Back to Top
Rating & Comment

KEBIJAKAN STABILISASI MINYAK GORENG SAWIT DOMESTIK ANTISIPASI MASA EL NINO 2023/2024

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Pendahuluan

El Nino sedang melanda produsen minyak sawit utama dunia (Indonesia dan Malaysia) pada semester 2 tahun 2023 dan diperkirakan terus berlanjut hingga semester 1 tahun 2024. Intensitas El Nino masih terus dalam pemantauan, namun kecenderungannya mengarah pada level kuat (strong) menjelang akhir tahun.

Secara historis, intensitas El Nino yang moderat hingga kuat apalagi sangat kuat akan mempengaruhi pada produksi minyak sawit (PASPI Monitor, 2023). Dampak El Nino pada perkebunan sawit tergantung pada intensitasnya, namun dampaknya dirasakan secara bertahap dari bulan pertama El Nino dan makin meningkat hingga 12-16 bulan setelah El Nino dimulai. Artinya dampaknya terhadap produksi minyak sawit mulai terlihat sejak 6 hingga 24 bulan setelah cekaman kekeringan.

Menurut berbagai perkiraan, dampak El Nino tahun 2023/2024  ini akan menurunkan produksi minyak sawit tahun 2024 sekitar 4-5 persen (jika El Nino 2023 dikategorikan intensitas moderat) dan sekitar 10-20 persen (jika El Nino 2023 dikategorikan intensitas kuat). Hal ini mengakibatkan terjadinya diperkirakan peningkatan harga CPO dunia sekitar 10-20 persen di akhir tahun 2023 hingga Juni 2024.

Sebagai produsen dan sekaligus konsumen minyak sawit terbesar dunia, Indonesia perlu mengantisipasi kondisi terburuk dampak El Nino terhadap stabilisasi minyak goreng sawit domestik. Peningkatan harga minyak sawit dunia biasanya akan meningkatkan harga minyak goreng domestik. Bahkan tidak tertutup kemungkinan kelangkaan minyak goreng domestik akibat minyak sawit mengalir deras ke pasar dunia. Fenomena ini pernah dirasakan Indonesia pada semester 1 tahun 2022 (PASPI Monitor, 2023).

Artikel jurnal ini akan mendiskusikan pengalaman Indonesia dalam rangka stabilisasi minyak goreng domestik. Kemudian dilanjutkan dengan pilihan alternatif kebijakan untuk mengantisipasi dampak El Nino yang dikaitkan dengan stabilisasi minyak goreng domestik.

Key Takeaways

  • El Nino berdampak pada produksi minyak kelapa sawit, dan diperkirakan akan menurunkan produksi sekitar 4-20% pada tahun 2024, tergantung pada intensitasnya.
  • Indonesia, sebagai produsen dan konsumen terbesar minyak kelapa sawit, perlu mengantisipasi dampak El Nino terhadap harga minyak goreng domestik.
  • Ada tiga rezim tata kelola sawit yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia, termasuk rezim pajak ekspor dan pengelolaan buffer stock.
  • Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng sawit domestik selama tahun 2022.
  • Meskipun harga minyak kelapa sawit dunia telah turun, harga minyak goreng sawit domestik di Indonesia tetap tinggi, menyebabkan peningkatan inflasi dan kesulitan bagi konsumen.
  • Untuk mengantisipasi dampak El Nino yang melanda Indonesia dan Malaysia pada tahun 2023/2024, diusulkan dua skenario kebijakan, termasuk menaikkan tarif bea keluar dan pungutan ekspor produk sawit serta menugaskan BUMN untuk memproduksi minyak goreng sawit dan menjualnya pada harga yang ditetapkan pemerintah.

Profil Industri Minyak Goreng Indonesia

Selain sebagai produsen terbesar di dunia (PASPI, 2023), Indonesia juga tercatat sebagai konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Industri hilir sawit Indonesia yang paling banyak mengkonsumsi/menggunakan minyak sawit adalah industri pangan (PASPI, 2023).

Sebagian besar produk pangan olahan sawit yang diproduksi di Indonesia adalah dalam bentuk minyak goreng sawit (Gambar 1). Sekitar 80 persen minyak sawit (Refined Palm Oil) diolah menjadi minyak goreng (RBD Palm Olein) yang kemudian diperdagangkan baik dalam bentuk curah maupun kemasan (sederhana dan premium) yang ditujukan untuk rumah tangga, industri, dan ekspor.

