Back to Top
Rating & Comment

PRO-KONTRA PABRIK KELAPA SAWIT (PKS) TANPA KEBUN DAN PENTINGNYA KEMITRAAN

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Pasar Tandan Buah Segar (TBS) memasuki era baru. Jika sebelumnya hanya ada satu jenis aktor Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yakni PKS yang terintegrasi dengan kebun Inti-Plasma (PKS Terintegrasi), kini telah berkembang aktor baru yakni PKS tanpa kebun (PKS Komersial) dan PKS khusus Brondolan (PKS Brondolan). Dengan berkembangnya tiga aktor PKS tersebut membawa dinamika baru dalam pasar TBS pedesaan.

Kehadiran PKS Komersial dan PKS Brondolan tersebut di pasar TBS pedesaan menciptakan pro-kontra di masyarakat. Di satu sisi, kehadiran PKS tersebut memberikan alternatif bagi masyarakat produsen TBS di kawasan pedesaan. Bagi petani sawit swadaya yang lokasinya jauh dari PKS Terintegrasi, berkembangnya PKS Komersial dan PKS Brondolan yang umumnya berada di sekitar kebun sawit swadaya dipandang sebagai solusi atas masalah yang dihadapi petani swadaya yang selama ini harus memasarkan TBS-nya ke PKS Terintegrasi. Di sisi lain, kehadiran PKS Komersial dan PKS Brondolan dapat mengancam ketersediaan bahan baku (TBS) bagi PKS Terintegrasi. Selain itu, berbagai pihak juga menilai kehadiran tiga aktor PKS tersebut berpotensi memicu terjadinya persaingan tidak sehat dalam pasar TBS hingga bahkan menyebabkan pencurian TBS dan Brondolan.

Tulisan ini mendiskusikan pro-kontra kehadiran PKS tersebut di pasar TBS pedesaan. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi bahwa kemitraan dapat menjadi solusi untuk mengatasi dampak negatif dari kehadiran tiga aktor PKS tersebut.


PLUS-MINUS TIGA AKTOR PABRIK KELAPA SAWIT

Perkebunan sawit menghasilkan TBS yang memiliki karakteristik mudah rusak (perishable) dan rasio input-output relatif besar (voluminous/bulky) yang berimplikasi pada penanganan (handling) pengolahan TBS. Karakteristik TBS yang mudah rusak menuntut waktu panen yang optimal (disiplin pada kriteria matang) dan pengolahan TBS menjadi Crude Palm Oil (CPO) harus dilakukan secepat mungkin (paling lama 24 jam setelah TBS dipanen) untuk meminimumkan penurunan mutu/kualitas TBS. Kemudian karakteristik TBS yang voluminous/bulky berimplikasi pada jarak antara kebun dengan PKS harus  sedekat mungkin untuk meminimumkan biaya transportasi.

Karakteristik TBS yang demikian, menjadi dasar objektif mengapa lokasi PKS umumnya berada dalam areal kebun sawit. Selain itu juga menjadi landasan pola-pola pengembangan perkebunan sawit di Indonesia seperti Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan berbagai variasinya yakni PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Trans, PIR KKPA, PIR Revitalisasi Perkebunan (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2024), dimana pola-pola tersebut selalu menganut model integrasi atau kemitraan kebun inti-plasma dengan PKS.

Penyimpangan dari basis karakteristik TBS yang demikian, memiliki konsekuensi yakni menimbulkan kerugian ekonomi yang ditanggung oleh produsen TBS. Misalnya jauhnya lokasi PKS dari lokasi kebun sawit swadaya menyebabkan produsen TBS harus membayar biaya transportasi yang lebih besar dan kerugian akibat penurunan mutu TBS. Kondisi tersebut telah lama dialami petani sawit swadaya, dimana petani swadaya harus menerima harga TBS hanya sekitar 60-70 persen dari harga TBS di PKS.

