Back to Top
Rating & Comment

KETAHANAN EKONOMI “DESA SAWIT” VERSUS “DESA NON SAWIT” 2023

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Abstrak

Pada level makro, kontribusi industri sawit telah terbukti secara empiris bagi perekonomian Indonesia seperti sumber devisa, pengentasan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Kontribusi tersebut juga dapat terlihat pada daerah-daerah sentra sawit yang ditunjukkan dengan bertumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru. Sementara itu, saat ini belum ada bukti empiris yang menunjukkan kontribusi industri sawit pada level desa, padahal perkebunan kelapa sawit berada di desa. Di sisi lain, pemerintah Indonesia melalui Kemendesa PDTT memiliki indikator pembangunan desa yang dikenal dengan Indeks Desa Membangun (IDM). Salah satu indikator dalam indeks tersebut adalah Ketahanan Ekonomi Desa.

Dengan menggunakan dan mengolah secara statistik data pada indikator tersebut, dapat diketahui bahwa Desa Sawit lebih maju secara ekonomi dibandingkan dengan Desa Non-Sawit. Meskipun telah bertumbuh, namun masih ada peluang agar kemajuan ekonomi pada Desa Sawit maupun Desa Non-Sawit lebih meningkat.

Key Takeaways

  • Pengembangan pedesaan dengan lokomotif perkebunan kelapa sawit (rural development oil palm-driven) telah membuat Desa Sawit mengalami kemajuan dari tahun ketahun. Bahkan adanya perkebunan kelapa sawit membuat Desa Sawit lebih maju secara ekonomi dibandingkan dengan Desa Non-Sawit.
  • Ketahanan ekonomi yang dicapai Desa Sawit telah mencapai 58 persen dari kondisi ideal Ketahanan Ekonomi yang ditargetkan Pemerintah (dalam hal ini adalah Kemendesa PDTT). Sedangkan Ketahanan Ekonomi yang terjadi pada Desa Non-Sawit baru mencapai 53 persen dari target tersebut. Potensi untuk meningkatkan kemajuan ketahanan ekonomi masih terbuka luas baik pada Desa Sawit (42 persen) maupun Desa Non-Sawit (47 persen). Oleh karena itu, peningkatan kualitas dan kuantitas dari keduabelas indikator Ketahanan Ekonomi desa yang telah ditargetkan pemerintah, perlu dilakukan kedepan.

Pendahuluan

Kontribusi industri sawit pada level makroekonomi telah banyak diungkap oleh berbagai studi. Industri sawit berkontribusi signifikan pada ekspor/devisa negara, neraca perdagangan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan ekonomi daerah (Susila, 2004; World Bank, 2011; Sipayung, 2012, 2018; PASPI, 2014; Kasryno, 2015; PASPI Monitor, 2021).

Dalam konteks pembangunan di Indonesia, pengembangan perkebunan kelapa sawit dilakukan di kawasan pedesaan, daerah pelosok, daerah tertinggal bahkan daerah degraded land. Diawali dengan pembukaan akses jalan masuk, pembangunan korporasi perkebunan kelapa sawit, kemudian menarik masuknya investasi perkebun kelapa sawit rakyat dan berkembangnya usaha jasa yang melayani kebun-kebun sawit, yang pada akhirnya menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan berbasis perkebunan kelapa sawit (PASPI, 2014). Atas dasar ini kemudian disebut dengan Desa Sawit sebagai desa-desa yang komoditas utamanya kelapa sawit.

Tentu saja, tidak semua masyarakat di suatu kawasan pedesaan mengusahakan komoditas kelapa sawit (Desa Sawit). Sebagian masyarakat desa-desa juga ada memilih mengusahakan komoditi lain baik itu berbagai jenis tanaman pangan maupun tanaman perkebunan selain kelapa sawit (kemudian desa tersebut disebut dengan Desa Non-Sawit). Berkaitan dengan hal tersebut, menarik untuk membandingkan antara “Desa Sawit” dengan “Desa Non-Sawit”.

