Table of Contents
Vol. III, No. 15/09/2022
KEBIJAKAN DEFORESTATION FREE DAN POLEMIK DEFORESTASI 2023
Poin-Poin Inti
- EU, UK, dan AS sedang menerapkan kebijakan deforestation free.
- Ada perbedaan dalam definisi deforestasi di kebijakan deforestation free yang berlaku di EU, UK, dan AS.
- Minyak sawit menjadi target utama dari kebijakan deforestation free ketiga negara tersebut.
- Kebijakan deforestation free akan menghadapi polemik rumit dan panjang karena perbedaan definisi hutan dan deforestasi.
- Terdapat ketidakpastian dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan kebijakan deforestation free akibat perbedaan pengertian dan kontekstual hutan dan deforestasi.
Pendahuluan – Kebijakan Deforestation Free dan Polemik Deforestasi
Setelah Uni Eropa (European Union/EU) mengeluarkan dan memberlakukan Kebijakan Renewable Energy Directives II Indirect Land Use Change (RED II ILUC) yang berlaku 2020-2030, kini EU sedang merancang dan akan memberlakukan kebijakan baru yaitu Regulation on Deforestation–Free Commodity/Product (Deforestation–Free) yang akan disahkan pada September 2022 dan mulai diberlakukan pada tahun 2023. Aturan baru tersebut melarang/membatasi masuknya komoditi dan atau produk yang terkait deforestasi (commodity–link deforestation) ke EU.
Kebijakan pembatasan/pelarangan komoditi/produk terkait deforestasi tidak hanya dilakukan oleh negara-negara EU saja. Pada November 2021, Inggris telah mengesahkan undang-undang yang juga mengadopsi deforestation–free yakni dalam UK Environment Act 2021. Demikian juga Amerika Serikat yang juga telah mengeluarkan kebijakan deforestation–free yang tertuang dalam undang-undang Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act atau FOREST 2021 pada periode yang sama.
Salah satu komoditi yang cukup besar dan menjadi target kebijakan baru terkait deforestation free tersebut adalah minyak sawit (palm oil related products)
Kebijakan deforestation free tersebut mengandung banyak polemik. Bagaimana menguji suatu komoditi/produk apakah deforestationfree atau tidak atau definisi deforestasi mana yang digunakan mengingat sangat bervariasinya definisi antar negara. Belum lagi sejak tahun berapa pengukuran deforestation free dilakukan, mengingat deforestasi dunia telah dimulai sejak awal peradaban pra-pertanian?
Tulisan pada artikel ini mendiskusikan sebagian dari isu polemik tersebut yakni bagaimana desain kebijakan deforestation free. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kaitan antara isu deforestation free dengan variasi definisi hutan dan deforestasi yang berlaku di negara-negara di dunia.
KEBIJAKAN “DEFORESTATION–FREE”
Atas desakan NGO atau Civil Society Organization (CSO) tiga negara yakni United State of America (USA), United Kingdom (UK) dan European Union (EU) mengeluarkan kebijakan “deforestation-free” dengan tujuan untuk menghilangkan deforestasi/degradasi hutan dari rantai pasok komoditas dan produk global yang masuk ke negara-negara tersebut.
Tiga negara/kawasan dengan kebijakan deforestation-free yakni :
- Regulation on Deforestation–Free Commodity/product yang dikeluarkan oleh EU pada bulan September 2022 dan akan diberlakukan pada tahun 2023;
- Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act/FOREST 2021 dari USA yang telah disahkan dan mulai berlaku tahun 2021; dan
- UK Environment Act 2021 dari Inggris yang juga berlaku sejak tahun 2021.
Meskipun ada beberapa perbedaan, ketiga kebijakan tersebut memiliki prinsip yang sama yakni deforestation free untuk perdagangan produk/komoditi domestik dan/atau internasional.
Beberapa hal persamaan dan perbedaan kebijakan anti deforestasi dari EU, UK dan USA tersebut (UK Parliement, 2021; Weiss & Shin, 2021; Monard & Manistis, 2021; McCarty, 2022; Weiss et al., 2022; Chain Reaction Research, 2022) antara lain sebagai berikut:
1. Fokus deforestasi pada deforestation free berbeda antara EU, UK dan USA
Untuk USA dan UK, deforestasi yang menjadi perhatian adalah deforestasi ilegal. Sementara EU, mencakup deforestasi legal, ilegal bahkan termasuk forest degradation. Secara implisit, USA dan UK menilai bahwa deforestasi legal tidak termasuk menjadi objek dari kebijakan deforestation free. Sementara EU memandang bahwa baik ilegal, legal bahkan forest degradation pun dapat dikenakan kebijakan deforestation free.
2. Komoditi dan Produk yang diberlakukan kebijakan deforestation free
Komoditi dan produk yang diberlakukan kebijakan deforestation free adalah minyak sawit, minyak kedelai, sapi, kakao, kopi (hanya EU), karet (khusus USA, UK), wood product dan pulp, dan jagung (hanya UK). Komoditi dan produk yang mereka sebut sebagai forest risk commodity, kebijakan “deforestation-free” berlaku untuk produk baik yang berasal dari domestik dan impor (untuk EU dan UK). Sedangkan untuk USA hanya berlaku bagi komoditi dan produk impor.
3. Minyak sawit tetap menjadi target utama
Meskipun ada beberapa komodoti yang menjadi target kebijakan deforestation free, ketiga negara/kawasan tersebut tampaknya minyak sawit menjadi target utama. Hal ini dapat ditelusuri dari latar belakang lahirnya kebijakan tersebut.
Misalnya di USA, tercermin dari statemen senator Schatz (salah satu pengusung kebijakan tersebut) “…Half of the products in American grocery stores contain palm oil and most of that is coming from illegally deforested land around the world….”. Demikian juga di EU, sejak awal pada fase perancangan kebijakan tersebut telah menempatkan minyak sawit sebagai EU-driven deforestation tanpa didasarkan fakta empiris yang kuat.
4. Penggolongan komoditi berdasarkan kriteria deforestation free
Negara-negara eksportir komoditi/produk tersebut digolongkan tiga golongan berdasarkan kriteria deforestation free yakni low risk, standard risk dan high risk. Pemberlakuan prosedur wajib uji tuntas ketat (stricter due diligence) untuk negara-negara yang mereka nilai sebagai high-risk countries.
POLEMIK DEFORESTASI
Kebijakan deforestation free yang diterapkan oleh EU, UK dan USA tersebut akan menghadapi polemik yang rumit dan panjang karena terkait dengan definisi hutan dan deforestasi. Definisi hutan dan deforestasi diberbagai negara sub tropis berbeda dengan negara-negara tropis. Bahkan definisi hutan yang diadopsi oleh FAO (yang menjadi acuan deforestation free) berakar pada kondisi daerah sub tropis yang berbeda dengan daerah tropis.
Ada ratusan definisi hutan dan deforestasi yang dianut oleh negara-negara di dunia yang merupakan kombinasi antara densitas pohon (tree density), tinggi pohon (tree height), tata guna lahan (land use), status legalitas (legal standing) dan fungsi ekologis (Schuck et al., 2002; FAO, 2018).
Studi Lund (2013) menemukan bahwa definisi hutan yang berbeda-beda dari aspek administratif, land cover, land use, land capability serta menemukan hampir sekitar 1600 pengertian hutan dan sekitar 240 definisi pohon yang berlaku di berbagai negara di dunia baik pada level lokal, nasional maupun international.
Definisi hutan juga berbeda antar negara. Studi Schuck et al. (2002) di daratan Eropa menemukan terms and definition dari hutan sangat bervariasi antar negara Eropa.
Jerman mendefinisikan hutan sebagai “sum total of all areas defined as forest, consisting a productives wooded area and non-wooded area”. Sementara, Norwegia mengartikan hutan sebagai “productive forest land (as average potential production higher 1 m3/ha/year) and non-productive forest land (average potential production 0.1-1.0 m3/ha/year)”.
Sementara itu, Perancis mendefinisikan hutan sebagai “have a tree (diameter >7.5 cm), have a crown cover percentage reaching at least 10 percent and there are more 500 steam per hectare that viable trees”.
Di Indonesia, istilah hutan dan kebun digunakan di masyarakat secara bergantian seperti hutan karet atau kebun karet, kebun bambu atau hutan bambu (Soemarwoto, 1992). Definisi formal Hutan dalam UU 41/199 tentang Kehutanan mengartikan “Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
Lembaga-lembaga multinasional juga mendefinisikan hutan untuk keperluan institusinya.
“continuously forested areas, namely land spanning more than one hectare with trees higher than five metres and a canopy cover of more than 30 %, or trees able to reach those thresholds in situ; land spanning more than one hectare with trees higher than five metres and a canopy cover of between 10 % and 30 %, or trees able to reach those thresholds in situ, unless evidence is provided that the carbon stock of the area before and after conversion is such that”
European Union Renewable Energy Directive (EU RED II)
“forest is a minimum area of land of 0.05 – 1.0 hectares with tree crown cover (or equivalent stocking level) of more than 10 – 30 per cent with trees with the potential to reach a minimum height of 2 – 5 metres at maturity in situ. a forest may consist either of closed forest formations where trees of various storeys and undergrowth cover a high portion of the ground or open forest.
Young natural stands and all plantations which have yet to reach a crown density of 10 – 30 per cent or tree height of 2 – 5 metres are included under forest, as are areas normally forming part of the forest area which are temporarily unstocked as a result of human intervention such as harvesting or natural causes but which are expected to revert to forest”
Inter Parlement for Climate Change (IPCC)
forest includes natural forests and forest plantations. It is used to refer to land with a tree canopy cover of more than 10 percent and area of more than 0.5 ha. Forests are determined both by the presence of trees and the absence of other predominant land uses.
The trees should be able to reach a minimum height of 5 m. Young stands that have not yet but are expected to reach a crown density of 10 percent and tree height of 5 m are included under forest, as are temporarily unstocked areas.
The term includes forests used for purposes of production, protection, multiple-use or conservation (i.e. forest in national parks, nature reserves and other protected areas), as well as forest stands on agricultural lands (e.g. windbreaks and shelterbelts of trees with a width of more than 20 m), and rubberwood plantations and cork oak stands.
The term specifically excludes stands of trees established primarily for agricultural production, for example fruit tree plantations. It also excludes trees planted in agroforestry systems.
FAO (2000)
Pengertian tentang hutan yang beragam tersebut berimplikasi pada pengertian tentang deforestasi yang juga bervariasi, setidaknya sebanyak variasi definisi hutan yang ada dimasyarakat. Definisi deforestasi juga bervariasi antar negara atau lembaga mengikuti variasi pengertian hutan yang dianut.
World Bank mengartikan “deforestasi sebagai hilangnya tutupan hutan secara permanen ataupun sementara atau hilangnya tutupan hutan yang tidak menghasilkan kayu”.
Sementara United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) tahun 2001 juga mendefinisikan deforestasi sebagai konversi hutan yang diinduksi oleh manusia secara langsung ke lahan non hutan”. Sementara itu, definisi deforestasi di Indonesia berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. 30/2009 adalah “perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tak berhutan yang diakibatkan kegiatan manusia”.
The conversion of forest to another land use or the long-term reduction of the tree canopy cover below the minimum 10 percent threshold. Deforestation implies the long-term or permanent loss of forest cover and implies transformation into another land use.
Such a loss can only be caused and maintained by a continued human-induced or natural perturbation. Deforestation includes areas of forest converted to agriculture, pasture, water reservoirs and urban areas.
The term specifically excludes areas where the trees have been removed as a result of harvesting or logging, and where the forest is expected to regenerate naturally or with the aid of silvicultural measures.
Unless logging is followed by the clearing of the remaining logged-over forest for the introduction of alternative land uses, or the maintenance of the clearings through continued disturbance, forests commonly regenerate, although often to a different, secondary condition.
In areas of shifting agriculture, forest, forest fallow and agricultural lands appear in a dynamic pattern where deforestation and the return of forest occur frequently in small patches.
To simplify reporting of such areas, the net change over a larger area is typically used. Deforestation also includes areas where, for example, the impact of disturbance, overutilization or changing environmental conditions affects the forest to an extent that it cannot sustain a tree cover above the 10 percent threshold
FAQ (2000)
Dengan demikian sangat jelas bahwa dengan variasi definisi hutan, juga akan membuat pengertian deforestasi juga bervariasi antar negara. Semak belukar (shrub) di Indonesia yang tidak dikategorikan sebagai hutan di negara-negara tropis, sebaliknya dianggap sebagai hutan jika menggunakan definisi hutan FAO. Demikian juga dengan padang rumput savana yang tidak dapat dikategorikan sebagai hutan oleh definisi FAO, sebaliknya savana digolongkan sebagai hutan oleh negara-negara di Afrika.
Untuk melihat suatu land use change terkait deforestasi, maka perlu dipastikan terlebih dahulu kesamaan definisi hutan yang akan digunakan dengan definisi hutan yang berlaku di suatu daerah. Meskipun banyak yang merujuk pada definisi FAO, namun faktanya definisi tersebut juga tidak digunakan oleh setiap negara bahkan juga tidak pada lembaga multinasional.
Dengan definisi hutan yang sangat variatif tersebut, akan menimbulkan polemik dalam kaitannya dengan penerapan kebijakan deforestation free tersebut.
Dengan definisi FAO tersebut, suatu ekosistem di EU, UK, USA dikategorikan hutan, sangat mungkin ekosistem tersebut “bukan hutan” di negara-negara tropis. Misalnya di Indonesia (Gunarso et al., 2013; Santosa et al., 2020; Santosa, 2021; Suharto et al., 2019), terdapat 23 jenis ekosistem daratan dan hanya 5 ekosistem diantaranya yang dikategorikan hutan di Indonesia, namun dengan definisi FAO sekitar 20 ekosistem dapat dikategorikan sebagai hutan.
Sebaliknya, di Indonesia dikenal ada kawasan hutan tak berhutan (non-forested area) yang secara administratif dikategorikan sebagai kawasan hutan, namun menurut definisi FAO justru tidak dikategorikan sebagai hutan.
Perbedaan pengertian dan kontekstual hutan dan deforestasi tersebut bermuara pada ketidakpastian (uncertainty) dalam mendefinisikan dan mengimplentasikan kebijakan deforestation free. Penetapan hutan atau bukan hutan, low-standard-high risk commodity akan menjadi perdebatan, negoisasi panjang dan seterusnya. Dalam praktiknya kebijakan deforestation free hanya akan menjadi suatu non-tariff barrier trade yang menghambat masuknya komoditas tropis ke UK, EU dan USA.
Kesimpulan
Kebijakan baru deforestation free sedang diimplementasi EU, UK dan US. Pertama, Regulation on Deforestation–Free Commodity/product yang dikeluarkan oleh EU pada bulan September 2022 dan akan diberlakukan pada tahun 2023, Kedua, Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act/FOREST 2021 dari USA yang telah disahkan dan mulai berlaku tahun 2021 dan Ketiga, UK Environment Act 2021 dari Inggris yang juga berlaku sejak tahun 2021.
