Resume
Perkebunan sawit di Indonesia telah berkomitmen untuk memberikan perlindungan terhadap pekerja. Hal tersebut |ditunjukkan dari diimplementasikannya berbagai kebijakan perlindungan pekerja dari mulai level nasional (seperti perundang-undangan maupun peraturan turunannya), sektoral (ISPO, RAN-KSB) maupun level perusahaan. Upaya perlindungan tenaga kerja tersebut juga dibuktikan dari berbagai studi yang mengungkapkan bahwa tingkat kepuasan pekerja perkebunan sawit di Indonesia tergolong relatif tinggi. Tingkat kepuasan kerja yang relatif tinggi tersebut setidaknya meyakinkan bahwa secara umum (kasuastis bisa saja masih terjadi) tidak terjadi eksploitasi pekerja pada perkebunan sawit.
Daftar Isi
Pendahuluan
Masalah ketenagakerjaan merupakan isu global yang terjadi di berbagai sektor dan di berbagai negara sepanjang masa. Membangun lingkungan yang nyaman untuk bekerja (decent work) dan meningkatkan kesejahteraan pekerja menjadi bagian penting dari pembangunan di setiap negara.
Pada sektor perkebunan, stigma terjadinya eksploitasi pekerja lahir dari era kolonial Eropa dan Jepang di Indonesia. Pada era kolonial, pekerja di perkebunan hanya dipandang sebagai kuli, buruh, komoditas atau faktor produksi yang diperlakukan sewenang-wenang oleh penjajah.
Setelah Indonesia merdeka, sektor perkebunan sawit sebagai salah satu sektor pembangunan nasional juga menjadi bagian dari upaya global untuk menciptakan decent work sekaligus menyejahterakan pekerja yang terlibat di dalamnya. Tentu saja warisan kolonial dalam bentuk eksploitasi pekerja perkebunan masih terasa, namun secara evolusioner makin berkurang bahkan dilarang, khususnya setelah era reformasi tahun 2000. Oleh karena itu, isu pekerja seperti upah, masalah gender, kebebasan berserikat, isu pekerja anak, dan lain-lain mungkin saja masih terjadi secara kasustis dan sering menjadi sorotan masyarakat.
Artikel ini akan mendiskusikan terkait kebijakan perlindungan pekerja di Indonesia, termasuk pada sektor perkebunan sawit. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai berbagai hasil evaluasi tentang pelaksanaan pekerja pada sektor perkebunan sawit.
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PEKERJA
Perlindungan pekerja secara internasional telah menjadi komitmen setiap bangsa. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan didirikanya International Labour Organization (ILO) yang merupakan suatu lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 1919. Selanjutnya pada tahun 1944, organisasi dunia tersebut menyepakati apa yang disebut sebagai Deklarasi Philadelphia yang menyatakan bahwa pekerja bukanlah komoditas dan pekerjaan adalah bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak ekonomi. Deklarasi tersebut sekaligus menandai era baru pemutusan eksploitasi pekerja secara internasional yang sebelumnya menjadi bagian praktik kolonial.
Setelah merdeka, Indonesia juga meratifikasi Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 dan Konvensi ILO No. 98 Tahun 1956. Dua konvensi tersebut meneguhkan hak pekerja untuk berserikat atau berorganisasi yang diharapkan mampu memperjuangkan kepentingannya. Di Indonesia, kebebasan berserikat diakui dan dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) yakni “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Frasa “setiap orang” dalam ayat tersebut bermakna seluruh orang di Indonesia, termasuk pekerja atau buruh di sektor ekonomi (termasuk sektor perkebunan sawit) yang memiliki hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh konstitusi.
Pada level undang-undang, perlindungan pekerja dan kesejahteraan pekerja diatur dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, UU No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dan beserta peraturan perundang-undangan turunannya. Beberapa peraturan pelaksanaanya yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja; PP No. 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP No. 34 Tahun 2001 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 16 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pencatatan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Sementara itu secara khusus pada sektor perkebunan sawit di Indonesia (PASPI, 2023), perlindungan ketenagakerjaan telah diatur dalam UU No. 18 Tahun 2004 jo UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Selain itu, terdapat juga pengaturan dan perlindungan hak-hak pekerja pada sektor perkebunan sawit sebagai bagian dari sistem sertifikasi ISPO. Peraturan Menteri Pertanian No. 19 Tahun 2011 jo Peraturan Menteri Pertanian No. 11 Tahun 2015 jo Peraturan Menteri Pertanian No. 38 tahun 2020 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO), kemudian diatur lebih luas pada Peraturan Presiden No. 44 tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (ISPO).
