Jurnal Sawit dan Kebijakan Negara Importir (2023)

Jurnal Sawit dan Kebijakan Negara Importir (2023)

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Share

Poin-Poin Isu Sawit dan Kebijakan Negara Importir

Berikut adalah poin-poin peristiwa dalam isu sawit dan nasional :

  • Hambatan Perdagangan: Perdagangan minyak sawit dunia dihadapkan pada hambatan perdagangan, termasuk tarif dan non-tarif, yang diberlakukan oleh negara importir.
  • Tarif Impor Tinggi: Negara importir seperti India dan Perancis memberlakukan tarif impor tinggi untuk produk Crude Palm Oil (CPO) dari Indonesia.
  • Kebijakan Non-Tarif Barrier: Kebijakan hambatan perdagangan juga termasuk dalam bentuk non-tarif, seperti Sanitary and Phytosanitary (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT).
  • Tuduhan Dumping: Indonesia dituduh melakukan dumping pada biodiesel sawitnya oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat, yang mengakibatkan dikenakannya tarif Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).
  • Kebijakan Deforestation-Free: Negara-negara importir seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris menerapkan kebijakan Deforestation-Free yang mengharuskan produk sawit memenuhi kriteria kelestarian lingkungan untuk perdagangan.
  • Perang Minyak Nabati: Persaingan antara minyak nabati, terutama minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed, kompleks dengan adanya kebijakan proteksionis dan anti-deforestasi.
  • Deforestasi dan Emisi GRK: Sawit dianggap sebagai pendorong deforestasi dan emisi gas rumah kaca (GRK), memicu argumen untuk menerapkan kebijakan deforestation-free di negara importir.
  • Dinamika Pasar Minyak Nabati: Kebijakan negara importir didasarkan pada persaingan dengan minyak nabati lain, terutama minyak sawit yang mendominasi pasar minyak nabati global.
  • Konsumsi Minyak Sawit: Minyak sawit adalah minyak nabati paling banyak dikonsumsi di dunia, menggeser dominasi minyak kedelai dan minyak rapeseed dalam konsumsi minyak nabati.
  • Implikasi Kebijakan Deforestation-Free: Kebijakan deforestation-free negara importir dapat memicu peralihan konsumsi ke minyak nabati lain, seperti minyak rapeseed, dengan implikasi ekspansi areal dan deforestasi global.
Isu Sawit dan Kebijakan Negara Importir

Data Konsumsi Top-4 Minyak Nabati Dunia

Konsumsi Top 4 Minyak Nabati Dunia
Gambar 1. Konsumsi Top-4 Minyak Nabati Dunia (Sumber: USDA, 2022)
  1. Selain menjadi minyak nabati yang paling banyak diproduksi di dunia, minyak sawit juga menjadi minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi oleh masyarakat dunia.
  2. Minyak sawit berhasil menggeser dominasi minyak kedelai yang telah sejak lama menjadi minyak nabati utama dunia, ditunjukkan dengan pangsanya dalam struktur konsumsi minyak nabati dunia yang mencapai 56 persen tahun 1965 dan 37 persen tahun 1990.
  3. Konsumsi minyak sawit meningkat sejak tahun 2000-an hingga mampu mendominasi struktur konsumsi Top-4 minyak nabati global tahun 2021 dengan pangsa mencapai 42 persen.

Data Struktur Konsumsi Top-4 Minyak Nabati di Negara Importir Minyak Sawit

Struktur Konsumsi India
Struktur Konsumsi China
Struktur Konsumsi EU 27
Struktur Konsumsi USA

Gambar 2. Struktur Konsumsi Top-4 Minyak Nabati di Negara Importir Minyak Sawit Periode Tahun 2000-2021 (Sumber: USDA, 2022)

  1. Minyak sawit adalah minyak nabati utama yang dikonsumsi oleh masyarakat India selama periode tahun 2000-2021 didominasi oleh m dengan pangsa mencapai 49 persen. Kemudian diikuti oleh minyak kedelai (25 persen), minyak rapeseed (15 persen), dan minyak bunga matahari (11 persen).
  2. Konsumsi minyak nabati China didominasi oleh minyak kedelai (49 persen), kemudian disusul minyak rapeseed (27 persen), minyak sawit (20 persen), dan minyak bunga matahari (4 persen).
  3. Uni Eropa mengkonsumi minyak rapeseed sebagai minyak nabati utamanya dengan pangsa mencapai 42 persen, kemudian diikuti minyak sawit (29 persen), minyak bunga matahari (19 persen), dan minyak kedelai (11 persen).
  4. Konsumsi minyak nabati Amerika Serikat didominasi oleh minyak kedelai (72 persen), kemudian disusul minyak rapeseed (16 persen), minyak sawit (9 persen), dan minyak bunga matahari (2 persen).
  5. Meskipun bukan menjadi minyak nabati utama, namun konsumsi minyak sawit mengalami peningkatan dari tahun ke tahun di Uni Eropa dan China

Data Perbandingan Harga Top-4 Minyak Nabati Dunia

Perbandingan Harga Minyak Sawit dengan Minyak Nabati Utama Lainnya
Gambar 3. Perbandingan Harga Minyak Sawit dengan Minyak Nabati Utama Lainnya (Sumber: World Bank, 2022)
  1. Harga minyak sawit lebih kompetitif (murah) dibandingkan minyak nabati utama lainnya. Hal ini disebabkan karena produktivitas minyak sawit yang paling tinggi dibandingkan minyak nabati lain.
  2. Harga minyak sawit yang relatif murah, tersedia sepanjang tahun, dan aplikasi penggunaan minyak sawit yang luas menjadikan minyak sawit digunakan sebagai substitute dari minyak nabati lainnya (Kojima et al., 2016) sehingga konsumsinya terus meningkat dari tahun ke tahun.

