Pada tahun 2020, WHO menetapkan status pandemi akibat kasus positif Covid-19 yang terus meningkat dan semakin luasnya penyebaran virus hingga di 215 negara. Selain menelan ratusan ribu korban jiwa, virus Covid-19 beserta kebijakan dalam rangka meminimalisir penyebaran virus yang masif juga berdampak pada aktivitas sosial ekonomi seluruh manusia di dunia. Salah satu sektor yang terdampak adalah perdagangan ekspor-impor produk sawit. Penurunan kinerja perdagangan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi neraca perdagangan RI, mengingat produk tersebut termasuk kedalam produk unggulan ekspor Indonesia yang juga memberikan kontribusi besar dalam neraca perdagangan.

Hal tersebut terkonfirmasi dari menurunnya volume ekspor minyak sawit dan produk olahannya Indonesia dari 20.73 juta ton pada periode Januari-Juli tahun 2019 menjadi 18.63 juta ton pada periode yang sama tahun 2020.  Penurunan volume ekspor produk sawit terbesar pada periode tersebut dibandingkan tahun sebelumnya terjadi pada negara tujuan China sebesar 1.64 juta ton (38.7 persen). Hal ini merupakan dampak dari penurunan permintaan industri-industri pengguna minyak sawit di negara tersebut akibat pandemi Covid-19, mengingat China merupakan negara yang pertama kali mengalami outbreak. Selain itu, penurunan ekspor RPO ke China juga disebabkan karena peningkatan aktivitas crushing kedelai yang cukup besar sehingga pasokan minyak kedelai China mengalami peningkatan yang artinya permintaan minyak sawit mengalami penurunan. Sementara itu, volume ekspor produk sawit Indonesia ke negara lain seperti India, Pakistan dan Amerika Serikat justru mengalami peningkatan.

Sebaliknya, nilai ekspor atau devisa yang dihasilkan dari ekspor produk sawit Indonesia justru mengalami peningkatan dari USD 11.1 miliar menjadi USD 11.9 miliar pada periode yang sama. Peningkatan nilai ekspor produk sawit tersebut berasal dari peningkatan nilai ekspor CPO yang berkorelasi dengan meningkatnya harga CPO CIF Rotterdam. Selain itu, nilai ekspor produk oleokimia berbasis sawit juga mengalami peningkatan karena meningkatnya volume ekspor yang digunakan untuk memenuhi permintaan (impor) oleokimia akibat meningkatnya kebutuhan produk olahan oleokimia yakni produk surfaktan yang dibutuhkan pada masa pandemi seperti hand sanitizer, hand wash soap, sabun dll.

Besarnya devisa yang dihasilkan dari ekspor produk sawit juga mampu meningkatkan surplus neraca perdagangan sektor non migas sebesar USD 12.6 miliar. Surplus neraca perdagangan non migas juga mampu meningkatkan surplus total neraca perdagangan RI sebesar USD 8.7 miliar, sementara itu neraca perdagangan migas mengalami defisit 3.8 milyar. Hal ini menunjukkan bahwa produk sawit mampu menjadi pahlawan yang menghasilkan devisa ekspor sehingga mampu menyehatkan neraca perdagangan RI.

Dari sisi permintaan agregat, injeksi “darah segar” dari devisa sawit tersebut dalam perekonomian akan menambah permintaan aggregat sehingga akan menambah daya untuk meningkatkan konsumsi maupun investasi dalam negeri. Sementara itu, dari sisi penawaran agregat diharapkan “mesin ekonomi” kebun sawit di pelosok pedesaan dapat berputar makin cepat dan mampu menulari “mesin ekonomi” perkotaan yang mengalami perlambatan rotasi berputar akibat pandemi. Kilauan devisa sawit yang dihasilkan dari daerah sentra sawit tersebut yang merupakan “darah segar baru”, akan menjadi kekuatan penting untuk mencegah dan menarik ekonomi keluar dari resesi ekonomi.