Percepatan pembangunan desa memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Terkait dengan perkembangan pembangunan desa, pemerintah memiliki indikator pembangunan desa yang tertuang dalam Peraturan Menteri PDTT No. 2/2016 tentang Indeks Desa Membangun (IDM). Dalam indeks tersebut, terdapat diantaranya 12 indikator ketahanan ekonomi desa di Indonesia.

Menarik untuk mendiskusikan apakah kontribusi signifikan industri sawit pada level makroekonomi seperti yang telah disebutkan diatas, apakah juga terjadi pada level mikro seperti ketahanan ekonomi desa? Apakah ketahanan ekonomi Desa Sawit lebih baik dibandingkan ketahanan ekonomi Desa Non-Sawit?

Tulisan ini mendiskusikan bagaimana perbandingan pertumbuhan ketahanan ekonomi Desa Sawit dengan Desa Non-Sawit. Data yang digunakan dalam studi ini adalah data Indeks Ketahanan Ekonomi dari 262 desa sawit dan 262 desa non sawit pada Top-8 provinsi sentra sawit di Indonesia pada tahun 2016 dan 2021. Untuk menguji apakah ketahanan ekonomi Desa Sawit berbeda signifikan dengan ketahanan ekonomi Desa Non-Sawit diuji dengan model Regresi Logistik Biner DID (Difference in Difference).

PEMBANGUNAN PEDESAAN “OIL PALM- DRIVEN

Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan bagian dari strategi pembangunan pedesaan (oil palmdriven rural development). Perkebunan kelapa sawit pada awalnya dibangun di daerah-daerah yang dapat dikategorikan sebagai degraded land yakni daerah yang terdegradasi secara sosial, ekonomi dan ekologi, terisolir, terbelakang, miskin, pinggiran, dan pelosok.

Dimulai dengan pilot project bantuan Bank Dunia yang kemudian dikenal dengan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sejak tahun 1980, implementasi pola PIR kemudian dikembangkan menjadi berbagai pola seperti PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Trans, dan PIR KPPA (PASPI, 2014).

Seiring dengan pertumbuhan perkebunan kelapa sawit pada degraded land tersebut secara evolusioner mengalami restorasi sosial, ekonomi dan ekologi yang dikemudian hari berkembang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Pembangunan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan kombinasi investasi pemerintah, swasta dan masyarakat yang difokuskan di daerah tertentu, mengadopsi teori Big-Push Strategy (PASPI, 2015).

Teori tersebut dikembangkan oleh ekonom Paul Rosenstein-Rodan pada tahun 1943, yang menyatakan bahwa pembangunan pedesaan akan berhasil secara signifikan jika dilakukan dengan dorongan besar (big push) yakni dengan investasi besar dan massal untuk ukuran perekonomian daerah.

Tumbuh-kembangnya perkebunan kelapa sawit menciptakan manfaat kemajuan baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi kepada masyarakat desa baik sebagai petani (plasma, swadaya) maupun pekerja pada perusahaan perkebunan kelapa sawit. Selain itu, perkebunan kelapa sawit juga menarik kegiatan sektor-sektor ekonomi terkait, yang menciptakan manfaat lebih luas dan dinikmat masyarakat di desa secara keseluruhan.

Peningkatan aktivitas ekonomi di pedesaan baik pada sektor perkebunan kelapa sawit maupun sektor non-perkebunan kelapa sawit berdampak pada peningkatan ekonomi daerah. Studi PASPI (2014) mengungkapkan bahwa selain perekonomiannya lebih besar, kabupaten sentra sawit di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten non-sentra sawit.

Studi Kasryno (2015) juga menunjukkan fenomena yang sama yakni beberapa provinsi sentra sawit di Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan dan Kalimantan (Barat, Tengah dan Timur) juga memiliki tingkat pertumbuhan PDRB yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi dengan luas perkebunan kelapa sawit yang relatif rendah seperti di Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan dan Sulawesi.