Data Negara Importir Minyak Sawit

Negara Kawasan Importir Minyak Sawit Dunia Periode Tahun 2010 2021
Gambar 4. Negara/Kawasan Importir Minyak Sawit Dunia Periode Tahun 2010-2021(Sumber: Trademap, 2022)
  1. Perdagangan minyak sawit melibatkan sekitar 220 negara importir diantarnya adalah India (16 persen), Uni Eropa/EU-28 (16 persen), China (12 persen), dan Amerika Serikat (3 persen).
  2. Keempat negara tersebut merupakan negara konsumen minyak sawit yang memenuhi kebutuhannya bersumber seluruhnya dari impor (kecuali India yang juga memproduksi minyak sawit dengan volumenya yang relatif masih sedikit).
  3. Meskipun volume impor minyak sawit EU-28 relatif menurun dan pangsa impor minyak sawit Amerika Serikat relatif kecil, kedua negara importir memiliki kebijakan menghambat perdagangan minyak sawit yang relatif banyak.

Data Implikasi Kebijakan Deforestation-Free Minyak Sawit terhadap Deforestasi Global

Tabel 1. Skenario Luas Tambahan Deforestasi Global Jika EU, USA dan UK Mengganti Konsumsi Minyak Sawit Dengan Minyak Rapeseed

Kebutuhan Minyak Sawit (000 ton per tahun)Tambahan Luas Areal (deforestasi global) jika Minyak Sawit Digantikan Rapeseed (hektar)
EU-277,22410,320,000
United States1,9262,751,429
United Kingdom452645,714
Total9,60213,717,143
Sumber: PASPI (2022)
Ket: Produktivitas rapeseed sebesar 0.7 ton/hektar
  1. Uni Eropa (EU), Amerika Serikat (USA), dan Inggris (UK) telah menerbitkan kebijakan deforestation-free terhadap perdagangan minyak sawit dan produk turunannya. Berdasarkan kebijakan tersebut, jika minyak sawit tidak memenuhi indikator dan kriteria dalam kebijakan tersebut maka produk sawit dilarang diperdagangkan di pasar negara tersebut.
  2. Pelarangan konsumsi minyak sawit sebagai dampak dari kebijakan tersebut menyebabkan peralihan konsumsi ke minyak nabati lainnya, misalnya minyak rapeseed.
  3. Dalam 5 tahun terakhir, konsumsi minyak sawit EU, USA dan UK berturut-turut sebesar 7.2 juta ton per tahun, 1.9 juta ton per tahun, dan 0.4 juta ton per tahun atau konsumsi total minyak sawit pada tiga negara tersebut adalah sekitar 9.6 juta ton per tahun.
  4. Jika EU dengan kebijakan deforestation-free menolak mengkonsumsi minyak sawit, maka EU harus mengalihkan konsumsi minyak sawit ke minyak rapeseed (minyak nabati utama di EU). Untuk memperoleh tambahan 7.2 juta ton minyak rapeseed, maka dunia harus ekspansi areal tanaman rapeseed seluas 10.3 juta hektar (dengan asumsi produktivitas minyak tanaman rapeseed 0.7 ton minyak per hektar).
  5. Demikian juga UK, jika negara tersebut memutuskan tidak mengkonsumsi minyak sawit dengan kebijakan deforestation-free nya, maka ekspansi kebun rapeseed dunia dilakukan seluas 645 ribu hektar.
  6. Jika USA dengan kebijakan deforestation-free melarang mengkonsumsi minyak sawit, maka USA memerlukan tambahan minyak rapeseed sebesar 1.9 juta ton per tahun. Maka diperlukan tambahan ekspansi rapeseed dunia dengan luas sekitar 2.7 juta hektar.
  7. Dengan skenario tersebut, jika tiga negara tersebut (EU, UK, USA) benar-benar menerapkan kebijakan deforestation-free untuk minyak sawit, maka deforestasi dunia meningkat dengan tambahan luas ebesar 13.7 juta hektar untuk ekspansi kebun minyak rapeseed.

Jurnal Terkait Sawit dan Kebijakan Negara Importir

Menyikapi Kebijakan Anti Deforestasi Uni Eropa pada Minyak Sawit – Jurnal PASPI Nomor 21 Tahun 2022

  • Parlemen Uni Eropa baru saja mengesahkan kebijakan anti deforestasi (deforestation-free) pada sejumlah komoditas pertanian/peternakan yang berkaitan dengan deforestasi untuk masuk ke pasar kawasan negara tersebut.
  • Minyak sawit dan produk turunannya termasuk sebagai komoditas yang ditargetkan dalam kebijakan tersebut.
  • Tampaknya kebijakan tersebut tidak didasari terlebih dahulu dengan analisis Regulatory Impact Assessment yang komprehensif sehingga menimbulkan banyak ketidakpastian (uncertainty) yang merugikan baik negara-negara eksportir minyak sawit maupun masyarakat/industri konsumen minyak sawit di UE.
  • Pemerintah Indonesia perlu melakukan langkah mitigasi melalui diplomasi. Selain itu, diperlukan langkah antisipatif dengan meningkatkan penyerapan pasar domestik, seperti ekspansi mandatori biodiesel dari B30 ke B40.