Dengan demikian, pandangan yang mengatakan bahwa di Indonesia termasuk pada perkebunan sawit tidak memiliki kebijakan perlindungan pekerja, jelas tuduhan yang tidak benar. Kebijakan yang terkait dengan perlindungan dan kesejahteraan pekerja di Indonesia telah diatur pada level undang-undang serta pelaksanaanya baik level nasional maupun sektoral. Dengan kebijakan tersebut, perusahaan perkebunan sawit wajib melaksanakan prinsip-prinsip perlindungan dan jaminan pemenuhan hak-hak pekerja seperti kesehatan, keselamatan kerja, keamanan, dan hak lainnya. Perusahaan perkebunan sawit dengan sertifikasi ISPO wajib melaksanakan praktik penggunaan tenaga kerja yang baik.
Komitmen perlindungan tenaga kerja sektor perkebunan sawit juga tidak hanya berasal dari pemerintah, misalnya asosiasi persawitan seperti Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah berkolaborasi dengan ILO untuk membangun dan mempromosikan sistem praktik kerja yang layak di sektor perkebunan sawit.
ISU EKSPLOITASI PEKERJA
Beberapa isu pekerja kebun sawit yang sering mendapat sorotan dari publik menarik untuk didiskusikan berikut ini. Pertama, perkebunan sawit mempekerjakan pekerja anak. Dalam beberapa tahun terakhir, jejaring NGO semakin intensif mempublikasikan dan menuduh perkebunan sawit mempekerjakan anak-anak (di bawah usia 18 tahun). Tuduhan tersebut didasarkan dari foto anak-anak yang sedang berada di kebun sawit.
Tuduhan dengan foto tersebut bukan hanya tidak masuk akal (PASPI, 2023), tetapi bisa juga mengeksploitasi anak-anak demi pembenaran tujuan NGO itu sendiri. Tuduhan NGO tersebut sungguh melecehkan anak-anak di Indonesia dan tentunya termasuk orang tuanya.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia dengan tegas melarang mempekerjakan pekerja anak. Definisi pekerja yang dianut di Indonesia sebagaimana yang didefinisikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yakni penduduk yang berusia 15 tahun atau lebih. Bahkan pada kenyataannya di perusahaan-perusahaan perkebunan sawit hanya menerima pekerja yang telah memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sementara regulasi di Indonesia hanya mewajibkan penduduk Indonesia yang telah berusia 17 tahun yang memiliki KTP. Selain secara kebijakan, secara teknis juga pekerjaan di perkebunan sawit hampir tidak memungkinkan untuk dilakukan oleh anak-anak.
Kehadiran anak-anak pada suatu tempat belum tentu menunjukkan keterlibatannya pada kegiatan di tempat yang bersangkutan. Jika ditemukan anak-anak di Mall dan kita tuduh langsung anak-anak tersebut berdagang di Mall, tuduhan tersebut tentu sangat keliru karena ternyata anak-anak tersebut sedang dibawa orang tuanya untuk belanja atau jalan- jalan di Mall. Demikian juga di kebun sawit, kehadiran anak-anak di kebun sawit bukan berarti anak-anak tersebut menjadi pekerja di kebun sawit.
Di kawasan pedesaan, hubungan antara anggota keluarga termasuk anak-anak demikian kuatnya. Bagi yang berasal dari desa, dengan mudah memahami hal ini. Keikutsertaan anak-anak di sawah atau ladang bersama dengan orang tuanya merupakan bagian dari sosialisasi anak-anak dan mekanisme perlindungan dan pendidikan sebagai tanggung jawab orangtua terhadap anak-anaknya. Sekalipun anak-anak petani kita jumpai ikut memegang cangkul, itu hanyalah mekanisme pendidikan dan kegembiraan keluarga untuk mengerti tanggung jawab dalam keluarga.
