Selain sebagai produsen terbesar di dunia (PASPI, 2023), Indonesia juga tercatat sebagai konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Salah satu bentuk olahan minyak sawit yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia adalah minyak goreng. Dengan konsumsi minyak goreng sekitar 20 kilogram/kapita/tahun, Indonesia memerlukan sekitar 5.4 juta kilogram minyak goreng sawit setiap tahun.
Bagi Indonesia, minyak goreng sawit memiliki peran strategis dalam ekonomi masyarakat. Meskipun kontribusi minyak goreng dalam pengeluaran makanan tidak terlalu signifikan, namun minyak goreng termasuk ke dalam sembilan bahan pokok (sembako) sehingga ketersediaan minyak goreng setiap waktu pada setiap tempat dengan harga terjangkau sangat penting secara psiko-sosial. Selain itu, peranan minyak goreng sebagai salah satu input bagi usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) kuliner dan pengolahan pangan yang tersebar di seluruh daerah membuat ketersediaan secara tepat waktu, tempat, dan harga yang terjangkau turut juga berdampak pada stabilitas ekonomi pada lapisan masyarakat menengah-ke bawah (low-middle income class).
Dengan peran strategis yang demikian, stabilitas penyediaan minyak goreng secara jumlah, waktu, tempat, dan waktu menyangkut stabilitas ekonomi, sosial bahkan politik. Jika terjadi kelangkaan minyak goreng, dengan cepat kondisi tersebut menjadi salah satu isu ekonomi, sosial, dan politik. Oleh karena itu sejak dahulu, pemerintah selalu melakukan intervensi melalui berbagai kebijakan pada pasar minyak goreng domestik untuk menjamin stabilitas penyediaan minyak goreng domestik (Sipayung, 2012, 2018; PASPI Monitor, 2022b, 2023b). Salah satu kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang mulai berlaku sejak 23 Mei 2022 sampai saat ini.
Tulisan ini akan mendiskusikan kelebihan dan kelemahan kebijakan DMO/DPO sebagai kebijakan stabilisasi penyediaan minyak goreng domestik. Kemudian juga akan dilanjutkan dengan diskusi terkait alternatif kebijakan yang dapat ditempuh dalam rangka stabilitas penyediaan minyak goreng domestik.
Kebijakan DMO-DPO
Kebijakan DMO dan DPO tahun 2022 yang diberlakukan pemerintah pada pasar minyak goreng domestik merupakan respon atas krisis minyak goreng domestik yang terjadi sejak bulan Januari 2022 (PASPI Monitor, 2023a). Krisis minyak goreng domestik tersebut ditandai dengan kenaikan harga dan langkanya minyak goreng di pasar domestik. Harga minyak goreng curah domestik meningkat dari Rp 14,000/kilogram (setara dengan USD 0.96/kilogram) pada awal Januari 2021 menjadi Rp 18,700/kilogram (setara dengan USD 1.3/kilogram) pada Januari 2022 dan terus naik hingga mencapai level harga Rp 18,850/kilogram (setara dengan USD 1.39/kilogram) pada awal Mei 2022.
Peningkatan harga minyak goreng domestik tersebut mengikuti kenaikan harga RBD Olein dunia yang meningkat dari dari USD 0.98/kilogram pada awal bulan Januari 2021 menjadi USD 1.3/kilogram pada Januari 2022 dan terus meningkat mencapai level USD 1.89/kilogram pada awal Mei 2022. Kenaikan harga RBD Olein dunia (juga kenaikan harga CPO dan minyak nabati dunia lainya) tersebut sebagai dampak dari perang Rusia-Ukraina dan dampak Pandemi Covid-19 (PASPI Monitor, 2022a)
Sebetulnya untuk menjamin ketersediaan minyak goreng domestik (dan hilirisasi sawit domestik), pemerintah telah memiliki kebijakan bea keluar (export duty) dan pungutan ekspor (export levy) untuk produk sawit yang diimplementasikan sejak tahun 2015. Besaran tarif duty dan levy tersebut juga telah disesuaikan dengan perkembangan harga minyak sawit dunia. Kebijakan pungutan ekspor yang berlaku pada periode tersebut (tahun 2022) adalah Peraturan Menteri Keuangan No. 76 Tahun 2021. Kebijakan tersebut telah berhasil melindungi penyediaan minyak goreng domestik. Hal ini tercermin dari perkembangan harga minyak goreng curah domestik yang lebih rendah dari harga minyak goreng curah dunia (RBD Olein dunia) pada periode Januari 2021-Juli 2022 (Gambar 1).