Selain PDRB, penurunan kemiskinan pada provinsi sentra sawit seperti Sumatera dan Kalimantan juga lebih cepat dibandingkan dengan provinsi non-sentra produksi sawit. Kontribusi dari perkebunan kelapa sawit dalam pengurangan kemiskinan daerah pedesaan maupun perkotaan juga telah banyak diungkap peneliti (Susila, 2004; Susila dan Munadi, 2008; World Growth, 2011; PASPI, 2014; Kasryno, 2015; Edwards, 2019). Studi tersebut menyebutkan bahwa pengentasan kemiskinan pedesaan pada sentra sawit relatif lebih cepat dibandingkan dengan non-sentra sawit.

Studi Budidarsono et al. (2013) dan Apresian et al. (2020) mengungkapkan ekspansi perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau sebagai provinsi sentara utama sawit Indonesia juga memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap kinerja perekonomian yang ditunjukkan oleh pertumbuhan PDRB yang relatif tinggi. Sementara hasil penelitian Syahza (2013) mengungkapkan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi ketimpangan ekonomi kota dan kabupaten.

Peningkatan pendapatan daerah juga meningkatkan penerimaan pemerintah berupa pajak yang berasal dari kegiatan perkebunan kelapa sawit (Sandker et al., 2007). Daerah yang memiliki perkebunan kelapa sawit meningkatkan ketersediaan fasilitas listrik, penggunaan bahan bakar untuk memasak yang modern, membangun pasar, klinik kesehatan, sekolah, tempat ibadah dan fasilitas publik lainnya yang mendukung aktivitas ekonomi di wilayah tersebut.

KETAHANAN EKONOMI “DESA SAWIT “VS “DESA NON-SAWIT”

Secara umum, UU 12/1992 melindungi kebebasan masyarakat pedesaan untuk memilih komoditas yang dibudidayakan. Selain faktor kesesuaian iklim/tanah, komoditas kelapa sawit dipilih masyarakat desa sebagai kegiatan ekonomi yang diusahakannya karena harganya lebih tinggi dan lebih profitable dibandingkan komoditas lain seperti karet dan beras sehingga berpotensi meningkatkan pendapatan petani sawit (Susila, 2004; Feintrenie et al., 2010; Rist et al., 2010; Adebo et al., 2015; Euler et al., 2016; Kubitza; et al., 2018).

Faktor lainnya yang mempengaruhi adopsi kelapa sawit selain karena tingginya harga sawit (TBS/CPO) adalah tingginya return terhadap lahan dan tenaga kerja pada budidaya kelapa sawit (Rist et al., 2010; Euler et al., 2016; Edwards, 2019). Adopsi kelapa sawit pada petani swadaya/mandiri juga disebabkan karena akses yang dekat dengan Pabrik Kelapa Sawit di lokasi sekitarnya (PASPI, 2014; Euler et al., 2016; Gatto et al., 2017).

Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia (PDTT) Nomor 2 Tahun 2016 tentang Indeks Desa Membangun, menetapkan 12 (dua belas) indikator Ketahanan Ekonomi Desa di Indonesia.

Keduabelas indikator yang dimaksud mencakup: (1) Jenis kegiatan ekonomi penduduk; (2) Akses penduduk ke pusat perdagangan (pertokoan, pasar permanen dan semi permanen); (3) Sektor perdagangan di permukiman (warung dan minimarket); (4) Usaha kedai makanan, restoran, hotel dan penginapan; (5) Kantor pos dan jasa logisti; (6) Lembaga perbankan umum (Pemerintah dan Swasta); (7) Bank Perkreditan Rakyat/BPR; (8) Akses penduduk ke kredit; (9) Lembaga ekonomi rakyat (koperasi); (10) Moda transportasi umum (Transportasi Angkutan Umum, trayek reguler dan jam operasi Angkutan Umum); (11) Jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor roda empat atau lebih (sepanjang tahun kecuali musim hujan, kecuali saat tertentu); dan (12) Kualitas Jalan Desa. Kedua belas indikator tersebut menjadi pembentuk Indeks Ketahanan Ekonimi (IKE) Desa di Indonesia.

