Back to Top
Rating & Comment

KETAHANAN PANGAN MINYAK NABATI GLOBAL BERKELANJUTAN No. 1

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Abstrak

Pencapaian ketahanan pangan (food security) merupakan concern seluruh negara di dunia. Jika ketahanan pangan terganggu, dengan cepat akan berubah menjadi instabilitas ekonomi khususnya memicu inflasi, instabilitas sosial, instabilitas politik dan keamanan. Oleh karena itu, setiap negara memberi perhatian secara secara serius (termasuk all cost) untuk membangun ketahanan pangan domestik. Minyak sawit sebagai minyak nabati terbesar yang diproduksi dan dikonsumsi secara internasional menjadikan industri sawit global sebagai bagian penting dari ketahanan pangan global. Dalam menjalankan peran tersebut, minyak sawit memiliki keunggulan baik dalam availability, affordability dan sustainability dibandingkan minyak nabati lain. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit mampu berkontribusi dalam pencapaian ketahanan pangan global secara berkelanjutan.

Key Takeaways

  • Minyak sawit merupakan bagian dari rantai pasok penyediaan bahan pangan minyak nabati dunia. Minyak sawit memiliki keunggulan dalam availability, affordability dan sustainability yang merupakan bagian penting dari ketahanan pangan minyak nabati secara berkelanjutan.
  • Dari segi availability, minyak sawit dihasilkan dari perkebunan sawit yang produktivitasnya tertinggi diantara tanaman minyak nabati lain dan memiliki life span yang panjang (25-30 tahun) dengan produksi setiap bulan sepanjang tahun sehingga pasokan minyak sawit stabil. Selain itu pangsa produksinya terbesar dalam produksi minyak nabati dunia, minyak sawit juga dapat diaplikasikan secara meluas dalam industri pangan global.
  • Dari segi affordability, minyak sawit merupakan minyak nabati paling kompetetif (paling murah) dibandingkan minyak nabati lainnya. Konsumsinya meluas disetiap negara dengan pertumbuhan pangsa yang meningkat mencerminkan revealed affordability minyak sawit secara global.
  • Dalam penyediaan bahan pangan minyak nabati global, minyak sawit lebih hemat deforestasi, hemat emisi, relatif rendah biodiversity loss dan lebih hemat air dibandingkan minyak nabati lain. Sehingga minyak sawit lebih sustainable dibandingkan minyak nabati lain.

Pendahuluan

Ketahanan pangan (food security) pada suatu negara maupun secara internasional merupakan prakondisi stabilitas dan berjalannya pembangunan disegala bidang secara berkelanjutan. Jika ketahanan pangan terganggu, dengan cepat akan berubah menjadi instabilitas ekonomi khususnya memicu inflasi, instabilitas sosial, instabilitas politik dan keamanan. Oleh karena itu, setiap negara memberi perhatian secara secara serius (termasuk all cost) untuk membangun ketahanan pangan domestik.

Dalam membangun ketahanan pangan, tidak semua kebutuhan bahan pangan suatu negara dapat dipenuhi dari suplai domestik secara swasembada. Sebagian kebutuhan pangan dipenuhi dari negara lain yang memiliki surplus produksi melalui perdagangan internasional (ekspor-impor). Untuk memenuhi kebutuhan pangan minyak/lemak nabati dunia, misalnya sebagian negara merupakan net eksportir dan sebagian negara menjadi negara net importir.

Minyak sawit dunia merupakan minyak nabati yang sebagian besar digunakan untuk bahan pangan baik secara langsung (cooking oil) maupun secara tak langsung (melalui industri pangan). Secara umum, minyak sawit merupakan minyak nabati terbesar yang diproduksi dan dikonsumsi secara internasional sehingga industri sawit global telah menjadi bagian penting dari ketahanan pangan global (global food security). Penggunaan minyak sawit yang luas dalam industri pangan global yang konsumsinya melibatkan hampir seluruh negara dunia, menjadikan masyarakat dunia telah dan semakin bergantung pada minyak sawit (Shigetomi et al., 2020). Oleh karena itu, aspek ketahan pangan dari minyak sawit semakin penting untuk diwujudkan secara internasional.

