Masalah legalitas dan ketidakpastian hukum dalam perkebunan sawit dapat menciptakan berbagai kerugian ekonomi dalam bentuk: (1) citra industri sawit nasional dalam perdagangan dunia yang semakin buruk; (2) melemahkan dan mempersulit keberterimaan internasional terhadap sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO); (3) meningkatkan risiko bisnis sawit hulu-hilir; (4) merugikan pemerintah pusat dan daerah karena tidak ada basis data untuk pengenaan wajib pajak; (5) menurunkan minat investasi baru dan reinvestasi pada perusahaan sawit; (6) menghambat program pengembangan sawit rakyat (PSR, penyaluran sarpras sawit, sertifikasi ISPO); dan (7) membatasi akses petani sawit pada lembaga keuangan dan kerjasama bisnis.
Ketika Uni Eropa dalam kebijakannya (RED II, EUDR) menyebut minyak sawit sebagai high risk commodity (PASPI Monitor, 2019; PASPI Monitor, 2022, 2023a,, 2023b, 2023c, 2023d), seluruh stakeholder sawit (pelaku, regulator, pengamat, peneliti) menyampaikan protes keras karena kebijakan tersebut dinilai diskriminatif dan memojokkan sawit. Reaksi stakeholder sawit tersebut dapat dipahami mengingat dengan “label” high risk commodity tersebut berdampak pada meningkatnya level risiko industri sawit di mata investor, pembeli/konsumen, dan lembaga keuangan.
Jika ditelusuri lebih lanjut, labelisasi sawit tersebut sebetulnya berkaitan dengan salah satu isu/masalah yang dihadapi oleh perkebunan sawit Indonesia yakni legalitas dan ketidakpastian hukum yang belum tuntas hingga hari ini. Kebun sawit rakyat dengan proporsi luas mencapai 42 persen luas kebun sawit nasional, dimana terdapat sekitar 90 persen kebun sawit rakyat yang masih belum tuntas masalah legalitasnya. Demikian juga dengan perkebunan sawit swasta dan BUMN, dimana sebagian kebunnya menghadapi masalah legalitas akibat perubahan tata ruang kehutanan maupun ketidakjelasan batas-batas kawasan hutan. Sehingga wajar jika Uni Eropa mempertanyakan legalitas ini dan melabelkan minyak sawit dan produk sawit Indonesia masuk ke dalam kategori high risk commodity.
Berkaitan dengan legalitas, pemerintah telah mengambil langkah-langkah penyelesaian masalah tersebut. Melalui UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) dan Pembentukan Satuan Tugas (Satgas Sawit) yang melibatkan lintas kementerian/lembaga diharapkan akan menyelesaikan masalah legalitas secara tuntas dan sekaligus membangun kepastian hukum perkebunan sawit nasional.
Pentingnya penyelesaian legalitas secara tuntas dan pemberian kepastian hukum perkebunan sawit Indonesia tidak hanya berkaitan dengan isu tata kelola perkebunan sawit nasional saja, tetapi juga menyangkut besarnya potensi kerugian yang dialami baik bagi pelaku usaha maupun pemerintah. Oleh karena itu, tulisan ini akan mendiskusikan potensi kerugian ekonomi yang ditimbulkan akibat belum tuntasnya legalitas kebun sawit dan ketidakpastian hukum pada perkebunan sawit.

KETIDAKPASTIAN LEGALITAS KEBUN SAWIT
Berbagai bentuk masalah legalitas dan ketidakpastian hukum yang saat ini belum tuntas diselesaikan dan sedang melilit perkebunan sawit Indonesia. Pertama, klaim Kementerian LHK yang menyebut sekitar 3.7 juta hektar kebun sawit berada dalam kawasan hutan. Masalah ini sebagian besar terkait dengan akumulasi dampak perubahan kebijakan tata ruang dan agraria dari era Orde Baru ke era Reformasi dan perubahan kebijakan otonomi dari UU No. 22 Tahun 1999 ke UU No. 23 Tahun 2014. Perubahan kebijakan-kebijakan tersebut menyebabkan banyak kebun sawit yang terjebak dalam kawasan hutan dan tidak dapat memperoleh Hak Guna Usaha (HGU) maupun perizinan lainnya (PASPI Monitor, 2023e).
