Back to Top
Rating & Comment

PERANAN KEBIJAKAN PUNGUTAN EKSPOR SAWIT DAN BPDPKS DALAM INDUSTRI SAWIT NASIONAL

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Pendahuluan

Indonesia merupakan produsen minyak sawit (CPO+CPKO) terbesar dunia (PASPI, 2023). Berdasarkan data USDA (2023), pangsa Indonesia dalam produksi minyak sawit dunia periode 2022/2023 mencapai sekitar 59 persen dari produksi total minyak sawit dunia. Pada saat yang sama, Indonesia juga menjadi konsumen terbesar minyak sawit dunia dengan pangsa mencapai sekitar 26 persen dari total konsumsi minyak sawit dunia.

Sebagai produsen minyak sawit dunia, dimana didalamnya terlibat jutaan petani sawit dan korporasi perkebunan sawit (swasta dan BUMN) yang tersebar pada sekitar 235 kabupaten/kota di 25 provinsi (Ditjenbun, 2022). Pelaku perkebunan sawit tersebut memerlukan dukungan stabilitas harga TBS/CPO yang kompetitif sebagai insentif untuk memproduksi minyak sawit secara berkelanjutan. Sedangkan sebagai konsumen minyak sawit yang didalamnya terdapat industri hilir sawit domestik yang menghasilkan berbagai produk hilir sawit baik untuk memenuhi konsumsi 273 juta rakyat Indonesia maupun untuk kebutuhan ekspor, memerlukan stabilitas pasokan minyak sawit dengan harga yang relatif murah.

Posisi Indonesia sebagai produsen maupun sekaligus konsumen minyak sawit terbesar dunia menjadi tantangan pengelolaan industri sawit yang komprehensif dan berkelanjutan agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dan inklusif bagi Indonesia. Tantangan yang dimaksud adalah bagaimana kebijakan membuat industri sawit Indonesia mampu menjaga stabilitas harga minyak sawit domestik dan menghasilkan devisa semaksimal mungkin secara berkesinambungan, namun juga dapat memenuhi kebutuhan minyak sawit domestik.

Kebijakan pungutan ekspor (export levy) yang diberlakukan pemerintah sejak tahun 2015 merupakan salah satu kebijakan yang strategis bagi industri sawit nasional. Kebijakan pungutan ekspor sawit berbeda dengan kebijakan pajak ekspor pada umumnya. Kebijakan tersebut didesain untuk berbagai tujuan strategis bagi keberlanjutan industri sawit nasional, dimana hasil pungutan ekspor sawit tersebut diinvestasikan kembali ke industri sawit melalui berbagai program yang dikoordinasikan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Artikel ini akan mendiskusikan bagaimana kebijakan pungutan ekspor tersebut didesain untuk mencapai berbagai tujuan strategis industri sawit nasional. Kemudian juga akan didiskusikan peran strategis pungutan ekspor dan BPDPKS dalam reinvestasi pungutan ekspor sawit bagi industri sawit nasional.

Key Takeaways

  • Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar dunia, mencapai 59% dari produksi dunia pada 2022/2023. Sebagai produsen dan konsumen terbesar, Indonesia menghadapi tantangan untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan minyak sawit.
  • Kebijakan pungutan ekspor (export levy) sejak 2015 memiliki peran strategis untuk mendukung industri sawit nasional.
  • Desain pungutan ekspor memotivasi hilirisasi sawit, dengan tarif lebih rendah untuk produk olahan dibandingkan minyak mentah.
  • BPDPKS mengelola reinvestasi dana hasil pungutan ekspor ke berbagai program, termasuk peremajaan sawit rakyat, pembangunan sarana-prasarana, dan peningkatan SDM.
  • Peran strategis pungutan ekspor dan BPDPKS mencakup percepatan hilirisasi, perluasan penyerapan minyak sawit di pasar domestik, pengelolaan harga dunia, dan stabilisasi pasokan minyak goreng domestik.
  • Kebijakan ini memiliki implikasi positif pada industri sawit nasional, termasuk peningkatan penyerapan minyak sawit di pasar domestik dan pengelolaan harga minyak sawit dunia.


