Back to Top
Rating & Comment

PORTOFOLIO MINYAK SAWIT DALAM PILIHAN MINYAK NABATI YANG SUSTAINABLE BAGI UNI EROPA 2023

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Key Takeaway

  1. Lima indikator untuk mengukur sustainability lingkungan yakni indikator deforestasi, biodiversity loss, emisi, carbon sink, dan polutan.
  2. Minyak sawit secara relatif lebih sustainable secara lingkungan dibandingkan dengan minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari.
  3. Masyarakat Uni Eropa lebih banyak mengkonsumsi minyak nabati tersebut tidak sustainable secara lingkungan (minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari).
  4. Pola konsumsi minyak nabati Uni Eropa tidak konsisten dengan tujuan kebijakan European Green Deal yang mengarahkan produksi dan konsumsi masyarakat EU pada komoditas/produk yang makin sustainable.

Abstrak

Uni Eropa berkomitmen untuk mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan. Untuk mendukung komitmen tersebut, Uni Eropa memiliki kebijakan European Green Deal, yang didalamnya didukung oleh inisiatif kebijakan seperti RED II ILUC maupun Deforestation-Free Supply Chain yang mengatur produksi dan konsumsi produk/komoditas harus dilakukan secara berkelanjutan. Kebijakan tersebut kontradiktif dengan konsumsi minyak nabati Uni Eropa yang didominasi oleh minyak nabati yang tidak sustainable secara lingkungan (minyak kedelai, minyak rapeseed dan minyak bunga matahari). Minyak sawit yang relatif lebih sustainable secara lingkungan, justru dihambat bahkan terancam tersingkir oleh kebijakan Uni Eropa tersebut.

Pendahuluan – Minyak Nabati Yang Sustainable Bagi UNI Eropa

Mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth) merupakan salah satu tujuan penting bagi Uni Eropa (European Union/EU). Dengan semakin langkanya sumberdaya dan adanya dampak produksi dan konsumsi suatu produk terhadap lingkungan, menuntut perubahan dalam cara memproduksi dan mengkonsumsi suatu produk yang lebih berkelanjutan.Salah satu kebijakan EU yang penting untuk menuju sustainable consumptionand production adalah European Green Deal (EGD), termasuk di dalamnya kebijakan New Circular Economy Action Plan

. Dengan kebijakan tersebut diharapkan proses produksi barang/jasa di EU semakin berkelanjutan. Demikian juga masyarakat konsumen diharapkan mengkonsumsi produk yang makin sustainable (Appunn, 2021; CBI Ministry of Foreign Affairs, 2021). Berbagai kebijakan EU seperti RED II ILUC dan kebijakan anti deforestasi (Deforestation-Free Supply Chain) ditengarai merupakan upaya EU untuk mewujudkan sustainability baik melalui produksi maupun konsumsi.

Salah satu kebijakan EU yang penting untuk menuju sustainable consumption and production adalah European Green Deal (EGD), termasuk di dalamnya kebijakan New Circular Economy Action Plan. Dengan kebijakan tersebut diharapkan proses produksi barang/jasa di EU semakin berkelanjutan. Demikian juga masyarakat konsumen diharapkan mengkonsumsi produk yang makin sustainable (Appunn, 2021; CBI Ministry of Foreign Affairs, 2021). Berbagai kebijakan EU seperti RED II ILUC dan kebijakan anti deforestasi (Deforestation-Free Supply Chain) ditengarai merupakan upaya EU untuk mewujudkan sustainability baik melalui produksi maupun konsumsi.

Konsep sustainability menyangkut tiga aspek yakni aspek ekonomi (prosperity), sosial (people), dan lingkungan (planet). Oleh karena itu, suatu produk dikategorikan sebagai produk yang sustainable jika proses produksinya sustainable secara ekonomi, sustainable secara sosial, dan sustainable secara lingkungan.

