Back to Top
Rating & Comment

GULA MERAH SAWIT UNTUK SWASEMBADA GULA BERKELANJUTAN

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF
PASPI. Artikel Diseminasi & Policy Brief . (2024). GULA MERAH SAWIT UNTUK SWASEMBADA GULA BERKELANJUTAN (Issue Brief no. 28). https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/gula-merah-sawit-indonesia/

Indonesia menghadapi peningkatan ketergantungan pada gula impor akibat produksi domestik yang tidak mampu memenuhi konsumsi nasional yang terus tumbuh. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah mendorong swasembada gula dengan memanfaatkan gula merah sawit sebagai alternatif gula tebu. Gula merah sawit diproduksi dari nira batang sawit yang ditebang saat replanting, menawarkan keunggulan seperti ketersediaan berkelanjutan, biaya rendah, dampak lingkungan minimal, dan lebih sehat karena berbasis fruktosa.

Dengan potensi produksi 3,7 juta ton per tahun dari 4% replanting tahunan perkebunan sawit, gula merah sawit dapat mempercepat pencapaian swasembada gula yang lebih hijau dan kompetitif. Diperlukan kebijakan yang mendukung dari hulu ke hilir untuk mengembangkan industri gula merah sawit secara komersial, termasuk insentif produksi dan pengenaan tarif impor gula yang progresif.

Pemerintahan Presiden Prabowo telah menargetkan pencapaian swasembada pangan. Salah satu bahan pangan yang memperoleh perhatian serius untuk dicapai tingkat swasembada-nya adalah gula. Hal ini dikarenakan gula merupakan komoditas yang ketergantungan pada impor (Import Dependency Ratio, IDR) yang cukup besar dan cenderung meningkat. Menurut data Kementerian Pertanian (2024), IDR gula Indonesia meningkat dari tahun ke tahun yang menunjukkan tingkat ketergantungan Indonesia pada gula impor semakin meningkat dari tahun ke tahun.

Meningkatnya ketergantungan Indonesia pada gula impor tersebut disebabkan oleh kemampuan produksi gula domestik yang belum mampu mengimbangi besarnya dan laju pertumbuhan konsumsi domestik. Laju produksi gula domestik yang makin tertinggal jauh dari laju konsumsi gula domestik, telah menyebabkan tingkat ketergantungan Indonesia pada gula impor semakin meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, untuk mencapai swasembada gula domestik, maka perlu upaya akselerasi produksi gula domestik.

Sumber produksi gula domestik selama ini hanya mengandalkan dari perkebunan tebu domestik. Alternatif sumber produksi gula domestik yang potensial yang selama ini kurang dimanfaatkan adalah dari perkebunan sawit yang juga dapat menghasilkan gula merah sawit. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendiskusikan terkait potensi gula merah sawit sebagai alternatif sekaligus substitusi gula impor dalam rangka mencapai swasembada gula di Indonesia.


Ketergantungan Gula Impor

Gula merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia. Selain untuk konsumsi rumah tangga, gula juga dimanfaatkan sebagai salah satu bahan baku/bahan penolong industri pangan dan minuman di Indonesia. Seiring dengan pertumbuhan jumlah, komposisi dan distribusi penduduk, serta pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi gula di Indonesia.

Seiring dengan meningkatnya jumlah populasi penduduk dan perekonomian Indonesia, konsumsi gula juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, konsumsi domestik gula di Indonesia masih sekitar 3.3 juta ton kemudian meningkat pada tahun 2023 menjadi 7.9 juta ton. Sedangkan kemampuan produksi gula tebu domestik hanya naik dari 1.69 juta ton menjadi 2.6 juta ton pada periode yang sama. Artinya produksi gula domestik tersebut belum mampu memenuhi konsumsi gula domestik dengan defisit yang makin meningkat yakni dari hanya 1.7 juta ton tahun 2000 meningkat menjadi defisit 4.3 juta ton tahun 2023 (Gambar 1). 

gula merah sawit

Untuk menutup defisit konsumsi gula domestik tersebut, mau tidak mau harus dipenuhi dari impor gula. Dalam periode yang sama volume impor gula Indonesia meningkat dari hanya sekitar 1.7 juta ton menjadi sekitar 4.3 juta ton (Gambar 2).