DESAIN PUNGUTAN EKSPOR SAWIT DAN BPDPKS

Dalam sejarah kebijakan perdagangan internasional pada industri sawit Indonesia, kebijakan pajak ekspor sawit telah diimplementasikan sejak tahun 1991 dengan berbagai perubahan (Tomich dan Mawardi, 1995; Sipayung, 2012, 2018). Bentuk terakhir dari kebijakan ekspor tersebut adalah penerapan bea keluar ekspor sawit (export duty) yang berlaku sejak tahun 2015 hingga sekarang. Dasar legalitas penerapan bea keluar adalah UU 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Tujuan utama pemberlakukan kebijakan bea keluar ekspor sawit tersebut adalah untuk memperoleh penerimaan negara.

Berbeda dengan kebijakan bea keluar sawit, pemerintah memberlakukan kebijakan pungutan ekspor (export levy) sejak tahun 2015 melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 114 Tahun 2015. Pungutan ekspor sawit ini merupakan tindak lanjut amanat dari pasal 93 ayat 4 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan beserta peraturan perundang-undangan turunannya (PP 24/2015, Perpres 61/2015 jo. Perpres 66/2018). Dasar legalitas tersebut menunjukkan bahwa pungutan ekspor sawit tidak termasuk dalam bagian pajak ekspor (yang berbasis UU 17/2006). Kebijakan pungutan ekspor tersebut merupakan suatu mekanisme penghimpunan dana sawit dari dan untuk industri sawit yang pemungutannya dilakukan di kepabean dan hasil pungutannya diinvestasikan kembali ke industri sawit nasional.

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2015 jo. Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2018, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) memiliki tugas untuk menghimpun dana sawit yang bersumber dari pungutan yang dikenakan kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor produk sawit. Selain itu, BPDPKS juga mengelola dan menyalurkan dana sawit tersebut untuk pembiayaan program pengembangan industri sawit nasional.

Setidaknya terdapat dua hal penting terkait dengan peran pungutan ekspor sawit dan BPDPKS dalam desain pungutan ekspor sawit dan reinvestasi dana hasil pungutan ekspor sawit pada industri sawit. Kedua hal tersebut merupakan satu kesatuan dalam ekosistem kebijakan industri sawit nasional atau grand policy sawit nasional.

Pertama, Desain pungutan ekspor sawit tidak hanya sekedar menjadi mekanisme penghimpunan dana sawit semata. Tetapi juga sekaligus didesain untuk mencapai tujuan-tujuan strategis keberlanjutan industri sawit nasional. Besaran, cakupan, struktur tarif pungutan ekspor sawit (tarif dasar dan tarif tambahan) didesain sedemikian rupa agar memberi insentif bagi pengembangan hilirisasi sawit domestik untuk menghasilkan produk hilir baik untuk konsumsi langsung domestik, substitusi impor maupun tujuan ekspor. 

Tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah (CPO+CPKO) lebih tinggi dari tarif produk setengah jadi (intermediate product) dan tarif produk setengah jadi (intermediate product) lebih tinggi dari tarif produk jadi (finishedproduct). Tarif pungutan ekspor produk jadi seperti biodiesel dan minyak goreng kemasan hanya 40 persen dari tarif pungutan ekspor bahan bakunya yakni CPO/CPKO (Gambar 1).

Gambar 1. Perbandingan Indeks Tarif Pungutan Ekspor CPO/PKO dan Produk Turunan

Perbandingan Indeks Tarif Pungutan Ekspor CPO PKO dan Produk Turunan
Gambar 1. Perbandingan Indeks Tarif Pungutan Ekspor CPO/PKO dan Produk Turunan

Pungutan ekspor sawit baru diberlakukan jika harga CPO dunia berada diatas tingkat harga CPO minimum (threshold) pemberlakuan tarif yakni tingkat harga yang telah memberi keuntungan bagi pelaku sawit domestik, dimana harga threshold tersebut terus dievaluasi sesuai perkembangan harga minyak sawit dunia. Jika harga CPO dunia meningkat diatas tingkat harga minimum pemberlakuan tarif, maka diberlakukan tambahan pungutan ekspor sawit yang proporsional yakni tambahan pungutan ekspor pada CPO/CPKO lebih tinggi dari tambahan tarif produk turunanya. Hal ini dimaksudkan agar tingkat harga minyak sawit di dalam negeri masih tetap memberikan insentif untuk hilirisasi sawit domestik maupun stabilisasi penyediaan minyak goreng domestik.