Minyak nabati merupakan salah satu produk pangan yang dikonsumsi masyarakat EU. Minyak nabati yang dikonsumsi sebagian dihasilkan di daratan EU, dan sebagian lainnya diimpor dari luar kawasan EU. Empat jenis minyak nabati utama dunia yang juga dikonsumsi di EU yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari.

Dilihat dari sustainability aspek lingkungan, keempat jenis minyak nabati mana yang secara relatif lebih sustainable atau lebih unsustainable? Terkait dengan kebijakan EGD tersebut, apakah konsumsi minyak nabati di EU telah mengkonsumsi minyak nabati yang lebih sustainable?

Tulisan dalam artikel ini akan mendiskusikan pertanyaan empiris tersebut. Bagaimana sustainability relatif dari keempat jenis minyak nabati tersebut berdasarkan aspek lingkungan? Apakah pola konsumsi minyak nabati EU telah mengarah pada pola konsumsi yang sustainable yakni mengkonsumsi minyak nabati yang secara relatif lebih sustainable?

 Dalam artikel ini aspek sustainability hanya dilihat dari segi lingkungan. Dengan indikator yakni deforestasi, biodiversity loss, emisi, dan polusi yang dihasilkan pada proses produksi empat jenis minyak nabati utama yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Keempat minyak nabati tersebut merupakan minyak nabati utama dunia maupun bagi EU.

SUSTAINABILITY LINGKUNGAN MINYAK NABATI

Secara internasional, terdapat sekitar 17 jenis sumber minyak nabati dunia yang diproduksi dan dikonsumsi baik sebagai bahan pangan maupun energi. Namun, dari ketujuh belas jenis minyak nabati tersebut, hanya terdapat empat jenis minyak nabati utama dunia yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Keempat jenis minyak nabati tersebut mencakup sekitar 90 persen volume produksi dan konsumsi minyak nabati dunia.

Keempat jenis minyak nabati utama tersebut memiliki produktivitas minyak yang berbeda. Rata-rata produktivitas kelapa sawit dalam menghasilkan minyaknya (CPO+CPKO) mencapai 4.3 ton per hektar. Sementara itu, produktivitas tanaman rapeseed, bunga matahari, dan kedelai dalam menghasilkan minyaknya berturut-turut hanya sebesar 0.7 ton per hektar, 0.52 ton per hektar, dan 0.45 ton per hektar.

Artinya produktivitas minyak per hektar minyak sawit sekitar 8-10 kali produktivitas ketiga minyak nabati lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit tidak hanya paling efisien dalam penggunaan lahannya tetapi juga paling tinggi produktivitas minyaknya (PASPI Monitor, 2021a).

Dalam kaitannya dengan sustainability lingkungan, keempat jenis minyak nabati utama tersebut dapat dianalisis dengan berbagai indikator adalah sebagai berikut. 

Pertama, Indeks Deforestasi. Berdasarkan studi jejak deforestasi global (Matthew, 1983; Walker, 1993; Horughton, 1996; Egli, 2001; Bhattarai et al., 2001; FAO, 2012; Roser, 2012, European Commission, 2013; USDA, 2014; Keenan et al., 2015; Kaplan et al., 2017; Sabatini et al., 2018; Barredo et al., 2021; PASPI Monitor, 2021c) mengungkapkan bahwa hampir seluruh daratan di permukaan planet bumi terkait deforestasi yang terjadi di masa lalu.

Oleh karena itu, ekspansi setiap jenis minyak nabati dimana saja termasuk di Eropa pada masa lalu, tetap terkait dengan deforestasi. Sehingga isunya bukan lagi terkait atau tidak terkait dengan deforestasi, melainkan jenis minyak nabati mana yang secara relatif lebih hemat atau lebih boros deforestasi.

sustainable minyak nabati
Figure 1. Deforestation Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils

Berdasarkan kebutuhan lahan untuk menghasilkan setiap ton minyak nabati, dapat dibuat suatu indeks deforestasi setiap jenis minyak nabati (Gambar 1). Deforestasi per ton minyak nabati paling rendah adalah minyak sawit. Kemudian disusul minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Sedangkan jenis minyak nabati paling rakus deforestasi adalah minyak kedelai.