Ketidakpastian Life Cycle Assessment Sebagai Basis Kebijakan Perdagangan Biofuel – Jurnal PASPI Nomor 20 Tahun 2022

  • Peningkatan emisi GHG telah menyita perhatian masyarakat dunia. Hal ini dikarenakan besarnya dampak peningkatan emisi GHG tersebut terhadap pemanasan dan perubahan iklim global.
  • Salah satu upaya untuk menurunkan emisi global dapat dilakukan melalui subsitusi energi fosil yang boros emisi dengan biofuel yang lebih hemat emisi.
  • Besarnya pengurangan emisi dari subsitusi fossil fuel dengan biofuel tergantung pada emisi neto dari proses produksi biofuel tersebut.
  • Informasi terkait kemampuan penurunan emisi biofuel tersebut dapat diketahui melalui perhitungan Life Cycle Analysis (LCA). Namun banyak studi empiris menunjukkan bahwa metode tersebut mengandung banyak ketidakpastian.

Kebijakan “Deforestasi-Free” Minyak Sawit Memicu Deforestasi Global Lebih Besar – Jurnal PASPI Nomor 19 Tahun 2022

  • Uni Eropa (EU), Amerika Serikat (USA) dan Inggris (UK) telah memformulasikan kebijakan “deforestation-free” sebagai bagian dari kebijakan perdagangan untuk produk/komoditi yang berkaitan dengan deforestasi.
  • Pelarangan konsumsi minyak sawit sebagai dampak dari kebijakan tersebut menyebabkan peralihan konsumsi ke minyak nabati lainnya, misalnya minyak rapeseed.
  • Peningkatan konsumsi minyak rapeseed tersebut justru meningkatkan ekspansi lahan yang lebih besar, mengingat produktivitas minyaknya lebih rendah dibandingkan minyak sawit.
  • Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut justru memperluas deforestasi global.

Kebijakan “Deforestation-Free“, Embodied Deforestation dan Jejak Deforestasi – Jurnal PASPI Nomor 17 Tahun 2022

  • Uni Eropa (EU), Amerika Serikat (USA) dan Inggris (UK) telah memformulasikan kebijakan “deforestation-free” sebagai bagian dari kebijakan perdagangan (domestik dan internasional) untuk produk/komoditi yang berkaitan dengan deforestasi (embodied deforestation).
  • Diharapkan dengan mengurangi bahkan menghentikan konsumsi komoditi/produk tersebut dapat menghentikan atau setidaknya mengurangi terjadinya deforestasi dunia.
  • Argumen dibalik kebijakan tersebut dinilai lemah, mengingat seluruh komoditi dan produk yang dihasilkan oleh lahan non-hutan merupakan hasil deforestasi yang telah terjadi sejak tahun pra-1700an hingga saat ini.
  • Lantas apakah ada komoditi dan produk yang bebas dari deforestasi?

Minyak Sawit dalam Negara/Kawasan “Deforestation-Free” – Jurnal PASPI Nomor 16 Tahun 2022

  • Pemberlakuan kebijakan “deforestation-free” untuk perdagangan produk/komoditi domestik dan atau internasional yang masuk ke EU, UK dan USA, sebenarnya telah menargetkan minyak sawit.
  • Kebijakan tersebut sebenarnya merupakan gaya baru proteksionisme yang dilakukan oleh negara kompetitor minyak sawit.
  • Implementasi kebijakan tersebut berpotensi mensponsori deforestasi yang lebih meluas dan emisi karbon yang lebih tinggi.
  • Meskipun volume perdagangan minyak sawit di ketiga negara tersebut relatif kecil yakni hanya 17 persen dari volume impor minyak sawit dunia, namun produsen minyak sawit perlu mengajukan nota keberatan atas kebijakan tersebut untuk melindungi eksistensi minyak sawit dan memelihara kelestarian lingkungan global.

Kebijakan “Deforestation-Free” dan Polemik Deforestasi – Jurnal PASPI Nomor 15 Tahun 2022

  • Minyak sawit dan produk turunannya menjadi salah satu produk yang ditargetkan pada kebijakan “deforestation-free” yang berlaku di beberapa negara maju seperti kebijakan Regulation on Deforestation-Free Commodity/product di Uni Eropa (EU), Fostering Overseas Rule of Law and Environmentally Sound Trade Act/FOREST 2021 di Amerika Serikat (USA) dan UK Environment Act 2021 di Inggris (UK).
  • Kebijakan tersebut akan menghadapi polemik yang rumit dan panjang. Hal ini dikarenakan perbedaan definisi hutan dan deforestasi yang berlaku antar negara.
  • Perbedaan pengertian dan kontekstual tersebut bermuara pada ketidakpastian (uncertainty) dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan kebijakan “deforestation-free”.
  • Hal ini tentu saja merugikan Indonesia sebagai produsen minyak sawit.