Berbagai pekerjaan di perkebunan sawit seperti menyiangi, memanen, menyemprot, mengangkat TBS merupakan pekerjaan yang memerlukan pelatihan dan kekuatan fisik yang semuanya di luar jangkauan anak-anak. Untuk pekerjaan pemanenan TBS misalnya dengan berat TBS per tandan sekitar 25-50 kilogram per TBS dengan permukaan buah yang berduri, tidak memungkinkan pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak.
Isu pekerja anak telah menjadi concern bagi perusahaan perkebunan sawit di Indonesia. Asosiasi pelaku sawit berkolaborasi dengan ILO, JARAK, PAACLA Indonesia, PKPA dan organisasi pegiat tenaga kerja/gender dan lainnya menyusun “Panduan Praktis dan Praktik Baik Sawit Indonesia Ramah Anak”. Kerjasama dengan pegiat perlindungan anak tidak hanya menciptakan ekosistem sawit ramah anak, tetapi juga mendorong agar perusahaan perkebunan sawit menyediakan fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar anak seperti fasilitas pengasuhan anak (balita) di tempat kerja, fasilitas kesehatan untuk anak, serta fasilitas pendidikan formal dan non-formal.
Uraian di atas menunjukkan bahwa mulai dari kebijakan nasional, sektoral maupun industri hingga SOP di level perusahaan perkebunan sawit, tidak memberikan ruang bagi penggunaan pekerja/tenaga kerja anak. Sebaliknya perusahaan perkebunan sawit harus membangun fasilitas bagi perlindungan dan pemenuhan kebutuhan dasar anak agar tumbuh berkembang sehingga suatu saat menjadi generasi penerus pelaku usaha perkebunan.
Kedua, isu perkebunan sawit tidak ramah gender. Isu kesetaraan gender menjadi isu yang mengemuka secara internasional. Ketenagakerjaan pada perkebunan sawit saat ini juga menjadi topik pembahasan global berkaitan dengan isu kesetaraan gender (gender equity). Oleh karena itulah PBB memasukkan kesetaraan gender sebagai salah satu tujuan (SDG-5) dalam Sustainable Development Goals (SDGs). Dengan harapan seluruh negara di dunia, industri, perusahaan, termasuk sektor perkebunan sawit harus berkontribusi dalam mewujudkan kesetaraan gender (PASPI, 2023).
Tenaga kerja pada sektor perkebunan sawit (petani dan karyawan perusahaan) melibatkan gender laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja antara pekerja perempuan atau laki-laki sesuai dengan core competency-nya dan tingkat risiko pekerjaan. Hal ini menunjukkan bahwa telah dilakukan upaya perlindungan tenaga kerja itu sendiri. Pekerjaan budidaya di perkebunan sawit membutuhkan kekuatan fisik dengan level tertentu dan berada di dalam “hutan” kebun, yang dinilai terlalu berat untuk perempuan, membuat pekerjaan tersebut lebih didominasi oleh pekerja laki-laki (Villamor et al., 2015; Mehraban et al., 2022). Gender stereotype tersebut yang memicu isu kesetaraan gender pada perempuan di sektor perkebunan sawit. Sementara, untuk pekerjaan yang berisiko rendah seperti perkantoran perkebunan sawit, makin didominasi perempuan.
Dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur ketenagakerjaan di Indonesia dari segi ideologi hingga kebijakan telah menganut perlindungan dan kesetaraan gender. Komitmen stakeholder sawit dalam mewujudkan kesetaraan gender pada perkebunan sawit tertuang dalam sistem sertifikasi ISPO (Perpres No. 44 Tahun 2020 dan Permentan No. 38 Tahun 2020) serta Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan (Inpres No. 6 Tahun 2019). Dalam regulasi tersebut telah memasukkan prinsip non-diskriminasi gender (berbasis jenis kelamin) dan responsif gender.
Perwujudan kesetaraan gender juga telah menjadi komitmen bersama antara asosiasi pelaku sawit dengan Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, dan NGO pegiat ketenagakerjaan/gender. Komitmen tersebut tertuang dalam panduan teknis perlindungan hak pekerja perempuan di perkebunan sawit dalam Rencana Aksi Nasional Kelapa Sawit Berkelanjutan. Panduan teknis tersebut kemudian diturunkan menjadi regulasi perlindungan hak pekerja perempuan di level perusahaan.