Kedua, Biodiversity Loss. Studi Beyer et al., (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) tentang komparasi biodiversity loss global antar minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi menjadi tanaman minyak nabati. Studi tersebut mengukur indikator jejak (footprint) Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan sebagai ukuran biodiversity loss (Gambar 2).

Figure 2. Index Species Richness Loss SRL of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils
Figure 2. Index-Species Richness Loss (SRL) of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils

Hasil studi menggunakan SRL minyak sawit sebagai pembanding dan mengungkapkan bahwa SRL minyak kedelai 284 persen diatas SRL minyak sawit, SRL minyak rapeseed 79 persen diatas SRL minyak sawit, dan SRL minyak bunga matahari 44 persen diatas SRL minyak sawit. Artinya dengan SRL sebagai indikator biodiversity loss menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang paling rendah biodiversity loss-nya. Sementara, minyak nabati yang paling besar biodiversity loss-nya adalah minyak kedelai (PASPI Monitor, 2021e)

Hal yang menarik dari studi tersebut juga menunjukkan bahwa SRL masing-masing negara produsen minyak nabati utama dunia juga berbeda-beda (Beyer dan Rademacher, 2021). Untuk produsen minyak sawit, SRL di Indonesia, Malaysia, dan Thailand lebih rendah dibandingkan dengan SRL minyak sawit di Nigeria. Untuk minyak kedelai, SRL Brazil dan Argentina jauh lebih tinggi dibandingkan SRL minyak kedelai Amerika Serikat dan India.

Sementara untuk minyak rapeseed, SRL yang paling rendah di Kanada dan Jerman, sedangkan SRL minyak rapeseed tertinggi di India dan Australia. Untuk minyak bunga matahari, SRL terendah di Perancis dan Amerika Serikat. Kemudian disusul Rusia, Ukraina, dan China.

Ketiga, Emisi Karbon. Pengaitan produksi minyak nabati termasuk minyak sawit terhadap emisi karbon juga menjadi isu lingkungan global. Studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) menemukan bahwa pada level ekosistem global, kebun kelapa sawit dunia adalah penghasil minyak nabati paling rendah emisinya dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya (Gambar 3).

Figure 3. Carbon Emission Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils
Figure 3. Carbon Emission Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils

Dibandingkan dengan emisi karbon kebun kelapa sawit untuk setiap liter minyak sawit, emisi minyak kedelai 425 persen lebih tinggi, emisi minyak rapeseed 242 persen lebih tinggi, emisi minyak bunga matahari 225 persen lebih tinggi, emisi minyak kacang tanah 424 persen lebih tinggi, emisi minyak kelapa 337 persen lebih tinggi, dan emisi minyak olive/zaitun 342 persen lebih tinggi.

Dengan demikian, untuk indikator emisi terendah minyak nabati dari ranking terendah hingga tertinggi adalah minyak sawit, minyak biji bunga matahari, minyak rapeseed, minyak zaitun/olive, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak kacang tanah (PASPI Monitor, 2021f).

Pada level negara produsen minyak nabati juga menarik untuk didiskusikan. Emisi karbon minyak sawit untuk seluruh negara produsen minyak sawit dunia (kecuali Nigeria) lebih rendah dari seluruh emisi negara-negara produsen minyak nabati dunia. Indonesia, Malaysia, dan Thailand merupakan produsen minyak sawit yang paling rendah emisi karbonnya.

Emisi minyak kedelai paling rendah berasal dari India. Untuk minyak rapeseed, emisi paling rendah di Perancis dan Kanada. Sedangkan untuk negara produsen minyak bunga matahari dengan emisi terendah dari Amerika Serikat.