Peningkatan kemajuan ekonomi pada Desa Sawit terjadi baik di tingkat nasional maupun setiap provinsi pada Top-8 sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Kemajuan ekonomi desa tersebut tercerminkan dari Indeks Ketahanan Ekonomi (IKE). Secara nasional, IKE Desa Sawit meningkat dari 0.41 pada tahun 2016 menjadi 0.58 pada tahun 2021 (Gambar 1).

desa sawit
Figure 1. Economic Resilience Index of Oil Palm Villages and Non-Oil Villages in the Indonesia’s Top-8 Palm Oil Centre

Provinsi sentra kelapa sawit yang memiliki tingkat kemajuan ekonomi di Desa Sawit terbesar pada tahun 2016 adalah Jambi (0.49) dan Riau (0.48). Provinsi Jambi masih konsisten sebagai provinsi sentra kelapa sawit dengan tingkat kemajuan ekonomi Desa Sawit tertinggi pada tahun 2021 dengan nilai sebesar 0.66. Sementara itu, provinsi sentra kelapa sawit dengan tingkat kemajuan ekonomi Desa Sawit kedua terbesar beralih dari Provinsi Riau ke Provinsi Kalimantan Timur dengan nilai sebesar 0.64.

Dilihat dari laju pertumbuhaannya, tingkat kemajuan ekonomi pada Desa Sawit level nasional mencapai 40.64 persen selama periode tahun 2016-2021. Laju peningkatan kemajuan ekonomi Desa Sawit di Kalimantan Barat merupakan yang terbesar mencapai 76.3 persen, dengan tingkat kemajuan ekonomi meningkat dari 0.34 menjadi 0.59. Sementara itu, Sumatera Utara menjadi provinsi dengan laju pertumbuhan kemajuan ekonomi terendah sebesar 18.95 persen, dengan peningkatan kemajuan ekonomi dari 0.44 menjadi 0.53 pada periode tersebut.

Jika dibandingkan rata-rata nilai kemajuan ekonomi antara Desa Sawit dan Desa Non-Sawit menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi Desa Sawit lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Non-Sawit periode tahun 2016-2021 (Gambar 2).

Figure 2. Economic Resilience Index of Oil Palm Villages and Non Oil Palm Villages in Aggregate
Gambar 2. Indeks Ketahanan Ekonomi (IKE) Desa Sawit dan Desa Non-Sawit Secara Agregat

Pada tahun 2016, tingkat kemajuan ekonomi pada Desa Sawit tahun 2016 sebesar 0.41, sedangkan tingkat kemajuan ekonomi Desa Non-Sawit sebesar 0.40. Tingkat kemajuan ekonomi kedua kelompok desa tersebut mengalami peningkatan pada tahun 2021 sehingga tingkat kemajuan ekonomi pada Desa Sawit menjadi 0.58, sedangkan tingkat kemajuan ekonomi pada Desa Non-Sawit menjadi sebesar 0.53.

Berdasarkan analisis data IKE di atas, dapat disimpulkan bahwa tingkat kemajuan ekonomi pada Desa Sawit lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Non-Sawit. Kehadiran perkebunan kelapa sawit beserta aktivitas yang terkait dengannya mampu menggerakkan kemajuan ekonomi pada desa yang bersangkutan.

Secara statistik, kemajuan ekonomi Desa Sawit lebih tinggi dan signifikan (P < 0.01) dibandingkan dengan Desa Non-Sawit. Hal ini berarti adopsi perkebunan kelapa sawit pada Desa Sawit mampu mencapai kemajuan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kemajuan ekonomi yang dicapai oleh Desa Non-Sawit

Hasil studi ini mengkonfirmasi hasil-hasil studi sebelumnya. Pengembangan perkebunan kelapa sawit di desa menciptakan multiplier effect sehingga mampu mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lainnya seperti sektor perdagangan, lembaga keuangan, serta jasa logistik dan pengangkutan (Rifin, 2011; PASPI, 2014; Syahza et al., 2021). Sektor-sektor ekonomi yang terbentuk di wilayah Desa Sawit tersebut merupakan dimensi (perdagangan, akses distribusi, akses kredit, lembaga ekonomi) yang menjadi komposit nilai IKE (Kemendesa PDTT, 2021).