Aktor PKS pertama muncul dalam perkebunan sawit nasional adalah PKS Terintegrasi yang berkembang di lokasi dan terintegrasi dengan kebun sawit inti (milik korporasi). Sumber TBS sebagian besar berasal dari kebun inti dan sisanya dipenuhi dari kebun plasma, kebun sawit korporasi skala menengah yang tidak memiliki PKS, dan sebagian dari petani sawit swadaya sekitar.

Kemudian setelah tahun 2000, berkembang PKS Komersial (tanpa kebun) yang berlokasi di sekitar perkebunan sawit di luar area kebun inti-plasma. Studi PPKS (Djafar et al., 2007) mengungkapkan jumlah PKS Komersial (tanpa kebun) pada tahun 2006 telah mencapai sekitar 64 unit dengan kapasitas 2,430 ton TBS per jam atau sekitar 12 persen dari kapasitas PKS nasional. Sementara itu, belum ada data valid yang mengungkapkan jumlah dan kapasitas PKS Komersial yang beroperasi saat ini.

Beberapa tahun terakhir juga berkembang PKS Brondolan. Namun saat ini, jumlah dan kapasitas PKS Brondolan yang beroperasi di Indonesia belum terdata dengan baik. PKS Brondolon berkembang di sekitar kebun-kebun sawit petani swadaya. Berbeda dengan PKS Konvensional dan PKS Komersial yang produknya berupa CPO dengan kadar Asam Lemak Bebas (ALB) maksimal 5 persen (sesuai dengan SNI 01-2901-2006) dan kategori CPO untuk food use grade, produk yang dihasilkan oleh PKS Brondolan umumnya berupa CPO dengan kadar ALB diatas 5 persen sehingga sering disebut PKS CPO asam tinggi dan dapat dikategorikan sebagai CPO-non food use grade.

Ketiga kelompok aktor PKS tersebut masing-masing memiliki sisi plus-minus. PKS Terintegrasi merupakan yang pertama dan kontributor terbesar produksi CPO food use grade level nasional. Sebagian besar (50-70 persen) kebutuhan TBS PKS Terintegrasi dipasok dari kebun sendiri yang terintegrasi dengan PKS sehingga Harga Pokok Produksi (HPP) seharusnya dapat lebih rendah dan harganya menjadi lebih kompetitif. Kelemahannya adalah lokasi PKS Terintegrasi relatif jauh dari lokasi kebun sawit swadaya sehingga biaya transportasi, biaya broker, dan biaya penurunan mutu TBS menjadi beban petani sawit swadaya. Akibatnya harga TBS petani sawit swadaya lebih rendah dari harga TBS di PKS Terintegrasi.

Sementara itu, kehadiran PKS Komersial yang lokasinya berada di sekitar kebun petani sawit swadaya berpotensi menurunkan biaya transportasi dan mencegah terjadinya penurunan mutu TBS petani swadaya. Sehingga harga pembelian TBS petani swadaya dapat lebih tinggi dibandingkan jika menjual ke PKS Terintegrasi. Selain itu, lokasi PKS Komersial yang umumnya berada dekat dengan pemukiman penduduk relatif akan lebih mudah memperoleh tenaga kerja. Di sisi lain, PKS Komersial juga memiliki titik lemah yakni umumnya tidak memiliki sumber TBS dari kebun sendiri sehingga ada resiko dalam kesinambungan pasokan TBS. Untuk menjamin kesinambungan pasokan TBS tersebut, PKS Komersial harus memberikan harga yang lebih menarik dan juga menjaga loyalitas pemasok (petani sawit swadaya).

Berbeda dengan dua kelompok PKS diatas, PKS Brondolan sebetulnya bukan pesaing langsung bagi PKS Terintegrasi maupun PKS Komersial. Jika PKS Terintegrasi dan PKS Komersial memerlukan TBS dengan kematangan yang terstandar, sedangkan bahan baku PKS Brondolan berupa Brondol dengan tingkat kematangan lewat matang bahkan busuk. Dari segi outputnya, PKS Terintegrasi dan PKS Komersial menghasilkan CPO dengan kualitas food use grade dengan tingkat ALB maksimum 5 persen, sedangkan output PKS Brondol adalah CPO asam tinggi (non-food grade).