“No Palm Oil Effect” UNI Eropa Perbesar Deforestasi dan Emisi Dunia – Jurnal PASPI Nomor 14 Tahun 2022

  • Minyak sawit telah menjadi minyak nabati yang penting bagi masyarakat Uni Eropa ditunjukkan dengan meningkatnya pangsa konsumsinya.
  • Di sisi lain, kehadiran minyak sawit di Uni Eropa sering dikaitkan dengan berbagai isu lingkungan seperti deforestasi, biodiversity loss dan emisi GHG.
  • Hal ini memicu berbagai kampanye “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free” semakin intensif bahkan Komisi Uni Eropa juga mengeluarkan kebijakan RED II dengan rencana phase-out minyak sawit dari biofuel di kawasan negara tersebut.
  • Lantas, dengan kampanye atau kebijakan tersebut efektif mengurangi deforestasi, biodiversity loss dan emisi GHG global?
  • Berbagai studi menunjukkan bahwa gerakan/kampanye yang menempatkan masyarakat Uni Eropa pada kondisi makin inferior baik secara ekonomi dan ekologi. Tidak hanya masyarakat di kawasan Uni Eropa sendiri, masyarakat global juga akan dirugikan karena terciptanya lingkungan global yang semakin buruk akibat gerakan tersebut.

Mandatory European Due Diligence dan Dampak Pada Industri Sawit Nasional – Jurnal PASPI Nomor 1 Tahun 2022

  • Parlemen Eropa telah menyetujui The EU Directive On Mandatory Human Rights, Environmental and Good Governance Due Diligence (European DD) sebagai bentuk kebijakan yang sifatnya mandatori untuk memastikan penghormatan/perlindungan pada hak-hak asasi manusia dan kelestarian lingkungan pada seluruh rantai pasok (supply chain) dan sistem nilai (value chain) barang dan jasa baik yang beroperasi di Eropa maupun yang memasok barang/jasa dari luar Eropa.
  • Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia sekaligus eksportir/suplier ke Uni Eropa, perlu mengikuti proses penyusunan implementasi kebijakan dengan memanfaatkan komunikasi dan diplomasi agar implementasi European DD tersebut tidak merugikan atau mempersulit industri sawit di masa depan.
  • Hal yang paling penting dilakukan oleh stakeholder sawit Indonesia adalah mereview dan memperbaiki tata kelola dan keberlanjutan pada produksi minyak sawit dan produk turunannya di sepanjang supply-chain (hulu hilir) sehingga dapat terjamin telah menghormati HAM maupun perlindungan terhadap kelestarian lingkungan.

European Green Deal dan Implikasinya Bagi Industri Sawit – Jurnal PASPI Nomor 48 Tahun 2021

  • Uni Eropa memiliki ambisi untuk menjadi kawasan negara yang neutral climate/net zero emission melalui Europe Green Deal (EGD). Salah satu kebijakan untuk mencapai tujuannya tersebut adalah Farm to Fork Strategy (F2F Strategy).
  • Tujuan dari kebijakan tersebut adalah membangun food sustainability yang fair, healthy dan ramah lingkungan. Meskipun, komitmen Uni Eropa baik dalam EGD maupun F2F Strategy hanya diberlakukan di Uni Eropa, namun kebijakan tersebut akan diterjemahkan menjadi kebijakan dan standar mutu produk yang masuk ke kawasan negara tersebut.
  • Kebijakan ini juga turut berimplikasi industri minyak sawit, mengingat Uni Eropa merupakan salah satu importir sawit.
  • Oleh karena itu, minyak sawit yang diimpor oleh Uni Eropa baik yang digunakan untuk biofuel, oleokimia maupun oleofood harus memenuhi standar keberlanjutan yang ditetapkan pada kebijakan tersebut.
  • Jika ingin tetap mempertahankan pangsa dan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar Uni Eropa, stakeholder sawit Indonesia perlu menyamakan standar dan kriteria (termasuk definisi dan paradigma) terkait sistem keberlanjutan minyak sawit dengan standar yang digunakan oleh Uni Eropa.

Rencana Phase-Out Sawit, Picu Peningkatan Emisi dan Deforestasi Global – Jurnal PASPI Nomor 23 Tahun 2020

  • Setelah gagal dalam menyebarkan isu negatif sawit dalam bidang kesehatan, Komisi Uni Eropa kemudian mengeluarkan kebijakan mengenai minyak sawit dan produk turunannya (khususnya biodiesel sawit) yang dikaitkan dengan isu lingkungan yakni kebijakan RED II ILUC.
  • Berdasarkan indikator yang digunakan dalam Delegated Regulation ILUC, minyak sawit tergolong sebagai high risk Indirect Land Use Change (ILUC) sehingga minyak sawit harus dieliminasi atau phase out dalam pengunaan biodiesel Eropa.
  • Kebijakan tersebut dianggap mendiskriminasikan minyak sawit. Untuk melawan diskriminasi terhadap minyak sawit tersebut yang dilakukan oleh Komisi Uni Eropa, Pemerintah Indonesia mengajukan gugatan kepada WTO.
  • Namun, kita perlu mengetahui paradigma yang tertuang dalam kebijakan UE tersebut seperti, apakah benar penggantian minyak sawit menjadi minyak nabati lain merupakan solusi yang berpihak pada lingkungan atau akan semakin menyebabkan kerusakan lingkungan.
  • Studi FAO (2013) menyimpulkan bahwa minyak sawit memiliki keunggulan yakni lebih hemat dalam penggunaan input produksi, lahan dan energi sehingga akan lebih sedikit menghasilkan polusi dan emisi.
  • Hal ini menunjukkan bahwa maksud dan tujuan dari kebijakan EU RED II untuk mengurangi emisi ILUC justru bertolak belakang dengan dampak yang dihasilkan dari penggantian minyak sawit yakni meningkatkan polusi, emisi dan deforestasi.