Terdapat perbedaan deforestasi dalam kebijakan deforestationfree yang berlaku di EU, UK dan USA. Untuk USA dan UK, deforestasi hanya mencakup deforestasi illegal. Sementara EU, deforestasi mencakup deforestasi legal, ilegal bahkan termasuk forest degradation. Meskipun ada beberapa komoditi yang menjadi target kebijakan deforestation free ketiga negara/kawasan tersebut, tampaknya minyak sawit menjadi target utama. Hal ini akan merugikan produsen minyak sawit dunia.
Kebijakan deforestation free yang diterapkan oleh EU, UK dan USA tersebut akan menghadapi polemik yang rumit dan panjang karena terkait dengan definisi hutan dan deforestasi. Definisi hutan dan deforestasi yang berbeda antara negara sub tropis dengan negara-negara tropis, juga berbeda dengan definisi hutan yang diadopsi oleh FAO. Perbedaan pengertian dan kontekstual hutan dan deforestasi tersebut bermuara pada ketidakpastian (uncertainty) dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan kebijakan deforestation free.
Daftar Pustaka
Chain Reaction Research. 2022. EU Deforestation Regulation: Implications for Palm Oil Industry and Its Financers. [internet].
Fitzzherbert E, MK.Struebug, A Morel, F Danielsen, CA Bruhi, PF Donald, B. Phalan. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends in Ecology and Evolution. 23(10): 538-545
[FAO] Food Agricultural Organization. 2007. Manual on Deforestation, Degradation, and Fragmentation Using Remote Sensing and Gis. Rome (IT): Forestry Department-FAO.
[FAO] Food Agricultural Organization. 2000. Terms and Definition: Forest Resources Asesment 2020. Rome (IT): Forestry Department-FAO.
Gunarso P, ME Hartoyo, F Agus, TJ Killeen. 2013. Oil Palm and Land Use Change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. RSPO.
Lund HG. 2013. Definitions of Forest, Deforestation, Reforestation and Afforestation. [Online report]. Gainesville, VA: Forest Information Services.
McCarty J. 2022. What Is the FOREST Act? Everything to Know About the US Bill to Fight Deforestation. [internet].
Monard E, B Manistis. 2021.The European Commission’s Proposed Ban on Products Driving Deforestation and Forest Degradation.
Santosa Y, A Sunkar. RT Kwatrina. 2020. Is it True that Oil Palm Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation? International journal of Oil Palm. 3(1):1-10.
Santosa Y. 2021. Sejarah dan Asal Usul Lahan Kebun Sawit di Indonesia. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan dan Lingkungan Hidup IPB University.
Schuck A, R Paivenan, T Hytonen, B Pajari. 2002. Compilation of Terms and Definitions. European ForestInstitute. Internal Report No.6, 2002.
Soemarwoto O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
Suharto R, F Agus, Y Santosa, T Sipayung, P Gunarso. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energi Directives (EU Directive 2028/2001) dan EU Commission Delegated Regulated 2019/807 Serta Posisi Indonesia. Jakarta (ID): RPN dan Kemenko RI.
UK Parliement. 2021.Environment Act 2021: Government Bill.
Weiss J, K Shin. 2021. Potential Implications of the FOREST Act of 2021 and Related Developments in Other Jurisdictions.
Weiss J, K Shin, E Monard, S Tilling 2022. Comparing Recent Deforestation Measures of the United States, European Union, and United Kingdom. [internet].
Vol. III, No. 16/09/2022
DEFORESTATION FREE MINYAK SAWIT PADA KAWASAN/NEGARA IMPORTIR 2023
Poin-Poin Inti
- Penerapan kebijakan “bebas deforestasi” di EU, UK, dan AS akan membahayakan minyak sawit sebesar 17% dari total volume impor minyak sawit di dunia.
- Produsen minyak sawit dapat memindahkan ekspornya ke negara lain, namun harus membuat nota keberatan terhadap kebijakan tersebut.
- Kebijakan “bebas deforestasi” ini merupakan tindak lanjut dari serangkaian kebijakan yang menghambat masuknya minyak sawit ke kawasan tersebut.
- Potensi adanya pemindahan dan peningkatan deforestasi dunia ke tanaman minyak nabati lain yang merugikan lingkungan baik di dalam maupun di luar kawasan “bebas deforestasi”.
- Kebijakan “bebas deforestasi” berpotensi memperbesar masalah deforestasi baik di dalam maupun di luar kawasan “bebas deforestasi”.
Pendahuluan
Tiga negara/kawasan yakni European Union (EU), United Kingdom (UK) dan United States of America (USA) telah mengeluarkan dan memberlakukan kebijakan deforestation free. Regulation on Deforestation-Free Commodity/Product yang dikeluarkan oleh EU pada bulan September 2022 dan akan diberlakukan pada tahun 2023. Sebelumnya, USA juga telah memberlakukan Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act (FOREST Act 2021) sejak tahun 2021.
UK juga telah memberlakukan “deforestation–free” yang tertuang dalam UK Environment Act 2021 berlaku sejak tahun 2021. Meskipun ada beberapa perbedaan antar ketiganya, namun ketiga kebijakan tersebut memiliki prinsip yang sama yakni “deforestation–free” untuk perdagangan produk/komoditi domestik dan atau internasional.
Beberapa prinsip dari kebijakan anti deforestasi dari EU, UK dan USA tersebut (UK Parliement, 2021; Weiss & Shin, 2021; Monard & Manistis, 2021; McCarty, 2022; Weiss et al., 2022; Chain Reaction Research, 2022) antara lain:
- Kebijakan deforestation free diberlakukan pada deforestasi ilegal (USA, UK), sementara EU mencakup deforestasi legal, illegal dan forest degradation;
- Komoditi dan produk yang menjadi target kebijakan tersebut adalah apa yang mereka sebut sebagai forest risk commodity, baik yang berasal dari domestik dan impor (untuk EU dan UK) sedangkan untuk USA hanya berlaku bagi komoditi/produk impor; dan
- Negara-negara eksportir komoditi/produk forest risk dikategorikan dalam tiga golongan berdasarkan kriteria “deforestation–free” yakni low-risk, standard-risk dan high-risk dengan prosedur wajib uji tuntas (due diligence).
Meskipun ada beberapa komoditi yang menjadi target kebijakan deforestation free pada ketiga negara/kawasan tersebut, tampaknya kebijakan tersebut telah menetapkan minyak sawit menjadi target utama. Hal ini dapat ditelusuri dari latar belakang lahirnya kebijakan tersebut. Misalnya di USA, tercermin dari statemen senator Schatz (salah satu pengusung kebijakan tersebut) “…Half of the products in American grocery stores contain palm oil and most of that is coming from illegally deforested land around the world….”.
Demikian juga di EU, sejak awal sejak fase perancangan kebijakan tersebut EU telah menempatkan minyak sawit sebagai EU-driven deforestation (embodied deforestation) utama di EU (European Commission, 2013). Sehingga, tidak mengherankan bahwa kebijakan tersebut sesungguhnya dirancang untuk menekan perkembangan industri sawit global. Oleh karena itu, Indonesia sebagai produsen utama minyak sawit dunia, perlu menggalang kekuatan diplomasi untuk menghadang kebijakan tersebut.
Tulisan pada artikel ini akan mendiskusikan seberapa besar impor minyak sawit dunia khususnya pada kawasan “deforestation-free” tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi kebijakan “deforestation–free” sebagai bentuk kebijakan proteksionis perdagangan.
DEFORESTATION FREE MINYAK SAWIT PADA KAWASAN/NEGARA IMPORTIR
Kawasan/negara EU, UK dan USA merupakan salah satu tujuan ekspor minyak sawit dunia. Dalam konsumsi minyak nabati di EU (termasuk UK), minyak sawit menempati pangsa kedua terbesar setelah minyak rapeseed. Sedangkan pada struktur konsumsi minyak nabati di USA, minyak sawit menempati urutan ketiga setelah minyak kedelai dan minyak rapeseed.
Dalam periode tahun 2016-2021 (Tabel 1), volume impor minyak sawit EU rata-rata sekitar 7.2 juta ton per tahun. Volume impor minyak sawit EU tahun 2016 masih sekitar 7.6 juta ton kemudian meningkat menjadi 7.9 juta ton tahun 2019, namun terus mengalami penurunan hingga menjadi 6.4 juta ton tahun 2021.
Tabel 1. Perkembangan Volume Impor Minyak Sawit dari Kawasan “Deforestation–Free” EU, UK dan USA (Ribu Ton)
Tahun | EU-27 | United States | United Kingdom | Total Impor 3 Negara | Pangsa dari total impor PO Dunia (%) |
---|---|---|---|---|---|
2016 | 7,683 | 1,728 | 449 | 9,860 | 20.03 |
2017 | 7,519 | 1,904 | 428 | 9,851 | 19.78 |
2018 | 7,716 | 1,853 | 492 | 10,061 | 18.77 |
2019 | 7,803 | 1,879 | 453 | 10,135 | 20.00 |
2020 | 6,662 | 1,954 | 419 | 9,035 | 17.77 |
2021 | 6,485 | 2,060 | 430 | 8,975 | 19.17 |
Rataan | 7,224 | 1,926 | 452 | 9,295 | 17.61 |
Selama ini penggunaan minyak sawit di EU mengalami perubahan. Pada tahun 2008 hampir 80 persen minyak sawit yang diimpor EU digunakan untuk pangan, pakan dan industri toiletries. Sementara itu, penggunan minyak sawit untuk energi hanya sekitar 20 persen. Sepuluh tahun kemudian penggunaan minyak sawit di EU berubah drastis. Pada tahun 2018 sekitar 65 persen digunakan untuk energi baik biodiesel maupun pembangkit listrik. Sedangkan sisanya yakni sebesar 35 persen digunakan untuk pangan, pakan dan industri toilletries (Transport and Environment, 2019).
Penurunan volume impor EU sejak tahun 2020 terkait dengan kebijakan RED II yang melakukan phase-out minyak sawit untuk biofuel EU secara bertahap mulai tahun 2020 menuju tahun 2030. Diperkirakan dengan RED II tahun 2030, volume impor minyak sawit EU akan turun menjadi sekitar 4 juta ton (Fern, 2022; Chain Reaction Research, 2022).
Berbeda dengan EU, volume impor minyak sawit USA secara rataan masih sekitar 1.9 juta ton per tahun. Volume impor tersebut mengalami peningkatan dari 1.7 juta ton tahun 2016 meningkat menjadi 2.1 juta ton tahun 2021. Demikian juga dengan volume impor minyak sawit UK masih cenderung meningkat yakni dari sekitar 449 ribu ton menjadi sekitar 490 ribu ton pada periode yang sama atau meningkat dengan rata-rata sekitar 452 ribu ton per tahun.
Jika dibandingkan total volume impor sawit dunia, pangsa kawasan “deforestation-free” tersebut relatif kecil. Volume total impor minyak sawit dunia sekitar 46.8 juta ton hingga 53.6 juta ton atau rata-rata 52.8 juta ton per tahun. Pangsa ketiga kawasan tersebut hanya sekitar 17.6 persen.
Dengan demikian, secara umum pemberlakuan “deforestation–free” pada tiga negara/kawasan tersebut tidak terlalu signifikan dalam mempengaruhi pasar minyak sawit dunia. Artinya seandainya berlaku kebijakan “deforestation–free” tersebut ke seluruh minyak sawit yang diimpor, negara produsen minyak sawit dunia tidak terlalu sulit mengalihkanya ke negara-negara yang tidak menuntut “deforestation–free”.
Namun demikian, negara-negara produsen minyak sawit perlu mengajukan protes atas kebijakan tersebut. Selain bukan solusi yang terbaik untuk atasi deforestasi global, jika produsen minyak sawit dunia tidak mengajukan protes keberatan, maka kebijakan “deforestation–free” tersebut dapat menular ke negara/kawasan lain dan menurunkan citra minyak sawit.
Indonesia sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, juga mengekspor minyak sawit dan produk turunannya ke ketiga negara/kawasan tersebut (Tabel 2).
Tabel 2. Nilai Ekspor Minyak Sawit Indonesia ke Tiga Kawasan/Negara “Deforestation-Free” (Miliar USD)
Produk | USA | UK | EU | Total 3 Negara |
---|---|---|---|---|
CPO + PKO | – | – | 0.42 | 0.42 |
Refined (PO+PKO) | 1.95 | 0.11 | 3.86 | 5.92 |
Biodiesel | 0.00 | – | 0.05 | 0.05 |
Oleokimia | 0.35 | 0.00 | 0.71 | 1.06 |
Jumlah | 2.30 | 0.11 | 5.04 | 7.46 |
Nilai ekspor minyak sawit Indonesia ke tiga negara kawasan “deforestation–free” pada tahun 2021 mencapai sekitar USD 7.4 milyar. Nilai ekspor tersebut diperoleh dari ekspor ke EU sebesar USD 5 miliar, ekspor ke UK sebesar USD 0.11 miliar dan ekspor ke USA sebesar USD 2.3 miliar.
Dengan total nilai ekspor minyak sawit Indonesia tahun 2021 mencapai sekitar USD 36.2 miliar (PASPI Monitor, 2022), artinya kontribusi nilai ekspor sawit Indonesia dari kawasan “deforestation-free” tersebut hanya mencapai sekitar 20 persen.
PROTEKSIONISME GAYA BARU
Kebijakan yang menghambat minyak sawit ke pasar Eropa (termasuk UK) bukanlah hal yang baru. Dalam 20 tahun terakhir, EU rajin membuat kebijakan yang menyulitkan perdagangan minyak sawit ke Eropa. Pertama, gerakan Palm Oil Free yang telah dimulai sejak tahun 2006 mewajibkan industri pangan, minuman dan makanan hewan tidak menggunakan minyak sawit sebagai bahan baku. Gerakan ini memang bukan kebijakan resmi dari pemerintah Eropa, bahkan bertentangan dengan peraturan Uni Eropa tentang food labeling dan iklan (Regulation No 1169/2011, Directive 2000/13/EC, Directive 2006/114/EC dan Directive 2005/29/EC). Namun pemerintah Uni Eropa juga tidak memberikan pelarangan atas gerakan tersebut.
Kedua, Perancis menerapkan tarif impor minyak sawit yang progresif dan regresif. Semula Perancis memberlakukan pungutan impor minyak sawit yakni sebesar 300 euro pada tahun 2017, kemudian meningkat menjadi 500 euro tahun 2018. Pemerintah Perancis kembali menarik pungutan yang lebih besar lagi yakni sebesar 700 euro di tahun 2019 dan 900 euro pada tahun 2020 untuk setiap ton minyak sawit yang masuk ke negara tersebut. Selain itu, jika minyak sawit digunakan untuk makanan dikenakan tambahan pajak ad valorem. Pungutan tersebut diberlakukan sebagai pajak lingkungan (Pigouvian Tax) yang menurut mereka sebagai bentuk menginternalisasi eksternalitas negatif dari proses produksi dan konsumsi minyak sawit. Meskipun akhirnya kebijakan tersebut tidak jadi diberlakukan atas tekanan produsen minyak sawit.
