Back to Top
Rating & Comment

RENCANA KENAIKAN HET MINYAKITA DAN SOLUSI STABILISASI MINYAK GORENG DOMESTIK

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Asosiasi produsen minyak goreng sawit (MGS) mengusulkan ke pemerintah agar Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk produk Minyakita (curah) dinaikkan sebesar Rp 1,000; dari harga saat ini yakni Rp 14,000 per liter atau Rp 15,500 per kilogram, dimana harga tersebut telah diberlakukan pemerintah sejak Juni 2022 lalu. Terhadap usulan tersebut, lembaga konsumen meminta pemerintah untuk tidak menaikkan HET saat ini, mengingat kondisi ekonomi masyarakat target konsumen MGS tersebut tidak kondusif untuk menerima kenaikan harga.

Dalam konteks MGS, usulan asosiasi produsen MGS mewakili kepentingan ekonomi dari produsen MGS sendiri dan produsen CPO/TBS, termasuk di dalamnya sekitar 2.5 juta rumah tangga petani sawit. Sedangkan usulan lembaga konsumen mewakili kepentingan jutaan konsumen MGS, baik rumah tangga maupun usaha kecil-menengah (UKM) pangan/kuliner.

Menghadapi permintaan kedua pihak yang kepentinganya bertolak belakang tersebut, dapat dipastikan pemerintah menghadapi kondisi trade-off seperti peribahasa memakan buah simalakama. Jika HET dinaikkan memang menguntungkan (better-off) bagi produsen (MGS dan produsen CPO/ TBS), namun merugikan (worse-off) kepentingan konsumen MGS. Sebaliknya jika HET tidak naik, konsumen MGS senang tetapi produsen MGS, termasuk produsen bahan baku TBS/CPO, akan dirugikan. Lantas apakah menaikkan HET menjadi solusi? Adakah kebijakan alternatif yang dapat memuaskan bagi produsen dan konsumen MGS sekaligus?

Tulisan ini akan mendiskusikan efektifitas kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO)/HET dalam menjaga win-win condition bagi produsen dan konsumen MGS. Kemudian juga akan diskusi lanjutan terkait dengan pilihan kebijakan yang dapat membuat produsen dan konsumen MGS better-off.


EFEKTIVITAS DMO DAN DPO/HET

Indonesia merupakan produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia (USDA, 2024). Salah satu industri hilir sawit yang mengkonsumsi minyak sawit (CPO) terbesar di Indonesia adalah industri minyak goreng (PASPI, 2023). Hal ini juga menunjukkan bahwa konsumsi minyak goreng di Indonesia sangatlah penting. 

Meskipun kontribusi minyak goreng dalam pengeluaran makanan tidak terlalu signifikan, namun produk tersebut menjadi salah satu bagian dari sembilan bahan pokok (sembako). Sehingga ketersediaan MGS setiap waktu dan setiap tempat (availability) dengan harga terjangkau (affordability) bagi 278 juta orang penduduk Indonesia sangat penting secara psiko-sosial dan politik. Selain itu, peranan MGS sebagai salah satu input bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kuliner dan pengolahan pangan, dimana jumlah usaha/industri mikro kecil pangan sekitar 1.5 juta tahun 2020 (BPS, 2022) yang tersebar di seluruh daerah, menjadikan ketersediaan dan keterjangkauan MGS juga menyangkut stabilitas ekonomi pada lapisan masyarakat menengah-ke bawah (low-middle income class).

Kebijakan DMO dan DPO yang diberlakukan pemerintah sejak pertengahan tahun 2022  hingga saat ini (PASPI Monitor, 2023a) bertujuan untuk memastikan stabilitas minyak goreng domestik. Kebijakan DMO/DPO tersebut mengatur setidaknya tiga hal utama yakni: (1) target DMO dalam bentuk minyak goreng sekitar 300 ribu ton per bulan; (2) pemenuhan DMO menjadi dasar pemberian izin ekspor dengan rasio tertentu (dimulai rasio 4 dan terakhir rasio 5) yang disesuaikan dengan perkembangan pasar; dan (3) DPO atau HET pada level konsumen untuk minyak goreng curah/Minyakita ditetapkan sebesar Rp 14,000 per liter atau Rp 15,500 per kilogram.

Kelemahan dari kebijakan DMO dan DPO tersebut sebagai instrumen stabilisasi minyak goreng domestik antara lain:

  1. Pertama, kebijakan DMO dan DPO tersebut menghentikan mekanisme pasar dalam penyediaan dan harga minyak goreng domestik karena digantikan dengan mekanisme administratif.
  2. Kedua, kebijakan tersebut potensial memperlambat ekspor  dan menciptakan risiko dan ketidakpastian bagi pembeli dari luar negeri.
  3. Ketiga, kebijakan DMO dan DPO merupakan bentuk instrumen kebijakan non-tariff barrier yang dapat menimbulkan deadweight loss berupa pengurangan surplus produsen dan penurunan penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (Tomich dan Mawardi, 1995; Sipayung, 2018).
  4. Keempat, beban DMO dan DPO tersebut ditransmisikan ke pelaku di sektor hulu yakni ke produsen TBS termasuk petani sawit.
  5. Kelima, DPO/HET minyak goreng yang tetap dan mandatori yakni sebesar Rp 14,000 per liter tersebut membuat konsumen minyak goreng domestik membayar dengan harga yang lebih mahal (dan merugikan konsumen) yakni ketika harga minyak goreng internasional lebih rendah dibandingkan dengan HET tersebut.
  6. Keenam, harga minyak goreng curah di level konsumen telah mengalami kenaikan diatas HET sejak Januari 2023 hingga Mei 2024, bahkan harga minyak goreng curah tersebut berada di atas harga minyak goreng curah internasional (RBD Olein) sehingga konsumen telah dirugikan (Gambar 1).
Pergerakan Harga Minyak Goreng Domestik dan Harga RBD Olein Dunia