Minyak Sawit dalam Persaingan Bahan Baku Biodiesel UNI Eropa Motif Red II ILUC – Jurnal PASPI Nomor 42 Tahun 2019

  • Persaingan antara minyak rapeseed dan minyak sawit sebagai bahan baku biodiesel UE, dimana posisi minyak sawit lebih kuat yang ditunjukkan dengan peningkatan pangsa minyak sawit dalam industri biodiesel UE sedangkan pangsa minyak rapeseed menurun.
  • Hal tersebut dianggap menjadi ancaman dan menimbulkan kekawatiran bagi pemerintah UE, mengingat minyak rapeseed merupakan minyak nabati utama yang diproduksi oleh negara tersebut.
  • Isu deforestrasi dan emisi digunakan sebagai latar belakang dikeluarkan kebijakan tersebut, namun penggunaan kedua isu tersebut dianggap kurang reliable  untuk dikaitkan dengan perdagangan tanaman biofuel termasuk minyak sawit dalam RED Uni Eropa.
  • Kedua isu tersebut juga dianggap sebagai bentuk pengalihan Uni Eropa untuk melemparkan kesalahan deforestrasi di masa lalu dan tanggung jawab sebagai salah satu emitter utama emisi GHG dunia.
  • Rencana phase out minyak sawit dari RED juga bersifat crop apartheid dan bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan GATT/WTO.

Strategi Dampak Pemberlakuan Kebijakan Red II ILUC Uni Eropa – Jurnal PASPI Nomor 32 Tahun 2019

  • Strategi yang dapat dilakukan pemerintah Indonesia maupun stakeholder dalam rangka mitigasi resiko menghadapi kebijakan RED II ILUC EU-28 yakni strategi jangka pendek:
    • (1) negosiasi bilateral mapun multilateral dengan EU-28;
    • (2) peningkatan penyerapan minyak sawit domestik dengan perubahan Kebijakan mandatori biodiesel B20 menjadi B30;
    • (3) penundaan dan pembatasan impor dari EU-28 (mengalihkan dari negara lain) untuk mencegah defisit perdagangan RI-EU28.
  • Sedangkan strategi yang dilakukan dalam jangka panjang adalah reorganisasi produksi dan pemasaran minyak sawit Indonesia berdasarkan pasar tujuan dan kemampuan produsen.
  • Minyak sawit dan produk olahan yang dapat diekspor ke pasar EU-28 adalah Minyak Sawit Platinum. Minyak sawit tersebut sudah memiliki sertifikat ISPO/RSPO dan ditanam dilahan mineral serta  tidak terkait deforestasi.

Pengkaitan Kebijakan ILUC dengan Isu Deforestasi Pada Perkebunan Kelapa Sawit – Jurnal PASPI Nomor 27 Tahun 2019

  • Dalam draft kebijakan ILUC yang dikeluarkan oleh Komisi Uni Eropa menyebutkan bahwa minyak sawit sebagai salah satu bahan baku biofuel tergolong dalam high risk menurut kriteria ILUC.
  • Menurut Komisi UE, produksi minyak sawit sebagai bahan baku biofuel menyebabkan areal pangan/pakan berkurang dan memicu konversi hutan atau lahan dengan stok karbon tinggi menjadi lahan pangan/pakan.
  • Komisi Uni Eropa menilai adanya ILUC pada produksi bahan baku biofuel akan meningkatkan emisi GHG dan mengancam hilangnya keanekaragaman hayati yang terdapat dalam hutan yang dikonversi pada negara-negara produsen minyak sawit.
  • Eropa dan Amerika Serikat juga melakukan deforestrasi yang besar-besaran pada periode tahun 1700-1900an atau periode awal pengembangan perekonomiannya.
  • Pemicu deforestrasi global yang utama bukanlah pengembangan kebun sawit, melainkan pengembangan peternakan sapi, kebakaran, pengembangan kedelai dan pembangunan infrastruktur.
  • Perkebunan kelapa sawit Indonesia selain bukan pemicu utama (driver) deforestasi juga merupakan suatu reforestasi, dimana dapat meningkatkan stok karbon suatu wilayah.