Kehadiran PKS Brondolan ini memiliki beberapa keunggulan dari sudut pandang petani. Selain dekat dengan kebun sawit swadaya, bahan baku hanya berupa Brondolan (lewat matang sehingga rendemen minyak lebih tinggi) yang diangkut ke pabrik sedangkan tandan kosong yang merupakan bagian terbesar dari TBS tinggal di lahan petani tidak ikut terangkut ke pabrik. Artinya biaya transportasi jauh lebih murah dan tidak mengenal penurunan mutu sehingga harga yang diterima petani swadaya lebih tinggi dibandingkan pada PKS Terintegrasi maupun PKS Komersial.

Bagi kebun sawit korporasi, kehadiran PKS Brondolan ini sebenarnya juga dapat menjadi solusi. Selama ini pada kebun sawit korporasi di daerah jurangan banyak yang tidak dipanen karena biaya angkut TBS dari jurangan/lembah yang mahal. Adanya pasar Brondolan (PKS Brondolan) memungkinkan panen bersih pada kebun-kebun jurangan milik korporasi.

Secara nasional kehadiran PKS Brondolan ini juga berpotensi dalam penyediaan bahan baku biofuel yang lebih kompetitif. Selama ini produksi biodiesel menggunakan CPO food grade sebagai bahan baku biodiesel, hal ini dipandang terlalu “mewah”, mahal, dan juga menghadapi isu food-fuel trade off (PASPI, 2023). Selain itu, tandan kosong yang tidak diangkut ke PKS Brondol dan ditinggal di kebun sawit dapat didaur ulang untuk menambah kesuburan lahan kebun sawit.

Uraian di atas menunjukkan bahwa berkembangnya PKS Komersial dan PKS Brondolan mengundang pro-kontra di masyarakat. Bagi petani sawit swadaya sebagai aktor yang menguasai pangsa 42 persen dari luas kebun sawit nasional, kehadiran PKS Komersial dan PKS Brondolan dinilai menghadirkan solusi yang menguntungkan. Namun di sisi lain, ada kekhawatiran dari PKS Terintegrasi akan terjadi kekurangan pasokan TBS sehingga memicu “perang” harga TBS di tingkat pedesaan, isu legalitas, isu terancamnya kemitraan, isu pencurian TBS, dan lain lain.


PENTINGNYA KEMITRAAN

Secara legalitas, berkembangnya PKS Komersial dan PKS Brondolan yang tidak memiliki kebun sendiri dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, disebutkan bahwa PKS (sebagai industri pengolahan hasil perkebunan sawit) dapat didirikan baik secara terintegrasi dengan Kebun (dengan Izin Usaha Perkebunan/IUP) maupun hanya PKS saja (dengan IUP-P).

Bahkan dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah juga meng-endorse berkembangnya UKM seperti para petani dan PKS skala mini-menengah. Dari sudut kebijakan persaingan usaha yang sehat (UU No. 5 Tahun 1999), tumbuh berkembangnya dunia usaha seperti PKS tersebut justru dikehendaki karena akan menguntungkan masyarakat. Sebaliknya pelarangan PKS Komersial dan PKS Brondolan justru berpotensi melanggar UU Persaingan Usaha tersebut.

Kemungkinan terjadinya intensitas persaingan sangat potensial. Sepanjang persaingan berada pada rule of the game yang ada, persaingan justru mendorong peningkatan efisiensi dan kualitas. Sepanjang kemitraan yang ada memiliki keunggulan kompetitif, persaingan justru berpotensi makin menguatkan kemitraan yang ada.