Ketahanan pangan menyangkut empat pilar penting yakni ketersediaan (availability), keterjangkauan (affordability), kualitas (quality) dan keberlanjutan (sustainability). Keempat pilar tersebut harus dipenuhi agar suatu bahan pangan dapat memiliki ketahanan. Tulisan dalam artikel ini akan mendiskusikan kontribusi minyak sawit dalam ketahanan pangan, terutama terkait dengan tiga pilar ketahanan pangan yakni availability, affordability dan sustainability.

KETERSEDIAAN PANGAN MINYAK SAWIT (AVAILABILITY)

Minyak nabati dihasilkan dari tanaman dan memiliki peran penting dalam menyediakan sumber pangan yang bernutrisi bagi kesehatan manusia (PASPI Monitor, 2021a). Diantara ketujuh belas minyak nabati dunia, terdapat empat minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat global. Keempat minyak nabati utama dunia tersebut adalah minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari. Pangsa keempat minyak nabati tersebut mencapai 85-90 persen dari total konsumsi minyak nabati dan lemak dunia.

Dari sisi suplai (supply side), bahan pangan minyak sawit sawit memiliki berbagai keunggulan dari aspek availability (dibandingkan minyak nabati lainya). Pertama, Minyak sawit dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit yang produktivitas minyak per hektar (Gambar 1) sekitar 8-10 kali produktivitas minyak nabati lainnya (minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari). Kelapa sawit tidak hanya paling efisien dalam penggunaan lahannya tetapi juga paling tinggi produktivitas minyaknya (PASPI Monitor, 2021c). Rata-rata produktivitas kelapa sawit (CPO+CPKO) mencapai 4.3 ton per hektar. Sementara itu, produktivitas tanaman rapeseed, bunga matahari dan kedelai dalam menghasilkan minyaknya berturut-turut hanya sebesar 0.7 ton per hektar, 0.52 ton per hektar dan 0.45 ton per hektar.

Figure 1. Comparison of Palm Oil Productivity with Other Vegetable Oils
Gambar 1. Perbandingan Produktivitas Minyak Sawit dengan Minyak Nabati Lainnya

Kedua, minyak sawit memiliki volume relatif besar bahkan yang terbesar dalam pasar minyak nabati dunia. Produksi minyak sawit dunia meningkat cepat dan telah melampaui produksi minyak kedelai dunia (Gambar 2). Pangsa produksi minyak sawit dalam total produksi empat minyak nabati utama dunia meningkat dari 28 persen tahun 1980 menjadi 43 persen tahun 2021.

Menurut data USDA (2021), volume produksi minyak sawit (CPO+PKO) dunia mencapai 84.2 juta ton atau sekitar 43 persen dari total produksi minyak nabati dunia. Dengan volume minyak sawit dunia yang begitu besar, dinamika pasokan minyak sawit dunia secara signifikan juga akan mempengaruhi dinamika ketahanan pangan minyak nabati dunia secara keseluruhan.

Ketiga, pasokan minyak sawit relatif stabil dari bulan ke bulan sepanjang tahun. Minyak sawit (CPO dan PKO) diproduksi dari pohon kelapa sawit setelah berumur 4 tahun. Dengan komposisi tanaman yang ideal, tanaman kelapa sawit mampu menghasilkan minyak dengan volume yang stabil setiap bulan sepanjang tahun hingga pohon berumur 25 tahun. Stabilitas pasokan minyak sawit yang demikian memberi kepastian penyediaan minyak nabati dunia.

ketahanan pangan
Gambar 2. Perkembangan Produksi dan Pangsa Minyak Sawit Dunia dalam Produksi Empat Minyak Nabati Utama dunia

Keempat, minyak sawit merupakan bahan baku yang penggunaanya sangat luas untuk produk oleofood complex misalnya minyak goreng, margarine, shortening, chocolates, snacks, mie, biskuit, roti maupun produk pangan lainnya, Selain itu minyak sawit juga memiliki keunggulan nutrisi sebagai bahan baku produk pangan. Keunggulannya antara lain minyak sawit memiliki antioksidan alami yang berfungsi sebagai pengawet alami, membuat makanan bertekstur halus dan lembut, bebas dari lemak trans, tidak ada rasa, tidak berbau dan dapat meningkatkan cita rasa makanan.

KETERJANGKAUAN PANGAN (AFFORDABILITY)

Salah satu variabel utama dari affordability produk pangan adalah harga. Minyak sawit adalah minyak nabati yang lebih murah dan secara umum lebih affordable dibandingkan dengan minyak nabati yang harganya lebih mahal. Harga minyak sawit dunia secara konsisten dari tahun ke tahun, lebih kompetitif (lebih murah) dibandingkan dengan harga minyak nabati lainnya (Gambar 3).