Dampak Penghentian Impor Minyak Sawit Indonesia oleh Uni Eropa – Jurnal PASPI Nomor 23 Tahun 2019

  • Uni Eropa merupakan salah satu negara tujuan ekspor minyak sawit (crude dan refined) Indonesia dengan volume yang meningkat. Volume ekspor minyak sawit Indonesia ke EU-28 meningkat yakni dari 2.7 juta ton (2010) menjadi 3.7 juta ton.
  • Selain volume ekspor yang meningkat, nilai ekspor sawit dan turunannya Indonesia ke EU-28 juga cenderung meningkat.
  • Tahun 2001 nilai ekspor sawit Indonesia ke EU-28 sebesar USD 0.3 Miliar naik menjadi USD 3.57 Miliar tahun 2018. Hal ini tentu saja memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia khususnya penambahan devisa dari ekspor minyak sawit Indonesia.
  • Jika Uni Eropa menghentikan impor minyak sawit dan turunannya dari Indonesia, Produsen TBS dan CPO mengalami kerugian (worse-off).
  • Selain itu Neraca Perdagangan Indonesia – EU 28 terancam defisit, dan Indonesia keseluruhan mengalami kerugian.

Biodiesel Sawit Sebagai Solusi Kebijakan Trump – Jurnal PASPI Nomor 22 Tahun 2019

  • Negara super power (Amerika Serikat) merupakan salah satu negara emitter utama di dunia dengan kontribusinya mencapai 13 persen dari emisi global.
  • Besarnya kontribusi USA terhadap emisi GHG global menuntut negara ini turut bertanggung jawab untuk menurunkan emisi GHG dunia bersama negara emitter utama lainnya. Bentuk kontribusi negara-negara emitter utama dunia dan negara lainnya adalah Paris Agreement.
  • Namun dibawah kepemimpinan Presiden Trump menghendaki USA keluar dari kesepakatan tersebut. Hal ini dikarenakan, kesepakatan tersebut berpotensi menurunkan perekonomian dan kesejahteran USA.
  • Upaya lainnya untuk menurunkan emisi yang sudah dilakukan oleh USA adalah dengan pengembangan biodiesel dengan bahan baku utama minyak kedelai. Namun menurut beberapa studi, biodiesel dengan bahan baku kedelai justru meningkatkan emisi, inefisien dalam penggunaan input dan deforestrasi yang luas serta biaya produksi yang relatif tinggi.
  • Solusi yang ditawarkan untuk USA dalam rangka tetap berkontribusi untuk menurunkan emisi global dengan tetap mempertahankan kesejahteraan negaranya adalah dengan mengembangkan biodiesel sawit.

Kebijakan ILUC UNI Eropa Semut di Mata Orang Dipersoalkan Gajah di Pelupuk Mata Sendiri diabaikan – Jurnal PASPI Nomor 11 Tahun 2019

  • Rancangan kebijakan yang dikeluarkan oleh Komisi Uni Eropa yaitu Delegated Regulation of ILUC-RED II terkait dengan ILUC terkait dengan kriteria produk biofuel yang diterima oleh Uni Eropa dinilai sebagai bentuk unfair trade dan diskiminatif terhadap Indonesia sebagai produsen biofuel berbasis sawit karena Indonesia melalui perkebunan sawitnya dianggap sebagai kontributor terbesar emisi GHG global.
  • Berdasarkan data menunjukkan bahwa kontributor utama emisi GHG global bersumber dari konsumsi energi fosil dan bukan bersumber dari perubahan penggunaan lahan (LULUCF/ILUC).
  • Oleh karena itu, rancangan kebijakan RED II yang mengkaitkan emisi biofuel LULUCF/ILUC dengan sasaran kebijakan negara produsen boifuel luar UE-28 termasuk di Indonesia merupakan kebijakan yang sia-sia.

Ancaman Embargo Proteksi Sawit dari Negara Top Emitter Gas Rumah Kaca Dunia – Jurnal PASPI Nomor 9 Tahun 2018

  • Ancaman embargo/proteksi minyak sawit berasal dari negara-negara top emitter GHG dan luas kebakaran hutan terbesar dunia. Emisi GHG Amerika Serikat dan Uni Eropa sekitar 9-11 kali lipat dari emisi GHG energi fosil Indonesia. Demikian juga emisi GHG pertanian Amerika Serikat dan Uni Eropa 3-4 kali lipat dari emisi GHG pertanian Indonesia.
  • Luas kebakaran hutan/lahan di USA dan Eropa sekitar 35-41 kali lipat lebih luas dibandingkan dengan luas kebakaran hutan di Indonesia.
  • Hal ini bermakna bahwa produk-produk EU dan USA secara implisit merupakan produk beremisi karbon tinggi, berdampak kerusakan lingkungan (embodied carbon emission, embodied forest fire) dibanding dengan produk Indonesia, termasuk minyak sawit.
  • Minyak kedelai dan minyak nabati lainnya yang dihasilkan di daratan USA dan Uni Eropa menjadi bahan baku biodiesel “lebih kotor” dibandingkan dengan minyak sawit/biodiesel sawit yang dihasilkan dari Indonesia.
  • Menggantikan minyak sawit dengan minyak nabati/biomas produksi domestik USA dan Uni Eropa melalui kebijakan embargo dan proteksi sawit, tidak mendukung upaya penurunan emisi global bahkan mensponsori peningkatan emisi global.