Gambar 1. Neraca Minyak Sawit dan Produk Turunannya Nasional Tahun 2021 (Sumber: Kementerian Perindustrian, 2022)

Neraca Minyak Sawit dan Produk Turunannya Nasional Tahun 2021
Gambar 1. Neraca Minyak Sawit dan Produk Turunannya Nasional Tahun 2021 (Sumber: Kementerian Perindustrian, 2022)

Jumlah industri minyak goreng sawit di Indonesia tahun 2021 sebanyak 104 pabrik dan 137 pabrik repacker (Kemenperin, 2022). Total kapasitas produksi minyak goreng sawit Indonesia mencapai 43.36 juta kilo liter. Sedangkan produksi minyak goreng sawit domestik baru 50 persen dari kapasitasnya atau sekitar 22.4 juta kilo liter. Dengan besarnya kapasitas dan produksi tersebut mampu memenuhi kebutuhan minyak goreng sawit domestik sebesar 5.8 juta kilo liter.

Sementara itu dari sisi demand, minyak goreng sawit merupakan salah satu dari sembilan bahan pokok (Sembako) yang peranannya cukup penting. Minyak goreng sawit dikonsumsi oleh 278 juta penduduk Indonesia. Selain dikonsumsi oleh rumah tangga, minyak goreng sawit juga berperan penting dalam kegiatan ekonomi sektor UMKM (pedagang makanan), HoReCa (Hotel, Restauran, Cafe), dan industri makanan dan minuman lainnya. Eating habit masyarakat Indonesia yang lebih menyukai makanan yang digoreng (deep fried) menjadi faktor pendorong besarnya pasar minyak goreng Indonesia, selain karena peningkatan populasi penduduk dan daya beli. Hal ini menunjukkan bahwa minyak goreng sawit menjadi bagian penting dalam ketahanan pangan dan perekonomian Indonesia.

Baca Juga :

DINAMIKA TATA KELOLA DAN KEBIJAKAN STABILISASI MINYAK GORENG DOMESTIK

Mengingat besarnya peran minyak goreng sawit dalam ketahanan pangan dan perekonomian Indonesia, Pemerintah Indonesia memiliki kebijakan yang mengatur tata kelola industri sawit dalam rangka stabilisasi minyak goreng sawit domestik. Regim tata kelola telah diimplementasikan sejak tahun 1970-an hingga saat ini, meskipun telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman. Setidaknya terdapat tiga rezim tata kelola sawit dalam rangka stabilisasi minyak goreng sawit domestik yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia (PASPI Monitor, 2022b).

Pertama, Rezim Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang berlangsung selama periode tahun 1973-1990. Kebijakan tersebut mewajibkan alokasi CPO yang dihasilkan BUMN (dulu bernama Perusahaan Perkebunan Negara, PNP) untuk dipasarkan ke pabrik minyak goreng domestik dengan harga yang ditetapkan pemerintah secara periodik. Implementasi kebijakan tersebut berdampak merugikan bagi produsen dan konsumen karena terjadi disparitas harga (harga domestik dan harga ekspor, harga ekspor dan harga dunia) yang tinggi sehingga menyebabkan penyelundupan, penekanan harga minyak sawit Indonesia, konsumen membayar minyak goreng dengan harga yang lebih mahal, fluktuasi harga minyak goreng, hingga kehilangan kesempatan memperoleh devisa ekspor (Tomich dan Mawardi, 1995; Sipayung 2018).

Kedua, Rezim Pajak Ekspor (export duty)dan Pengelolaan Buffer Stock yang berlangsung selama periode tahun 1992-2015. Pada rezim ini, terdapat tiga kebijakan penting yakni penerapan pajak ekspor bagi CPO dan produk turunannya, pengelolaan buffer stock CPO oleh Bulog, dan mewajibkan produksi CPO BUMN untuk memenuhi kebutuhan domestik dengan harga dibawah harga pasar. Implementasi kebijakan pajak ekspor bertujuan untuk memastikan stabilisasi pengadaan dan harga minyak goreng domestik sehingga besaran pajak ekspor untuk produk turunan (seperti RBD Olein) dibuat lebih tinggi dibandingkan produk hulu (misal RBD Palm Oil maupun CPO).

