasi dunia tersebut mengacu pada Gambar 2 di atas maka “No Palm Oil” yang dikampanyekan Uni Eropa tersebut berimplikasi pada peningkatan emisi karbon global dan memperbesar biodiversity loss dunia (PASPI Monitor, 2021f,g). Selain itu, efek kampanye “No Palm Oil” tersebut juga membuat penyediaan minyak nabati Uni Eropa makin boros air (Mekonen & Hoekstra, 2010; PASPI Monitor, 2021d) serta semakin meningkatkan polusi air dan tanah global (PASPI Monitor, 2021e).

 Dengan kata lain, selain merugikan masyarakat Uni Eropa sendiri, gerakan “No Palm Oil”, “Palm Oil Free” atau rencana Phase out minyak sawit dari biofuel Uni Eropa juga merugikan masyarakat dunia akibat meningkatnya deforestasi, biodiversity loss, emisi karbon, serta polusi tanah dan air global. Hal ini jelas tidak sesuai dengan visi Uni Eropa yang “green” maupun platform SDGs.

Kesimpulan

Gerakan Uni Eropa yakni “No Palm Oil”, “Palm Oil Free” maupun phase out minyak sawit dari biofuel (RED II) merupakan gerakan yang menempatkan Uni Eropa pada kondisi makin inferior baik secara ekonomi dan ekologi. Secara ekonomi, “No Palm Oil Effect” akan merugikan Uni Eropa sendiri yakni penurunan GDP dan penerimaan pemerintah serta meningkatkan pengangguran. Sementara itu, efek gerakan tersebut secara ekologi akan meningkatkan deforestasi, biodiversity loss, emisi karbon, serta polusi tanah dan air global. Artinya masyarakat global akan dirugikan karena terciptanya lingkungan global yang semakin buruk.

Daftar Pustaka

Austin KG, Schwantes A, Gu Y, Kasibhatla PS. 2019. What Causes Deforestation In Indonesia? Environmental Research Letter. 14(2).

Beyer R, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact? Sustainability. 13: 1813.

Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts Of Palm Oil And Its Alternatives.

Byarlee D, WP Falcon, RL Naylor. 2016. The Tropical Oil Crops Revolution: Food, Feedand Forest. Oxford University Press. Carlson KM, Curran LM, Asner GP, Pittman AM, Trigg SN, Adeney JM. 2013. Carbon Emissions from Forest Conversion by Kalimantan Oil Palm Plantations. Natural Climate Change Journal. 3:283–287.

Corley RHV. 2009. How Much Palm Oil Do We Need? Environmental Science Policy.12(2): 134–139.

Cui JJ, I Martin. 2017. Impact of US biodiesel Mandat on World Vegetable Oil Market. Energy Economics. 65(3): 148-160.

Europe Economics. 2014. The Economic Impact of Palm Oil Imports in the EU. Europe Economics Chanchery House. London.

Europe Economics. 2016. The Downstream Economic Impact of Palm Oil Exports. Erope Economics Chanchery House. London.

European Commission. 2019. Supplementing Directives 2018/2001 As Regards The Determination of High Indirect Land Use Change Risk Feedstock for Which A significant Expansion of the production Area Into With High Carbon Stock Is Observed and Certification of Low Indirect Land Use Change Risk Biofuels,Bioluquids and Biomass Fuels. Brussels.

European Parlement. 2017. Palm Oil and Deforestation Rainforest. Brussels.

European Union. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation. Brussels.

Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, A Brühl, Donald PF, Phalan B. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends Ecology and Evolution. 23 (10):538– 545.

Foster WA, Snaddon JL., Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV. 2011. Establishing The Evidence Base for Maintaining Biodiversity And Ecosystem Function In The Oil Palm Landscapes Of South East Asia. Philosophical Transactions Biological Sciences. 366 (1582): 3277–3291.

[IEA] International Energy Agency. 2018. CO2 Emissions from Fuel Combustion 2018.

Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters. 1: 60– 64.

Kojima Y, Parcell J, Cain J. 2016. A Global Demand Analysis of Vegetable Oils for Food Use and Industrial Use. Bahan Presentasi Konferensi Agricultural and Applied Economic Association pada 31 Juli-2 Agustus 2016 di Boston, Massachusetts.

Kumar UM, C Diaconu, Y Basiron. K Sundram. 2015. Why “No Palm Oil” Labeling Misleads the Consumer. Journal of Oil Palm, Environment & Health. 6:56-64.

Mekonen MM, Hoekstra AY. 2010. The Green, Blue and Grey Water Footprint of Crops and Derived Crop Products. Volume 1: Main Report. Value Of Water Research Report Series No. 47

[PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Insitute. 2015. Labelisasi “Palmoil Free”, Gerakan Boikot Minyak Sawit. Jurnal Monitor. 1(15): 103-107.

PASPI Monitor. 2021a. Palm Oil Creates Job Opportunities in Importer Countries. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(2): 289-292

PASPI Monitor. 2021b. Income Generating on Downstream Palm Oil Industry In Importer Countries. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(3): 293-298

PASPI Monitor. 2021c. Palm Oil Industry Saves Global Deforestation? Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(18): 383-390.

PASPI Monitor. 2021d. Palm Oil Plantation: Save Water And Conserve Groundwater Oil. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(27): 445-450

PASPI Monitor. 2021e. The “No Palm Oil” Campaign Is Leading to Bigger Soil/Water Pollution in The World. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(40): 527-531.

PASPI Monitor. 2021f. Biodiversity loss to Produce Palm Oil is Higher Than Other Vegetable Oils, Isn’t True? Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(45): 563-568.

PASPI Monitor. 2021g. Carbon Emissions in Oil Palm Plantation Versus Other Vegetable Oil Plantations. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(46): 570-574.

Qaim M, KT Sibhatu, H. Siregar, I Grass. 2020. Environmental, Economic, and Social Consequences of the Oil Palm Boom. Annual Review Resource Economics. 12:321–44.

Savilaakso S, Garcia C, Garcia-Ulloa J, Ghazoul J, Groom M, Guariguata MR, Laumonier Y, Nasi, R, Petrokofsky G, Snaddon J. 2014. Systematic Review of Effects on Biodiversity from Oil Palm Production. Environmental Evidence. 3(4): 1–20

Shigetomi Y, Shimura Y, Yamamoto Y. 2020. Trends in Global Dependency on the Indonesian Palm Oil and Resultant Environmental Impacts. Scientific Reports. 10:20624.

Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity loss. PLos One. 11(7):1-19.

Wilcove DS, Koh LP. 2010. Addressing the Threats to Biodiversity from Oil-Palm Agriculture. Biodiversity and Conservation. 19(4): 999–100.

Unduh Jurnal