Ketiga, EU menerapkan kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) biodiesel sawit ke negara tersebut sekitar 8.8-23.3 persen sejak tahun 2013. Uni Eropa juga menggugat biodiesel sawit Indonesia ke WTO dengan tuduhan dumping dan subsidi. Tuduhan dumping/subsidi pada biodiesel sawit Indonesia tersebut berhasil dimenangkan Indonesia di Mahkamah Uni Eropa dan WTO.
Keempat, ekspor minyak sawit ke Eropa (EU) juga menghadapi ancaman resolusi/embargo sawit yang dikeluarkan Parlemen Eropa pada awal April 2017. Embargo minyak sawit tersebut dikaitkan dengan sejumlah isu lingkungan seperti deforestasi (embodied deforestation), kebakaran hutan, emisi GHG dan gambut (European Commission, 2013). Bahkan Uni Eropa juga merencanakan akan mengembargo (phase-out) penggunaan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel mulai 2021 (RED-I). Namun dengan loby yang intensif dari pemerintah Indonesia dan Malaysia, kebijakan tersebut direlaksasi dalam RED II yakni hanya berlaku untuk biofuel dan pelaksanaanya dimundurkan menjadi mulai tahun 2030, sedangkan penggunaan minyak sawit pangan dan lainnya tidak berlaku.
Tidak hanya di Uni Eropa, Amerika Serikat melalui Asosiasi minyak kedelai USA (American Soybean Association – ASA) telah mempelopori gerakan anti tropical oil sejak awal tahun 1980-an. Pada saat itu, ASA menuduh minyak sawit sebagai tropical oil mengandung kolesterol yang berbahaya bagi penyakit cardiovascular dan pernah mengajukan resolusi kepada Kongres USA agar minyak sawit dilarang masuk ke Amerika Serikat. Namun pembuktian yang dilakukan oleh para ahli-ahli yang diajukan oleh negara produsen tropical oil, khususnya Indonesia dan Malaysia, telah membuktikan tuduhan tersebut keliru.
Kemudian, tuduhan isu dumping dan subsidi biodiesel sawit yang dituduhkan kepada Indonesia juga didukung oleh ASA. Melalui pernyataan posisi Countervailing Duties on Biodiesel Imports yang dipublikasikan tanggal 24 Agustus 2017 mengungkapkan bahwa ASA menilai biodiesel sawit yang diimpor dari Indonesia dan Argentina adalah dumping dan disubsidi sehingga mendukung diberlakukan Anti-Dumping (BMAD).
Mengikuti langkah EU, Pemerintah Amerika Serikat melalui Kementerian Perdagangan memberlakukan kebijakan Anti-Dumping terhadap biodiesel sawit pada tanggal 23 Maret 2017. Alasan pemberlakuan kebijakan tersebut adalah pemerintah USA menganggap biodiesel sawit Indonesia memperoleh subsidi. Selanjutnya pada akhir Agustus 2017, Departemen Perdagangan Amerika Serikat (USDOC) merencanakan memberlakukan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) atas biodiesel sawit dari Indonesia dengan tarif berkisar 34.5 -64.73 persen.
Tuduhan tersebut sebetulnya mengada-ada yang digunakan untuk menutupi kebijakan protektif minyak kedelai yang dilakukan oleh pemerintah Amerika Serikat. Berbagai studi (GIS-IISD, 2007; PASPI, 2018) menunjukkan bahwa biodiesel kedelai di pasar Amerika telah menikmati subsidi hingga mencapai 63 persen, sehingga tuduhan terhadap biodiesel sawit hanya bersifat pengalihan isu.
Pemberlakuan kawasan “deforestation-free” di EU, UK dan USA tampaknya hanya kelanjutan dari praktik proteksionisme yang dilakukan selama ini. Jika tujuannya adalah untuk menghentikan deforestasi dunia, maka kebijakan tersebut tidak efektif karena volume minyak sawit yang masuk ke kawasan “deforestation-free” hanya sekitar 17 persen dari volume minyak sawit global. Di sisi lain, produsen minyak sawit global dapat saja mengalihkan minyak sawit dari kawasan tersebut ke negara lain (Chain Reaction Research, 2022).
Sesungguhnya kehadiran minyak sawit di pasar Eropa dan USA merupakan sebuah solusi dari food fuel trade-off yang berpotensi terjadi di negara/region tersebut. Produktivitas minyak sawit yang jauh lebih tinggi (dan masih memiliki potensi untuk ditingkatkan) ditambah dengan harga yang lebih murah dibandingkan minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari, dapat menghindarkan Uni Eropa dan USA dari kondisi trade-off dalam pengunaan minyak nabati untuk pangan atau energi.
Jika USA, UK dan Uni Eropa ingin berkontribusi untuk mencegah deforestasi dunia, seharusnya ketiga negara tersebut mengalihkan penyediaan minyak nabati dari minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari yang relatif lebih boros deforestasi dan emisi ke minyak sawit yang lebih hemat deforestasi (PASPI Monitor, 2021ab) dan hemat emisi (Beyer et al., 2020; Beyer and Rademacher, 2022; PASPI Monitor, 2021c).
Dengan memberlakukan kebijakan “deforestation-free” di USA, UK dan EU yang bertujuan untuk untuk menghempang minyak sawit, justru mengalihkan deforestasi dunia yang lebih besar ke kawasan lain melalui produksi tanaman minyak nabati lain. Sebaliknya, mengalihkan konsumsi minyak nabati dari minyak nabati boros deforestasi ke minyak nabati hemat deforestasi merupakan cara bijaksana dan efektif mengurangi laju deforestasi dunia.
Kesimpulan
Pemberlakuan kebijakan “deforestation–free” di EU, UK dan USA akan mengancam minyak sawit dengan pangsa sebesar 17 persen dari volume impor minyak sawit dunia. Meskipun produsen minyak sawit dunia dapat mudah mengalihkan ekspor minyak sawitnya ke negara lain, namun negara negara produsen minyak sawit tersebut perlu mengajukan nota keberatan atas kebijakan tersebut.
Kebijakan “deforestation–free” merupakan lanjutan serial kebijakan yang menghambat minyak sawit masuk ke kawasan tersebut. Kebijakan “deforestation-free” potensial memindahkan dan memperbesar deforestasi dunia ke tanaman minyak nabati lain yang boros deforestasi baik di dalam negeri kawasan “deforestation–free” maupun di negara-negara lain.
Daftar Pustaka
Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts Of Palm Oil And Its Alternatives.
Beyer R, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813.
Chain Reaction Research. 2022. EU Deforestation Regulation: Implications for Palm Oil Industry and Its Financers. [internet].
European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation.
Fern. 2022. Palm Oil Production, Consumption and Trade Patterns: The Outlook From An Eu Perspective.
McCarty J. 2022. What Is the FOREST Act? Everything to Know About the US Bill to Fight Deforestation. [internet].
Monard E, B Manistis. 2021.The European Commission’s Proposed Ban on Products Driving Deforestation and Forest Degradation.
PASPI Monitor. 2021a. Palm Oil Free is Driving the Global Deforestation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(14):357-361.
PASPI Monitor. 2021b. Palm Oil Industry Saves Global Deforestation?. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(18): 383-390.
PASPI Monitor. 2021c. Carbon Emissions in Oil Palm Plantation Versus Other Vegetable Oil Plantations. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(46): 570-574.
PASPI Monitor. 2022. The Indonesian Foreign Exchange And Trade Balance In 2021 Hit A Record High. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(2): 589-593.
UK Parliement. 2021.Environment Act 2021: Government Bill
USDA. 2022. Oilseeds: World Market and Trade
Weiss J, K Shin. 2021. Potential Implications of the FOREST Act of 2021 and Related Developments in Other Jurisdictions.
Weiss J, K Shin, E Monard, S Tilling 2022. Comparing Recent Deforestation Measures of the United States, European Union, and United Kingdom. [internet].
Vol. III, No. 17/10/2022
KEBIJAKAN DEFORESTATION FREE, EMBODIED DEFORESTATION DAN JEJAK DEFORESTASI 2023
Poin-Poin Inti
- Konsep embodied deforestation merupakan konsepsi yang mengaitkan antara konsumsi suatu komoditas/produk dan deforestasi.
- Deforestasi dapat terjadi baik pada negara konsumsi maupun negara lain melalui perdagangan dunia.
- Kebijakan deforestation free memaksa konsumen untuk tidak mengkonsumsi komoditas atau produk yang terkait dengan deforestasi.
- Deforestasi terjadi pada hampir semua lahan non-hutan dunia sebagai hasil dari deforestasi masa lalu.
- Kebijakan deforestation free yang hanya diberlakukan pada beberapa komoditas saja memiliki argumen yang lemah.
Pendahuluan
Tiga negara yang intensif melakukan deforestasi di masa lalu, kini membuat kebijakan deforestation free untuk komoditi/produk yang diimpor dari negara lain. Ketiga negara/kawasan yang dimaksud adalah European Union (EU), United Kingdom (UK) dan United States of America (USA).
Kebijakan anti deforestasi tersebut dimaksudkan untuk menghentikan deforestasi global. Dengan mengurangi bahkan menghentikan konsumsi komoditi/produk yang terkait dengan deforestasi (embodied deforestation) baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar ketiga negara tersebut (impor), diharapkan dapat menghentikan atau setidaknya mengurangi terjadinya deforestasi dunia.
Selain menyangkut definisi hutan dan deforestasi, kebijakan deforestation free sebagai suatu kebijakan perdagangan internasional menyangkut berbagai isu penting. Salah satunya adalah isu tentang jejak deforestasi yakni batas waktu kapan mulai deforestasi dihitung sebagai dasar kebijakan deforestation free. Hal ini penting mengingat deforestasi dunia sudah berlangsung sejak awal peradaban yang umurnya sama dengan umur peradaban manusia di planet bumi.
Bahkan negara pengusung kebijakan deforestation free tersebut yakni EU, UK dan USA sendiri memiliki jejak deforestasi yang dapat ditelusuri secara historis ke belakang. Catatan histori tersebut menyimpulkan bahwa lahan non-hutan/daratan di negara-negara tersebut juga merupakan hasil deforestasi di masa lalu. Sehingga komoditi atau produk apa pun yang dihasilkan di atas lahan tersebut juga terkait dengan deforestasi (embodied deforestation).
Tulisan pada artikel ini mendiskusikan apa itu embodied deforestation dan kebijakan deforestation free tersebut. Kemudian didiskusikan terkait jejak deforestasi dunia termasuk yang terjadi EU, UK dan USA, dimana jejak tersebut potensial menjadi polemik ketika kebijakan deforestation free di implementasikan.
EMBODIED DEFORESTATION DAN KEBIJAKAN DEFORESTATION-FREE
Sejak tahun 2011, Uni Eropa telah melakukan studi terkait dampak konsumsi Uni Eropa pada deforestasi global (European Comission, 2013).
Melalui suatu konsorsium (Vito, IIASA, Cicero, K.U. Leuven, IUCN-Netherlands) mengembangkan suatu konsep apa yang disebut sebagai embodied deforestation yakni “…..refers to the deforestation associated with the production of a good or commodity. This good or commodity may be consumed in the country of origin or traded elsewhere. It allows to link deforestation in producer countries/regions with the associated consumption of goods in consumer countries/regions….”.
Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa proses produksi tanaman (crop) dan peternakan yang terkait dengan deforestasi global, dimana produk tersebut dikonsumsi di dalam negeri dan proses produksi dilakukan maupun sebagian lagi diperdagangkan dan dikonsumsi secara internasional.
Sekitar 33 persen produksi tanaman (crop) dan 8 persen produk peternakan yang terkait deforestasi global dikonsumsi di luar negara produsen. Dari volume komoditi/produk embodied deforestation yang diperdagangkan secara internasional, terdapat sekitar 36 persen diimpor dan dikonsumsi oleh masyarakat EU.
Embodied deforestation inilah yang menjadi dasar kebijakan deforestation free. Masyarakat EU bertanggung jawab dan ikut serta memicu terjadinya deforestasi dunia melalui konsumsi komoditi/produk impor yang produksinya terkait deforestasi.
Oleh karena itu, untuk menekan bahkan menghentikan deforestasi global, masyarakat EU harus berhenti mengkonsumsi komoditi/produk tersebut dengan mengimplementasikan kebijakan “deforestation-free”.
Tiga negara/kawasan yakni European Union (EU), United Kingdom (UK) dan United States of America (USA) telah mengeluarkan dan memberlakukan kebijakan deforestation free. Regulation on Deforestation Free Commodity/product yang dikeluarkan oleh EU pada bulan September 2022 dan akan diberlakukan pada tahun 2023.
Sebelumnya, USA telah memberlakukan Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act (FOREST Act 2021) mulai tahun 2021. UK juga telah memberlakukan deforestation free yakni UK Environment Act 2021 yang berlaku sejak tahun 2021. Meskipun terdapat beberapa perbedaan antar ketiga kebijakan tersebut, namun ketiga kebijakan tersebut memiliki prinsip yang sama yakni deforestation free untuk perdagangan produk/komoditi domestik dan atau internasional.
Beberapa prinsip dari kebijakan anti deforestasi dari EU, UK dan USA tersebut (UK Parliement, 2021; Weiss & Shin, 2021; Monard & Manistis, 2021; McCarty, 2022; Weiss et al., 2022; Chain Reaction Research, 2022) antara lain:
- Kebijakan deforestation free diberlakukan pada deforestasi ilegal (USA, UK), sementara kebijakan yang diimplementasikan di EU mencakup deforestasi legal, ilegal dan forest degradation;
- Komoditi dan produk yang menjadi target kebijakan tersebut adalah apa yang mereka sebut sebagai forest risk commodity, baik yang berasal dari domestik dan impor (untuk EU dan UK) sedangkan untuk USA hanya berlaku untuk komoditi dan produk impor; dan
- Negara-negara eksportir komoditi/produk forest risk wajib dilakukan uji tuntas (Due Diligence) sehingga dapat dikategorikan menjadi tiga golongan berdasarkan kriteria deforestation free yakni low-risk, standard-risk dan high-risk.
Meskipun ada beberapa komoditi yang menjadi target kebijakan deforestation free di ketiga negara/kawasan tersebut, tampaknya kebijakan tersebut telah menyasar minyak sawit sebagai target utama. Hal ini dapat ditelusuri dari latar belakang lahirnya kebijakan tersebut. Misalnya di USA, tercermin dari pernyataan senator Schatz (salah satu pengusung kebijakan tersebut) “…Half of the products in American grocery stores contain palm oil and most of that is coming from illegally deforested land around the world….”.