Hasil studi ini juga searah dengan hasil studi terdahulu pada level desa (Budiharsono et al, 2013; Santika et al, 2019) yang menemukan bahwa desa dengan perkebunan kelapa sawit (Desa Sawit) menikmati peningkatan dalam aspek ekonomi dibandingkan dengan desa tanpa perkebunan kelapa sawit (Desa Non-Sawit). Manfaat ekonomi yang lebih besar dinikmati oleh masyarakat pada desa-desa yang memiliki perkebunan kelapa sawit dan berorientasi pasar (komersil).

Berbagai studi (PASPI, 2014, Euler et al., 2016; Qaim et al., 2020; Apresian et al., 2020; Chrisendo et al., 2021) menunjukkan bahwa pendapatan petani sawit lebih tinggi dibandingkan petani non-sawit atau komoditas lain. Studi PASPI (2014) menunjukkan perbandingan pendapatan petani sawit lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit. Secara rataan, pendapatan petani sawit bukan hanya lebih tinggi dari pendapatan petani non-sawit tetapi juga bertumbuh lebih cepat.

Proporsi peningkatan pendapatan yang diterima oleh petani sawit dari budidaya kelapa sawit akan terus naik seiring dengan umur tanaman kelapa sawit yang diusahakannya (Budidarsono et al., 2013). Petani di Riau menikmati peningkatan pendapatan sebesar 200-300 persen setelah 5 tahun melakukan budidaya kelapa sawit, kemudian pendapatannya terus meningkat menjadi 400-1,300 persen setelah 5-10 tahun budidaya kelapa sawit dan terus meningkat menjadi 2,200-25,000 persen setelah umur tanaman kelapa sawit menginjak usia lebih dari 10 tahun.

Selain pendapatan yang diterima lebih tinggi, petani sawit juga memperoleh pendapatan yang stabil karena diperoleh secara reguler setiap bulan dari penjualan Tandan Buah Segar (TBS) (Balde et al., 2019; Apreisan et al., 2020). Indikator lainnya yang membuktikan bahwa pendapatan petani sawit yang lebih tinggi dan sustainable ditunjukkan oleh kemampuan petani sawit untuk membayar hutang/pinjaman (hutang biaya produksi) lebih cepat dibandingkan waktu temponya (Susila, 2004; Feintrenie et al., 2009; Rist et al., 2010).

Peningkatan pendapatan petani sawit akan meningkatkan daya beli yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier (Syahza et al., 2013). Salah satu kebutuhan primer yang terpenuhi adalah produk pangan yang bernutrisi bagi petani dan anggota keluarganya. Peningkatan pendapatan petani sawit di salah satu desa di Riau mampu meningkatkan rumahtangga petani untuk memenuhi kebutuhan pangan dasar yakni dengan secara reguler mengkonsumsi nasi, dibandingkan pada kondisi sebelum membudidayakan kelapa sawit sehingga hanya mampu mengkonsumsi jagung dan singkong (Apreisan et al., 2020).

Tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan (primer), peningkatan pendapatan pada rumahtangga petani sawit tersebut juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekunder yang sifatnya durable goods (Syahza et al., 2013; Edwards, 2019) seperti rumah, kendaraaan (mobil/motor), televisi, alat komunikasi (handphone).