Figure 3. Comparison of Four World Vegetable Oil Prices
Gambar 3. Perbandingan Harga 4 Minyak Nabati Dunia.

Harga minyak sawit yang jauh lebih murah dibandingkan harga minyak nabati lainnya jelas mencerminkan bahwa minyak sawit lebih affordable dibandingkan minyak nabati lainya. Minyak sawit lebih terjangkau untuk dimanfaatkan industri pangan dunia yang konsumen akhirnya umumnya berpendapatan menengah keatas. Minyak sawit juga lebih affordable bagi masyarakat dunia yang berpendapatan menengah ke bawah (PASPI Monitor, 2021b).

Dengan harga minyak sawit yang lebih kompetitif atau lebih murah dan ditambah dengan keunggulan terkait volume besar dan pasokan stabil, menjadikan minyak sawit dapat mencegah terjadinya kenaikan harga berlebihan pada minyak nabati lain. Hal ini juga terkonfirmasi dari studi Kojima et al. (2016) dan Cui & Martin (2017) yang mengungkapkan bahwa jika terjadi kenaikan harga minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak biji bunga matahari akan disertai dengan peningkatan konsumsi minyak sawit, sehingga dapat meredam kenaikan harga yang berlebihan dari ketiga minyak nabati.

Indikator (proxy indicator) dari seluruh variabel yang mempengaruhi affordability pangan adalah keterjangkauan terungkap (revealed affordability) yakni perkembangan konsumsi minyak sawit. Saat ini, minyak sawit merupakan minyak nabati yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia (Gambar 4).

Figure 4. Palm Oil Consumption Share in the Worlds Total Consumption of Four Vegetable Oils
Gambar 4. Perkembangan Pangsa Minyak sawit Dalam Total Konsumsi 4 Minyak Nabati Dunia

Pangsa minyak sawit dalam total konsumsi empat minyak nabati utama dunia mengalami peningkatan dari 24 persen tahun 1980 menjadi 42 persen tahun 2021. Peningkatan pangsa konsumsi minyak sawit tersebut menunjukkan bahwa selain makin diminati masyarakat dunia, tetapi juga mencerminkan keterjangkauan ekonomi dan fisik dari minyak sawit makin tinggi pada masyarakat dunia.

Peningkatan pangsa konsumsi minyak sawit sebagai proxy affordability minyak sawit juga terlihat dalam pola konsumsi minyak nabati diberbagai kawasan utama dunia. Dari keempat minyak nabati utama dunia, minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi masyarakat dan industri Uni Eropa adalah minyak rapeseed, kemudian disusul oleh minyak sawit, minyak biji bunga matahari dan minyak kedelai. Konsumsi minyak sawit dikawasan Eropa meskipun tidak terbesar, namun terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Kawasan Uni Eropa merupakan salah satu importir terbesar minyak sawit dunia.

Berbeda dengan Uni Eropa, minyak nabati yang banyak dikonsumsi oleh China adalah minyak kedelai. Hal ini dikarenakan China merupakan negara produsen minyak kedelai terbesar di dunia (USDA, 2021). Setelah minyak kedelai, minyak nabati lainnya yang dikonsumsi China berturut-turut adalah minyak rapeseed, minyak sawit dan minyak biji bunga matahari. China juga tercatat sebagai negara importir kedua terbesar minyak sawit di dunia, dimana minyak sawit di negara ini digunakan untuk catering industry dan noodle industry (Morgan, 1993; Derong, 2020)

Minyak nabati yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat India berturut-turut adalah minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak biji bunga matahari. Meskipun konsumsi per kapita minyak nabati India masih dibawah rata-rata dunia yakni sekitar 15 kg per kapita (FAO-OECD, 2015), namun seiring dengan populasi penduduk yang besar menyebabkan kebutuhan minyak nabati tidak bisa dipenuhi dari produksi domestik sehingga harus diimpor (Mehta, 2020). India merupakan negara importir minyak sawit terbesar di dunia.

Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan konsumsi minyak nabati tertinggi di dunia yakni mencapai 39 kg per kapita (FAO-OECD, 2015). Dalam struktur konsumsi minyak nabati di negara tersebut didominasi oleh minyak kedelai, kemudian diikuti oleh minyak rapeseed, minyak sawit dan minyak biji bunga matahari. Meskipun minyak sawit bukanlah minyak nabati utama dalam struktur konsumsi minyak nabati Amerika Serikat, namun penggunaannya terus meningkat dengan aplikasi yang luas dan digunakan oleh industri pangan (food processed).

KEBERLANJUTAN MINYAK SAWIT (SUSTAINABILITY)

Kritikan terbanyak pada minyak sawit dunia adalah masalah yang terkait dengan aspek sustainability. Perkembangan industri sawit dunia yang sangat cepat dikaitkan dengan land use change yang didalamnya terkait isu deforestasi (Vijay et al., 2016; European Union, 2013), biodiversity loss (Koh and Wilcove, 2008; Fitzherbert et al., 2009; Foster et al., 2011; Savilaakso et al., 2014; Austin et al., 2019), dan isu lingkungan lainnya.

Masalah deforestasi, land use change, emisi, biodiversity loss sebetulnya bukan hanya terkait minyak sawit saja melainkan berlaku bagi semua komoditas, sektor, negara dan secara lintas peradaban (PASPI Monitor, 2021d). Sebagai satu ekosistem planet bumi semua masalah lingkungan tersebut merupakan masalah bersama yang berdampak semua pada ekosistem planet bumi.

Dalam konteks penyediaan minyak nabati/lemak dunia, pertanyaan sustainability yang relevan bukan apakah terjadi deforestasi atau emisi atau tidak. Pertanyaanya adalah untuk menyediakan minyak nabati dunia, tanaman minyak nabati mana yang lebih hemat deforestasi, hemat emisi, polusi terendah dan biodiversity loss paling kecil? Berdasarkan luas areal dan produktivitas minyak nabati dunia, secara implisit telah terlihat bagaimana intensitas deforestasi antar minyak nabati utama dunia.

Dengan asumsi bahwa semua ekspansi minyak nabati merupakan suatu deforestasi, maka dengan indeks deforestasi minyak sawit sebagai benchmark, maka indeks deforestasi minyak kedelai mencapai 956 persen, indeks deforestasi minyak rapeseed 614 persen dan indeks deforestasi minyak biji bunga matahari mencapai 827 persen (Gambar 5a). Dengan demikian sangat jelas bahwa dalam produksi minyak nabati dunia, deforestasi sawit adalah paling rendah dibandingkan dengan deforestasi pada minyak nabati lainnya. Hal ini juga bermakna bahwa kehadiran minyak sawit dalam rantai pasok minyak nabati global adalah menghemat atau mencegah terjadinya deforestasi dunia yang lebih luas (PASPI Monitor, 2021e).

Studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) tentang komparasi emisi dan biodiversity loss global antar minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi menjadi tanaman minyak nabati. Studi tersebut mengukur indikator jejak (footprint) Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan sebagai ukuran biodiversity loss.

Figure 5. Index of Deforestation Emissions Biodiversity Loss and Water Saving Vegetable Oil
Gambar 5. Indeks Deforestasi, Emisi, Biodiversity Loss dan Hemat air Minyak Nabati

Dengan menggunakan SRL minyak sawit sebagai pembanding (benchmark), studi tersebut mengungkapkan bahwa SRL minyak kedelai mencapai 284 persen atau 184 persen di atas SRL minyak sawit. Kemudian SRL minyak rapeseed mencapai 179 persen diatas SRL minyak sawit dan SRL minyak biji bunga matahari 144 persen di atas SRL minyak sawit (Gambar 5b). Artinya jika SRL digunakan sebagai indikator biodiversity loss, menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang paling rendah biodiversity loss-nya (PASPI Monitor, 2021g). Sementara, minyak nabati yang paling besar biodiversity loss-nya adalah minyak kedelai. Untuk setiap liter minyak nabati, minyak sawit memiliki biodiversity loss paling rendah dibandingkan dengan sumber minyak nabati utama lainnya.

Studi Beyer et al. (2020) dan Beyer & Rademacher (2021) juga menemukan bahwa pada level ekosistem global, kebun sawit dunia adalah penghasil minyak nabati paling rendah emisinya dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya (PASPI Monitor, 2021h). Dibandingkan dengan emisi karbon kebun sawit untuk setiap liter minyak yang dihasilkan, emisi minyak kedelai 425 persen lebih tinggi, indeks emisi minyak rapeseed 242 persen lebih tinggi dari emisi minyak sawit. Sementara, indeks emisi minyak biji bunga matahari mencapai 225 persen lebih tinggi dibandingkan minyak sawit (Gambar 5c).