Gambar 1. Perkembangan Harga Minyak Goreng Curah Domestik dan Minyak Goreng Curah (RBD Olein) Dunia (Sumber: MPOB, PIHPS, data diolah PASPI, 2023)

Meskipun telah diberlakukan duty dan levy ekspor sawit, namun besarnya kenaikan harga RBD Olein dunia periode Januari 2022 hingga awal Mei 2022 menjadi insentif kuat yang membuat pelaku usaha/industri mengekspor RBD Olein lebih besar dibandingkan menjual di pasar domestik. Hal ini menyebabkan harga minyak goreng domestik meningkat tajam hingga membuat minyak goreng langka di pasar domestik.
Untuk mengatasi kelangkaan dan naiknya harga minyak goreng domestik yang belum pernah terjadi sebelumnya, Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 22 Tahun 2022 mengambil kebijakan ekstrim sementara yakni melarang ekspor CPO dan produk turunannya yang diberlakukan pada tanggal 27 April 2022. Larangan ekspor tersebut berlaku untuk produk-produk antara jalur minyak goreng (12 jenis kode Harmonized System/HS).
Kebijakan pelarangan sementara ekspor CPO dan produk turunan dalam jalur minyak goreng tersebut, mengguncang pasar minyak sawit dunia. Berbagai negara seperti India dan Eropa, maupun pelaku sawit domestik memprotes kebijakan tersebut. Penghentian ekspor sementara tersebut juga menyebabkan stok domestik melimpah sehingga produksi TBS petani tidak tertampung dan berdampak langsung pada penurunan harga TBS petani sawit yang signifikan. Harga TBS petani anjlok dari sekitar Rp 3,500-3700/kilogram sebelum larangan ekspor menjadi di bawah Rp 2,000/kilogram dalam satu minggu larangan ekspor diberlakukan. Penurunan harga TBS petani sawit terus berlanjut hingga periode Juli 2022 (Gambar 2).
Gambar 2. Penurunan Harga TBS Petani Sawit Riau Akibat Kebijakan Larangan Ekspor Sementara untuk CPO dan Produk Turunannya (Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Riau, data diolah PASPI, 2023)

Melihat dampak kebijakan tersebut, pemerintah memutuskan untuk mencabut kebijakan larangan ekspor tersebut pada tanggal 22 Mei 2022. Pasca pencabutan kebijakan tersebut, Pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan DMO dan DPO yang diatur melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 33 Tahun 2022 tentang Tata Kelola Program Minyak Goreng Curah Rakyat pada tanggal 23 Mei 2022. Pemenuhan DMO dan DPO tersebut menjadi syarat penerbitan persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya.
Kemudian kebijakan tersebut diperluas melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 41 Tahun 2022, dimana DMO tidak hanya berlaku untuk minyak goreng curah tetapi juga minyak goreng kemasan sederhana (Minyakita). Pengintegrasian DMO untuk CPO dan produk turunan termasuk minyak curah dan Minyakita dengan penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) pada level konsumen diberlakukan sejak tanggal 29 September 2022 melalui Peraturan Menteri Perdagangan No. 49 Tahun 2022.
Kebijakan DMO dan DPO tersebut mengatur setidaknya tiga hal utama yakni: (1) target DMO dalam bentuk minyak goreng sekitar 300 ribu ton per bulan; (2) pemenuhan DMO menjadi dasar pemberian izin ekspor dengan rasio tertentu (dimulai dari rasio 4) yang disesuaikan dengan perkembangan pasar; dan (3) DPO atau HET pada level konsumen untuk minyak goreng curah/Minyakita ditetapkan sebesar Rp 14,000/liter atau Rp 15,500/kilogram.
Kebijakan DMO-DPO yang berlaku sejak akhir Mei 2022 tersebut merupakan kebijakan “Jilid 2”. Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan DMO-DPO Jilid 1 yang berlaku sejak tanggal 27 Januari hingga 17 Maret 2022. Dalam implementasi kebijakan DMO Jilid 1, eksportir CPO dan/atau Olein diwajibkan untuk memasok kebutuhan bahan baku minyak goreng domestik sebesar 20 persen dari volume ekspor setiap tahun. Pasokan bahan baku minyak goreng tersebut juga disesuaikan pada level harga DPO yang berlaku yakni sebesar Rp 9,300/kilogram untuk CPO dan Rp 10,300/kilogram untuk Olein. Implementasi kebijakan DMO-DPO ini juga dikombinasikan juga dengan kebijakan HET Minyak Goreng.
Sebagaimana umumnya suatu kebijakan selalu memiliki kelemahan dan kelebihan. Demikian juga dengan kebijakan DMO-DPO yang juga memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelebihan kebijakan DMO-DPO antara lain adalah dapat menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri dengan harga yang ditetapkan pemerintah, dimana harga minyak sawit dunia tidak mempengaruhi level harga domestik yang ditetapkan pemerintah. Menurut data Kementerian Perdagangan (2023), target penyediaan 300 ribu ton minyak curah/minyakita tercapai dengan rata-rata sebesar 87.5 persen selama periode Juni 2022-September 2023.