Peningkatan pendapatan juga tidak hanya dirasakan oleh petani sawit atau rumahtangga petani sawit tetapi juga turut dirasakan oleh rumahtangga non-petani sawit di desa perkebunan kelapa sawit melalui economic spillovers (PASPI, 2014, Gatto et al., 2017). Salah satu economic spillovers yang dihasilkan dari investasi perkebunan kelapa sawit dapat dinikmati oleh masyarakat desa (non-petani sawit) yang tidak secara langsung berpartisipasi dalam perkebunan kelapa sawit yakni melalui penciptaan kesempatan kerja (Dib et al., 2018) pada sektor ekonomi lainnya.

Selain sektor ekonomi yang dikembangkan berdasarkan inisiatif sendiri dari masyarakat desa, perusahaan perkebunan kelapa sawit melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) juga menginisiasi pengembangan aktivitas dan sektor ekonomi di luar budidaya kelapa sawit. Program CSR tersebut sebagai upaya untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat desa melalui pemberdayaan ekonomi lokal.

Program CSR perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dimaksud adalah pembinaan UKM yang bergerak di sektor perdagangan, transportasi (PASPI, 2014; Pambudi et al., 2018) serta budidaya pertanian non-kelapa sawit seperti tanaman pangan/padi dan hortikultura (Baihaqi et al., 2020), perikanan (Pasaribu, 2015) dan peternakan dengan melaksanakan integrasi sawit-sapi (Winarso dan Basuno, 2013).

Dengan berkembangnya sektor ekonomi di desa yang dihela oleh perkebunan kelapa sawit mampu menciptakan manfaat ekonomi berupa peningkatan pendapatan dan daya beli bagi masyarakat desa secara keseluruhan. Bahkan studi Dib et al. (2018) mengungkapkan bahwa kondisi tersebut mampu membantu mengurangi ketimpangan pendapatan diantara rumah tangga non-petani sawit yang termasuk dalam kelompok masyarakat miskin di pedesaan Jambi.

Sejalan dengan hal tersebut, penelitian Syahza (2013) juga mengungkapkan bahwa pembangunan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi ketimpangan pendapatan antar golongan masyarakat pedesaan. Perkebunan kelapa sawit juga tidak hanya berkontribusi pada peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi juga turut meningkatkan pendapatan desa dibandingkan dengan sebelum membudidayakan kelapa sawit atau saat masih bergantung dengan dengan tanamat karet atau kayu (Apreisan et al., 2020).

Studi Santika et al. (2019) juga menyebutkan bahwa pengembangan perkebunan kelapa sawit di desa sawit (dimana masyarakatnya sudah bergantung pada market-oriented) menikmati peningkatan dalam aspek finansial/ekonomi dan pemenuhan kebutuhan dasar dibandingkan dengan desa tanpa perkebunan kelapa sawit. Hal tersebut juga terkonfirmasi dari penelitian Edwards (2019) yang menemukan bahwa desa yang mengadopsi kelapa sawit memiliki kecendrungan kinerja finansial/ekonomi yang lebih baik.

Peluang untuk meningkatkan ketahanan ekonomi pada Desa Sawit maupun Desa Non-Sawit juga masih terbuka kedepan. Pencapaian Indeks Ketahanan ekonomi yang tahun 2021 masih bernilai 0.58 (Desa Sawit) dan 0.53 (Desa Non Sawit) yang masih jauh dari nilai maksimum (yakni 1.0). Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan Ketahanan Ekonomi masih terbuka baik pada Desa Sawit maupun Desa Non Sawit. Potensi kemajuan ekonomi Desa Sawit yang masih terbuka untuk ditingkatkan masih sekitar 42 persen, sedangkan pada Desa Non-Sawit lebih besar lagi yakni 47 persen. Perbaikan keduabelas indikator dari ketahanan ekonomi tersebut perlu dilakukan kedepan baik pada Desa Sawit maupun Desa Non-Sawit sehingga akan semakin mendekatkan ketahanan ekonomi desa pada ketahanan ekonomi pada tingkat yang ideal.