Kebijakan Subsidi Biodiesel Amerika Serikat dan Subsidi Biodiesel Amerika Serikat dan Tuduhan Dumping Biodiesel Sawit Indonesia – Jurnal PASPI Nomor 39 Tahun 2017

  • Industri biodiesel Amerika Serikat memperoleh subsidi dengan berbagai skema Harga biodiesel (B100) di pasar USA dalam periode 2010-2017 merupakan harga subsidi dengan intensitas subsidi berkisar antara 62-71.5 persen atau rata-rata 63 persen dari harga biodiesel pada tingkat pengecer (retail price).
  • Karena itu sesuai dengan prinsip equal treatment atau fair trade WTO, USA tidak relevan mempersoalkan biodiesel impor mengandung subsidi atau tidak. HIP biodiesel sawit secara umum sekitar 23 persen diatas harga CPO (KPB Dumai).
  • Mengingat sekitar 80 persen biaya produksi biodiesel adalah biaya bahan baku yakni CPO, maka sulit meyakini bahwa eksportir biodiesel mampu menjual biodiesel sawit di pasar USA dengan harga dibawah HIP biodiesel Indonesia.
  • Pemerintah juga tidak memberi subsidi ekspor biodiesel, bahkan sebaliknya justru memungut bea keluar dan pungutan ekspor biodiesel.
  • Oleh karena itu tuduhan kebijakan dumping biodiesel yang dituduhkan USA kepada Indonesia tidak memiliki dasar yang kuat.

Perkembangan Biodiesel Indonesia dan Keberatan Indonesia atas Bea Masuk Anti Dumping UNI Eropa – Jurnal PASPI Nomor 21 Tahun 2017

  • Sejak 2006, Indonesia telah melakukan kebijakan biofuel seiring dengan upaya Indonesia mengurangi konsumsi bahan bakar fosil, serta mendorong penggunaan energi terbarukan. Hal ini diwujudkan dalam Kebijakan Mandatori biodiesel, yakni dengan blending 15 persen (B15) pada tahun 2014, dan akan mencapai 30 persen (B30) hingga tahun 2025.
  • Kemajuan produksi biodiesel Indonesia berkembang semakin pesat sering dengan kebijakan pemerintah memberlakukan CPO supporting Fund, dan mendukung subsidi bagi produsen biodiesel (karena harga biodiesel lebih mahal dari harga diesel fossil).
  • Meningkatnya produksi bodiesel Indonesia mendorong pertumbuhan ekspor yang pesat, terutama ke Uni Eropa.
  • Namun, untuk melindungi produsen domestiknya, UE menciptakan hambatan perdagangan, yakni dengan pengenaan pajak impor yang tinggi, dengan tuduhan adanya dumping atas impor biodiesel Indonesia (dan juga Argentina).
  • Bea masuk anti dumping (BMAD) yang cukup besar yakni 8,8 persen sampai 23,3 persen (76,94 euro hingga 178,85 euro) per ton. Hal ini menyebabkan ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa menurun tajam.

Resolusi Minyak Sawit Uni Eropa dan Isu Deforestasi – Jurnal PASPI Nomor 16 Tahun 2017

  • Kondisi minyak nabati dunia memberikan peluang bagi Indonesia sebagai produsen utama dunia untuk tetap memimpin pasar CPO dunia, karena permintaan nabati dunia diproyeksikan oleh FAO (2012) akan dipenuhi oleh minyak sawit (CPO).
  • Sejalan dengan itu, diperlukan kebijakan nasional dalam tata guna tanah di Indonesia, untuk memanfaatkan ketersedaan lahan yang ada, sekaligus menempis tuduhan negatif selama ini tentang deforestasi, dimana deforestasi merupakan fenomena umum dalam pembangunan semua negara di dunia.
  • Kawasan hutan Indonesia masih jauh di atas batas treshold dunia, dan dapat digunakan seoptimal mungkin untuk membawa Ekonomi Indonesia ke level 10 besar dunia.

Resolusi Sawit Parlemen Eropa dalam Perspektif Perang Minyak Nabati Global – Jurnal PASPI Nomor 15 Tahun 2017

  • Resolusi Sawit dari Parlemen Eropa pada 4 April 2017 lalu adalah sebuah fenomena perang minyak nabati dunia.  Resolusi ini, selain memberikan tuduhan yang sangat tidak benar, juga tidak perlu dipersepsikan terlalu berlebihan.
  • Resolusi ini tidak akan mampu berjalan efektif, karena Eropa memiliki ketergantungan yang tinggi pada sumber minyak nabati (38,22 %), dan komoditas rapeseed oil (RSO) dan sunflower oil (SFO) dunia adalah komoditas thin market dan hanya 1,2 % dari total ekspor minyak nabati yang di perdagangkan di pasar global.
  • Kehadiran Indonesia selama beberapa dekade, justru telah membantu memenuhi demand masyarakat Eropa. 
  • Oleh sebab itu, resolusi ini dapat menciptakan global excess demand dan mengakibatkan kenaikan harga CPO dunia. Disamping itu, peran CPO saat ini telah berkembang, bukan hanya untuk food (to feed the world) tetapi sumber bahan baku energi. 