Demikian juga di EU, sejak awal sejak fase perancangan kebijakan tersebut EU telah menempatkan minyak sawit sebagai penyebab utama deforestasi (embodied deforestation) di kawasan negara tersebut (European Commission, 2013). Sehingga tidak mengherankan bahwa kebijakan tersebut sesungguhnya dirancang untuk menekan perkembangan industri sawit global.
JEJAK DEFORESTASI
Konsep embodied deforestasi yang dikembangkan EU (juga USA) sebagai dasar kebijakan deforestation free sesungguhnya tidak hanya berdimensi lokasi tapi juga berdimensi waktu. Deforestasi global tidak hanya terjadi saat ini di berbagai negara dunia, tetapi juga telah terjadi sejak awal peradaban manusia di planet bumi. Deforestasi merupakan suatu fonemena normal dalam tahap pembangunan sejak awal peradaban dimulai (Walker, 1993; Egli, 2001; Bhattarai et al., 2001; Kaplan et al., 2017; Keenan et al., 2015; PASPI Monitor, 2021).
Kaitan tahapan pembangunan global dengan deforestasi terkonfirmasi dengan jejak deforestasi global (Gambar 1). Proses pembangunan yang lebih dahulu berlangsung di daerah sub-tropis (seperti daratan Eropa, Amerika Utara) ditunjukkan dengan jejak deforestasi hutan sub-tropis (temperate forest) yang terjadi lebih awal yakni sebelum tahun 1990-an. Puncak deforestasi di temperate forest terjadi pada periode sebelum tahun (pra) 1700. Sementara itu, deforestasi yang menghabiskan virgin forest di USA terjadi dalam periode tahun 1600-1900 (Tchir & Jhonson, tt).
Kemudian negara-negara daerah tropis yang baru belakangan mulai membangun perekonomiannya, sehingga deforestasi hutan tropis (tropical forest) mulai intensif terjadi sejak tahun 1900-an. Puncak deforestasi hutan tropis terjadi pada periode tahun 1950-1979 (FAO, 2012; Roser, 2012).
Jejak deforestasi pada tropical forest dan non–tropical forest tersebut juga diperkuat oleh studi Matthew (1983). Pada periode pra-pertanian sampai tahun 1980 (Tabel 1), deforestasi hutan dunia telah mencapai 701 juta hektar yang terdiri dari deforestasi hutan non-tropis (653 juta hektar) dan deforestasi hutan tropis (48 juta hektar).
Tabel 1. Deforestasi Global Daerah Non-Tropis dan Tropis Era Pra-Pertanian
Pre-Agricultural Vegetation (Milion Ha) | Vegetation 1980 (Milion Ha) | Ecosystem Reduction (Milion Ha) | Ecosystem Reduction (Percent) | |
---|---|---|---|---|
Total world forest | 4,628 | 3,927 | 701 | 15.15 |
Tropical rainforest | 1,277 | 1,229 | 48 | 3.75 |
Non tropical forest | 3,351 | 2,698 | 653 | 19.50 |
Woodland | 1,523 | 1,310 | 213 | 13.80 |
Shrubland | 1,299 | 1,212 | 87 | 6.70 |
Grassland | 3,309 | 2,743 | 647 | 19.10 |
Tundra | 734 | 734 | – | – |
Desert | 1,582 | 1,557 | 25 | 1.60 |
Cultivation | 93 | 1,756 | -1663 | – |
Sebagian besar deforestasi hutan sub-tropis terjadi di daratan Eropa dan Amerika Utara. Hal ini tercermin dari penurunan forest cover di negara-negara Eropa (Gambar 2) sebelum tahun 1800 (Kaplan et al., 2009) dan di Amerika Utara (Gambar 3) (USDA, 2014). Hal ini juga terkonfirmasi oleh hilangnya hutan asli (virgin forest) di daratan Eropa. Studi Sabatini et al. (2018) dan Barredo et al. (2021) juga mengungkapkan bahwa luas hutan primer Eropa saat ini hanya tersisa 1.4 juta hektar yang tersebar di di Finlandia, Ukrania, Bulgaria dan Rumania.
Studi Houghton (1996) juga mengkonfirmasi pola deforestasi global tersebut. Dalam periode tahun 1850-1990, luas area lahan global yang telah dibuka meningkat dari 289 juta hektar menjadi 2.52 miliar hektar, terdiri dari temperate grass land seluas 1.6 miliar hektar, hutan tropis seluas 508 juta hektar, hutan temperate seluas 91 juta hektar dan 4 hektar hutan boreal.
Selama periode tahun 1850-1990, volume logging dari hutan boreal dan temperate meningkat dari 1 juta hektar per tahun menjadi 3.5 juta hektar per tahun. Peningkatan volume logging juga terjadi di temperate forest yaitu dari 3 juta hektar per tahun menjadi 6 juta hektar per tahun.
Sementara itu, volume logging dari hutan tropis pada tahun 1850 masih sangat kecil yaitu kurang 0.5 juta hektar per tahun kemudian meningkat menjadi 2 juta hektar per tahun tahun 1950 dan menjadi 8 juta hektar per tahun tahun 1980. Dengan demikian, selama periode tersebut sekitar lebih dari 1 miliar juta hektar hutan dunia telah mengalami logging atau sekitar 77 persen lebih tinggi dari konversi hutan menjadi lahan pertanian.
Fakta empiris (Gambar 4) menunjukkan bahwa virgin forest (primary forest) di Eropa dan USA lebih sedikit dibandingkan dengan di Indonesia. Hilangnya virgin forest di daratan Eropa maupun di Amerika Utara tersebut menunjukkan bahwa negara-negara tersebut melakukan deforestasi total pada masa awal pembangunanya di masa lalu. Deforestasi total tersebut menyebabkan hilangnya biodiversitas asli. Dimanakah biodiversity khas daratan Eropa dan Amerika Utara saat ini? Hal ini berbeda dengan di Indonesia, dimana virgin forest nya masih cukup luas sehingga “rumah” biodiversitas tropis masih relatif terlestarikan.
Dengan jejak deforestasi global tersebut dapat dipahami bahwa lahan-lahan pertanian di daerah Eropa, Amerika Utara dan daerah sub-tropis lainnya merupakan hasil dari deforestasi yang telah dilakukan sejak jaman dahulu.
Jika ditelusuri jejaknya, semua lahan komoditas global dapat dipastikan berkaitan dengan deforestasi. Demikian pula dengan kota-kota modern yang ada di negara-negara tersebut juga dapat dipastikan berasal dari deforestasi.
Hingga saat ini, deforestasi masih terus terjadi di berbagai belahan bumi. Berdasarkan studi European Commission (2013), luas deforestasi dunia selama periode 1990-2008 mencapai 239 juta hektar. Deforestasi pada periode tersebut terjadi di kawasan Benua Amerika (40 persen), Kawasan Afrika (31.6 persen) dan Kawasan Asia (26.2 persen). Sisanya berada di kawasan Eropa (1.5 persen) dan Oceania (2 persen).
Fakta yang menarik dari data tersebut adalah daratan Eropa dan Amerika Utara yang menjadi sentra deforestasi dunia pada periode era pra-pertanian hingga tahun 1980. Meskipun bukan lagi menjadi kawasan driver global deforestasi pada periode tahun 1990-2008, namun deforestasi di kedua kawasan negara tersebut masih terus berlanjut pada periode tersebut.
Dalam periode 1990-2008, kawasan dengan deforestasi global terbesar (driver) adalah Kawasan Amerika khususnya Amerika Selatan dan Amerika Tengah serta Kawasan Afrika, dimana sekitar 71 persen deforestasi dunia berada di kedua kawasan tersebut. Jika pangsa deforestasi yang terjadi di kawasan Asia ditambahkan dalam perhitungan, maka sekitar 97 persen deforestasi global yang terjadi dalam periode 1990-2008 berada pada ketiga kawasan tersebut.
Dengan demikian kiranya cukup jelas bahwa lahan-lahan non-hutan saat ini baik yang berada di EU, UK dan USA maupun di negara-negara dunia lainnya sebagian besar merupakan hasil deforestasi dari masa sebelumnya. Sehingga komoditas dan produk apapun yang dihasilkan dari lahan-lahan non-hutan di seluruh dunia, baik dikonsumsi domestik maupun diperdagangkan secara internasional, terkait dengan deforestasi.
Lantas apakah ada komoditas dan produk yang diproduksi dan diperdagangkan secara internasional tidak terkait dengan deforestasi sehingga dapat dikategorikan sebagai komoditas dan produk deforestation free?
Kebijakan deforestation free yang hanya menganggap minyak sawit, minyak kedelai, sapi, kakao, kopi (hanya EU), karet, wood product dan pulp, dan jagung sebagai forest-risk commodities, jelas tidak memiliki dasar yang kuat. Karena secara historis semua komoditi dan produk yang dihasilkan dari lahan non-hutan berkaitan dengan deforestasi.
Kesimpulan
Konsep embodied deforestation merupakan konsep yang mengkaitkan konsumsi suatu komoditi dan produk yang dihasilkan terkait dengan deforestasi. Deforestasi dapat terjadi pada negara dimana konsumsi komoditi/produk terjadi, namun dapat juga terjadi di negara lain melalui perdagangan dunia. Kebijakan deforestation free berdasarkan pada konsep embodied deforestation yang “memaksa” konsumen tidak mengkonsumsi komoditi atau produk yang terkait deforestasi (forest risk commodity).
Secara historis, deforestasi terjadi di hampir semua lahan non-hutan dunia merupakan hasil deforestasi pada masa lalu. Sehingga semua komoditas dan produk yang dihasilkan dari lahan non-hutan yang ada di setiap negara terkait dengan deforestasi. Hampir tidak ada komoditi dan atau produk yang tidak terkait dengan deforestasi. Oleh karena itu, kebijakan deforestation free yang hanya diberlakukan pada beberapa komoditi, memiliki argumen yang sangat lemah.
Daftar Pustaka
Barredo J, Brailesco C, Teller A, Sabatini FM, Mauri A, Janouskova K. 2021. Mapping and Assessment of Primary and Old-Growth Forests in Europe. European Commision: JRC Science for Policy Report.
Belmaker G. 2018. More than half of Europe’s forests lost over 6,000 years. [internet].
Bhattarai M, Haming M. 2001. Institution and The Environmental Kuznet Curve for Deforestation: A Cross Country Analysis for Latin America, Africa and Asia. World Development. 29(6): 995-1010.
Chain Reaction Research. 2022. EU Deforestation Regulation: Implications for Palm Oil Industry and Its Financers [internet].
Egli H. 2001. Area Cross Country Study of the Environmental Kuznet Curve Misleading? New evidence from time series data to Germany. Greifswald (DE): Universiteit Greifswald.
European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive: Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation. Final Report
[FAO] Food Agricultural Organization. 2007. Manual on Deforestation, Degradation, and Fragmentation Using Remote Sensing And GIS. Forestry Department. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Italy.
[FAO] Food Agricultural Organization. 2012. State of the World Forest. Rome.
[FAO] Food Agricultural Organization. 2018. Terms and Definition: Forest Resources Assessment 2020. Food and Agriculture Organization, United of Nations. Rome
Forest Resources Assessment 2015. Forest Ecology and Management. 352:9-20
Houghton RA. 1999. Land Use Change and Terrestrial Carbon: The Temporal Record in Forest Ecosystem, Forest Management and the Global Carbon Cycles (ed. MJ Apps & D.T. Price).
Houghton RA. 1999. Land Use Change and Terrestrial Carbon: The Temporal Record in Forest Ecosystem, Forest Management and the Global Carbon Cycles (ed. MJ Apps & D.T. Price).
Kaplan JO. 2017. Constraining the Deforestation History of Europe: Evaluation of Historical Land Use Scenarios with Pollen-Based Land Cover Reconstructions. Land. 1-20
Kaplan, J. K. M. Krumhardt. N. Zimmermann. 2009. The prehistoric and preindustrial deforestation of Europe. Quaternary Science Reviews 28 (2009) 3016–3034.
Keenan RJ. 2015. Dynamics of Global Forest Area: Results from the FAO Global Forest Resources Assessment 2015. Forest Ecology and Management. 352:9-20
Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity. Conservation Letters. 1(2).
Matthew E. 1983. Global Vegetation and Land Use: New High-Resolution Data Based for Climate Study. Journal of climate change and applied Meteorology. 22:474-487.
McCarty J. 2022. What Is the FOREST Act? Everything to Know About the US Bill to Fight Deforestation. [internet].
Monard E, B Manistis. 2021.The European Commission’s Proposed Ban on Products Driving Deforestation and Forest Degradation. [internet].
NoMorePlanet.com. (2020). Origins & History of Deforestation. [internet].
Panayotou T. 2003. Economic Growth and the Environment. Boston (USA): Harvard University and Cyprus International Institute of Management.
[PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2017. Myth and Fact: Indonesia Palm Oil Industry in Socio, Economic and Environment Issues. Bogor
PASPI Monitor. 2021. Deforestation a Normal Phenomenon in the Development Process? Palm Oil Journal: Analysis Isu Strategis. 11(3): 339-344.
Roda JM. 2019. The Geopolitics of Palm Oil and Deforestation. [internet].
Rostow WW. 1960. The Stages of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto. Cambridgeshie (UK): Cambridge University.
Sabatini FM, Burrascano S, Keeton WS, Levers C, Lindner M, Pötzschner F, Verkerk PJ, Bauhus J, Buchwald E, Chaskovsky O, Debaive N, Horváth F, Garbarino M, Grigoriadis M, Lombardi F, Duarte IM, Meyer P, Midteng R, Mikac S, Mikoláš M, Motta R, Mozgeris G, Nunes L, Panayotov M, Ódor P, Ruete A, Simovski B, Stillhard J, Svoboda M, Szwagrzyk J, Tikkanen OP, Volosyanchuk R, Vrska T, Zlatanov T, Kuemmerle T. 2018. Where are Europe’s last primary forests? Biodiversity Review Diversity and Distribution. 24(10): 1426-1439.
Tchir TL, E Johnson. Deforestation in North America: Past, Present and Future. Regional Sustainable Development Review: Canada and USA.
UK Parliament. 2021. Environment Act 2021: Government Bill.
[USDA] United States of Department Agriculture. 2014. US Forest Resource Facts and Historical Trend. Washington DC.
Vancura V. (2020). The History of European Forest Exploitation. [internet].
Vayda AP. 1999. Finding Causes of the 1997-1998 Indonesian Forest Fires: Problems and Possibilities. WWF Indonesia forest fires project. Jakarta (ID): WWF Indonesia.
Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 1-19.
Walker. 1993. Deforestation and Economic Development.
Weiss J, K Shin. 2021. Potential Implications of the FOREST Act of 2021 and Related Developments in Other Jurisdictions.