Di sisi lain, kebijakan DMO-DPO juga memiliki kelemahan. Kebijakan DMO dan DPO yang digolongkan sebagai kebijakan non-tariff barrier sudah lama ditinggalkan setelah adanya World Trade Organization (WTO).
Berikut beberapa kelemahan kebijakan tersebut antara lain:
- (1) kebijakan tersebut menghentikan mekanisme pasar dalam penyediaan dan harga minyak goreng domestik yang digantikan dengan mekanisme administratif;
- (2) ekspor berjalan lambat dan menurun drastis serta menciptakan risiko dan ketidakpastian bagi pembeli dari luar negeri sehingga stok domestik melimpah dan produksi CPO/TBS tidak tertampung yang berdampak pada harga TBS petani turun drastis;
- (3) kebijakan DMO dan DPO yang berlaku saat ini berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti yang terjadi pada periode 1970-1990 yakni menciptakan trade barrier yang menimbulkan kerugian atau dalam ilmu ekonomi dikenal sebagai deadweight loss berupa pengurangan surplus produsen dan penurunan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Tomich dan Mawardi, 1995; Sipayung, 2018);
- (4) beban DMO dan DPO tersebut ditransmisikan lebih besar kepada pelaku sektor hulu yakni produsen TBS termasuk petani sawit; dan
- (5) kombinasi kebijakan DMO-DPO dengan HET minyak goreng yang tetap dan mandatori sebesar Rp 14,000/liter membuat konsumen minyak goreng domestik membayar harga yang lebih mahal dibandingkan harga minyak goreng dunia sehingga kondisi ini merugikan konsumen.
Gambar 3. Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik Sebelum dan Sesudah Implementasi Kebijakan DMO-DPO

Pada gambar di atas terlihat jelas yakni implementasi kebijakan DMO-DPO yang diberlakukan sejak September 2022 hingga November 2023 membuat harga minyak goreng dunia (RBD Olein) lebih rendah dibandingkan HET minyak goreng domestik. Seharusnya harga minyak goreng yang dibeli masyarakat sudah berada di bawah level Rp 14,000/liter. Namun karena HET nya tidak berubah menyebabkan konsumen tetap membayar minyak goreng dengan harga lebih mahal dari yang seharusnya.
Alternatif Kebijakan
Para ekonom meyakini bahwa pasar yang tidak ada intervensi pemerintah (pasar persaingan sempurna) adalah pasar yang paling ideal dan efisien. Masalahnya prasyarat yang diperlukan untuk mencapai pasar persaingan sempurna termasuk pasar minyak goreng domestik jauh dari yang ideal sehingga apa yang diharapkan masyarakat secara keseluruhan tidak terwujud (market failure). Untuk mengatasi kondisi tersebut, diperlukan kebijakan pemerintah yang dapat mengoreksi kegagalan pasar.
Terdapat dua alternatif yang dapat ditempuh pemerintah untuk mengamankan penyediaan minyak goreng domestik. Kedua alternatif tersebut dinilai lebih baik dibandingkan kebijakan DMO dan DPO.
Pertama, Kebijakan pungutan ekspor dengan fleksibilitas besaran tarif pungutan. Kebijakan ini telah berjalan sejak tahun 2015 sampai sekarang dengan salah satu tujuan utama untuk mendorong hilirisasi sawit domestik. Kebijakan ini juga dapat menjadi instrumen untuk menjamin penyediaan minyak goreng domestik dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga internasional. Hal ini telah terbukti ketika harga minyak sawit dunia naik signifikan (khususnya pada periode Januari-Mei 2022), dimana harga minyak goreng domestik dapat lebih murah dibanding harga minyak goreng dunia (Gambar 1).
Jika harga minyak goreng domestik ingin lebih murah atau agar penyediaan minyak goreng tidak terganggu pada saat terjadi kenaikan harga minyak sawit dunia yang drastis, pemerintah dapat menaikkan tarif pungutan ekspor tersebut. Kebijakan yang demikian tidak merusak mekanisme pasar dan relatif predictable sehingga tidak memerlukan kontrol intensif dari pemerintah seperti pelaksanaan DMO dan DPO. Kebijakan ini juga dapat mengkompensasi dampak pada petani sawit dengan mekanisme reinvestasi dana pungutan ekspor melalui skema PSR dan dukungan sarana prasarana (PASPI Monitor, 2023), dimana mekanisme reinvestasi tersebut sudah ada.