Secara umum, terdapat dua komponen penting yang tertuang dalam regulasi perusahaan dalam meningkatkan kesetaraan dan perlindungan gender pada pekerja perempuan di perkebunan sawit (GAPKI, 2021) yakni:
(1) kesetaraan gender dalam kesempatan kerja dan perlindungan dari diskriminasi gender. Hal ini ditunjukkan dari keterwakilan pekerja perempuan di seluruh lini perusahaan baik di level kebun maupun kantor administrasi (back office). Pekerja perempuan di bagian operasional kebun bertugas sebagai tenaga kerja penyemprotan, pemupukan, perawatan, pembibitan dan pemungut brondol. Pekerja perempuan juga menempati posisi strategis di kantor administrasi sebagai auditor internal, unit K3, komisi persetujuan, bagian keanggotaan, sekretaris, dan bendahara. Perusahaan juga mendorong pekerja perempuan untuk melamar pada posisi pemimpin/top-management di perusahaan perkebunan sawit tersebut serta mendorong transparansi dalam rekrutmen pekerja, dan
(2) perlindungan terhadap hak pekerja perempuan. Regulasi perusahaan harus melindungi hak dasar perempuan (seperti cuti hamil, cuti melahirkan, cuti keguguran, cuti haid, kesempatan menyusui) dan hak pekerja perempuan (kesempatan mendapatkan upah, istirahat, pelatihan kompetensi, promosi dan jaminan yang sama). Perusahaan juga harus menyediakan fasilitas untuk memenuhi kebutuhan dan melindungi hak-hak pekerja perempuan, misal dengan menyediakan ruang laktasi, fasilitas penitipan anak, fasilitas klinik dan pemeriksaan kesehatan rutin, fasilitas sarana sanitasi yang bersih, ruang istirahat layak, penyediaan Alat Pelindung Diri (APD), dan peralatan kerja (termasuk otomasi) yang aman hingga substitusi pekerjaan alternatif untuk perempuan hamil dan menyusui.
Bentuk komitmen perusahaan perkebunan sawit dalam perlindungan pekerja perempuan ditunjukkan dengan dibentuknya Komite Gender. Komite Gender merupakan wadah pekerja perempuan bersuara memberikan masukan kepada manajemen perusahaan untuk mewujudkan kesetaraan, keadilan, perlindungan, dan pemberdayaan perempuan. Selain itu, Komite Gender juga memberikan perlindungan pekerja perempuan dari pelecehan seksual dan kekerasan.
Ketiga, isu perusahaan perkebunan sawit batasi hak karyawan berserikat. Pembatasan atas kebebasan berserikat pada pekerja menjadi salah satu isu sosial yang dituduhkan pada perkebunan sawit. Narasi negatif terkait isu tersebut disebarluaskan oleh pegiat ketenagakerjaan yakni perusahaan melakukan pelarangan berserikat dan mengintimidasi karyawan yang ikut dalam serikat buruh. Apakah tuduhan tersebut benar?
Pada era globalisasi dan digitalisasi seperti saat ini, dimana media sosial sangat berkembang secara intensif, kebebasan berserikat, kebebasan berorganisasi, serta kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi pekerja tidak dapat mungkin lagi untuk dibatas-batasi lagi. Komunikasi antar pekerja tidak lagi sebatas lingkup perusahaan yang bersangkutan, tetapi sudah lintas perusahaan bahkan lintas negara.
Pada level perusahaan sebagai bagian dari Good Corporate Governance, perusahaan perkebunan sawit di Indonesia juga berkomitmen untuk mengakui, menjamin, dan melindungi hak kebebasan berserikat yang dimiliki oleh pekerja (PASPI, 2023). Implementasi komitmen tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya serikat pekerja perkebunan sawit baik pada level perusahaan maupun federasi serikat pekerja seperti Federasi Serikat Pekerja Perkebunan Nusantara (FSPBUN) dan Jejaring Serikat Pekerja/Serikat Buruh Sawit Indonesia (JAPBUSI). Selain itu, tumbuh berkembangnya asosiasi pelaku sawit seperti Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Sawit Masa Depan (SAMADE), Asosiasi Petani Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR), Serikat Petani Sawit Indonesia (SPSI), Kelompok Petani (POKTAN), Gabungan Kelompok Petani (GAPOKTAN), Koperasi Petani Sawit, Koperasi Karyawan Perkebunan, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya asosiasi/kelompok tersebut menunjukkan ekspresi kebebasan berorganisasi atau berserikat.