Kebijakan pajak ekspor tersebut berhasil membuat harga CPO di pasar domestik lebih rendah (di bawah) harga ekspor CPO. Kondisi ini dapat dimanfaatkan industri minyak goreng sawit untuk memperoleh bahan baku dengan harga yang relatif rendah sehingga diharapkan harga minyak goreng domestik juga relatif terjangkau dan stabil. Namun harapan tersebut tidak terwujud karena produsen CPO masih lebih memilih menjual CPO ke pasar ekspor dengan memilih konsekuensi untuk membayar pajak ekspor daripada menjual ke pasar domestik (Sipayung, 2018).

Ketiga, Rezim Bea Keluar (export duty), Pungutan Ekspor (export levy), dan Hilirisasi yang berlangsung sejak tahun 2015 hingga saat ini. Ketiga kebijakan tersebut disebut dengan grand policy industri sawit yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku minyak sawit bagi industri hilir domestik, mengamankan pasokan dan harga minyak goreng sawit di dalam negeri, serta mendukung hilirisasi sawit domestik. Implementasi kombinasi grand policy tersebut berdampak pada peningkatan produksi yang menambah ketersediaan minyak goreng sawit di pasar domestik dan membuat harga minyak goreng domestik (minyak goreng sawit curah) lebih murah dibandingkan harga internasional (RBD Olein) (Gambar 2).

Gambar 2. Perkembangan Harga CPO, SBO, RBD Palm Olein Dunia, dan Minyak Goreng Curah Domestik (Sumber: MPOB, PIHPS, Bank Indonesia; World Bank; KPBN, BAPPEBTI, data diolah PASPI, 2023)

Perkembangan Harga CPO SBO RBD Palm Olein Dunia dan Minyak Goreng Curah Domestik
Gambar 2. Perkembangan Harga CPO, SBO, RBD Palm Olein Dunia, dan Minyak Goreng Curah Domestik (Sumber: MPOB, PIHPS, Bank Indonesia; World Bank; KPBN, BAPPEBTI, data diolah PASPI, 2023)

Ketika harga minyak goreng sawit dunia (RBD Olein) mengalami peningkatan yang signifikan pada periode Januari-Juli tahun 2022. Harga minyak goreng sawit curah domestik juga mengalami kenaikkan, namun posisinya masih konsisten di bawah harga minyak goreng sawit dunia (RBD Olein). Artinya konsumen Indonesia menikmati minyak goreng sawit dengan harga yang lebih rendah dibandingkan konsumen dunia. Hal tersebut merupakan dampak dari implementasi kombinasi grand policy sawit (export duty dan levy).

Meskipun telah menikmati harga yang lebih rendah dibandingkan harga dunia, konsumen Indonesia harus membayar minyak goreng sawit dengan harga yang relatif mahal selama periode tersebut. Jika dibandingkan dengan harga periode Januari-Juli 2021, peningkatan harga minyak goreng sawit (curah, kemasan sederhana, dan premium) berkisar 31-52 persen pada periode yang sama tahun 2022 (Gambar 3).

Gambar 3. Perkembangan Harga Minyak Goreng Sawit Domestik (Sumber: Kementerian Perdagangan, 2023)

Perkembangan Harga Minyak Goreng Sawit Domestik
Gambar 3. Perkembangan Harga Minyak Goreng Sawit Domestik (Sumber: Kementerian Perdagangan, 2023)

Lonjakan harga tersebut menimbulkan panic buying hingga kelangkaan minyak goreng sawit di pasar domestik. Kenaikan harga tersebut juga berdampak pada peningkatan inflasi atau Indeks Harga Konsumen (IHK) penyediaan makanan dan minuman (Nugroho dan Salsabila, 2022).

Untuk mengatasi kondisi tersebut, berbagai kebijakan diimplementasikan pemerintah dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng sawit selama tahun 2022 (PASPI Monitor, 2022a; PASPI Monitor, 2023). Kebijakan yang dimaksud adalah

  1. Kebijakan Satu Harga (19-31 Januari 2022),
  2. Kebijakan Persetujuan Ekspor (24 Januari 2022),
  3. Kebijakan Harga Eceran Tertinggi (1 Februari – 16 Maret 2022),
  4. Kebijakan DMO-DPO Jilid 1 (27 Januari – 17 Maret 2022),
  5. Kebijakan Subsidi Minyak Goreng Curah (17 Maret – 31 Mei 2022),
  6. Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (1 April 2022),
  7. Kebijakan Larangan Ekspor (28 April – 22 Mei 2022),
  8. Kebijakan DMO-DPO Jilid 2 (23 Mei 2022 – sekarang),
  9. Program Minyak Goreng Curah Rakyat (23 Mei 2022),
  10. Kebijakan Flush Out (8 Juni – 31 Juli 2022),
  11. Kebijakan Pembebasan Pungutan Ekspor (15 Juli – 31 Agustus 2022), dan
  12. Kebijakan Pemberlakuan Kembali Pajak Ekspor. 