Weiss J, K Shin, E Monard, S Tilling 2022. Comparing Recent Deforestation Measures of the United States, European Union, and United Kingdom. [internet].
Wicke B. 2008. Drivers of Land Use Change and The Role of Palm Oil Production in Indonesia and Malaysia Overview of Past Developments and Future Projections Final Report. Utrecht (NLD): Science, Technology and Society Copernicus Institute for Sustainable Development and Innovation Utrecht University.
Vol. III, No. 21/12/2022
MENYIKAPI KEBIJAKAN ANTI DEFORESTASI UNI EROPA PADA MINYAK SAWIT 2023
Poin-Poin Inti
- Kebijakan anti deforestasi UE memiliki potensi menimbulkan ketidakpastian perdagangan minyak sawit ke UE.
- Ketidakpastian ini berasal dari variasi definisi hutan, deforestasi, dan degradasi hutan, serta metodologi yang digunakan.
- Hal ini merugikan negara eksportir maupun masyarakat/industri konsumen minyak sawit di UE.
- Pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah diplomasi dan antisipasi terhadap kebijakan anti deforestasi UE.
- Langkah antisipatif antara lain adalah mengalihkan pasar ekspor minyak sawit dari UE dan/atau peningkatan penggunaan domestik, dan ekspansi mandatori biodiesel.
Pendahuluan
Kebijakan anti-deforestasi (deforestation-free) Uni Eropa (UE) untuk sejumlah komoditas pertanian/peternakan, termasuk minyak sawit, telah disahkan parlemen UE dan mulai berlaku mulai tahun 2023 (Monard dan Manistis, 2021; Chain Reaction Research, 2022). Kebijakan UE tersebut mengikuti kebijakan yang sama yang lebih dahulu disahkan oleh Inggris yakni Environment Act 2021 (UK Parliement, 2021 Weiss, et. al 2022) dan Amerika Serikat yakni FOREST 21 (Weiss dan Shin, 2021; McCarty, 2022).

Kebijakan “anti-deforestasi” UE melarang seluruh komoditas dan produk turunan yang terkait dengan deforestasi (forest risk commodity) masuk ke pasar Uni Eropa. Selain minyak sawit dan produk turunannya, komoditas dan produk yang diberlakukan kebijakan anti deforestasi adalah minyak kedelai, sapi, kakao, kopi, wood product dan pulp, baik untuk komoditas/produk yang berasal dari domestik maupun impor.
Jika pada kebijakan RED-II ILUC periode 2020-2030, UE mem-phase out secara bertahap minyak sawit hanya untuk biofuel, kebijakan “anti deforestasi” Uni Eropa tersebut menyasar minyak sawit dan semua produk olahannya baik untuk pangan, oleokimia maupun biofuel.
Bagi Indonesia, meskipun komoditi lain juga penting, namun dampak kebijakan anti deforestasi, khususnya pada minyak sawit dan produk turunanya, perlu memperoleh perhatian yang lebih serius. Selain UE merupakan salah satu pasar tradisional minyak sawit Indonesia, dikhawatirkan juga kebijakan serupa dapat saja menular ke negara importir produk sawit yang lain.
Artikel ini akan mendiskusikan risiko baru dalam perdagangan minyak sawit ke pasar UE yang perlu diantisipasi bersama. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai dampak kebijakan tersebut bagi Indonesia dan strategi untuk menyikapi atau memitigasi kebijakan tersebut.
KETIDAKPASTIAN DALAM KEBIJAKAN ANTI DEFORESTASI
Tradisi perumusan kebijakan perdagangan minyak nabati UE khususnya minyak sawit, selalu diiringi dengan hal yang kontroversial. Perumusan kebijakan impor minyak sawit UE lebih mengedepankan isu politik dan tekanan NGO dibandingkan dengan dasar rasionalitas kepentingan objektif kawasan negara itu sendiri.
Asal usul kebijakan anti deforestasi yang baru saja diadopsi UE berasal dari tekanan NGO anti sawit yang berkolaborasi dengan para politisi di parlemen UE. Kebijakan yang dikeluarkan tidak didasari terlebih dahulu dengan analisis Regulatory Impact Assessment yang komprehensif. Akibatnya bukan hanya menghasilkan kebijakan yang mentah, tetapi juga menimbulkan banyak ketidakpastian (uncertainty).
Kebijakan anti deforestasi UE tersebut dalam implementasinya akan didasarkan pada uji tuntas (Due Diligent) dengan prinsip dapat telusuri (traceability). Negara-negara eksportir yang menjual minyak sawit ke pasar UE akan digolongkan pada tiga golongan yakni yakni low-risk, standard-risk dan high-risk, sehingga secara a priori sesungguhnya UE telah memastikan semua negara eksportir komoditas tersebut terkait dengan deforestasi. Kebijakan anti deforestasi juga mencakup deforestasi legal, ilegal dan forest degradation.
Kebijakan yang demikian meningkatkan ketidakpastian (uncertainty) dalam perdagangan minyak sawit. Pertama, kebijakan anti deforestasi tersebut terkait dengan definisi hutan dan deforestasi yang digunakan. Ada ratusan definisi hutan dan deforestasi yang dianut oleh negara-negara di dunia yang merupakan kombinasi antara densitas pohon (tree density), tinggi pohon (tree height), tata guna lahan (land use), status legalitas (legal standing) dan fungsi ekologis (Schuck et al., 2002; Lund, 2013; FAO, 2018; PASPI Monitor, 2022a).
Studi Lund (2013) menemukan bahwa definisi hutan berbeda-beda dari aspek administratif, land cover, land use, land capability, serta menemukan hampir 1,600 pengertian “hutan” dan 240 definisi “pohon” di berbagai negara dunia baik pada level lokal, nasional, maupun internasional. Definisi hutan juga berbeda antar negara-negara UE. Studi Schuck et al. (2002) yang mengungkapkan bahwa di daratan Eropa juga terdapat variasi term dan definisi hutan yang berlaku di masing-masing negara Eropa.
Pertanyaannya adalah definisi hutan yang mana yang digunakan dalam implementasi kebijakan anti deforestasi tersebut? Perbedaan definisi hutan yang digunakan akan menimbulkan gugat-menggugat, ketegangan perdagangan, serta menimbulkan ketidakpastian perdagangan.
Kedua, kebijakan anti deforestasi UE menyangkut deforestasi legal, deforestasi ilegal, dan degradasi hutan (forest degradation) yang terjadi baik di dalam negeri maupun di negara lain (internasional). Ketidakpastian definisi hutan juga merambat pada ketidakpastian definisi deforestasi. Definisi deforestasi mana yang akan digunakan dalam menentukan suatu land use change sebagai deforestasi atau bukan?
Demikian juga definisi degradasi hutan, berapa besar kerusakan hutan sehingga dikategorikan sebagai forest degradation? Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di dalam negera anggota UE, apakah sama dengan definisi yang ditetapkan secara internasional? Dan lembaga apa yang memiliki otoritas untuk memverifikasi deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di masing-masing negara anggota UE?
Ketiga, sejak kapan deforestasi diperhitungkan? Deforestasi dunia telah terjadi sejak peradaban manusia di planet bumi. Eropa dan Amerika Utara lebih dahulu melakukan deforestasi kemudian baru terjadi di belahan dunia yang lain. Kapan titik awal deforestasi diperhitungkan? Menurut informasi deforestasi mulai dihitung sejak tahun 2020. Jika demikian, apakah asal usul kebun sawit eksisting tahun 2020 tidak lagi dipersoalkan asal usul lahan dimasa lalu? Sehingga kebijakan tersebut hanya mempersoalkan asal usul kebun sawit yang dibangun setelah tahun 2020?
Keempat, mengapa kebijakan anti deforestasi hanya diberlakukan pada minyak sawit dan minyak kedelai dunia? Apakah minyak rapeseed dan minyak bunga matahari baik yang diproduksi oleh Uni Eropa maupun negara lain di luar UE, sudah dipastikan tidak terkait deforestasi? Pemberlakuan diskriminatif tersebut dapat dikategorikan sebagai praktek crop apharteid dalam perdagangan minyak nabati dunia.
Kelima, minyak nabati yang masuk ke pasar UE terdiri atas berbagai jenis, berasal dari berbagai negara, bahkan berasal dari berbagai variasi asal usul ekosistem/lahan. Dalam desain kebijakan anti deforestasi UE melalui due diligent yang membuat kategori low-risk, standard-risk dan high-risk deforestasi. Terkait hal tersebut, bagaimana UE melakukan due diligent yang sangat komplek tersebut?
Dengan kelima ketidakpastian dalam kebijakan anti deforestasi tersebut akan bermuara pada ketidakpastian kebijakan perdagangan minyak sawit ke pasar UE. Kebijakan anti deforestasi yang penuh ketidakpastian tersebut menjadi bentuk baru non-tariff trade barrier untuk minyak sawit ke pasar UE. Hal ini akan makin menjauhkan prinsip fairness trade dari pasar UE.
Ketidakpastian yang diciptakan kebijakan anti deforestasi tersebut pada akhirnya akan menjadi beban baru baik bagi konsumen minyak nabati UE maupun bagi produsen minyak nabati global. Instabilitas pasokan dan harga akan menjadi resiko baru bagi konsumen minyak nabati maupun produsen minyak nabati.
MENYIKAPI ANTI DEFORESTASI
Selama ini, penggunaan minyak sawit di EU mengalami perubahan. Sampai tahun 2008, hampir 80 persen minyak sawit yang diimpor EU digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan industri toiletries. Sementara itu, penggunaan minyak sawit untuk energi hanya sekitar 20 persen. Sepuluh tahun kemudian penggunaan minyak sawit di EU berubah drastis.
Pada tahun 2018 sekitar 65 persen digunakan untuk produk energi baik biodiesel maupun pembangkit listrik. Sedangkan sisanya yakni sebesar 35 persen digunakan untuk pangan, pakan, dan industri toiletries (Transport and Environment, 2019).
Sejak tahun 2015, volume impor minyak sawit UE cenderung menurun (PASPI Monitor, 2022b). Volume impor minyak sawit UE pada tahun 2015 sekitar 7.4 juta ton tahun 2015, kemudian menurun menjadi 6.9 juta ton pada tahun 2021. Pangsa UE dalam total impor minyak sawit dunia juga menunjukkan tren penurunan yakni dari sekitar 17 persen menjadi 14 persen pada periode yang sama. Fern (2022) dan Chain Reaction Research, (2022) memperkirakan dengan kebijakan RED II, volume impor minyak sawit EU akan turun menjadi sekitar 4 juta ton pada tahun 2030.
Pasar UE merupakan salah satu pasar ekspor minyak sawit Indonesia yang juga mengalami tren yang semakin menurun baik volume maupun pangsa. Volume ekspor minyak sawit Indonesia ke UE pada tahun 2017 masih sekitar 5 juta ton, kemudian menurun menjadi 4.6 juta ton pada tahun 2021. Dibandingkan dengan total volume ekspor minyak sawit Indonesia selama periode tersebut, pangsa UE menurun dari 16 persen menjadi 13 persen. Tampaknya berbagai hambatan perdagangan yang diterapkan UE terhadap minyak sawit Indonesia, telah membuat Indonesia mengurangi ketergantungan pada pasar UE.
Jika kebijakan anti deforestasi tersebut diberlakukan UE, maka penurunan ekspor minyak sawit dari Indonesia ke UE diperkirakan akan makin cepat. Meskipun ketergantungan ekspor minyak sawit Indonesia pada pasar UE makin berkurang, pemerintah Indonesia perlu merespons kebijakan UE tersebut, yakni dengan:
Pertama, Pemerintah Indonesia bersama dengan negara produsen minyak sawit dunia (baik anggota maupun bukan anggota CPOPC) menyampaikan protes keras atas kebijakan anti deforestasi UE tersebut sebagai kebijakan yang mengandung banyak ketidakpastian, diskriminatif, serta bentuk crop apherteid dan proteksionisme perdagangan gaya baru, sehingga berpotensi memicu perang dagang dunia.
Kedua, Indonesia juga perlu melakukan ancaman kebijakan retaliasi perdagangan atas produk-produk ekspor UE ke Indonesia.
Ketiga, Bersama dengan negara-negara produsen minyak sawit, minyak kedelai, negara ekportir kopi dan kakao dunia, mengajukan gugatan ke WTO.
Keempat, kebijakan ini juga dapat dijadikan momentum bagi Indonesia untuk menerapkan prinsip embodied greenhouse gasses untuk Uni Eropa yakni dengan mengkaitkan emisi GHG yang dihasilkan Uni Eropa dengan produk yang diekspor ke Indonesia (Pigouvian Tax). Sebagaimana diketahui emisi GHG Uni Eropa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan emisi GHG Indonesia (PASPI Monitor, 2021b). Oleh karena itu, setiap produk yang dihasilkan di daratan UE merupakan produk yang memiliki emisi GHG yang lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia, sehingga dengan prinsip Polluter Pays Principle, maka semua produk Uni Eropa ke Indonesia dapat dikenakan Pigouvian Tax.
Kelima, Indonesia perlu segera mempersiapkan pengalihan ekspor minyak sawit dari Uni Eropa ke kawasan/negara lain dan/atau meningkatkan penyerapan domestik melalui ekspansi mandatori biodiesel dari B30 ke B35/B40. Ekspansi mandatori biodiesel domestik tersebut akan meningkatkan penyerapan minyak sawit domestik sekitar 3.5 juta ton per tahun. Sehingga jika UE benar-benar memberlakukan kebijakan anti deforestasi dengan implikasi dapat menurunkan bahkan menghentikan ekspor minyak sawit ke pasar UE, maka industri sawit Indonesia tidak kekurangan pasar untuk menyerap minyak sawitnya.
Langkah antisipatif yang demikian telah berhasil dilakukan Indonesia pada periode 2015-2020 yakni ketika UE mengurangi impor minyak sawit, namun hal tersebut tidak berdampak negatif pada industri sawit nasional.
Kombinasi kebijakan diversifikasi pasar ekspor dan peningkatan penyerapan domestik terbukti mampu tetap meningkatkan kinerja ekspor minyak sawit Indonesia baik dari segi volume maupun nilai. Selain itu, dengan ekspansi mandatori biodiesel dari B10 ke B30 selama periode 2015-2021, juga berhasil menghemat devisa impor solar (PASPI Monitor, 2021a).
Kesimpulan
Kebijakan anti deforestasi yang diberlakukan Uni Eropa berpotensi besar menciptakan berbagai ketidakpastian perdagangan minyak sawit ke pasar UE. Ketidakpastian yang dimaksud bersumber dari ketidakpastian variasi definisi hutan yang kemudian juga berimplikasi pada variasi definisi deforestasi dan degradasi hutan, serta metodologi due diligent dan dasar klasifikasi low, mid, and high-risk deforestation yang digunakan.