Kedua, Desain BPDPKS untuk penghimpunan dan pengelolaan dana pungutan ekspor sawit. Dana hasil pungutan ekspor sawit yang dihimpun selanjutnya direinvestasikan ke industri sawit sebagaimana amanat UU 39/2014 dan peraturan pelaksanaanya. Untuk mengeksekusi pengelolaan reinvestasi dana hasil pungutan ekspor sawit dilakukan oleh BPDPKS melalui pembiayaan berbagai program (Gambar 2) yakni: (1) Peremajaan sawit rakyat; (2) Sarana dan prasarana; (3) Pelatihan dan pengembangan SDM; (4) Riset penelitian dan pengembangan; (5) Promosi; (6) Pemenuhan hasil-hasil perkebunan sawit untuk pangan; (7) Hilirisasi sawit; dan (8) Penyediaan dan pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (jenis biodiesel).

Gambar 2. Penggunaan Dana Hasil Pungutan Ekspor Sawit

Penggunaan Dana Hasil Pungutan Ekspor Sawit
Gambar 2. Penggunaan Dana Hasil Pungutan Ekspor Sawit

Berdasarkan data BPDPKS (2023) dalam periode 2015-2022 secara akumulatif telah di-reinvestasikan dana sawit hasil pungutan ekspor ke industri sawit melalui berbagai program pengembangan industri sawit berkelanjutan. Reinvestasi untuk peremajaan sawit rakyat sekitar Rp 7.5 Triliun, insentif biodiesel sebesar Rp 144.6 Triliun, reinvestasi R&D sekitar Rp 501.2 Milyar, reinvestasi untuk SDM sebesar Rp 305.2 Milyar, reinvestasi promosi industri sawit Rp 439.5 Milyar, dan reinvestasi untuk sarana prasarana kebun sawit rakyat Rp 44.3 Miliar.

Dengan reinvestasi dana hasil pungutan ekspor sawit tersebut yang dikembalikan ke industri sawit, dapat mengkompensasi potensi kerugian (loss) produsen sawit domestik akibat pemberlakuan pungutan ekspor. Bahkan dengan reinvestasi dana sawit tersebut dapat menciptakan manfaat total (total gain) yang lebih besar baik bagi industri sawit maupun nasional secara keseluruhan.


Peran Strategies

Desain tarif pungutan ekspor dan reinvestasi dana hasil pungutan ekspor sawit (oleh BPDPKS) tersebut menjadi instrumen kebijakan untuk penguatan industri sawit nasional secara keseluruhan. Hal tersebut tercermin dari berbagai peran strategis yang tercipta, yakni:

Pertama, Percepatan hilirisasi sawit domestik (PASPI Monitor, 2023b). Dengan tarif pungutan ekspor produk sawit yang makin ke hilir makin rendah, telah mendorong percepatan hilirisasi sawit domestik baik melalui ketiga jalur hilirisasi sawit (PASPI, 2023) yakni oleofood complex, oleochemical complex maupun jalur biofuel complex. Percepatan hilirisasi sawit tersebut telah merubah posisi Indonesia dari eksportir dengan dominasi minyak mentah (CPO/CPKO) menjadi eksportir produk olahan (Gambar 3).