Apakah Palm Oil Free akan Mengancam Masa Depan Minyak Sawit Dunia – Jurnal PASPI Nomor 36 Tahun 2016

  • Gerakan labelisasi Palm oil free yang terus berkembang hingga saat ini adalah sebuah gerakan anti sawit, yang dimanfaatkan para penggiat kampanye marketing untuk memperoleh keuntungan bisnis, dengan menciptakan persepsi produk yang lebih bernilai.
  • Praktek ini banyak dilakukan oleh anggota RSPO, dan oleh sebab itu RSPO harus menindak anggotanya, karena hal ini melanggar peraturan RSP sendiri sebagai sebuah tindakan yang merendahkan sawit dan tiak sejalan dengan konsep futuristik dalam sustainabilitas yang dikembangkan RSPO dalam pengembangan jangka panjang minyak sawit dunia.
  • Dampak labeling POF perlu direspon produsen sawit dunia, dan diperlukan kerja sama baik antar negara (Indonesia dan malaysia) juga sesama seluruh asosiasi yang ada di Indonesia.
  • Labelisasi POF tersebut tidak sejalan dengan data dunia, dimana konsumsi minyak sawit dunia masih terus bertumbuh, dan mendorong lahirnya negara negara produsen baru di kawasan Afrika.

Kebijakan Ekspor Minyak Sawit Menurunkan Daya Saing Ekspor CPO Indonesia ke India – Jurnal PASPI Nomor 29 Tahun 2016

  • Kebijakan impor CPO India dalam periode Januari 2015 sampai Juni 2016 makin protektif yang ditandai oleh peningkatan tarif impor CPO dari semula 7.5 persen menjadi 12.5 persen.
  • Kebijakan perdagangan internasional minyak sawit Indonesia untuk tujuan pasar ke India bukan hanya tidak mampu menetralisir dampak kebijakan protektif India, malah memperburuk penurunan daya saing ekspor minyak sawit Indonesia ke India.
  • Untuk mendukung industri minyak sawit sebagai industri strategis nasional dan sekaligus untuk memanfaatkan kerjasama ekonomi dunia diperlukan perubahan paradigma kebijakan ekspor minyak sawit Indonesia ke depan.

Prinsip Non Diskriminasi WTO GATT dan Rencana Kebijakan Diskriminasi Perancis pada Minyak Sawit – Jurnal PASPI Nomor 12 Tahun 2016

  • Empat prinsip non diskriminatif WTO/GATT yang potensial dilanggar jika rencana kebijakan Perancis pada minyak sawit dilaksanakan, yakni :
    • (1) prinsip non diskriminasi perdagangan antar negara (Most Favored Nation, MFN).
    • (2) prinsip non diskriminasi barang sejenis dan jasa antara yang diimpor dengan produksi domestik (National Treatment, NT) baik secara de jure maupun de facto.
    • (3) prinsip tarifikasi (tariff binding) dan hambatan non tarif (non tariff barrier).
    • (4) prinsip Technical Barrier to Trade (TBT).
  • Berdasarkan pengalaman gugatan Indonesia atas kebijakan diskriminatif rokok di Amerika Serikat tersebut, dapat menjadi pengalaman penting untuk menggugat kebijakan diskriminatif atas minyak sawit Indonesia, jika rencana Perancis tersebut (juga negara lain) nekad memberlakukan kebijakan diskriminatif.

Labelisasi Produk “Palm Oil Free” : Gerakan Boikot Minyak Sawit ? – Jurnal PASPI Nomor 15 Tahun 2015

  • Gerakan labelisasi Palm Oil Free yang sedang dipaksakan LSM transnasional kepada industri pengguna akhir minyak sawit global merupakan gerakan boikot minyak sawit.
  • Labelisasi Palm Oil Free tersebut akan mengancam masa depan industri minyak sawit global.
  • Oleh karena itu, diperlukan gerakan bersama seluruh asosiasi industri minyak sawit Indonesia dan Malaysia serta jaringannya untuk menghadapinya.

FAQs

Apa yang dimaksud dengan “Jurnal Sawit dan Kebijakan Negara Importir” dan mengapa isu ini penting?

Apa saja hambatan perdagangan yang dihadapi dalam perdagangan minyak sawit?

Mengapa Indonesia dituduh melakukan dumping pada biodiesel sawitnya oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat?

Indonesia dituduh melakukan dumping pada biodiesel sawitnya oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat karena mereka percaya bahwa Indonesia menjual biodiesel sawit dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya. Hal ini dianggap merugikan produsen lokal dan menciptakan ketidakadilan dalam perdagangan internasional. Akibatnya, tarif Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) dikenakan.

Mengapa negara-negara importir seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat menerapkan kebijakan Deforestation-Free terhadap produk sawit?

Negara-negara importir seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Inggris menerapkan kebijakan Deforestation-Free untuk memastikan bahwa produk sawit yang mereka konsumsi memenuhi kriteria kelestarian lingkungan. Mereka ingin mengurangi dampak deforestasi dan emisi gas rumah kaca yang dianggap terkait dengan produksi minyak sawit.

Bagaimana konsumsi minyak sawit mempengaruhi deforestasi global?

Konsumsi minyak sawit dapat mempengaruhi deforestasi global tergantung pada kebijakan yang diterapkan oleh negara-negara importir. Jika negara-negara tersebut menghentikan atau mengurangi konsumsi minyak sawit dan beralih ke minyak nabati lain seperti minyak rapeseed, hal ini dapat mengakibatkan peningkatan deforestasi global karena ekspansi lahan untuk tanaman pengganti.

Share
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x