Ketidakpastian tersebut akan merugikan baik negara-negara eksportir minyak sawit maupun masyarakat/industri konsumen minyak sawit di UE. Menyikapi kebijakan anti deforestasi tersebut Pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah diplomasi dan antisipasi. Bersama dengan negara-negara produsen minyak sawit (maupun negara produsen komoditas/produk lainnya yang menjadi target kebijakan) melakukan langkah protes, gugatan dan retaliasi atas kebijakan tersebut.
Sedangkan langkah antisipatif, Indonesia perlu mengalihkan pasar ekspor minyak sawit dari UE ke negara/kawasan lain dan/atau peningkatan penggunaan domestik. Ekspansi mandatori biodiesel dari B30 ke B40 diperkirakan dapat meredam dampak kebijakan anti deforestasi UE tersebut terhadap industri sawit nasional.
Daftar Pustaka
Chain Reaction Research. 2022. EU Deforestation Regulation: Implications for Palm Oil Industry and Its Financers.
Fern. 2022. Palm Oil Production, Consumption and Trade Patterns: The Outlook from An Eu Perspective.
Lund HG. 2013. Definitions of Forest, Deforestation, Reforestation and Afforestation. Gainesville, VA: Forest Information Services.
McCarty J. 2022. What Is the FOREST Act? Everything to Know About the US Bill to Fight Deforestation.
Monard E, B Manistis. 2021. The European Commission’s Proposed Ban on Products Driving Deforestation and Forest Degradation.
PASPI Monitor. 2021a. Multiple Benefits of The Palm Oil Biodiesel Mandatory. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(16): 369-376.
PASPI Monitor. 2021b. Greenhouse Gases Footprint and Top Global Emitters. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(19): 391-396.
PASPI Monitor. 2022a. “Deforestation-Free” Policies and It’s Polemic. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(16): 683-688.
PASPI Monitor. 2022b. “Deforestation-Free” Policy for Palm Oil Cause Wider Global Deforestation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(19): 709-713.
Santosa Y, A Sunkar. RT Kwatrina. 2020. Is it True that Oil Palm Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation? International journal of Oil Palm. 3(1):1-10.
Schuck A, R Paivenan, T Hytonen, B Pajari. 2002. Compilation of Terms and Definitions. European ForestInstitute. Internal Report No.6, 2002.
UK Parliament. 2021. Environment Act 2021: Government Bill.
Weiss J, K Shin. 2021. Potential Implications of the FOREST Act of 2021 and Related Developments in Other Jurisdictions. [internet].
Weiss J, K Shin, E Monard, S Tilling 2022. Comparing Recent Deforestation Measures of the United States, European Union, and United Kingdom. [internet].
Vol. III, No. 19/11/2022
KEBIJAKAN “DEFORESTASI-FREE” MINYAK SAWIT MEMICU DEFORESTASI GLOBAL LEBIH BESAR
Poin-Poin Inti
- Dengan maksud untuk menurunkan atau menghentikan deforestasi global, tiga negara (EU, UK, USA) telah memberlakukan kebijakan deforestation-free pada berbagai komoditi termasuk minyak sawit.
- Dalam lima tahun terakhir, rata-rata konsumsi minyak sawit di EU, USA dan UK berturut-turut adalah 7.2 juta ton/tahun, 1.9 juta ton/tahun dan 0.4 juta ton/tahun.
- Jika deforestation-free minyak sawit benar benar diberlakukan pada ketiga negara tersebut, maka deforestasi dunia akan bertambah seluas 13.7 juta hektar untuk ekspansi minyak nabati rapeseed sebagai pengganti minyak sawit.
- Hal ini berarti dunia kehilangan hutan seluas 13.7 juta hektar.
Pendahuluan
Uni Eropa (EU) telah mengeluarkan dan memberlakukan kebijakan perdagangan baru yakni kebijakan bebas deforestasi (deforestation-free) terhadap sejumlah komoditas, termasuk minyak sawit (PASPI Monitor, 2022a,b,c). Kebijakan tersebut tertuang pada Regulation on Deforestation-free Commodity/Product yang dikeluarkan pada bulan September 2022 dan akan diberlakukan pada tahun 2023.
Sebelumnya, Amerika Serikat (USA) juga telah lebih dahulu memberlakukan kebijakan serupa yakni Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act (FOREST Act 2021) sejak tahun 2021. Selain itu Inggris (UK) juga telah memberlakukan “deforestation-free” yakni melalui UK Environment Act 2021 yang berlaku sejak tahun 2021.
Kebijakan ketiga negara/kawasan tersebut memiliki prinsip yang sama yakni “deforestation-free” yakni menghentikan atau menghilangkan perdagangan komoditas/produk yang proses produksinya terkait deforestasi baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Tujuan implementasi kebijakan tersebut adalah untuk menekan atau bahkan menghentikan terjadinya deforestasi global.
Terdapat sejumlah perbedaan kebijakan anti-deforestasi dari EU, UK dan USA tersebut (UK Parliement, 2021; Weiss & Shin, 2021; Monard & Manistis, 2021; McCarty, 2022; Weiss et al., 2022; Chain Reaction Research, 2022) antara lain: Pertama, “deforestation-free” diberlakukan pada deforestasi ilegal (USA, UK), sementara kebijakan yang diimplementasikan di EU mencakup deforestasi legal, ilegal dan forest degradation. Kedua, komoditi dan produk yang menjadi target kebijakan tersebut adalah apa yang mereka sebut sebagai forest risk commodity, baik yang berasal dari domestik dan impor (untuk EU dan UK) sedangkan untuk USA hanya berlaku untuk komoditi dan produk impor. Ketiga, negara-negara eksportir komoditi/produk forest risk wajib dilakukan uji tuntas (Due Diligence) sehingga dapat dikategorikan menjadi tiga golongan berdasarkan kriteria “deforestation-free” yakni low-risk, standard-risk dan high-risk.
Meskipun ada beberapa komoditi yang menjadi target kebijakan “deforestation-free” ketiga negara/kawasan tersebut, tampaknya minyak sawit telah menjadi target utama kebijakan tersebut. Hal ini dapat ditelusuri dan terlihat dari latar belakang lahirnya kebijakan tersebut. Misalnya di USA, tercermin dari pernyataansenator Schatz (salah satu pengusung kebijakan tersebut) “…Half of the products in American grocery stores contain palm oil and most of that is coming from illegally deforested land around the world….”. Demikian juga di EU, sejak awal perancangan kebijakan tersebut EU telah menempatkan minyak sawit sebagai EU main driven of deforestation (embodied deforestation) (European Commission, 2013). Sehingga tidak berlebihan jika ada pandangan yang mengatakan bahwa kebijakan tersebut sesungguhnya dirancang untuk menekan perkembangan industri sawit global.
Formulasi kebijakan tersebut kemudian memunculkan pertanyaan kritis. Apakah benar dengan implementasi kebijakan deforestation-free minyak sawit tersebut dapat mengurangi deforestasi global dalam produksi minyak nabati dunia? Tulisan pada artikel ini akan mendiskusikan jawaban pertanyaan tersebut. Selain itu juga didiskusikan relevansi kebijakan tersebut dengan tujuan, apakah benar kebijakan tersebut bertujuan untuk mengurangi deforestasi atau sebaliknya, justru meningkatkan deforestasi global dalam penyediaan minyak nabati dunia?
KONSUMSI MINYAK SAWIT
Kawasan/negara EU, UK dan USA merupakan salah satu tujuan ekspor minyak sawit dunia. Dalam konsumsi minyak nabati di EU (termasuk UK), minyak sawit menempati pangsa kedua terbesar setelah minyak rapeseed. Sedangkan pada struktur konsumsi minyak nabati di USA, minyak sawit menempati urutan ketiga setelah minyak kedelai dan minyak rapeseed.
Dalam periode tahun 2016-2021 (Gambar 1), rata-rata volume impor minyak sawit EU sekitar 7.2 juta ton per tahun.
Volume impor minyak sawit EU tahun 2016 masih sekitar 7.6 juta ton kemudian meningkat menjadi 7.9 juta ton tahun 2019, namun terus mengalami penurunan hingga menjadi 6.4 juta ton tahun 2021.
Penggunaan minyak sawit di EU telah mengalami perubahan. Hingga pada tahun 2008, hampir 80 persen minyak sawit yang diimpor EU digunakan untuk pangan, pakan dan industri toiletries. Sementara itu, penggunaan minyak sawit untuk energi hanya sekitar 20 persen. Sepuluh tahun kemudian penggunaan minyak sawit di EU berubah drastis. Pada tahun 2018, sekitar 65 persen digunakan untuk energi baik biodiesel maupun pembangkit listrik. Sedangkan sisanya yakni sebesar 35 persen digunakan untuk pangan, pakan dan industri toiletries (Transport and Environment, 2019).
Penurunan volume impor EU sejak tahun 2020 terkait dengan kebijakan RED II yang melakukan phase-out minyak sawit untuk biofuel EU secara bertahap mulai tahun 2020 menuju tahun 2030. Diperkirakan dengan RED II tahun 2030, volume impor minyak sawit EU akan turun menjadi sekitar 4 juta ton (Fern, 2022; Chain Reaction Research, 2022).
Berbeda dengan EU, volume impor minyak sawit USA secara rataan masih sekitar 1.9 juta ton per tahun. Volume impor tersebut mengalami peningkatan dari 1.7 juta ton tahun 2016 meningkat menjadi 2.1 juta ton tahun 2021. Demikian juga dengan volume impor minyak sawit UK masih cenderung meningkat yakni dari sekitar 449 ribu ton menjadi sekitar 490 ribu ton pada periode yang sama, atau meningkat dengan rata-rata sekitar 452 ribu ton per tahun.
Jika dibandingkan total volume impor sawit dunia, pangsa tiga negara/kawasan “deforestation-free” tersebut relatif kecil. Volume total impor minyak sawit dunia sekitar 46.8 juta ton hingga 53.6 juta ton atau rata-rata 52.8 juta ton per tahun. Pangsa ketiga kawasan tersebut (EU, USA, UK) hanya sekitar 17.6 persen dari total import dunia.
Dengan demikian, jika kebijakan “deforestation-free” diberlakukan dan menyebabkan minyak sawit tidak boleh masuk ke pasar tiga negara/kawasan tersebut, dampaknya bagi pasar minyak sawit dunia tidak terlalu signifikan. Selain negara negara produsen minyak sawit dapat mengalihkan ke negara lain, negara-negara produsen minyak sawit dunia seperti Indonesia juga dapat memperbesar penggunaan untuk biodiesel/biofuel domestik. Artinya, jika maksud kebijakan “deforestation-free” yang diberlakukan EU, USA, UK tersebut adalah untuk menghentikan deforestasi yang dialamatkan pada minyak sawit, tidak akan dapat menghentikan atau mengurangi deforestasi global (Chain Reaction Research, 2022).
DEFORESTASI MAKIN BESAR
Jika ditelusuri sejarah deforestasi dunia (PASPI Monitor, 2021a,b) mengungkapkan bahwa secara historis seluruh daratan di dunia terkait dengan deforestasi dunia sejak awal peradaban hingga saat ini. Perbedaanya hanya soal waktu terjadinya deforestasi. Daerah sub-tropis seperti Uni Eropa dan Amerika Utara lebih dahulu melakukan deforestasi, sementara daerah tropis melakukan deforestasi kemudian. Oleh karena itu, semua komoditas atau produk yang dihasilkan dari atas lahan bekas deforestasi, jelas terkait deforestasi. Sehingga tak satupun komoditas atau produk yang dihasilkan dari daratan bumi yang tidak terkait dengan deforestasi. Artinya adalah tidak adil untuk menuduh delapan komoditi saja (termasuk minyak sawit) sebagai deforestation risk comodity.
Andaikan benar bahwa minyak sawit dunia terkait dengan deforestasi global dan hasil due diligent deforestasi yang dilakukan ketiga negara tersebut memutuskan bahwa minyak sawit tidak lolos kriteria deforestation-free, sehingga minyak sawit tidak boleh masuk ke ketiga negara tersebut. Lantas apa yang terjadi, apakah deforestasi dunia berkurang? Untuk menjawab hal tersebut mari kita lihat skenario yang disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Skenario Luas Tambahan Deforestasi Global Jika EU, USA dan UK Mengganti Konsumsi Minyak Sawit Dengan Minyak Rapeseed
Kebutuhan Minyak Sawit (000 ton per tahun) | Tambahan Luas Areal (deforestasi global) jika Minyak Sawit Digantikan Rapeseed (ha) | |
---|---|---|
EU-27 | 7,224 | 10,320,000 |
United States | 1,926 | 2,751,429 |
United Kingdom | 452 | 645,714 |
Total | 9,602 | 13,717,143 |
Dalam 5 tahun terakhir, konsumsi minyak sawit EU, USA dan UK berturut-turut sebesar 7.2 juta ton per tahun, 1.9 juta ton per tahun dan 0.4 juta ton per tahun. Sehingga konsumsi total minyak sawit pada tiga negara tersebut adalah sekitar 9.6 juta ton per tahun.
Jika EU dengan kebijakan deforestation-free menolak mengkonsumsi minyak sawit, maka EU harus mengalihkan konsumsi minyak sawit ke minyak rapeseed (minyak nabati utama di EU). Tambahan minyak rapeseed yang diperlukan EU sebesar 7.2 juta ton per tahun. Untuk memperoleh tambahan 7.2 juta ton minyak rapeseed untuk EU, maka dunia harus memperluas/ekspansi areal tanaman rapeseed seluas 10.3 juta hektar (dengan asumsi produktivitas minyak tanaman rapeseed 0.7 ton minyak per hektar).
Demikian juga UK, jika negara tersebut memutuskan tidak mengkonsumsi minyak sawit dengan kebijakan deforestation-free nya, maka UK memerlukan tambahan 0.4 juta ton minyak rapeseed (juga merupakan minyak nabati utama di negara bersangkutan). Untuk menyediakan tambahan minyak rapeseed untuk negara tersebut, maka ekspansi kebun rapeseed dunia dilakukan seluas 645 ribu hektar.
Bagaimana dengan USA? Konsumsi minyak nabati kedua terbesar USA juga adalah minyak rapeseed. Jika USA dengan kebijakan deforestation-free melarang mengkonsumsi minyak sawit, maka USA memerlukan tambahan minyak rapeseed sebesar 1.9 juta ton per tahun. Untuk menyediakan 1.9 juta ton tambahan minyak rapeseed untuk USA, maka diperlukan tambahan ekspansi rapeseed dunia dengan luas sekitar 2.7 juta hektar.