Bahkan indeks emisi minyak nabati lain jauh lebih tinggi lagi. Indeks emisi kacang tanah lebih mencapai 424 persen, indeks emisi minyak kelapa 337 persen dan indeks emisi minyak olive 342 persen (PASPI Monitor, 2021h). Dengan demikian, untuk indikator emisi terendah ranking minyak nabati mulai terendah sampai tertinggi adalah minyak sawit, minyak biji bunga matahari, minyak rapeseed, minyak zaitun/olive, minyak kelapa, minyak kedelai dan minyak kacang tanah.

Selain isu deforestasi, biodiversity, emisi karbon, isu penggunaan air dalam proses produksi minyak nabati juga sering dikritisi masyarakat. Penggunaan air pada kelapa sawir dinilai boros dan tidak ramah lingkungan.

Gerbens-Leenes et al. (2009) dan Makonnen & Hoekstra (2010) mengungkapkan bahwa tanaman penghasil minyak nabati paling rakus air adalah rapeseed, disusul oleh kelapa, ubi kayu, jagung, kedelai dan tanaman bunga matahari. Untuk menghasilkan setiap Giga Joule (GJ) bionergi (minyak), tanaman rapeseed (tanaman minyak nabati Eropa) memerlukan 184 m3 air. Sementara kelapa yang juga banyak dihasilkan dari Indonesia, Philipina dan India, memerlukan air dengan rata-rata sebesar 126 m3 air. Ubi kayu (penghasil etanol) juga memerlukan dengan rata-rata sekitar 118 m3 air.

Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa kelapa sawit ternyata termasuk paling hemat (setelah tebu) dalam menggunakan air untuk setiap Giga Joule (GJ) bioenergi yang dihasilkan. Sedangkan kedelai yang merupakan tanaman minyak nabati utama di Amerika Serikat, memerlukan rata-rata 100 m3 air. Tebu dan kelapa sawit ternyata paling hemat dalam menggunakan air untuk setiap bioenergi yang dihasilkan. Untuk setiap GJ bioenergi (minyak sawit) yang dihasilkan, kelapa sawit hanya menggunakan air sebanyak 75 m3. Artinya minyak sawit paling hemat dalam penggunaan air (PASPI Monitor, 2021f).

Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa minyak sawit relatif hemat emisi, relatif rendah biodiversity loss, hemat deforestasi dan hemat air dalam menghasilkan bahan pangan minyak nabati. Hal ini juga bermakna bahwa jika indikator sustainability dalam penyediaan/produksi bahan pangan minyak nabati global tergantung dari besar-kecilnya dampak pada deforestasi, biodiversity loss, emisi GHG, dan penggunaan air, maka minyak sawit adalah bahan pangan minyak yang paling sustainable dibandingkan minyak nabati lainnya. Setidaknya, kehadiran minyak sawit sebagai bagian dari rantai pasok minyak nabati global dapat mengurangi atau menghemat (mencegah lebih besar) deforestasi, emisi, biodiversity loss dunia, dibandingkan dengan minyak nabati lain.

Kesimpulan

Minyak sawit merupakan bagian dari rantai pasok penyediaan bahan pangan minyak nabati dunia. Minyak sawit memiliki keunggulan dalam availability, affordability dan sustainability yang merupakan bagian penting dari ketahanan pangan minyak nabati secara berkelanjutan.

Dari segi availability, minyak sawit dihasilkan dari perkebunan sawit yang produktivitasnya tertinggi diantara tanaman minyak nabati lain dan memiliki life span yang panjang (25-30 tahun) dengan produksi setiap bulan sepanjang tahun sehingga pasokan minyak sawit stabil. Selain itu pangsa produksinya terbesar dalam produksi minyak nabati dunia, minyak sawit juga dapat diaplikasikan secara meluas dalam industri pangan global.

Dari segi affordability, minyak sawit merupakan minyak nabati paling kompetetif (paling murah) dibandingkan minyak nabati lainnya. Konsumsinya meluas disetiap negara dengan pertumbuhan pangsa yang meningkat mencerminkan revealed affordability minyak sawit secara global.