Perlindungan kebebasan berserikat pada pekerja perkebunan sawit juga tercermin dari salah satu prinsip ISPO yakni Tanggung Jawab Ketenagakerjaan. Dalam prinsip ISPO tersebut, perusahaan diharuskan untuk memfasilitasi pembentukan serikat pekerja. Diharapkan serikat pekerja perkebunan sawit tersebut menjadi bagian stakeholder untuk menciptakan ekosistem kerja yang harmonis dan berperan sebagai bagian perlindungan hak-hak karyawan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa mulai pada level ideologi, kebijakan hingga SOP perusahaan, kebebasan berserikat pada pekerja perkebunan sawit telah menjadi bagian dari tata kelola perusahaan perkebunan sawit. Organisasi pekerja merupakan mitra penting dari manajemen dalam pengelolaan perusahaan. Tentu saja kualitas dan intensitas organisasi pekerja perkebunan berbeda-beda antar perusahaan.
KEPUASAN KERJA
Efektifitas dari pelaksanaan perlindungan pekerja mulai dari level nasional, sektoral, hingga level perusahaan, pada akhirnya akan tercermin dari apa yang dialami pekerja itu sendiri. Tingkat kepuasan kerja yang dialami pekerja merupakan indikator penting apakah kebijakan perlindungan pekerja dilaksanakan atau tidak.
Berbagai studi empiris yang dilakukan para peneliti di berbagai daerah sentra sawit menunjukkan bahwa karyawan perusahaan perkebunan sawit di Riau (Rahman dan Hidayat, 2014; Mansukra et al., 2017), Sumatera Utara (Sari, 2020; Sudarma, 2021), Aceh (Mahyuddin dan Setiadi, 2020), Jambi (Hidayat et al., 2019), dan Banten (Lestari, 2008) memiliki tingkat kepuasaan kerja yang tinggi. Variabel yang diukur antara lain terkait dengan sistem pengupahan yang telah sesuai dengan standar dan workload, serta pemberian tunjangan, bonus, jaminan kesehatan, jaminan keselamatan dan keamanan kerja oleh perusahaan.
Hal yang serupa juga terjadi pada karyawan perkebunan sawit di Johor Malaysia (Bahruni, 2015). Tentu tingkat kepuasan kerja karyawan yang tinggi tidak mungkin terwujud, jika masih terjadi eksploitasi pekerja yang masif.
Komitmen perusahaan perkebunan sawit dalam memenuhi dan melindungi hak-hak pekerja perempuan, salah satunya dapat diukur dengan tingkat kepuasan kerja pekerja perempuan. Selain kompensasi dan insentif ekonomi (Bahruni, 2015; Kamaruddin et al., 2016; Hee et al., 2019), pekerja perempuan juga merasakan terpenuhinya kebutuhan dan perlindungan hak dasar perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, dan hak lainnya), tidak adanya diskriminasi, serta pemberian fasilitas layanan kesehatan dan keselamatan, hal-hal tersebut yang membuat pekerja perempuan memiliki tingkat kepuasan yang tinggi bekerja di perusahaan perkebunan sawit.
Pekerja perempuan pada perkebunan sawit bukan hanya memiliki tingkat kepuasan yang relatif tinggi tetapi juga memiliki kepuasan kerja yang relatif tinggi dibandingkan dengan pekerja laki-laki (Rahman dan Hidayat, 2014; Siahaan, 2022). Tingkat kepuasan kerja pada pekerja perempuan yang relatif tinggi tersebut tidak mungkin terwujud, jika terjadi diskriminasi gender dan pelanggaran hak-hak perempuan.
Uraian di atas menunjukkan bahwa dari segi ideologi, kebijakan hingga SOP perusahaan, industri sawit yang ramah gender sedang dibangun (on the right track) dan menjadi bagian dari sustainability industri sawit. Bahwa kondisi decent work dan kesejahteraan pekerja yang ada belumlah cukup sehingga perlu ditingkatkan ke depan.
Mungkin saja ditemukan kasus-kasus pelanggaran terhadap perlindungan pekerja baik itu eksploitasi, pekerja anak-anak, kesetaraan gender dan lain lain di perusahaan perkebunan sawit tertentu. Hal tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap kebijakan/peraturan perundang-undangan yang berlaku maupun komitmen stakeholder sehingga perlu segera diperbaiki ke depan.