Perkembangan Volume dan Nilai Impor Gula Indonesia

Peningkatan impor gula tersebut membuat tingkat ketergantungan (IDR) Indonesia pada gula impor meningkat dari 51.5 persen pada tahun 2000 menjadi 54.4 persen pada tahun 2023. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan Indonesia pada impor gula lebih dari 50 persen dengan kecenderungan yang meningkat.

Tingkat ketergantungan Indonesia pada gula impor tersebut juga mengandung risiko bagi ketahanan pangan nasional. Sebagai negara importir gula terbesar dunia, impor gula Indonesia akan berpengaruh besar bagi pasar gula dunia. Jika volume impor meningkat, maka akan secara langsung mengguncang ketersediaan gula domestik dan ketahanan pangan domestik. 

 Jika produksi gula domestik hanya seperti 23 tahun terakhir, diproyeksikan impor gula di Indonesia akan terus mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan jumlah, komposisi dan distribusi populasi serta tingkat pendapatan. Sementara, tingkat produksi gula tebu domestik meskipun diproyeksikan masih meningkat, khususnya untuk memenuhi gula konsumsi rumah tangga, namun untuk memenuhi kebutuhan gula industri tampaknya masih agak sulit jika hanya mengandalkan gula tebu, mengingat adanya keterbatasan lahan.

Dengan kata lain, diperlukan produksi gula domestik dari sumber lain tanpa harus memerlukan atau memperluas lahan kebun tebu. Pemanfaatan gula merah sawit yang dihasilkan dari perkebunan sawit menjadi salah satu alternatif yang dapat digunakan.


POTENSI DAN KEUNGGULAN GULA MERAH SAWIT

Indonesia memiliki luas perkebunan sawit sekitar 16.8 juta hektar. Dari luasan tersebut, dengan mengikuti norma pengelolaan perkebunan sawit diperlukan sekitar 4 persen di-replanting setiap tahun agar komposisi tanaman relatif seimbang untuk menjamin stabilitas produksi minyak sawit. Dari kebun replanting tersebut, terdapat batang pohon sawit ditumbang yang dapat menghasilkan nira untuk produksi gula merah sawit (Fauzi, 2006; Tim Riset PASPI, 2019). 

Berdasarkan pengalaman petani di berbagai daerah, pohon batang kelapa sawit yang sudah ditebang ini dapat menghasilkan air nira selama 30-40 hari dengan produksi 5-7 liter per hari. Apabila air nira ini diolah menjadi gula merah, dengan tingkat rendemen gula 20 – 30 persen maka dapat dihasilkan gula merah sawit 1.2 – 1.75 kg/pohon/hari selama fase produksi air nira tersebut. Artinya selama 30 hari dapat diperoleh sekitar 6.84 ton/hektar replanting. Jika luasan replanting sawit Indonesia sekitar 572 ribu hektar per tahun, maka produksi gula merah per tahun dapat mencapai 3.9 juta ton/tahun (Siahaan, 2018).

 Terdapat beberapa keunggulan dari gula merah sawit. Pertama, gula merah sawit merupakan gula fruktosa, bukan gula sukrosa seperti dari tebu. Secara kesehatan, gula merah sawit tersebut lebih sehat daripada gula tebu. Gula fruktosa ini bukan hal yang baru. Amerika serikat telah mengembangkan sirup fruktosa dari jagung (high-fructose corn syrup) sejak tahun 1970-an untuk mengurangi impor gula tebu. Konsumsi gula merah juga sudah menjadi bagian dari budaya setiap daerah di Indonesia sehingga dari segi acceptability tidak perlu diragukan lagi.

Kedua, dari segi ketersediaan (availability) gula merah sawit tersedia sepanjang tahun mengingat adanya kebun replanting sekitar 4 persen per tahun dari luas area kebun sawit. Sehingga produksi gula merah sawit sekitar 3.7 juta ton setiap tahun akan tersedia dari perkebunan sawit.