Dalam penyediaan bahan pangan minyak nabati global, minyak sawit lebih hemat deforestasi, hemat emisi, relatif rendah biodiversity loss dan lebih hemat air dibandingkan minyak nabati lain. Sehingga minyak sawit lebih sustainable dibandingkan minyak nabati lain.

Daftar Pustaka

  • Afriyanti D, Kroeze C. Saad A. 2016. Indonesia Palm Oil Production Without Deforestation and Peat Conversion by 2050. Science Total Environmental. 557–558, 562–570.
  • Austin KG, Schwantes A, Gu Y, Kasibhatla PS. 2019. What Causes Deforestation in Indonesia?. Environmental Research Letter. 14(2).
  • Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives.
  • Beyer R, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813.
  • Carlson KM, Curran LM, Asner GP, Pittman AM, Trigg SN, Adeney JM. 2013. Carbon Emissions from Forest Conversion by Kalimantan Oil Palm Plantations. Natural Climate Change Journal. 3:283–287.
  • Corley RHV. 2009. How Much Palm Oil Do We Need. Environmental Science and Policy. 12 (2): 134-139.
  • Cui JJ, I Martin. 2017. Impact of US Biodiesel Mandat on World Vegetable oil Market. Energy Economics Ed. 6.
  • Danielsen F, Beukema H, Burgess ND, Parish F, Brühl CA, Donald PF, Murdiyarso D, Phalan, B, Reijnders L, Struebig, M. 2009. Biofuel Plantations on Forested Lands: Double Jeopardy for Biodiversity and Climate. Conservation Biology. 23: 348–358.
  • Derong C. 2020. Market Recovery Outlook for China Vegetable Oil Market Post COVID-19. Presented on: Virtual Indonesia Palm Oil Conferences 2020 – New Normal, December, 2-3, 2020. European Commission. 2019. Supplementing Directives 2018/2001 As Regards The Determination of High Indirect Land Use Change Risk Feedstock for Which A significant Expansion of the production Area Into With High Carbon Stock Is Observed and Certification of Low Indirect Land Use Change Risk Biofuels,Bioluquids and Biomass Fuels. Brussels.
  • European Parlement. 2017. Palm Oil and Deforestation Rainforest.
  • European Union. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation.
  • FAO-OECD. 2015. Agricultural Outlook 2015. Rome: FAO
  • Fitzzherbert E, MK.Struebug, A Morel, F Danielsen, CA Bruhi, PF Donald, B. Phalan. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends in Ecology and Evolution. 23(10): 538-545.
  • Foster WA, Snaddon JL., Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV. 2011. Establishing The Evidence Base for Maintaining Biodiversity and Ecosystem Function in The Oil Palm Landscapes Of South East Asia. Philosophical Transactions Biological Sciences. 366 (1582): 3277–3291.
  • [IEA] International Energy Agency. 2018. CO2 Emissions from Fuel Combustion 2018.
  • Janmohammed R. 2020. Vegetable Oil Market Outlook in Pakistan. Presented on:: Virtual Indonesia Palm Oil Conferences 2020 – New Normal, December, 2-3, 2020.
  • Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity. Conservation Letters. 1(2): 60-64.
  • Kojima Y, Parcell J, Cain J. 2016. A Global Demand Analysis of Vegetable Oils for Food Use and Industrial Use. Bahan Presentasi Konferensi Agricultural and Applied Economic Association pada 31 Juli-2 Agustus 2016 di Boston, Massachusetts.Kumar UM, C Diaconu, Y Basiron. K Sundram. 2015. Why “No Palm Oil” Labelling Misleads the Consumer. Journal of Oil Palm, Environment & Health. 6:56-64.
  • Marlier ME, De-fries RS, Kim PS, Koplitz SN, Jacob DJ, Mickley LJ, Myers SS. 2015. Fire Emissions and Regional Air Quality Impacts from Fires in Oil Palm, Timber, And Logging Concessions in Indonesia. Environmental Research Letters. 10(8): 500-505.
  • Mehta BV. 2020. Palm Oil Market in India: Update on Covid-19 Impact. Presented on: Virtual Indonesia Palm Oil Conferences 2020 – New Normal, December, 2-3, 2020.
  • Makonnen MM, Hoekstra. 2010. The Green, Blue and Grey Water Footprint of Crops and Derived Crop Products. Main Report Value of Water Research Report Series No. 47.