Kedua, terjadi tumpang tindih alas hak pemanfaatan ruang/lahan baik antar sektor (perkebunan sawit versus pertambangan), antar perusahaan perkebunan sawit, antar perkebunan sawit korporasi dengan kebun sawit rakyat, antar perkebunan sawit korporasi dengan masyarakat adat, maupun antar kebun sawit rakyat. Selain akibat lemahnya koordinasi kebijakan perizinan antar kementerian, masalah tumpang tindih tersebut juga disebabkan akibat lemahnya data geolokasi dalam pemberian perizinan.
Ketiga, ketidakpastian hukum HGU. HGU perkebunan sawit diberikan oleh Kementerian ATR/BPN, namun dapat dicabut oleh Kementerian LHK. Hal ini mengindikasikan adanya diskoordinasi dan dualisme kebijakan pengelolaan ruang pertanahan antara Kementerian ATR/BPN dengan Kementerian LHK.
Keempat, konflik agraria antara masyarakat sekitar dengan korporasi sawit. Hal ini terjadi akibat inkonsistensi pelaksanaan kewajiban pembangunan kebun sawit rakyat sebagai kebijakan kemitraan yang diamanatkan oleh UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan UU No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 98 Tahun 2013 diamanatkan juga perusahaan perkebunan wajib membangun kebun masyarakat minimum 20 persen dari Izin Usaha Perkebunan (IUP), sementara dalam Peraturan Menteri ATR/BPN No. 7 Tahun 2017 menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan wajib membangun kebun masyarakat minimum 20 persen dari HGU. Sedangkan menurut Peraturan Menteri LHK No. 51 Tahun 2016 menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan wajib membangun kebun masyarakat minimum 20 persen dari areal yang dilepaskan.
Meskipun kewajiban kemitraan tersebut sudah direvisi dalam UU Cipta Kerja (PASPI, 2023) yang tertuang dalam UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang. Namun UU ini mulai berlaku pada 31 Maret 2023 dan tidak bersifat non-retroaktif ke belakang.
Kelima, legalitas kebun sawit rakyat. Dari 16.3 juta hektar kebun sawit nasional, terdapat sekitar 6.8 juta hektar kebun sawit rakyat. Selain masalah klaim dalam kawasan hutan (sekitar 3 juta hektar), sebagian besar perkebunan sawit rakyat belum memiliki legalitas usaha baik Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB), badan usaha, dan kelembagaan.
Untuk mengatasi masalah legalitas dan ketidakpastian hukum perkebunan sawit tersebut, pemerintah melakukan beberapa langkah strategis melalui UU Cipta Kerja dan Keputusan Presiden No.9 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara (atau yang dikenal sebagai Satgas Sawit). Namun proses penyelesaian masalah tersebut masih sedang berlangsung, sehingga masalah legalitas dan kepastian hukum perkebunan belum terselesaikan secara tuntas.
POTENSI KERUGIAN EKONOMI
Masalah legalitas dan ketidakpastian hukum perkebunan sawit tersebut menimbulkan kerugian ekonomi bagi Indonesia. Kerugian ekonomi tersebut berpotensi dialami baik secara nasional, industri sawit secara keseluruhan, pemerintah, ekonomi daerah, pelaku usaha termasuk kebun sawit rakyat.
Pertama, memperburuk citra industri sawit nasional dalam perdagangan dunia. Dalam perdagangan modern, legalitas proses produksi suatu produk telah menjadi perhatian konsumen global. Proses produksi suatu produk/komoditi di negara asal (country of origin) yang tidak memiliki legalitas yang valid, maka produk/komoditi tersebut akan dikategorikan sebagai produk ilegal. Misalnya dalam kebijakan Uni Eropa (EUDR), selain harus bebas deforestasi dan degradasi hutan, kebijakan tersebut juga mempersyaratkan legalitas proses produksi di negara asal. Dengan masalah legalitas tersebut ditambah lagi dengan ketidakpastian hukum perkebunan sawit Indonesia, akan semakin memperburuk citra sawit Indonesia di pasar dunia.