Kesimpulan

Pengembangan pedesaan dengan lokomotif perkebunan kelapa sawit (rural development oil palm-driven) telah membuat Desa Sawit mengalami kemajuan dari tahun ketahun. Bahkan adanya perkebunan kelapa sawit membuat Desa Sawit lebih maju secara ekonomi dibandingkan dengan Desa Non-Sawit.

Ketahanan ekonomi yang dicapai Desa Sawit telah mencapai 58 persen dari kondisi ideal Ketahanan Ekonomi yang ditargetkan Pemerintah (dalam hal ini adalah Kemendesa PDTT). Sedangkan Ketahanan Ekonomi yang terjadi pada Desa Non-Sawit baru mencapai 53 persen dari target tersebut. Potensi untuk meningkatkan kemajuan ketahanan ekonomi masih terbuka luas baik pada Desa Sawit (42 persen) maupun Desa Non-Sawit (47 persen). Oleh karena itu, peningkatan kualitas dan kuantitas dari keduabelas indikator Ketahanan Ekonomi desa yang telah ditargetkan pemerintah, perlu dilakukan kedepan.

Daftar Pustaka

  • Adebo GM, Ayodele OJ. Olowokere K. 2015. Palm Oil Production as a Poverty Alleviation Strategy among Small-Scale Farmers in Nigeria. World Journal of Agriculture Research. 3(2):43-48
  • Apresian SR, A Tyson, H Varkkey, SB Choiruzzad, R Indraswari. 2020. Palm Oil Development in Riau, Indonesia: Balancing Economic Growth and Environmental Protection. International Journal of Humanities and Social Sciences. 2(1): 1-29.
  • Baihaqi. 2019. Evaluasi Program Coorporate Social Resposibility (CSR) PT. Socfindo terhadap Kesejahteraan Masyarakat Nagan Raya. Jurnal Sosiologi USK. 13(1): 16-33.
  • Balde B, Diawara M, Rossignoli C, Gasparatos A. 2019. Smallholder-Based Oil Palm and Rubber Production in the Forest Region of Guinea: An Exploratory Analysis of Household Food Security Outcomes. Agriculture. 9(2):41.
  • Budidarsono S, Susanti A, Zoomers A. 2013. Oil Palm Plantations in Indonesia: The Implications for Migration, Settlement/Ressttlement and Local Economic Development. INTECH.
  • Chrisendo D, Siregar H Qaim M. 2021. Oil Palm and Structural Transformation of Agriculture in Indonesia. Agricultural Economics. 1-14.
  • Dib JB, Alamsyah Z, Qaim M. 2018. Land-Use Change and Income Inequality in Rural Indonesia. Forest Policy and Economy. 94:55–66.
  • Edward R. 2019. Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesia Palm Oil. Darthmouth College. Hannover.
  • Euler M, Schwarze S, Siregar H, Qaim M. 2016. Oil Palm Expansion Among Smallholder Farmers in Sumatera, Indonesia. Journal Agriultural Economics. (67): 658-76.
  • Feintrenie L, Chong WK, Levang P. 2010. Why Do Farmers Prefer Oil Palm? Lessons Learnt from Bungo District, Indonesia. Small-Scale Forestry. 9: 379–396.
  • Gatto M, Wollni M, Asnawi R, Qaim M. Oil Palm Boom, Contract Farming, and Rural Economic Development: Village-Level Evidence from Indonesia. World Development.
  • Harry I, T Pambudi, Suwarto, S Yahya. 2016. Pengaturan Jumlah Pelepah untuk Kapasitas Produksi Optimum Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jaqc). Buletin Agrohorti. 4(1): 46-55.
  • Kasryno F. 2015. The Economic Impacts of Palm Oil in Indonesia. The High Carbon Stock Study 2015.
  • Kubitza C, Krishna VV, Alamsyah Z, Qaim M. 2018. The Economics Behind an Ecological Crisis: Livelihood Effects of Oil Palm Expansion in Sumatra, Indonesia. Human Ecology. 46:107–16.
  • Pasaribu AR. 2015. Pengaruh Pelaksanaan Program Coorporate Social Resposibility (CSR) Perusahaan Pabrik Kelapa Sawit Terhadap Pengembangan Wilayah di Kabupaten Labuhanbatu Selatan. Seminar Nasional Konservasi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam: 26-34.
  • PASPI Monitor. 2021. Contribution of Palm Oil Foreign Exchange in Indonesia’s Trade Balance. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(15): 363-367.
  • PASPI. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry: Its Role in Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Bogor.
  • Qaim M, Sibhatu KT, Siregar H, Grass I. 2020. Environmental, Economic, and Social Consequences of the Oil Palm Boom. Annual Review of Resource Economics. 12: 321-344
  • Riffin A. 2012. The Contribution of Palm Oil Industry to Indonesia Economy. Input-Output Analysis. 20(1): 72-83.
  • Rist L, Feintrenie L, Levang P. 2010. The Livelihood Impacts of Oil Palm: Smallholders in Indonesia. Biodiversity and Conservation. 19:1009–1024.
  • Sandker M, Suwarno A, Campbel BM. 2007. Will Forests Remain in the Face of Oil Palm Expansion? Simulating Change in Malimau Indonesia. Ecology and Society. 12(2): 37-50.
  • Santika T, Wilson KA, Budiharta S, Law EA, Poh TM. 2019. Does Oil Palm Agriculture Help Alleviate Poverty? A Multidimensional Counterfactual Assessment of Oil Palm Development in Indonesia. World Development. 120:105–117.
  • Sipayung T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor: IPB Press.
  • Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Bogor: IPB Press.
  • Susila WR, E Munadi 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika Pertanian. 17(2): 1173-1194.
  • Susila WR. 2004. Contribution of Oil Palm Industry to Economic Growth and Poverty Alleviation in Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 23(3):107–114
  • Susila, W.R. and IDM. Darma Setiawan. 2007. The Role of Estate Crop-Based Industries on Economic Growth and Equity: Social Accounting Matrix Approach. Jurnal Agro Ekonomi. 25(2):125–14
  • Syahza A. 2013. Strategi Pengembangan Daerah Tertinggal dalam Upaya Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan. Jurnal Ekonomi Pembangunan. 14(1): 126-139.
  • Varkkey H. 2012. The Growth and Prospect for the Oil Palm Plantation Industry in Indonesia. Oil Palm Industry Economic Jurnal. 12(2): 1-13.
  • Winarso, Basuno E. 2013. Pengembangan Pola Integrasi Tanaman – Ternak Merupakan Bagian Upaya Mendukung Usaha Pembibitan Sapi Dalam Negeri. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 31(2): 151-169.
  • World Growth. 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. Melbourne