Kedua, Kombinasi pungutan ekspor dengan besaran tarif yang relatif moderat dan penugasan BUMN untuk memasok minyak goreng ke target konsumen menengah-ke bawah (low-middle income class). Tarif pungutan ekspor yang terlalu tinggi dapat merugikan Indonesia, khususnya penurunan daya saing sawit Indonesia di pasar dunia. Oleh karena itu, besaran tarif pungutan yang diberlakukan sebaiknya pada level moderat.
Untuk produk minyak goreng kemasan premium yang dikonsumsi masyarakat konsumen golongan menengah-ke atas, pemerintah tidak perlu memberikan subsidi karena kelompok konsumen tersebut mampu membeli. Sedangkan segmen konsumen kelas menengah-ke bawah termasuk UMKM kuliner dan pengolahan makanan perlu diperhatikan oleh pemerintah, mengingat segmen konsumen tersebut membeli daya beli yang relatif rendah dengan tingkat konsumsi yang relatif besar yakni sekitar 50 persen konsumsi minyak goreng rumah tangga nasional atau sekitar 2.5 juta ton per tahun.
Penyediaan minyak goreng untuk target konsumen menengah-ke bawah ini dapat dipasok melalui penugasan pemerintah pada BUMN (produksi oleh PTPN grup dan distribusi oleh Bulog/ID food) dengan HET minyak goreng yang ditetapkan pemerintah. Selisih antara harga ekspor (FOB) minyak goreng dengan HET minyak goreng dapat dikompensasi oleh dana sawit yang dikelola BPDPKS sehingga PTPN tetap memperoleh keuntungan yang normal.
Dengan kombinasi kebijakan tersebut perusahaan swasta bebas menjual minyak sawit ke pasar dunia (untuk memperoleh devisa) dengan tetap membayar pungutan ekspor pada besaran tarif moderat yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan kebutuhan minyak goreng konsumen menengah- ke bawah termasuk UMKM kuliner dan pengolahan makanan dipasok oleh BUMN. Dengan demikian, krisis minyak goreng domestik seperti yang terjadi pada semester 1 tahun 2022 tidak terulang lagi.
Kesimpulan
Peningkatan harga minyak sawit dunia yang signifikan pada awal tahun 2022 berdampak pada kenaikan harga minyak goreng sawit di pasar domestik hingga menyebabkan kelangkaan. Mengingat minyak goreng termasuk ke dalam produk sembako yang penting bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga Indonesia dan stabilitas ekonomi masyarakat kelas ekonomi menengah-ke bawah dan UMKM kuliner dan pengolahan makanan, Pemerintah Indonesia melakukan intervensi dalam rangka stabilisasi dan pengamanan minyak goreng domestik.
Salah satu bentuk intervensi pemerintah melalui instrumen kebijakan DMO-DPO. Kebijakan tersebut memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah menurunkan kinerja ekspor yang berdampak pada harga TBS petani yang menurun drastis. Kombinasi kebijakan DMO-DPO dengan pemberlakuan HET bahkan merugikan konsumen domestik karena membayar minyak goreng dengan harga yang lebih mahal dibandingkan harga minyak goreng dunia (RBD Olein).
Untuk menjaga stabilitas dan mengamankan penyediaan minyak goreng domestik, terdapat dua alternatif kebijakan yang dinilai lebih baik dibandingkan kebijakan DMO dan DPO. Alternatif kebijakan pertama yakni pemberlakukan kebijakan pungutan ekspor yang fleksibel dengan menyesuaikan harga minyak sawit dunia. Kebijakan alternatif lainnya adalah kombinasi kebijakan pungutan ekspor dengan besaran tarif moderat dengan penugasan BUMN (PTPN dan BULOG/ID-Food) dalam menyediakan minyak goreng yang ditujukan untuk segmen masyarakat menengah-ke bawah serta UMKM kuliner dan pengolahan makanan.
Implikasi Kebijakan
Kebijakan DMO dan DPO yang ditempuh pemerintah untuk menjamin stabilisasi minyak goreng domestik dapat dipahami sebagai kebijakan sementara. Dua alternatif kebijakan pengganti kebijakan DMO dan DPO dalam rangka stabilitas dan mengamankan penyediaan minyak goreng domestik adalah kebijakan pungutan ekspor yang fleksibel yang telah diberlakukan selama ini. Kebijakan alternatif lainnya adalah kombinasi kebijakan pungutan ekspor dengan besaran tarif moderat dengan penugasan BUMN (PTPN dan BULOG/ID-Food) dalam menyediakan minyak goreng yang ditujukan untuk segmen masyarakat menengah-ke bawah dan UMKM kuliner. Kebijakan alternatif tersebut dinilai lebih baik baik dibandingkan kebijakan DMO-DPO karena mampu menciptakan win-win condition baik bagi segmen konsumen target, pelaku usaha/industri, dan pemerintah.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.