Kedua, melemahkan dan mempersulit keberterimaan internasional sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO, RSPO, ISCC, ISO). Aspek legalitas dan kepastian hukum perkebunan sawit merupakan salah satu prinsip tata kelola sawit berkelanjutan (PASPI, 2023). Selama ini, sertifikasi sawit berkelanjutan (seperti ISPO) sulit memperoleh keberterimaan atau pengakuan di pasar dunia (negara importir). Patut diduga salah satu penyebabnya adalah masalah legalitas dan ketidakpastian hukum secara traceability perkebunan sawit.
Ketiga, meningkatkan risiko bisnis sawit hulu-hilir. Masalah legalitas dan ketidakpastian hukum perkebunan sawit secara langsung menjadi tambahan risiko pada perkebunan sawit dan rantai pasok hulu-hilir. Uni Eropa telah melabelisasi sawit sebagai high risk commodity. Tambahan risiko tersebut menjadi biaya premi risiko dalam transaksi kredit investasi hulu-hilir, transaksi Bussiness to Bussiness (B to B), dan pada pasar saham perusahaan sawit yang listed di pasar modal.
Keempat, merugikan pemerintah pusat dan daerah. Masalah legalitas kebun sawit juga berimplikasi pada tidak adanya basis penerapan kewajiban perpajakan seperti Pajak Bumi Bangunan (PBB) dan pajak lainya. Hal ini berpotensi merugikan penerimaan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Kelima, menurunkan minat investasi baru dan reinvestasi pada perusahaan sawit. Untuk meningkatkan produktivitas sekaligus menurunkan biaya produksi secara berkelanjutan, diperlukan investasi baru atau reinvestasi seperti pada kegiatan replanting, land and irrigation improvement, inovasi, dan lain-lain. Adanya masalah legalitas dan ditambah dengan ketidakpastian hukum perkebunan sawit membuat perusahaan perkebunan sawit mengalami disinsentif untuk melakukan investasi atau reinvestasi pada perkebunan sawit itu sendiri.
Surplus (profit) yang diperoleh dari perkebunan sawit tidak direinvestasikan kembali ke perkebunan sawit melainkan keluar perkebunan sawit. Hal ini dapat ditelusuri dari data fund using yang lebih kecil dari fundraising perkebunan sawit pada lembaga perbankan di sentra-sentra sawit. Produktivitas kebun sawit yang cenderung stagnan bahkan cenderung menurun, sementara biaya produksi naik relatif cepat mencerminkan rendahnya reinvestasi dan inovasi teknologi pada perkebunan sawit.
Keenam, menghambat program pengembangan sawit rakyat seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), penyaluran bantuan Sarana dan Prasarana (Sarpras) perkebunan sawit, dan sertifikasi sawit rakyat. Program PSR dan bantuan Sarpras merupakan salah satu program reinvestasi dana sawit yang dibiayai dari dana sawit dan dikelola BPDPKS (PASPI Monitor, 2023f), dimana program tersebut berbasiskan kelengkapan legalitas kebun sawit. Berdasarkan data realisasi PSR dan Sarpras (BPDPKS, 2023) menunjukkan bahwa realisasinya masih relatif rendah. Salah satu penyebab utama dari rendahnya realisasi program tersebut berkaitan dengan masalah legalitas kebun sawit rakyat.
Demikian juga dengan sertifikasi ISPO yang mempersyaratkan legalitas kebun sawit yang “clear and clean”. Persyaratan tersebut juga menjadi penghambat realisasi sertifikasi ISPO di perkebunan sawit rakyat yang relatif rendah dan stagnan. Hal ini juga disebabkan karena masalah legalitas yang “membelenggu” kebun sawit rakyat.
Ketujuh, membatasi akses petani sawit pada lembaga keuangan dan kerjasama bisnis (B to B). Lembaga keuangan (bank dan non-bank) maupun lembaga bisnis modern menuntut kelengkapan legalitas. Masalah legalitas kebun sawit rakyat membuat petani sawit tidak memiliki akses pada lembaga pembiayaan maupun kerjasama dengan lembaga lain.