Gambar 3. Perubahan Komposisi Produk Ekspor Sawit Indonesia Akibat Hilirisasi Sawit Domestik (Sumber: BPS, ITC Trademap, 2023 data diolah PASPI)

Perubahan Komposisi Produk Ekspor Sawit Indonesia Akibat Hilirisasi Sawit Domestik
Gambar 3. Perubahan Komposisi Produk Ekspor Sawit Indonesia Akibat Hilirisasi Sawit Domestik (Sumber: BPS, ITC Trademap, 2023 data diolah PASPI)

Jika pada tahun 2011, ekspor sawit Indonesia masih didominasi oleh CPO dan CPKO (52 persen), namun pada kinerja ekspor produk sawit tahun 2022 terjadi perubahan yakni didominasi produk olahan (76 persen). Pangsa ekspor CPO dan CPKO dalam ekspor sawit nasional tahun 2022 telah menurun menjadi hanya sekitar 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa hilirisasi sawit domestik dengan dukungan desain pungutan ekspor yang tepat, telah berhasil merubah komposisi ekspor sawit nasional.

Kedua, Memperluas dan memperbesar penyerapan minyak sawit di pasar domestik. Sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia akan menghadapi resiko tinggi jika terlalu tergantung pada pasar minyak sawit dunia. Masyarakat Indonesia juga ingin menikmati sebesar-besarnya manfaat dari sawit. Oleh karena itu, pemanfaatan minyak sawit di pasar domestik perlu diperbesar dan diperluas. Salah satunya melalui pengembangan biodiesel sawit. Dengan dukungan insentif dari dana sawit untuk implementasi kebijakan mandatori biodiesel (substitusi solar fosil impor) telah berhasil memperbesar daya serap minyak sawit di pasar domestik (Gambar 4).

Gambar 4. Perubahan Komposisi Produk Ekspor Sawit Indonesia Akibat Hilirisasi Sawit Domestik (Sumber: BPS, ITC Trademap, 2023 data diolah PASPI)

Volume Penyerapan Minyak Sawit sebagai Bahan Baku Biodiesel dalam Program Mandatori Biodiesel di Indonesia
Gambar 4. Volume Penyerapan Minyak Sawit sebagai Bahan Baku Biodiesel dalam Program Mandatori Biodiesel di Indonesia (Sumber: APROBI, 2023, data diolah PASPI)

Seiring dengan meningkatnya blending rate biodiesel sawit (FAME) dengan solar fosil akan semakin memperbesar penyerapan minyak sawit domestik. Kondisi ini berimplikasi pada posisi Indonesia yang semakin kuat dalam mempengaruhi harga minyak sawit dunia. Bahkan para ahli forecaster harga minyak sawit dunia menyebutkan program mandatori biodiesel Indonesia sebagai game changer harga sawit dunia.

Ketiga, Mengelola harga minyak sawit dunia dan harga Tandan Buah Segar (TBS) petani. Sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar dunia, besaran volume dan ragam minyak sawit yang diekspor Indonesia akan mempengaruhi dinamika harga minyak sawit dunia. Dengan kombinasi desain tarif pungutan ekspor, hilirisasi sawit domestik, dan penggunaan minyak sawit untuk biodiesel domestik merupakan instrumen penting bagi Indonesia untuk mengelola dinamika harga minyak sawit dunia. Peningkatan atau penurunan tarif pungutan ekspor sawit dan intensitas mandatori biodiesel Indonesia telah menjadi variabel penting yang mempengaruhi dinamika harga minyak sawit dunia. Tren harga minyak sawit dunia yang demikian kemudian akan ditransmisikan pada harga TBS yang diterima oleh petani (Gambar 5).

Gambar 5. Pergerakan Harga Minyak Sawit Dunia dan TBS Petani Sawit (Studi Kasus: Riau) yang Dipengaruhi oleh Desain Pungutan Ekspor dan Program Mandatori Biodiesel (Sumber: MPOB, Dinas Perkebunan Provinsi Riau, data diolah PASPI)

Pergerakan Harga Minyak Sawit Dunia dan TBS Petani Sawit Studi Kasus Riau yang Dipengaruhi oleh Desain Pungutan Ekspor dan Program Mandatori Biodiesel
Gambar 5. Pergerakan Harga Minyak Sawit Dunia dan TBS Petani Sawit (Studi Kasus: Riau) yang Dipengaruhi oleh Desain Pungutan Ekspor dan Program Mandatori Biodiesel (Sumber: MPOB, Dinas Perkebunan Provinsi Riau, data diolah PASPI)

Keempat, Menjamin ketersediaan dan stabilitas minyak goreng domestik. Desain tarif pungutan ekspor sawit dapat menjaga stabilitas harga dan ketersediaan minyak goreng domestik. Desain tarif pungutan ekspor tersebut membuat harga minyak goreng curah domestik lebih rendah dari harga RBD Olein dunia (Gambar 6).