Kata kunci untuk mencapai keseimbangan baru pasar TBS adalah penguatan kemitraan. Adanya persaingan perebutan TBS diperkirakan akan mendorong aktor PKS Terintegrasi, PKS Komersial, dan PKS Brondolan untuk membangun kemitraan yang lebih serius, bersinergi, dan berkelanjutan dengan para petani sawit di sekitarnya. Saling menjaga dan memperkuat kemitraan yang terjadi juga akan meminimumkan terjadinya pencurian TBS/Brondolan yang sebelum kehadiran PKS tanpa kebun juga acap kali terjadi.

Intensitas persaingan perebutan TBS akan mendorong terjadinya percepatan peningkatan produktivitas baik kebun inti, kebun plasma, dan kebun petani swadaya yang beberapa tahun terakhir stagnan. Selain itu, terbentuknya kemitraan antara petani sawit baik pada PKS Terintegrasi, PKS Komersial maupun PKS Brondolan akan makin memperjelas ketertelusuran (traceability) bahan baku yang sudah menjadi tuntutan pasar modern.

Perkebunan sawit baik swasta, BUMN(D) maupun perkebunan sawit rakyat (plasma dan swadaya) adalah aset nasional yang perlu kita rawat secara berkelanjutan. Dinamika pasar akan selalu terjadi dan bagian dari kehidupan industri sawit nasional. Kita berharap dinamika baru pasar TBS di pedesaan akan membawa industri sawit nasional makin kuat dan makin berkelanjutan.     


Kesimpulan

Pasar TBS di kawasan pedesaan telah berkembang lebih dinamis dengan berkembangnya PKS Terintegrasi, PKS Komersial, dan PKS Brondolan. Adanya ketiga kelompok PKS tersebut memberikan alternatif bagi produsen TBS di pedesaan dalam saluran pemasarannya.

Dinamika baru pasar TBS pedesaan tersebut memerlukan penguatan kemitraan baik berbasis PKS Terintegrasi, berbasis PKS Komersial maupun berbasis PKS Brondolan. Adanya penguatan kemitraan tersebut diharapkan dinamika baru akan terkelola menuju keseimbangan baru yang lebih baik dan memperkuat industri sawit nasional secara keseluruhan.


Implikasi Kebijakan

Berkembangnya PKS Terintegrasi, PKS Komersial, dan PKS Brondolan menambah dinamika dalam pemasaran TBS petani di kawasan pedesaan. Namun untuk mengoptimalkan manfaat sekaligus meminimalisir potensi masalah/kerugian dari kehadiran ketiga PKS tersebut, diperlukan penguatan kemitraan. Pemerintah khususnya pemerintah kabupaten, dimana ketiga aktor PKS tersebut berada perlu memastikan dan memfasilitasi terjadinya kemitraan tersebut. Selain itu, CPO non-food grade (sebagai output PKS Brondol) seperti CPO asam tinggi perlu dibuat SNI nya agar dapat diperdagangkan.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.


Daftar Pustaka

  1. Djafar, Akmal M, Ratnawati N. 2007. Polemik Keberadaan Pabrik Kelapa Sawit Tanpa Kebun dalam Industri Kelapa Sawit Indonesia. Warta PPKS. 25(3): 25-39.
  2. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  3. PASPI Monitor. 2024. Inovasi Kemitraan Untuk Penguatan Perkebunan Sawit Rakyat. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(23): 895-902.
Bagikan Jurnal
5 1 vote
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
1 Comment
Inline Feedbacks
View all comments
Inna Riana
Inna Riana
31/05/2024 6:50 PM
Berikan Rating Untuk Artikel Ini :
     

Semoga industri sawit nasional semakin berkemabang dengan penguatan kemitraan berdasarkan PKS Terintegrasi, PKS Komersial, dan PKS Brondolan serta menjadi alternatif saluran pemasaran andalan bagi produsen TBS di pedesaan.

1
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x