Dalam kebijakan deforestation-free USA, juga terdapat minyak kedelai sebagai salah satu produk yang ditargetkan oleh kebijakan tersebut. Meskipun banyak pengamat meragukannya karena USA adalah salah satu produsen sekaligus konsumen kedelai terbesar dunia. Jika minyak kedelai juga ikut dalam sasaran deforestation-free, maka konsekuensinya lebih luas dan kompleks. Tambahan deforestasi global akan semakin luas untuk mengganti minyak kedelai. Dengan skenario tersebut, jika tiga negara tersebut (EU, UK, USA) benar-benar menerapkan kebijakan deforestation-free untuk minyak sawit, maka tambahan deforestasi dunia adalah sebesar 13.7 juta hektar untuk ekspansi kebun minyak rapeseed. Bukankah kebijakan deforestation-free minyak sawit tersebut justru memperbesar deforestasi global?
Kesimpulan
Dengan maksud untuk menurunkan atau menghentikan deforestasi global, tiga negara (EU, UK, USA) telah memberlakukan kebijakan deforestation-free pada berbagai komoditi termasuk minyak sawit. Dalam lima tahun terakhir, rata-rata konsumsi minyak sawit di EU, USA dan UK berturut-turut adalah 7.2 juta ton/tahun, 1.9 juta ton/tahun dan 0.4 juta ton/tahun.
Jika deforestation-free minyak sawit benar benar diberlakukan pada ketiga negara tersebut, maka deforestasi dunia akan bertambah seluas 13.7 juta hektar untuk ekspansi minyak nabati rapeseed sebagai pengganti minyak sawit. Hal ini berarti dunia kehilangan hutan seluas 13.7 juta hektar. Mengingat produktivitas minyak sawit jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman minyak nabati lain, maka segala bentuk kebijakan dan atau kampanye yang bertujuan menurunkan atau melarang konsumsi minyak sawit dunia, akan dibayar dengan kenaikan deforestasi global atau kehilangan hutan dunia.
Daftar Pustaka
Beyer R, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts Of Palm Oil And Its Alternatives.
Beyer R, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact? Sustainability. 13: 1813.
Chain Reaction Research. 2022. EU Deforestation Regulation: Implications for Palm Oil Industry and Its Financers [internet].
McCarty J. 2022. What Is the FOREST Act? Everything to Know About the US Bill to Fight Deforestation. [internet].
Monard E, B Manistis. 2021. The European Commission’s Proposed Ban on Products Driving Deforestation and Forest Degradation. [internet].
PASPI Monitor. 2021a. Palm Oil Industry Saves Global Deforestation? Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(18): 383-390.
PASPI Monitor. 2021b. Palm Oil Free is Driving the Global Deforestation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(14):357-361.
PASPI Monitor. 2022a. “Deforestation-Free” Policies and It’s Polemic. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(15): 683-688.
PASPI Monitor. 2022b. Palm Oil in “Deforestation-Free” Countries/Regions. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3 (16): 689-694.
PASPI Monitor. 2022c. “Deforestation-Free” Policy, Embodied Deforestation and Deforestation Footprints. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(17): 695-702.
UK Parliament. 2021.Environment Act 2021: Government Bill.
Weiss J, K Shin. 2021. Potential Implications of the FOREST Act of 2021 and Related Developments in Other Jurisdictions.
Weiss J, K Shin, E Monard, S Tilling 2022. Comparing Recent Deforestation Measures of the United States, European Union, and United Kingdom. [internet].
Unduh Jurnal
Vol. I, No. 25/2015
DEFORESTASI MERUPAKAN FENOMENA NORMAL DAN RASIONAL DALAM PROSES PEMBANGUNAN
Poin-Poin Inti
- Deforestasi merupakan fenomena normal dan rasional sebagai bagian dari proses pembangunan di setiap negara.
- Peningkatan kebutuhan lahan dan ruang dari penduduk dan pembangunan hanya dapat dipenuhi dengan deforestasi.
- Deforestasi global pada periode tahun 1990-2008 seluas 239 juta hektar, sebagian besar(64 persen) terjadi di Amerika Selatan dan Afrika, sedangkan dikawasan Asia Tenggara hannya 19 persen termasuk di Indonesia.
- Sekitar 55 persen deforestasi global diperuntukkan untuk kebutuhan pertanian global dan yang paling besar (53.7 juta hektar) adalah untuk peternakan sapi di Amerika Selatan.
- Perkebunan kelapa sawit Indonesia bukanlah penyebab deforestasi terbesar dunia.
Pendahuluan
Deforestasi (konversi hutan ke peng-gunaan lain) menjadi kata yang sering dipakai oleh LSM trans nasional maupun lokal untuk menyerang perkebunan sawit di Indonesia. Bahkan dalam berbagai forum internasional para LSM telah berhasil mengangkat isu deforestasi sebagai sesuatu yang harus dicegah.
Mulai dari Palm Oil Free, Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP), Gonernor’s Climate and Forest Task Force (GCF) yang ditandatangani para Gubernur Kalimantan, promosi “Membeli yang Baik ” yang sedang diedukasi LSM di Indonesia saat ini, merupakan bagian dari gerakan anti deforestasi. Repotnya di Indonesia, para pejabat negara dan perusahaan-perusahaan besar tunduk pada tekanan LSM dan dengan mudah menandatangani yang sesuatu yang tidak dimengerti dengan benar dan memiliki implikasi luas bagi Indonesia yang sedang membangun.
Deforestasi merupakan fenomena yang normal terjadi dalam poses pembangunan disetiap negara sekalipun di Eropa maupun di Amerika Serikat. Deforestasi juga merupakan pilihan rasional untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di setiap negara. Jika ditelusuri ke sejarah masa lalu setiap negara, semua kota-kota, kawasan industri/bisnis, pemukiman, lahan pertanian/perkebunan di seluruh dunia, merupakan hasil deforestasi.
Tentu saja seharusnya ada titik untuk berhenti untuk deforestasi. Di negara-negara Eropa dan Amerika Utara titik berhentinya tidak ada pada masa pem-bangunannya di masa lalu. Bagi Indonesia UU No. 41/1999 tentang Kehutanan telah membuat titik untuk berhenti deforestasi yakni sampai luas hutan minimal 30 persen dari luas daratan. Saat ini luas kawasan hutan menurut Statistik Kehutanan (2014) masih 75 persen. Jadi sesuai konstitusi deforestasi masih dapat dilakukan sampai dititik berhenti tersebut. Sehingga menjadi aneh jika pejabat pemerintah dan perusahaan-perusahaan mau tunduk dan menandatangani apa yang diingini LSM.
Tulisan ini mendiskusikan bahwa deforestasi merupakan fenomena normal dan rasional dalam proses pembanguan di setiap negara. Deforestasi bukan haram dan bukan pula perbuatan melanggar hukum sepanjang mengikuti Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PEMBANGUNAN DAN DEFORESTASI
Peradaban dan proses pembangunan di planet bumi ini, berevolusi dari masa ekonomi berburu (hunting economy), ke ekonomi perladangan berpindah (shifting cultivation/nomaden), kemudian ke eko-nomi pertanian tetap dan modernisasi pertanian. Setelah itu memasuki ekonomi industri/jasa seperti sekarang ini. Masing-masing negara/bangsa melalui evolusi perekonomian yang demikian.
Negara-negara Eropa masa ekonomi berburu sampai ke masa pertanian tetap berlangsung sebelum abad ke 13, sementara Amerika Serikat melalui masa berburu sampai ke masa pertanian tetap sampai awal abad 19. Evolusi pembangunan dari awal ekonomi peladang berpindah sampai memasuki era ekonomi pertanian tetap merupakan masa dimana deforestasi berlangsung intensif. Kebutuhan lahan untuk pertanian, pemukiman dan lain-lain yang disertai dengan pertambahan jumlah penduduk, menyebabkan konversi hutan harus dilakukan.
Evolusi pembangunan ekonomi dan deforestasi tersebut terkonfirmasi dengan hasil studi Prof, Matthew (1983) yang melakukan analisis perubahan vegetasi dan land use change global dengan meng-gunakan teknologi citra satelit (Tabel 1). Pada periode era Pra-pertanian sampai pada tahun 1980-an, negara-negara sub tropis (seperti negara-negara Eropa, Amerika Utara) telah melakukan defo-restasi sekitar 653 juta hektar hutan sub tropis. Sementara pada periode yang sama, negara-negara tropis baru melakukan deforestasi seluas 48 juta hektar, karena pada masa tersebut masih memulai pembangunannya.
Tabel 1. Deforetasi Global Hutan Tropis dan Hutan Non Tropis
Uraian | Hutan Tropis (juta ha) | Hutan Non Tropis (juta ha) | Hutan Dunia (juta ha) |
---|---|---|---|
Luas Hutan Pra Pertanian | 1,277 | 3,351 | 4,628 |
Luas Hutan 1980 | 1,229 | 2,698 | 3,927 |
Deforestasi (Pra-pertanian sampai tahun 1980) | 48 | 653 | 701 |
Kaitan proses pembangunan dengan deforestasi di Amerika Serikat juga menunjukkan fenomena yang sama. Berdasarkan data Citra satelit sekitar tahun 1620 daratan Amerika Serikat khususnya bagian Timur (New York, Washington, California, dan sebagainya) masih berupa hamparan hutan primer (virgin forest). Kemudian melalui evolusi pembangunan hamparan hutan primer tersebut mengalami deforestasi sehingga saat ini, didaerah tersebut tidak lagi ditemukan hutan primer (Gambar 1).

Dengan fakta-fakta tersebut kiranya sangat jelas bahwa proses pembangunan dan deforestasi merupakan fenomena normal dan rasional. Kota-kota, pemu-kiman, kawasan industri, dan lain-lain yang saat ini di daratan Eropa maupun Amerika Utara, adalah hasil konversi hutan (deforestasi).
Jika negara-negara Eropa dan Amerika Utara sekarang ini menikmati tingkat kesejahteraan dan kemajuan tinggi adalah hasil proses panjang pembangunan yang berawal dari deforestasi. Dan jika saat ini Amerika Serikat memiliki luas kebun kedele sekitar 34 juta hektar tentu juga berasal dari deforestasi sebelumnya. Seandainya negara-negara Eropa dan Amerika Utara tidak melakukan deforestasi apakah generasi mereka saat ini dapat menikmati hidup yang termewah nan modern?
Sangat disayangkan memang, dalam proses pembangunan Eropa dan Amerika Utara yang melakukan deforestasi, tidak memiliki titik berhenti, sehingga semua hutan termasuk satwa-satwa, dan aneka ragam tumbuhan (biodiversity) penghu-ninya dihabiskan. Sehingga saat ini satwa-satwa subtropis tinggal cerita. Dan negara-negara Eropa dan Amerika Utara (kecuali sedikit di Alaska) tidak memiliki hutan primer dan hutan yang ada saat ini merupakan eks lahan pertanian yang ditinggalkan (Soemarwoto, 1992).
Jika Kawasan Eropa dan Amerika Utara menyesali masa lalunya sehingga menspon-sori dari belakang LSM trans nasional agar tidak melakukan deforestasi (stop pemba-ngunan) di negara-negara yang sedang membangun termasuk Indonesia, silahkan penyesalan itu disampaikan pada forum dunia, Dan tentunya harus ada kompen-sasinya hentikan memperalat LSM, reforestasi kebun kedele, rape dan bunga matahari yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan itu dan sebagai gantinya gunakan minyak sawit yang lebih efisien dan lebih ramah lingkungan itu.
DEFORESTASI GLOBAL MUTAKHIR
Evolusi pembangunan di negara-negara yang belakangan membangun juga melakukan deforestasi seiring dengan peningkatan kebutuhan lahan dan ruang untuk pembangunan. Sama seperti yang ditempuh Eropa dan Amerika Utara pada awal pembangunannya, negara-negara berkembang juga tidak ada pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan lahan dan ruang untuk pembangunan.
Menarik untuk didiskusikan defo-restasi global yang terjadi pada periode 1990-2008, yang sering digunakan negara-negara barat beserta LSM untuk menekan negara-negara tropis termasuk menekan sawit Indonesia. Menurut studi Komisi Uni Eropa (Eropean Commision, 2013) defo-restasi global selama periode 1990-2008 seluas 239 juta hektar. Deforestasi global tersebut terjadi di Amerika Selatan (33 persen) kemudian disusul oleh kawasan negara-negara Afrika (31 persen), Asia Tenggara (termasuk di Indonesia) sekitar 19 persen dan dikawasan lain 17 persen (Gambar 2).
Studi tersebut juga menguraikan penyebab (drivers) deforestasi global yakni pertanian 31 persen, padang penggem-balaan/pasture beef di Amerika Selatan 24 persen, kebakaran hutan 17 persen dan lain-lain (perkotaan, pemukiman, dll) sebesar 28 persen. Dan penyebab terbesar deforestasi global di sektor pertanian adalah untuk padang penggembalaan sapi yakni 24 persen dari deforestasi global atau sekitar 44 persen dari deforestasi untuk pertanian global.
Dilihat dari penyebab deforestasi global dalam periode 1990-2008 tersebut dapat dipahami bahwa deforestasi terjadi seiring dengan proses pembangunan terma-suk agar kebutuhan bahan pangan global dapat dipenuhi. Jika deforestasi tidak dila-kukan akan banyak penduduk dunia yang kekurangan makan, kelaparan bahkan mati kelaparan.
Jika ingin lebih jauh mempersoalkan deforestasi global maka: (1) Deforestasi global dalam periode 1990-2008 yakni seluas 239 juta hektar, hanyalah sekitar 36 persen dari luas deforestasi yang dilakukan Eropa dan Amerika Utara pada masa pembangunannya, (2) Deforestasi pada periode 1990-2008 terbesar (64 persen) berada di Amerika Selatan dan Afrika serta bukan di Asia Tenggara (hanya 19 persen) termasuk di Indonesia, (3) Penyebab deforestasi terbesar dari sektor pertanian global adalah peternakan sapi (53.7 juta hektar) di negara-negara Amerika Selatan, yang lebih besar dibandingkan deforestasi di Asia Tenggara dan (4) Berdasarkan ketiga hal diatas sangat jelas bahwa perkebunan sawit Indonesia bukanlah penyebab deforestasi terbesar dunia. Tuduhan LSM selama ini yang menyatakan perkebunan sawit indonesia sebagai penyebab deforestasi global tidak terbukti dan bertentangan dengan data Eropean Commision.
IMPLIKASI BAGI INDONESIA
Sebagaimana didiskusikan diatas, deforestasi merupakan bagian dari proses pembangunan di setiap negara. Dalam proses pembangunan yang sedang berlang-sung di Indonesia saat ini, deforestasi adalah bagian dari pembangunan. Pening-katan kebutuhan lahan dan ruang untuk kebutuhan penduduk dan pembangunan tidak mungkin dipenuhi tanpa deforestasi.