Bongkar pasang kebijakan stabilisasi minyak goreng domestik yang terus berubah dalam waktu singkat menimbulkan instabilitas dan ketidakpastian yang tinggi. Satu kebijakan dikeluarkan dan belum terlaksana dengan baik sudah dicabut dan kemudian digantikan dengan kebijakan yang baru. Implikasinya berbagai kebijakan tersebut dinilai belum efektif untuk menstabilkan harga minyak goreng sawit domestik. Pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk minyak goreng sawit curah sebesar Rp 14,000 per liter, namun HET tersebut tidak pernah tercapai (kecuali pada September-November 2022).

Hal yang lebih ironis yakni ketika harga minyak sawit dunia telah turun drastis hingga mencapai level normal pada periode Januari-September 2023 (Gambar 2), harga minyak goreng sawit domestik tetap tinggi (Gambar 3). Target HET minyak goreng sawit (jenis curah dan Minyakita) juga masih belum tercapai. Harga minyak goreng sawit curah masih berkisar Rp 14,400 – 14,900 per liter, sedangkan harga Minyakita berkisar Rp 14,400 – 15,100 per liter.

Demikian juga pada level global, harga minyak goreng sawit curah domestik sudah lebih mahal belum dicabut sehingga produsen tidak dapat menurunkan harga minyak goreng sawit domestik meskipun harga RBD Olein dunia sudah turun dan impor minyak goreng sawit tidak terjadi.

PILIHAN KEBIJAKAN ANTISIPASI EL NINO 2023/2024

Salah satu faktor penyebab peningkatan harga CPO dunia yang signifikan pada tahun 2022 adalah El Nino. Dampak anomali iklim El Nino yang melanda Indonesia dan Malaysia pada tahun 2018/2019 menyebabkan penurunan produksi minyak sawit. El Nino yang terjadi di negara produsen minyak nabati lainnya seperti Argentina, Brazil Paraguay, Kanada dan Perancis pada tahun 2021, turut memberikan tekanan pada permintaan minyak sawit dunia. Dampak El Nino ditambah dengan Pandemi Covid-19, kebijakan sawit Indonesia (pungutan ekspor dan mandatori B30), perang Rusia-Ukraina, dan kenaikan harga minyak fosil mengakibatkan harga minyak sawit dunia mencapai rekor all time high (PASPI Monitor, 2022a). Peningkatan harga minyak sawit dunia tersebut menyebabkan terjadinya lonjakan harga minyak goreng sawit di Indonesia periode Januari-Juli 2022.

Untuk mengantisipasi dampak serupa akibat El Nino yang melanda Indonesia dan Malaysia pada tahun 2023/2024, diperlukan kebijakan antisipasi untuk menstabilkan minyak goreng sawit domestik. Terdapat dua skenario kebijakan yang dimaksud yakni:

Pertama, menaikkan tarif bea keluar (export duty) dan pungutan ekspor (export levy) produk sawit. Skenario ini memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulan dari skenario ini relatif mudah diterapkan karena hanya menaikkan tarif duty dan levy serta dapat meningkatkan penerimaan pemerintah dari ekspor produk sawit. Namun kelemahan dari skenario ini adalah dapat menghilangkan kesempatan Indonesia memperoleh devisa ekspor yang lebih besar. Selain itu, peluang penyelundupan minyak sawit ke luar negeri cukup besar akibat disparitas harga domestik dengan harga internasional yang terlalu besar.

Skenario kebijakan ini juga belum tentu dapat mencapai harga minyak goreng sawit domestik sesuai dengan harapan pemerintah. Belajar dari pengalaman semester 1 tahun 2022 yang lalu, ketika harga minyak goreng sawit domestik berada di bawah harga minyak goreng sawit (RBD Palm Olein) dunia, namun level harga tersebut masih terlalu mahal dari target yang ditetapkan pemerintah (HET) dengan tren yang cenderung meningkat mengikuti tren harga dunia.