Ketiga, dari segi keterjangkauan (affordability) baik secara ekonomi maupun fisik/ruang terpenuhi. Gula merah sawit yang diproduksi dari kebun sawit replanting yang tersebar pada 26 provinsi dan lebih dari 250 kabupaten, secara alamiah telah terdistribusi dan dikonsumsi secara lokal. Mengingat sumber gula merah sawit adalah dari batang sawit saat replanting, biaya produksi tidak diperlukan kecuali biaya pemanenan dan pengolahan sederhana sehingga harga relatif terjangkau dibanding gula tebu. 

 Keempat, dari segi keberlanjutan (sustainability) gula merah sawit jelas relatif lebih sustainable (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024). Pemanfaatan gula merah sawit merupakan bentuk ekonomi sirkuler karena memanfaatkan limbah batang sawit yang di-replanting. Selain itu, sumber gula merah sawit dari batang sawit yang tidak terkait dengan land use changes atau ekspansi lahan. Produksi dan konsumsi gula merah sawit juga biasanya dalam lingkup lokal. Implikasinya produksi gula merah sawit ini memiliki jejak karbon (carbon footprint) yang mendekati nol, atau jauh lebih rendah dibandingkan gula tebu.  

Kelima, produksi gula merah sawit dengan cara pemanfaatan batang pohon sawit yang demikian dapat menekan hama penyakit kumbang tanduk (Oryctes) musuh utama tanaman sawit, mempercepat pengolahan batang kelapa sawit, dsn mengurangi biaya replanting (untuk chipping).

Dengan kata lain, gula merah sawit secara availability, acceptability, affordability dan sustainability menyuguhkan alternatif untuk sumber gula nasional. Dengan produksi sekitar 3.7 juta ton per tahun tersebut dan ditambah dengan produksi gula tebu yang ada akan mempercepat Indonesia mencapai swasembada gula. Tidak hanya swasembada gula semata, tetapi juga swasembada gula yang lebih sustainable, lebih green, dan kompetitif.


Kesimpulan

Indonesia telah memiliki ketergantungan pada gula impor yang tinggi dan makin meningkat dari tahun ke tahun. Dengan kondisi ketergantungan impor gula tersebut, pemerintah telah menargetkan swasembada gula dicapai secepat mungkin. Pemanfaatan gula merah sawit dapat menyumbang secara signifikan dalam mempercepat pencapaian swasembada gula.

Gula merah sawit juga memiliki beberapa keunggulan yakni lebih higienis, acceptable, available, affordable, dan sustainable. Dengan dikembangkannya gula merah sawit bukan hanya mempermudah Indonesia mencapai swasembada gula, tetapi juga swasembada yang lebih berkelanjutan. 



Daftar Pustaka

  1. Fauzy N. 2006. Penyadapan dan Pengelolaan Nira Kelapa Sawit. Warta PPKS. 14(2): 15-19. https://pis.iopri.co.id/upload/wartaIOPRI/files/230823100420.pdf 
  2. ITC Trademap. 2024. Indonesia’s Sugar Products Exports. https://www.trademap.org/
  3. Kementerian Pertanian. 2024. Analisis Kinerja Perdagangan Gula. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal, Kementerian Pertanian. ISSN : 2086 -4949
  4. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  5. PASPI Monitor. 2024. Sawit Anugerah Tuhan Untuk Masyarakat Dunia. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(26): 917-922. https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/minyak-sawit-anugerah-tuhan/
  6. Siahaan D. 2018. Industri Pangan Sawit Bagi IKM. Materi Seminar Penguatan Kelembagaan Koperasi Petani Kelapa Sawit pada tanggal 27-29 September 2018 di Banjarmasin.
  7. Tim Riset PASPI. 2019. Potensi Gula Merah Sawit untuk Swasembada Gula Indonesia. Monitor Analisis Isu Strategis Sawit. 5(8): 1427-1432. https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2022/08/5.8.-POTENSI-GULA-MERAH-SAWIT-UNTUK-SWASEMBADA-GULA-INDONESIA.pdf 
  8. [USDA] United States Department of Agriculture. 2024. Sugar Annual: Indonesia. https://apps.fas.usda.gov

Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x