Maraknya kampanye negatif dengan menggunakan isu lingkungan dan sosial yang menyerang industri sawit memunculkan tuntutan konsumen global terkait terpenuhinya sertifikasi keberlanjutan untuk produk sawit oleh produsen. Sertifikasi keberlanjutan tersebut juga telah digunakan oleh negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat sebagai persyaratan untuk mengimpor minyak sawit maupun produk turunannya ke negara tersebut.

Dalam sejarah pertanian khususnya k omoditas minyak nabati global, baru minyak sawit yang diharuskan memiliki sertifikasi keberlanjutan. Padahal dengan memahami konsep multifunction agriculture, minyak sawit memiliki fungsi ekonomi, fungsi sosial budaya dan fungsi pelestarian alam sehingga terjamin sustainability-nya. Meskipun terkesan mendiskriminasi sawit, namun untuk mengakomodir tuntutan konsumen global dan negara importir, maka dibentuklah berbagai sistem sertifikasi keberlanjutan minyak sawit, salah satunya yang berlaku di Indonesia adalah Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sejak dikembangkan pada tahun 2009 hingga kini, ISPO memiliki aturan yaitu Peraturan Menteri Pertanian No. 19/2011 yang diganti menjadi Peraturan Menteri Pertanian No. 11/2015. Realisasi hingga Juni tahun 2020 menunjukkan bahwa hanya sekitar 27 persen luas areal kebun sawit Indonesia yang telah tersertifikasi ISPO. Bahkan proporsi kebun sawit rakyat yang tersertifikasi ISPO sangat kecil yakni hanya sebesar 0.21 persen. Hal ini juga menunjukkan bahwa adanya hambatan yang dihadapi oleh pelaku usaha perkebunan dalam memenuhi indikator untuk budidaya sawit yang berkelanjutan.

Perayaan ulangtahun ISPO yang ke-11 pada tahun 2020 ini, juga diwarnai juga dengan diterbitkannya Peraturan Presiden No. 44/2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Perpres ISPO ini tidak merevisi atau menggantikan Permentan 11/2015, namun dibuat untuk melengkapi dan menyempurnakan peraturan yang telah ada sebelumnya sekaligus untuk mengakomodir dinamika pasar global dan meningkatkan adopsi nilai-nilai SDGs. Selain tujuan yang semakin komprehensif, terdapat perbedaan lain yang cukup mendasar seperti: prinsip ISPO, kelembagaan ISPO, mandatori ISPO bagi pekebun sawit rakyat, bantuan pendanaan dan kewenangan lembaga sertifikasi.

Meskipun Perpres ISPO sudah relatif komprehensif, namun konsep sustainability yang diadopsi dalam ISPO (maupun sistem sertifikasi berkelanjutan lainnya) masih memiliki beberapa kelemahan yang berpotensi menghambat terwujudnya visi industri sawit yang berkelanjutan. Adapun beberapa hal yang dapat dikritisi dari konsep sustainability tersebut adalah sebagai berikut: (1) konsep keberlanjutan yang absolut; (2) sustainability yang tersekat-sekat (divisiability); (3) belum meng-cover produk olahan berbasis sawit; (4) belum meng-cover isu tracebility dan supply chain mechanism; (5) pekebun sawit rakyat yang terancam phase out; (6) hambatan implementasi kemitraan perusahaan dan masyarakat; (7) kurangnya sinergi dengan kebijakan pemerintah; dan (8) consumer’s willingness to pay rendah terhadap produk minyak sawit yang berkelanjutan.

Dengan demikian, diharapkan para stakeholder khususnya Pemerintah Indonesia dapat menganalisis lebih lanjut poin-poin yang telah dikritisi tersebut dan kemudian mengakomodirnya dalam bentuk peraturan teknis (misal peraturan menteri) sebagai pedoman teknis pelaksanaan sertifikasi ISPO untuk mewujudkan industri sawit nasional yang semakin lestari dan berkelanjutan, berdaya saing dan diterima oleh pasar nasional maupun global.