Keempat, Indeks Carbon Sink. Indeks ini mengukur kemampuan jenis tanaman minyak nabati dalam menyerap karbondioksida dari atmosfir bumi (fotosintesis) dan menyimpannya dalam biomassa tanaman baik yang berada di atas maupun di bawah tanah (carbon sequestration).

Karakteristik tanaman tahunan (perenial plant) dengan lifespan selama 25-30 tahun dan struktur batang berkayu dengan diameter yang relatif besar dan tinggi membuat perkebunan kelapa sawit memiliki fungsi sebagai “paru- paru” ekosistem planet bumi (carbon sink) dengan kapasitas yang cukup besar (PASPI Monitor, 2021b). Kemampuan perkebunan kelapa sawit tersebut lebih besar dibandingkan kemampuan carbon sink tanaman minyak nabati lainnya yang merupakan tanaman semusim dan bukan kayu.

Figure 4. Carbon Sink Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils
Figure 4. Carbon Sink Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils

Kelima, Polusi Tanah/Air. Dampak proses produksi minyak nabati pada polusi tanah dan air juga menjadi sorotan masyarakat khususnya NGO lingkungan, karena berdampak pada kehidupan ekosistem teritorial dan perairan. Penggunaan teknologi pupuk dan pestisida pada proses budidaya menghasilkan residu pupuk dan pestisida baik pada tanah maupun air.

Figure 5. Pollutant Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils
Figure 5. Pollutant Index of Palm Oil Versus Other Vegetable Oils

Berdasarkan FAO (1996) untuk setiap ton minyak nabati yang dihasilkan tanaman minyak sawit menghasilkan polutan nitrogen sebesar 5 kilogram, polutan phosphor sebesar 2 kilogram, dan polutan pestisida 0.4 kilogram. Sedangkan produksi satu ton minyak rapeseed menghasilkan 10 kilogram polutan nitrogen sebesar, 13 kilogram polutan phosphor, dan 9 kilogram polutan pestisida. Sumber minyak nabati yang paling besar menghasilkan polutan adalah kedelai.

Untuk memproduksi setiap ton minyak nabati, tanaman minyak kedelai menghasilkan polutan nitrogen sebesar 32 kilogram, polutan phosphor sebesar 23 kilogram, dan polutan pestisida 23 kilogram. Jika diperbandingkan indeks polutan pada ketiga jenis minyak nabati (Gambar 5), minyak sawit relatif hemat menghasilkan polutan air/tanah dari penggunaan pupuk dan pestisida (PASPI Monitor, 2021d).

Dengan demikian berdasarkan kelima indikator sustainability lingkungan di atas, minyak nabati yang secara relatif lebih sustainable adalah minyak sawit. Minyak sawit secara relatif lebih sustainable dibandingkan minyak nabati lain untuk indikator deforestasi, biodiversity loss, emisi, carbon sink, maupun polutan. Sedangkan minyak nabati yang secara relatif paling tidak sustainable adalah minyak kedelai.

KOMPOSISI KONSUMSI MINYAK NABATI EU

Apakah dengan kebijakan EGD telah mengarahkan konsumsi masyarakat Uni Eropa pada minyak nabati yang secara relatif sustainable secara lingkungan? Hal ini dapat dilihat dari pola konsumsi minyak nabati EU. Perkembangan komposisi konsumsi minyak nabati utama EU dalam periode 2000-2021 ditunjukkan pada Gambar 6.

Figure 6. Composition of Top 4 Vegetable Oils Consumption in the EU
Figure 6. Composition of Top-4 Vegetable Oils Consumption in the EU

Dalam 20 tahun terakhir (2000-2021), komposisi konsumsi minyak nabati EU telah mengalami perubahan. Pangsa minyak sawit mengalami peningkatan dari 24 persen menjadi 29 persen. Demikian juga dengan pangsa minyak rapeseed yang naik dari 34 persen menjadi 38 persen.