Ketujuh hal-hal diatas secara keseluruhan menciptakan efek bola salju (snowball effect) pada kinerja industri sawit nasional yang dibawah kinerja optimalnya. Produksi, penyerapan tenaga kerja, pendapatan rakyat, ekspor, devisa negara, penerimaan pemerintah pusat/daerah, dan lain-lain berada dibawah level yang seharusnya (sub-optimal). Selain dibawah level optimal, industri sawit nasional juga terperosok pada industri high-risk serta mengancam daya saing dan sustainability industri sawit nasional secara keseluruhan.
KESIMPULAN
Berbagai bentuk masalah legalitas dan ketidakpastian hukum yang melilit perkebunan sawit nasional mencakup klaim Kementerian LHK berkaitan dengan kebun sawit yang berada dalam kawasan hutan, tumpang tindih alas hak pemanfaatan ruang/lahan, ketidakpastian hukum HGU, konflik agraria antara masyarakat sekitar dengan korporasi sawit, dan masalah legalitas kebun sawit rakyat.
Masalah legalitas dan ketidakpastian hukum tersebut menciptakan berbagai kerugian ekonomi dalam bentuk: (1) citra industri sawit nasional dalam perdagangan dunia yang semakin buruk; (2) melemahkan dan mempersulit keberterimaan internasional terhadap sertifikasi sawit berkelanjutan (ISPO); (3) meningkatkan risiko bisnis sawit hulu-hilir; (4) merugikan pemerintah pusat dan daerah karena tidak ada basis data untuk pengenaan wajib pajak; (5) menurunkan minat investasi baru dan reinvestasi pada perusahaan sawit; (6) menghambat program pengembangan sawit rakyat (PSR, penyaluran sarpras sawit, sertifikasi ISPO); dan (7) membatasi akses petani sawit pada lembaga keuangan dan kerjasama bisnis.
Implikasi Kebijakan
Masalah legalitas dan ketidakpastian hukum yang belum diselesaikan secara tuntas akan menyebabkan kerugian ekonomi. Oleh karena itu, seluruh stakeholder sawit perlu menjadi bagian solusi dari penyelesaian legalitas dan ketidakpastian hukum perkebunan sawit. Melalui implementasi UU Cipta Kerja dan Satgas Sawit, pemerintah Indonesia berupaya menyelesaikan masalah tersebut. Diharapkan kebijakan maupun program tersebut dapat menyelesaikan masalah legalitas sekaligus membangun kepastian hukum pada sektor perkebunan sawit sehingga akan menimbulkan efek domino bagi peningkatan sustainability dan daya saing industri sawit nasional di masa depan.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.
Daftar Pustaka (Link)
- [BPDPKS] Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. 2023. Kinerja Program BPDPKS.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
- PASPI Monitor. 2019. Minyak Sawit dalam Persaingan Bahan Baku Biodiesel Uni Eropa: Motif RED II ILUC. Jurnal Monitor: Analisis Isu Strategis Sawit. 5(42): 1689-1696
- PASPI Monitor. 2022. Menyikapi Kebijakan Anti Deforestasi Uni Eropa pada Minyak Sawit. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3 (21): 721-726.
- PASPI Monitor. 2023a. European Deforestation-Free Regulation: Kebijakan Anti Deforestasi yang Makin Boros Deforestasi dan Emisi Global. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(4): 761-766.
- PASPI Monitor. 2023b. Pilihan Strategis Industri Sawit Nasional Merespon Kebijakan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR). Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(5): 767-776.
- PASPI Monitor. 2023c. Dampak Ekonomi European Union Deforestation Free Regulation (EUDR) pada Industri Sawit Nasional. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(6): 777-781.
- PASPI Monitor. 2023d. European Union Deforestation Free Regulation on Supply Chain (EUDR) Ciptakan Risiko Ketidakpastian Industri Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(13): 827-832.
- PASPI Monitor. 2023e. Masalah Sawit Rakyat dan Kebutuhan Paket Kebijakan Peremajaan Sawit Rakyat Sebagai Solusi. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(9). https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/masalah-sawit-rakyat/
- PASPI Monitor. 2023f. Peranan Kebijakan Pungutan Ekspor Sawit dan BPDPKS dalam Industri Sawit Nasional. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(9).