Gambar 6. Desain Tarif Pungutan Ekspor Membuat Harga Minyak Goreng Curah Domestik Lebih Rendah dari Harga Minyak Goreng Dunia (Sumber: MPOB, Bank Indonesia, data diolah PASPI)

Desain Tarif Pungutan Ekspor Membuat Harga Minyak Goreng Curah Domestik Lebih Rendah dari Harga Minyak Goreng Dunia
Gambar 6. Desain Tarif Pungutan Ekspor Membuat Harga Minyak Goreng Curah Domestik Lebih Rendah dari Harga Minyak Goreng Dunia (Sumber: MPOB, Bank Indonesia, data diolah PASPI)

Selain itu dengan ketersediaan dana sawit, jika diperlukan pemerintah dapat memberikan subsidi minyak goreng domestik (HET) untuk target konsumen tertentu, misalnya ketika harga minyak goreng dunia dinilai terlalu mahal. Hal ini pernah terjadi pada tahun 2022 yakni pemberian subsidi minyak goreng curah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan UMKM yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 8 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Curah untuk Kebutuhan Masyarakat, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil dalam rangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (PASPI Monitor, 2023a).

Kelima, Meningkatkan kemampuan bertumbuh (capacity building) industri sawit domestik secara berkelanjutan. Penyaluran/reinvestasi dana sawit hasil pungutan ekspor oleh BPDPKS untuk berbagai program seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), sarana prasarana, pengembangan SDM, serta riset penelitian dan pengembangan merupakan suatu investasi untuk meningkatkan kemampuan industri sawit nasional dalam menghasilkan produksi sawit secara berkelanjutan.

Secara akumulatif, jumlah sasaran/penerima manfaat dari program reinvestasi dana sawit hasil pungutan ekspor yang dikoordinasikan oleh BPDPKS mengalami peningkatan setiap tahun selama periode tahun 2015-2022 (BPDPKS, 2023). Pada program PSR, akumulasi luas lahan kebun sawit rakyat yang diremajakan mencapai 273.67 ribu hektar dengan jumlah petani sawit yang mengikuti program tersebut sebanyak 120.86 ribu petani (Gambar 7).

Gambar 7. Akumulasi Sasaran/Penerima Manfaat Reinvestasi Dana Sawit Hasil Pungutan Ekspor pada Program PSR (Sumber: BPDPKS, 2023, data diolah PASPI)

Akumulasi Sasaran Penerima Manfaat Reinvestasi Dana Sawit Hasil Pungutan Ekspor pada Program PSR
Gambar 7. Akumulasi Sasaran/Penerima Manfaat Reinvestasi Dana Sawit Hasil Pungutan Ekspor pada Program PSR (Sumber: BPDPKS, 2023, data diolah PASPI)

Reinvestasi dana sawit melalui program riset penelitian dan pengembangan sawit juga menunjukkan peningkatan dengan akumulasi riset yang telah terpublikasikan selama periode 2015-2022 mencapai 243 publikasi (Gambar 8a) yang merupakan hasil kolaborasi dengan 950 peneliti dan 78 lembaga Litbang. Dari publikasi riset tersebut juga telah melahirkan sebanyak 50 paten riset di bidang perkelapasawitan. Demikian juga pada program pengembangan SDM, akumulasi jumlah SDM petani sawit yang mengikuti program pelatihan sebanyak 11,688 petani dan jumlah anak petani sawit yang mendapatkan beasiswa sebanyak 4,265 anak pada periode yang sama (Gambar 8b).