Dengan kata lain, kebijakan DMO dan HET minyak goreng sawit tidak berhasil mempertahankan harga minyak goreng curah pada level HET yang didesain pemerintah (PASPI Monitor, 2023b, 2024). Bahkan dengan kenaikan harga minyak goreng curah domestik di atas HET dan harga RBD Olein mengindikasikan terjadi excess demand di pasar domestik yang membuat disparitas harga minyak goreng domestik dan pasar dunia.

Oleh karena itu, sudah saatnya kebijakan DMO dan HET dievaluasi karena tidak efektif lagi untuk melindungi konsumen dan produsen minyak goreng. Dibutuhkan kebijakan stabilisasi minyak goreng curah yang pro produsen sekaligus pro konsumen.


Alternatif Kebijakan

Pilihan kebijakan stabilisasi minyak goreng curah/Minyakita yang pro konsumen sekaligus pro produsen dapat diwujudkan dengan penugasan BUMN (oleh pemerintah) dalam penyediaan minyak goreng curah yang ditargetkan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah dan UKM pangan/kuliner, dimana harga minyak goreng curah tersebut sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Sedangkan kebutuhan konsumen masyarakat ekonomi kelas menengah ke atas dan industri pangan dapat dipenuhi oleh produk minyak goreng yang harganya mengikuti mekanisme pasar.

Saat ini, PTPN memiliki kemampuan untuk memproduksi minyak goreng curah. Sedangkan untuk distribusinya selain melibatkan distributor/retailer swasta, pendistribusian minyak goreng curah produksi PTPN tersebut juga dapat melibatkan BUMN ID Food dan Bulog.

Agar BUMN yang terlibat dalam rantai pasok minyak goreng curah tersebut tetap bertahan dalam industri (dan memperoleh margin laba yang wajar), maka selisih HET dengan harga minyak goreng curah (FOB) dibayar dari dana sawit (yang dikelola oleh BPDPKS) sebagai subsidi minyak goreng untuk rakyat. Pemberian subsidi minyak goreng untuk rakyat telah sesuai dengan Peraturan Presiden No. 66 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dengan kebijakan tersebut, produsen minyak goreng dibebaskan untuk ekspor dengan membayar pungutan ekspor (levy) yang ditetapkan pemerintah dan tanpa dibebani tugas stabilisasi minyak goreng domestik. Sehingga Indonesia dapat tetap memperoleh devisa dari ekspor, dana pungutan ekspor, dan stabilisasi penyediaan minyak goreng domestik tidak terganggu. Selain itu, dengan kebijakan tersebut produsen bahan baku minyak goreng di hulu yakni produsen CPO/TBS termasuk petani sawit, tidak akan dirugikan dari dampak stabilisasi penyediaan minyak goreng domestik.


Kesimpulan

Kebijakan DMO dan DPO/HET yang ditempuh pemerintah untuk menjamin stabilisasi minyak goreng domestik perlu segera dievaluasi. Berbagai fakta menunjukkan bahwa kebijakan DMO dan HET tidak efektif lagi melindungi konsumen minyak goreng curah domestik. Bahkan konsumen dirugikan akibat membayar minyak goreng dengan harga yang lebih mahal dibandingkan harga internasional.     

Alternatif kebijakan pengganti kebijakan DMO dan DPO/HET adalah pemerintah menugaskan BUMN (PTPN, ID Food, dan Bulog) dalam penyediaan minyak goreng curah untuk rakyat dengan ekonomi kelas menengah-ke bawah dan UKM pangan/kuliner, dimana harga minyak goreng curah tersebut sesuai dengan HET yang ditetapkan pemerintah. Dan untuk menjaga sustainability dari BUMN tersebut dalam industri minyak goreng domestik, BPDPKS dapat menutupi selisih HET dengan harga (FOB) minyak goreng curah sebagai bagian dari instrumen penyediaan minyak goreng untuk rakyat.



Daftar Pustaka (Link)

  1. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2024. Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok: Perkembangan Harga Minyak Goreng Nasional.
  2. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  3. PASPI Monitor. 2023a. Kaleidoskop 2022: Industri Sawit Nasional Bergejolak. Berita Sawit.
  4. PASPI Monitor. 2023b. Kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) serta Alternatif Kebijakan untuk Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(12).
  5. PASPI Monitor. 2024. Waspadai Kenaikan Harga Minyak Goreng Domestik. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(18).
  6. Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 
  7. [USDA] United States Department of Agriculture. 2024. European Union: Oilseed and Products Annual.
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x