Kedua, memberlakukan besaran tarif duty dan levy yang relatif moderat yang dikombinasikan dengan kebijakan menugaskan BUMN (PTPN) memproduksi minyak goreng sawit dan menjualnya kepada masyarakat pada level harga HET yang ditetapkan pemerintah. Keunggulan skenario ini adalah tetap mempertahankan ekspor minyak sawit yang relatif tinggi sehingga dapat meningkatkan devisa ekspor dan penerimaan pemerintah dari pengenaan duty dan levy. Penugasan BUMN (PTPN) juga dapat menjamin ketersediaan minyak goreng domestik pada level HET yang telah ditetapkan pemerintah menjadi instrumen dalam rangka menjaga stabilitas minyak goreng domestik.

Namun skenario ini juga memiliki kelemahan yakni adanya selisih harga antara minyak goreng sawit (RBD Palm Olein) dunia dengan HET minyak goreng sawit domestik. Selisih tersebut perlu dikompensasi dari Dana Sawit agar BUMN (PTPN) tidak merugi dan mampu memenuhi stabilitas minyak goreng domestik secara berkesinambungan.

Implementasi skenario kedua ini dinilai dapat menciptakan win-win condition. Kebutuhan minyak goreng domestik terjamin baik dari segi harga yang relatif terjangkau (affordability) dan ketersediaan (availability) yang mencukupi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, tujuan pemerintah dalam rangka stabilisasi minyak goreng domestik dapat tercapai. Selain itu, Indonesia juga tetap dapat tetap mempertahankan kinerja ekspor produk sawitnya di pasar global. Hal ini juga menunjukkan bahwa skenario tersebut juga menjaga keseimbangan antara kepentingan domestik dan ekspor.

Kesimpulan

El Nino yang melanda Indonesia dan Malaysia pada tahun 2023/2024 diperkirakan akan berdampak pada penurunan produksi minyak sawit dunia. Hal ini akan menyebabkan peningkatan harga minyak sawit dunia yang biasanya akan diikuti oleh kenaikan harga minyak goreng domestik. Selain mahal, fenomena kelangkaan minyak goreng sawit di pasar domestik juga kerap terjadi seperti pada semester 1 tahun 2022.

Mengingat posisinya sebagai produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar dunia serta pentingnya peran minyak goreng sawit bagi ketahanan pangan dan perekonomian, Indonesia perlu mengantisipasi kondisi terburuk dampak El Nino terhadap stabilisasi minyak goreng domestik. Terdapat dua skenario kebijakan stabilisasi minyak goreng sawit domestik yang dapat diimplementasikan yakni: (1) menaikkan tarif bea keluar (export duty) dan pungutan ekspor (export levy), atau (2) tetap mempertahankan tarif bea keluar (export duty) dan pungutan ekspor (export levy) pada level yang moderat dan menugaskan BUMN menyediakan minyak goreng sawit untuk memenuhi kebutuhan domestik pada level harga (HET) yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Kedua skenario kebijakan tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan. Namun dari pilihan skenario diatas, skenario kedua menjadi pilihan alternatif kebijakan yang dinilai tepat untuk mengantisipasi dampak El Nino 2023/2024. Dengan mempertahankan duty dan levy pada tarif moderat sekaligus menugaskan BUMN (PTPN) menjadi instrumen untuk mencapai stabilisasi minyak goreng sawit domestik sekaligus dapat meningkatkan devisa ekspor dan penerimaan pemerintah. Dengan meningkatnya penerimaan pemerintah (khususnya dari levy) dapat menjadi sumber Dana Sawit yang mendukung kesinambungan program penyediaan minyak goreng sawit domestik oleh BUMN (PTPN).

Implikasi Kebijakan

Untuk mengantisipasi dampak El Nino 2023/2024 terhadap peningkatan harga minyak sawit dunia, kebijakan stabilisasi minyak goreng sawit domestik yang dapat diimplementasikan adalah dengan memberlakukan Bea Keluar (duty) dan Pungutan Ekspor (Levy) produk sawit pada besaran tarif yang moderat dan menugaskan menugaskan BUMN (PTPN) untuk menyediakan minyak goreng sawit sesuai dengan HET yang ditetapkan oleh pemerintah. Selisih HET minyak goreng sawit tersebut dengan harga dunia (FOB Ekspor) dapat ditutup dari Dana Sawit. Implementasi kombinasi kebijakan tersebut menciptakan win-win condition yakni stabilitas minyak goreng sawit domestik (harga yang terjangkau dan ketersediaan yang mencukupi) serta tetap memperoleh devisa ekspor.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.

Daftar Pustaka

Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x