Gambar 8. Akumulasi Sasaran/Penerima Manfaat Reinvestasi Dana Sawit Hasil Pungutan Ekspor pada (a) Program Riset Penelitian dan Pengembangan serta (b) Program Pengembangan SDM (Sumber: BPDPKS, 2023, data diolah PASPI)

Akumulasi Sasaran Penerima Manfaat Reinvestasi Dana Sawit Hasil Pungutan Ekspor pada a Program Riset Penelitian dan Pengembangan serta b Program Pengembangan SDM
Gambar 8. Akumulasi Sasaran/Penerima Manfaat Reinvestasi Dana Sawit Hasil Pungutan Ekspor pada (a) Program Riset Penelitian dan Pengembangan serta (b) Program Pengembangan SDM (Sumber: BPDPKS, 2023, data diolah PASPI)

Sementara itu berkaitan dengan program reinvestasi dana sawit melalui dukungan sarana dan prasarana, BPDPKS telah memberikan dukungan/bantuan dalam bentuk input produksi (benih, pupuk, pestisida), alat pasca panen dan pengolahan hasil, infrastruktur jalan dan tata kelola air, alat transportasi, mesin pertanian, infrastruktur pasar, serta verifikasi teknis ISPO. Dukungan sarana prasarana perkebunan tersebut telah diberikan kepada 15 lembaga petani sawit selama periode tahun 2021-2022 (BPDPKS, 2023).

Keenam, Promosi industri sawit nasional. Keberhasilan minyak sawit menjadi minyak nabati utama dunia telah menggeser peran minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Akibatnya terjadi persaingan non-harga (non-price competition) dengan cara kampanye negatif melalui penyebaran berbagai isu yang menyudutkan minyak sawit (PASPI, 2023). Jika kampanye negatif dibiarkan terus akan merugikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit dunia. Sejak tahun 2015, BPDPKS telah melakukan reinvestasi dana pungutan ekspor untuk membiayai berbagai program untuk meng-counter isu, membangun citra positif sawit, dan melakukan advokasi minyak sawit yang dilakukan stakeholder industri sawit di dalam maupun luar negeri.

Dengan demikian kiranya makin jelas bahwa pungutan ekspor sawit bukan hanya sekadar mekanisme penghimpunan dana semata, tetapi memiliki peran yang lebih penting untuk membiayai berbagai investasi yang diperlukan untuk memperbesar dan memperkuat industri sawit secara keseluruhan. Oleh karena itu, desain pungutan ekspor, hilirisasi sawit domestik, dan reinvestasi dana hasil pungutan ekspor ke industri sawit yang dikoordinasikan BPDPKS perlu dipertahankan dan terus disesuaikan dengan perkembangan industri sawit dan pasar minyak sawit dunia.


Kesimpulan

Pungutan ekspor sawit didesain untuk mempercepat hilirisasi sawit domestik baik untuk menjamin ketersediaan kebutuhan domestik, substitusi impor maupun untuk promosi ekspor. Dalam hal ini, BPDPKS menjadi sebuah lembaga pemerintah yang berperan penting dalam menghimpun, mengelola, dan mereinvestasikan dana hasil pungutan ekspor sawit ke industri sawit nasional untuk mengembangkan dan memperkuat industri sawit nasional.

Kombinasi desain pungutan ekspor dan reinvestasi dana sawit hasil pungutan ekspor memiliki peran strategis bagi industri sawit nasional melalui: (1) percepatan  hilirisasi sawit domestik; (2) memperluas dan memperbesar penyerapan  minyak sawit di pasar domestik; (3) mengelola  harga minyak sawit dunia dan harga TBS petani; (4) menjamin ketersediaan dan stabilitas minyak goreng domestik; (5) meningkatkan kemampuan tumbuh (capacity building) industri sawit domestik  secara berkelanjutan; dan (6) promosi industri sawit nasional.


IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kebijakan pungutan ekspor dan reinvestasi dana sawit hasil pungutan ekspor yang dikoordinasikan oleh BPDPKS termasuk ke dalam instrumen grand policy sawit untuk mengelola dan menyeimbangkan posisi Indonesia sebagai produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Grand policy sawit tersebut perlu dipertahankan dan terus disesuaikan dengan perkembangan industri sawit dan pasar minyak sawit dunia untuk semakin memperbesar dan memperkuat industri sawit nasional yang berkelanjutan sehingga dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya dan inklusif.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.


Daftar Pustaka

Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x