  • Merten J, Roll A, Guillaume T, Meijide A, Tarigan S, Agusta H, Dislich C, Dittrich C, Faust H, Gunawan D, Hein J, Hendrayanti, Knohl A, Kuzyakov Y, Wiegand K, Holscher D. 2016. Water Scarcity and Oil palm Expansion: Social Views and Environmental Processes. Ecology and Society. 21(2): 5.
  • Morgan N. 1993. World Vegetables Oil Consumption Expands and Diversifies. Food Review.
  • Oil World. 2015. Oil World Statistic. ISTA Mielke GmBh. Hamburg.
  • Oil World.2018. Oil World Statistics. ISTA Mielke GmBh. Hamburg.
  • Parcell. 2018. Global Edible Vegetables Oil Market Trends. Biomedical Journal Science. Vol 2 (1).
  • PASPI Monitor. 2021a. Contribution of Palm Oil Industry: Feeding the World. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(4): 299-304.
  • PASPI Monitor. 2021b. Palm Oil is Pro-Poor Edible Oils. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(5): 305-310.
  • PASPI Monitor. 2021c. Palm Oil is the Most-Oily Vegetable Oil in the World. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(9):327-332
  • PASPI Monitor. 2021d. Is Deforestation a Normal Phenomenon in the Development Process?. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(11):339-344
  • PASPI Monitor. 2021e. Palm Oil Free Is Driving the Global Deforestation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(14):357-361.
  • PASPI Monitor. 2021f. Palm Oil Plantation: Save Water and Conserve Groundwater. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(27): 445-450.
  • PASPI Monitor. 2021g. Biodiversity loss to Produce Palm Oil is Higher Than Other Vegetable Oils, Isn’t True?. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(45): 563-568.
  • PASPI Monitor. 2021h. Carbon Emissions in Oil Palm Plantation Versus Other Vegetable Oil Plantations. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(46): 570-574.
  • Qaim M, KT Sibhatu, H Siregar, I Grass. 2020. Environmental, Economic, and Social Consequences of the Oil Palm Boom. Annual Review of Resource Economics. 12:321-344.
  • Santeramo FG. 2017. Cross-Price Elasticity for Oils and fats in EU and USA. Barletta. Italy.
  • Savilaakso S, Garcia C, Garcia-Ulloa J, Ghazoul J, Groom M, Guariguata MR, Laumonier Y, Nasi, R, Petrokofsky G, Snaddon J. 2014. Systematic Review of Effects on Biodiversity from Oil Palm Production. Environmental Evidence. 3(4): 1–20.
  • Shigetomi Y, Shimura Y, Yamamoto Y. 2020. Trends in Global Dependency on the Indonesian Palm Oil and Resultant Environmental Impacts. Scientific Reports. 10:206-224.
  • Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity loss. Plos One. 1-19.
  • Wilcove DS, Koh LP. 2010. Addressing the Threats to Biodiversity from Oil-Palm Agriculture. Biodiversity and Conservation. 19(4): 999–1007.

FAQ

Apakah minyak sawit termasuk minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia?

Ya, minyak sawit termasuk minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia.

Apa keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya dari segi availability?

Bagaimana dinamika pasokan minyak sawit dunia mempengaruhi dinamika ketahanan pangan minyak nabati dunia secara keseluruhan?

Seberapa stabil pasokan minyak sawit dari bulan ke bulan sepanjang tahun?

Apa saja keunggulan minyak sawit dibandingkan minyak nabati lainnya?

Berapa persen pangsa minyak sawit dalam total produksi minyak nabati dunia?

Berapa produktivitas minyak per hektar dari kelapa sawit?

Apa saja produk yang dapat dibuat dari minyak sawit?

Apa manfaat nutrisi dari minyak sawit?

Apakah masalah sustainability hanya terkait dengan minyak sawit?

Apakah minyak sawit merupakan sumber minyak nabati yang paling hemat deforestasi dan emisi?

Bagaimana minyak sawit dibandingkan dengan minyak nabati lainnya dalam hal biodiversity loss?

Apakah tanaman minyak nabati lainnya lebih hemat deforestasi dibandingkan dengan minyak sawit?


Apakah minyak sawit merupakan sumber minyak nabati yang paling ramah lingkungan?

Journal Download