Tentu saja, Indonesia jangan ikuti “keserakahan” negara-negara Eropa dan Amerika Utara yang menghabiskan hutan dan penghuninya pada masa pemba-nguannya. Indonesia harus lebih bijaksana dari mereka. Konstitusi kita yakni Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan telah memberikan arahan pada titik mana Indonesia berhenti deforestasi yakni luas hutan harus dipertahankan minimal 30 persen dari luas daratan. Saat ini luas Kawasan hutan menurut Statistik Kehu-tanan (2014) masih sekitar 73 persen luas daratan. Dengan demikian Indonesia masih dibenarkan konstitusi melakukan defo-restasi sampai mendekati batas minimum itu.
Sebagai negara yang berdaulat penuh dan didukung 250 juta rakyat, pemerintah bekerja atas perintah konstitusi NKRI bukan atas perintah LSM. Tidak perlu takut akan intimidasi negara-negara Barat dan LSM agar menghentikan deforestasi yang berarti memberhentikan pembangunan. Proses pembangunan di Indonesia belum berada dititik bahkan masih jauh untuk berhenti deforestasi. Pemerintah juga harus segera membatalkan IPOP dan GCF yang merupakan intervensi asing pada pemba-ngunan Indonesia. Para pejabat negara dan korporasi besar agar tidak mudah menandatangani “ikrar-ikrar” dengan pihak asing yang memasuki wilayah kedaulatan Indonesia.
Kesimpulan
Deforestasi merupakan fenomena nor-mal dan rasional sebagai bagian dari proses pembangunan di setiap negara, sebagai-mana juga terjadi di negara-negara kawasan Eropa, Amerika Utara dan negara-negara lain. Peningkatan kebutuhan lahan dan ruang dari penduduk dan pembangunan hanya dapat dipenuhi dengan deforestasi.
Perkotaan, pemukiman, kawasan industri/bisnis, kawasan pertanian/ perkebunan yang ada saat ini di negara- negara maju juga berasal dari deforestasi pada awal pembangunannya. Generasi masyarakat Eropa dan Amerika Utara yang menikmati kesejahteraan dan kemajuan tinggi saat ini, juga hasil deforestasi masa lalu.
Deforestasi global pada periode tahun 1990-2008 seluas 239 juta hektar, sebagian besar(64 persen) terjadi di Amerika Selatan dan Afrika, sedangkan dikawasan Asia Tenggara hannya 19 persen termasuk di Indonesia. Sekitar 55 persen deforestasi global diperuntukkan untuk kebutuhan pertanian global dan yang paling besar (53.7 juta hektar) adalah untuk peternakan sapi di Amerika Selatan.
Perkebunan kelapa sawit Indonesia bukanlah penyebab deforestasi terbesar dunia. Tuduhan negara-negara Barat melalui LSM-nya bahwa perkebunan kelapa sawit merupakan penyebab deforestasi terbesar global selain bertentangan dengan data dan hasil studi European Commision juga hanyalah propaganda kosong.
Daftar Pustaka
Daftar Pustaka
European Commision .2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation : Identification of Critical Areas Where Commmunity Policies and Legislation Could be Review. Final Report.
Global Deforestation www.globalchange.umich.edu
Kementerian Kehutanan. 2013. Statistik Kementerian Kehutanan 2013. Jakarta
Matthew, E. 1983. Global Vegetation and Land Use: New High Resolution Data Based for Climate Study. Journal of Climate and Applied Meteorology 22: (474-487)
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Vol. II, No. 14/4/2016
EKSPANSI RANCH SAPI, KEBUN KEDELAI DAN JAGUNG DRIVER UTAMA DEFORESTASI GLOBAL
Poin-Poin Inti
- Deforestasi terjadi sejak masa pre-pertanian hingga tahun 1980 sebesar 701 juta hektar. Deforestasi tersebut terjadi di Hutan sub tropis seluas 653 juta hektar dan hutan tropis seluas 48 juta hektar.
- Pada periode 1990-2008, terjadi deforestasi global seluas 239 juta hektar. Driver utama deforestasi tersebut terjadi di kawasan Amerika Selatan khususnya di Brazil, Argentina, Paraguay dan negara sekitarnya, serta di kawasan Sub Saharan Afrika.
- Komoditi driver utama deforestasi global adalah ekspansi ranch sapi sebesar 58 juta hektar, kemudian disusul ekspansi kebun kedelai 13,4 juta hektar dan kebun jagung 7,5 juta hektar yang terjadi di kawasan Amerika Selatan.
- Sedangkan deforestasi untuk ekspansi kebun sawit dunia selama periode tersebut hanya 5,5 juta hektar
Pendahuluan
Negara-negara Barat khususnya Uni Eropa dan Amerika Utara sangat intensif menyoroti deforestasi diberbagai negara saat ini. Mereka seakan-akan melupakan sejarah masa lalu pembangunan di Eropa dan Amerika Utara yang melakukan deforestasi dan penghilangan biodiversity terbesar dalam sejarah dunia.
Dewasa ini deforestasi merupakan isu yang digunakan negara-negara Barat beserta LSM jejaringnya menghempang laju minyak sawit. Meskipun pemicu (driver) deforestasi global bukanlah perkebunan kelapa sawit, isu deforestasi sudah dijadikan alasan untuk menekan minyak sawit Indonesia maupun Malaysia baik melalui kampanye LSM maupun melalui kebijakan perdagangan. Persaingan bisnis minyak nabati global dibungkus dengan isu deforestasi atau atas nama kelestarian lingkungan global.
Perkembangan mutakhir khususnya di negara-negara Eropa isu deforestasi telah dikaitkan dengan konsumsi (embodied deforestation). Deforestasi bukan hanya soal produksi, tetapi juga telah dikaitkan dengan konsumsi komoditi/barang yang dihasilkan dari deforestasi yang dalam terminologi ekonomi disebut sebagai eksternalitas negatif konsumsi (diseconomies consumption). Bahkan sedang dikembangkan suatu penalty untuk deforestasi yang terjadi dimasa lalu yang disebut sebagai tanggungjawab warisan deforestasi (legacy deforestation).
Pada tulisan ini akan didiskusikan bahwa (1) kawasan Eropa dan Amerika Utara merupakan driver deforestasi global pada masa awal peradaban sampai tahun 1980. (2) kawasan Amerika Selatan merupakan driver deforestasi global masa kini dan (3) ekspansi ranch sapi, kebun kedelai dan jagung merupakan driver utama deforestasi global untuk pertanian.
DEFORESTASI GLOBAL SEBELUM TAHUN 1980
Deforestasi di planet bumi telah terjadi sejak dahulu kala, seumur dengan peradaban manusia di planet bumi. Deforestasi diperkirakan sudah dimulai sejak zaman berburu (hunting ages), lebih intensif pada masa pertanian berpindah (nomaden) hingga masa pertanian menetap dan komersial hingga pada zaman modern ini. Tentu saja masa peradaban-peradaban tersebut berbeda beda antar negara atau kawasan di planet bumi.
Studi Elaine Matthews (1983) yang berjudul: Global Vegetation and Land Use: New High Resolution Data Bases for Climate Studies yang dipublikasikan pada Journal of Climate and Applied Meteorology Volume 22: 474-487 mengungkapkan bagaimana deforestasi terjadi di planet Bumi (Tabel 1).
Tabel 1. Luas Deforestasi Global Masa Pre-Pertanian sampai 1980
Jenis Hutan | Luas Hutan Pre-Pertanian (juta Ha) | Luas Hutan 1980 (juta Ha) | Luas Deforestasi Pre-Pertanian – 1980 (juta Ha) |
---|---|---|---|
Total Hutan Dunia | 4.628 | 3.927 | 701 |
Hutan Tropis | 1.277 | 1.229 | 48 |
Hutan Sub-Tropis | 3.351 | 2.698 | 653 |
Woodland | 1.523 | 1.310 | 213 |
Shrubland | 1.299 | 1.212 | 87 |
Grassland | 3.390 | 2.743 | 647 |
Tundra | 734 | 734 | – |
Desert | 1.582 | 1.557 | 25 |
Menurut studi tersebut sejak masa pre-pertanian hingga tahun 1980. Planet bumi telah mengalami deforestasi diseluruh ekosistem. Hutan sub tropis telah mengalami deforestasi seluas 653 juta hektar dan hutan tropis seluas 48 juta hektar. Deforestasi hutan sub tropis terutama terjadi di kawasan Eropa dan Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada).
Selain itu deforestasi atau perubahan fungsi juga terjadi pada kawasan hutan lainnya seperti hutan rawang (woodland) seluas 213 juta hektar. Demikian juga semak belukar (scrubland) seluas 87 juta hektar dan padang rumput (grassland) seluas 647 juta hektar.
Kawasan Eropa diperkirakan telah lebih awal (bahkan sebelum zaman es) mengalami deforestasi (Kaplan, et al. 2009). Hutan di Amerika Serikat mengalami deforestasi masif selama periode 1620-1920 (Gambar 1). Pada tahun 1600, hutan di Amerika serikat diperkirakan sekitar 400 juta hektar dan mengalami deforestasi sampai awal tahun 1900. Pada tahun 2010, luas hutan Amerika Serikat sekitar 300 juta hektar dan 67 persen merupakan hutan sekunder. FAO (2005) menyebut Amerika Serikat termasuk negara kelima terbesar dunia yang telah kehilangan hutan aslinya sebelum memasuki abad ke 20.
AMERIKA SELATAN DRIVER DEFORESTASI GLOBAL 1990-2008
Berbeda dengan Eropa dan Amerika Utara, sebagian besar negara -negara dunia memulai pembangunannya setelah Perang Dunia Kedua berakhir. Kebutuhan ruang untuk menampung penduduk yang bertambah dan kebutuhan pembangunan khusunya untuk menghasilkan bahan pangan (fighting for poverty and malnutrition) mau tidak mau harus dipenuhi dari konversi hutan. Selain untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di negara-negara berkembang, secara tidak langsung deforestasi juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan bahan pangan/energi bagi masyarakat negara maju untuk mempertahankan tingkat konsumsi/ kesejahteraan tinggi (feeding for the rich).
Studi European Commission (2013) mengungkapkan bahwa dalam periode 1990-2008 luas deforestasi global mencapai sekitar 235 juta hektar. Deforestasi tersebut (Gambar 2) terjadi di kawasan Amerika Selatan (33 persen), Sub-Shaharan Afrika (31 persen), Asia Selatan dan Tenggara (19 persen) dan kawasan lainya (16 persen).Penyebab deforestasi tersebut adalah untuk lahan pertanian (55 persen), bencana alam dan kebakaran (17 persen), kebutuhan infrastruktur (4 persen) dan lain-lain (24 persen).
Hal yang menarik dari studi European Commission tersebut bahwa deforestasi untuk perluasan lahan pertanian terbesar diperuntukkan untuk tanaman pangan (crop production) yang mencapai 69 juta hektar atau 29 persen dari total deforestasi untuk pertanian 1990-2008. Kemudian disusul untuk pengembangan peternakan sapi sebesar 58 juta hektar (24 persen), produksi kayu bulat (logging) dan lain-lain (Gambar 3).
KEBUN SAWIT BUKAN DRIVER UTAMA DEFORESTASI GLOBAL
Jika dirinci per komoditi/sektor (Tabel 2), maka pemicu (driver) deforestasi untuk pertanian global periode 1990-2008 terbesar adalah peternakan sapi (58 juta hektar), perluasan kebun kedelai (13.4 juta hektar), perluasan jagung (7.5 juta hektar), terutama di kawasan Amerika Selatan (Brazil, Argentina, Paraguay dan sekitarnya).
Sedangkan untuk perluasan kebun sawit global yang selama ini digembor-gemborkan negara Barat dan LSM ternyata hanya sekitar 5.5 juta hektar dalam periode tersebut. Ini hanya sekitar 10 persen dari luas deforestasi untuk peternakan sapi potong (ranch). Dengan studi European Commission tersebut jelas menunjukan bahwa tuduhan selama ini bahwa ekspansi sawit merupakan driver utama deforestasi global adalah suatu kebohongan besar.
Tabel 2. Pemicu (driver) Deforestasi Global Periode 1990-2008
Driver | Luas Deforestasi (Juta Hektar) | Luas Deforestasi (%) |
---|---|---|
Pastura Peternakan Sapi | 58,0 | 24,3 |
Kebakaran | 41,0 | 17,2 |
Perluasan Kebun Kedelai | 13,4 | 5,6 |
Pembangunan Infrastruktur | 9,0 | 3,8 |
Perluasan Jagung | 5,5 | 3,1 |
Perluasan Kebun Sawit | 5,5 | 2,3 |
Logging + Wood product | 4,5 | 1,9 |
Perluasan Areal Padi | 4,3 | 1,8 |
Perluasan Tebu | 3,3 | 1,4 |
Pertanian Lainnya | 35,5 | 14,9 |
Lain-lain | 58,0 | 24,3 |
Jumlah | 239,0 | 100,0 |
Kesimpulan
Deforestasi terjadi sejak masa pre-pertanian hingga tahun 1980 sebesar 701 juta hektar. Deforestasi tersebut terjadi di Hutan sub tropis seluas 653 juta hektar dan hutan tropis seluas 48 juta hektar. Deforestasi terbesar tersebut terjadi di hutan sub tropis terutama di kawasan Eropa dan Amerika Utara (Amerika Serikat dan Kanada).
Pada periode 1990-2008, terjadi deforestasi global seluas 239 juta hektar. Driver utama deforestasi tersebut terjadi di kawasan Amerika Selatan khususnya di Brazil, Argentina, Paraguay dan negara sekitarnya, serta di kawasan Sub Saharan Afrika. Luas deforestasi di Amerika Selatan mencapai 79 juta hektar (33 persen). Sedangkan di Sub Saharan Afrika luas deforestasi mencapai 74 juta hektar (31 persen).
Komoditi driver utama deforestasi global adalah ekspansi ranch sapi sebesar 58 juta hektar, kemudian disusul ekspansi kebun kedelai 13,4 juta hektar dan kebun jagung 7,5 juta hektar yang terjadi di kawasan Amerika Selatan. Sedangkan deforestasi untuk ekspansi kebun sawit dunia selama periode tersebut hanya 5,5 juta hektar.
Dengan kata lain, ekspansi kebun sawit dunia yang digembor-gemborkan oleh Negara Barat dan LSM sebagai driver utama deforestasi global adalah suatu kebohongan besar.
Daftar Pustaka
FAO. 2005. Global Forest Resources Assessment. Rome, Italia
Matthews, E. 1983. Global Vegetation and Land Use: New High Resolution Data Bases for Climate Studies. Volume 22: 474-487. Journal of Climate and Applied Meteorology.
Soemarwoto, O. 1992. Indonesia dalam Kancah Isu Lingkungan Global. PT. Gramedia Pusaka Utama. Jakarta
Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Kaplan, J. O, Krumhardt. K.M, Zimmerman, N. 2009. The Prehistoric and Preindustrial Deforestation of Europe. Quatemary Science Reviews.
European Commision .2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation : Identification of Critical Areas Where Commmunity Policies and Legislation Could be Review. Final Report.