Kesimpulan
Perkebunan sawit di Indonesia telah memiliki kebijakan perlindungan pekerja baik pada level nasional, sektoral maupun level perusahaan. Kebijakan perlindungan pekerja tersebut sangat melarang eksploitasi pekerja baik berupa pembatasan berserikat, pekerja anak-anak, diskriminasi gender. Sehingga jika masih terjadi kasuastis praktik pembatasan berserikat, penggunaan pekerja anak-anak, diskriminasi gender, dan lain-lain merupakan pelanggaran terhadap kebijakan perlindungan pekerja perkebunan.
Berbagai studi mengungkapkan bahwa tingkat kepuasan pekerja perkebunan sawit di Indonesia tergolong relatif tinggi. Bahkan tingkat kepuasan kerja pekerja perempuan secara relatif lebih tinggi dari tingkat kepuasan pekerja laki-laki. Tingkat kepuasan kerja yang relatif tinggi tersebut setidaknya meyakinkan bahwa secara umum (kasuastis bisa saja masih terjadi) tidak terjadi eksploitasi pekerja pada perkebunan sawit.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka (Link)
- Bahruni MA. 2015. An Analysis of Job Satisfaction towards Oil Palm Plantation Workers. [Skripsi]. Selangor (MY): University Teknologi Mara.
- [GAPKI] Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2021. Panduan Praktis Perlindungan Hak-Hak Pekerja Perempuan di Perkebunan Sawit.
- Hee OC, Yi HS, Ping LL, Kowang TO, Fei GC. 2019. Factors Influencing Job Satisfaction in the Palm Oil Industry in Malaysia. International Journal of Academic Research in Business & Social Sciences. 9(2): 516-527.
- Hidayat F, Fikriman, Asnawati. 2019. Analisis Kepuasan Kerja Karyawan pada PT. Megasawindo Perkasa II Kabupaten Tebo. Economos. 2(3): 87-102.
- Kamaruddin R, Amizi M, Abdullah N, Ali J, Ahmad SA. 2016. Job Satisfaction Among Malaysian Youth Working in the Oil Palm Plantation Sector: Analysis of Attraction and Repulsion Factors.
- Lestari AI. 2008. Analisis Kepuasan Kerja Karyawan PTPN VIII Perkebunan Cisalak Baru Kabupaten Lebak. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB.
- Mahyuddin TM, Setiadi. 2020. Analisis Pengaruh Sistem Pengupahan terhadap Tingkat Kepuasan Kerja Buruh Panen Kelapa Sawit PTPN 1 Kebun Lama Langsa. Jurnal Samudra Ekonomika. 4(1): 21-30.
- Mansukra AM Eliza, Tarumun S. 2017. Analisis Kepuasan Kerja Karyawan pada PTPN V Kebun Sei Rokan Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Agribisnis. 19(1): 1-12.
- Mehraban N, Debela BL, Kalsum U, Qaim M. 2022. What About Her? Oil Palm Cultivation and Intra-Household Gender Roles. Food Policy. 110: 102276.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
- Rahman A, Hidayat. 2014. Kepuasan Kerja Karyawan Perusahaan Pabrik Kelapa Sawit. Jurnal Ilmiah Cano Ekonomos. 3(1): 1-14.
- Sari N. 2020. Analisis Tingkat Kepuasan Kerja Karyawan Panen terhadap Sistem Pengupahan dan Jaminan yang Diterima di PTPN III Kebun Bandar Selamat Kabupaten Asahan. [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Medan Area.
- Siahaan VY. 2022. Komunikasi Gender dan Kepuasan Kerja Pekerja Perempuan Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Lampung Tengah dan Lampung Selatan. [Tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB.
- Sudarma. 2021. Analisis Tingkat Kepuasaan Karyawan Perkebunan terhadap Upah dan Jaminan di PT. Ukindo Blankahan Estate. [Skripsi]. Medan (ID): Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
- Villamor GB, Akiefnawati R, Van Noordwijk M, Desrianti F, Pradhnan U. 2015. Land Use Change and Shifts in Gender Roles in Central Sumatra Indonesia. International Forestry Review. 17(4): 61-75.