Sementara itu, pangsa minyak kedelai turun dari 19 persen menjadi 11 persen. Sedangkan pangsa minyak bunga matahari cenderung stabil yakni sebesar 22 persen.

 Dengan komposisi konsumsi minyak nabati EU tersebut, pangsa minyak nabati yang secara relatif lebih tidak sustainable secara lingkungan (minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari) masih dominan dengan pangsa sebesar 71 persen pada tahun 2021. Sementara minyak nabati yang secara relatif lebih sustainable secara lingkungan yakni minyak sawit, memiliki porsi nya relatif kecil berkisar 24-29 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa kebijakan EGD Uni Eropa yang bertujuan mengarahkan produksi dan konsumsi masyarakat EU yang makin sustainable belum tercermin dalam konsumsi minyak nabati EU.

 Inkonsistensi kebijakan EGD dengan pola konsumsi minyak nabati EU makin terlihat dengan sejumlah kebijakan/inisiatif yang menyertai EGD tersebut. Mulai dari kebijakan “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free”, kebijakan RED II ILUC yang mem-phase out biodiesel sawit dari EU (PASPI Monitor, 2019) hingga kebijakan Deforestation-Free Supply Chain (PASPI Monitor, 2022) yang motifnya adalah menyingkirkan minyak sawit, justru kontraproduktif dengan tujuan kebijakan EGD tersebut. Tampaknya para perancang kebijakan EGD Uni Eropa gamang bahkan decoupling dengan empirical evidence aspek lingkungan dari jenis-jenis minyak nabati yang dikonsumsi masyarakat EU.

Kesimpulan

Lima indikator yang digunakan untuk mengukur sustainability lingkungan secara relatif antar minyak nabati utama dunia adalah yakni deforestasi, biodiversity loss, emisi, carbon sink, dan polutan. Minyak sawit secara relatif lebih sustainable secara lingkungandibandingkan dengan minyak nabati lain. Sedangkan jenis minyak nabati yang secara relatif paling tidak sustainable adalah minyak kedelai.

Kebijakan EGD Uni Eropa yang bertujuan mengarahkan produksi dan konsumsi masyarakat EU pada komoditas/produk yang makin sustainable. Namun tujuan kebijakan tersebutbelum tercermin dalam konsumsi minyak nabati EU. Sebagian besar minyak nabati yang dikonsumsi masyarakat EU bukanlah minyak nabati yang relatif sustainable secara lingkungan, seperti minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari.

Inkonsistensi kebijakan EGD dengan pola konsumsi minyak nabati EU makin terlihat dengan sejumlah kebijakan/inisiatif yang menyertai EGD tersebut. Mulai dari kebijakan “No Palm Oil” atau “Palm Oil Free”, kebijakan RED II ILUC hingga kebijakan Deforestation-Free Supply Chain yang motifnya adalah menyingkirkan minyak sawit, justru kontraproduktif dengan tujuan kebijakan EGD tersebut.

Daftar Pustaka

FAQ (Frequently Asked Question)

Apa itu pertumbuhan berkelanjutan (sustainable growth)?

Bagaimana Uni Eropa (European Union/EU) mewujudkan pertumbuhan berkelanjutan?

Apa itu European Green Deal (EGD) dan bagaimana kebijakannya diterapkan?

Apakah minyak nabati merupakan produk yang dikonsumsi masyarakat EU?

Bagaimana cara mengkategorikan produk sebagai produk yang sustainable?

Apa saja indikator yang digunakan untuk menentukan sustainability dari suatu produk?

Apakah kebijakan EU saat ini sudah cukup untuk mencapai sustainable consumption and production?

Bagaimana aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan saling terkait dalam konsep sustainability?

Apakah konsumsi minyak nabati di EU sudah mengarah pada pola konsumsi yang sustainable?

Bagaimana cara meningkatkan sustainability dalam proses produksi dan konsumsi suatu produk?

Download Journal

Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x