FAQ (Frequently Asked Questions)

Apa yang dimaksud dengan pembangunan pedesaan “oil palm-driven”?

Pembangunan perkebunan kelapa sawit di Indonesia merupakan bagian dari strategi pembangunan pedesaan yang difokuskan di daerah-daerah yang terdegradasi secara sosial, ekonomi, dan ekologi. Ini diawali dengan pilot project bantuan Bank Dunia yang kemudian dikenal dengan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR).

Bagaimana perkebunan kelapa sawit dikembangkan di daerah yang terdegradasi?

Bagaimana perkebunan kelapa sawit menciptakan manfaat kemajuan?

Apa dampak peningkatan aktivitas ekonomi di pedesaan pada perekonomian daerah?

Apa yang menyebabkan masyarakat desa memilih untuk budidaya kelapa sawit?

Bagaimana cara pemerintah mengukur ketahanan ekonomi desa di Indonesia?

Bagaimana perkembangan Indeks Ketahanan Ekonomi (IKE) Desa Sawit di tingkat nasional?

Apakah perkembangan ekonomi Desa Sawit hanya terjadi di tingkat nasional saja atau juga terjadi di setiap provinsi?

Perkembangan ekonomi Desa Sawit terjadi baik di tingkat nasional maupun setiap provinsi pada Top-8 sentra perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Journal Download