Back to Top
Rating & Comment

ANCAMAN RESESI EKONOMI DUNIA 2022-2023 DAN DAMPAKNYA PADA INDUSTRI SAWIT

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Pendahuluan

International Monetary Fund (IMF) merilis laporan World Economic Outlook: War Sets Back the Global Recovery padabulan April 2022. Laporan tersebut memperingatkan seluruh negara di dunia akan adanya ancaman inflasi dan resesi ekonomi dunia pada tahun 2022/2023. IMF pun mengoreksi angka proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun 2022 hampir 50 persen dari proyeksi tahun 2021.

Pada saat yang bersamaan, World Bank juga telah merilis laporan yang berjudul Commodity Markets Outlook: The Impact of the War in Ukraine on Commodity Markets. Laporan tersebut mengungkapkan kenaikan harga-harga komoditas dunia yang diperkirakan terjadi hingga tahun 2024. Kenaikkan harga tersebut salah satunya disebabkan oleh dampak perang Rusia-Ukraina.

Dengan kedua laporan tersebut, seluruh negara harus melakukan langkah mitigasi atas ancaman inflasi dan resesi (stagflasi). Ekonomi dunia yang baru saja mulai pulih dari Pandemi Covid-19, harus kembali menghadapi tantangan baru yakni resesi ekonomi dunia.

Industri sawit sebagai bagian dari perekonomian global juga tidak dapat terlepas dari ancaman resesi global tersebut. Industri sawit terintegrasi dengan perekonomian global baik dari segi pasar input maupun pasar output yang dihasilkan. Dari segi input, industri sawit dipengaruhi oleh dinamika pasar bahan baku pupuk dunia seperti gas, urea, rock phosphate, pottasium dan lainnya.

Sedangkan dari segi output, meskipun masyarakat dunia tergantung pada industri sawit (Shigetomi, et. al. 2020) sebagai bagian feeding the world (PASPI Monitor, 2021a) dan biofuelling the world (PASPI Monitor, 2021b), namun industri sawit juga tergantung pada daya beli masyarakat dunia.

Tulisan dalam artikel jurnal ini akan mendiskusikan bagaimana ancaman inflasi dan resesi global terjadi. Selanjutnya akan didiskusikan terkait dampaknya pada industri sawit serta mitigasi yang perlu dilakukan.

DISRUPSI SUPPLY, INFLASI DAN RESESI GLOBAL

Setelah negara-negara dunia berjuang melawan Pandemi Covid-19 pada tahun 2020, perekonomian dunia mengalami pemulihan dengan mencatatkan pertumbuhan yang positif pada tahun 2021. Namun baru beberapa bulan berjalan di tahun 2022, ekspektasi positif pertumbuhan ekonomi global yang diperkirakan lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, harus kembali terkoreksi setelah invasi Rusia ke Ukraina pada 24 Februari 2022.

Terdapat beberapa variabel yang menyebabkan disrupsi supply barang global sehingga memicu cost push inflation maupun resesi dunia yang terjadi tahun 2022 dan dampaknya terus berlanjut ke tahun 2023-2024. Empat variabel diataranya yakni Perang Rusia-Ukraina, gangguan global supply chain akibat Pandemi Covid-19, lockdown China sebagai bagian dari Zero Covid Policy, dan anomali iklim.

Perang Rusia-Ukraina beserta embargo ekonomi yang menyertainya dinilai menjadi pemicu terjadinya krisis pangan, inflasi tinggi dan resesi ekonomi dunia (IMF, 2022; World Bank, 2022). Bahkan Eropa memandang bahwa perang Rusia-Ukraina merupakan future shock terbesar dan berdampak luas bagi komunitas global (European Parlement, 2022).

Peran Rusia-Ukraina dalam energi, pupuk dan pangan khususnya bagi kawasan Eropa dan Asia cukup besar (Aslund, 2020). Dalam pasar energi dunia, Rusia merupakan produsen kedua terbesar dunia untuk gas alam dengan pangsa 17 persen bahkan menguasai 20 persen perdagangan gas alam dunia. Sedangkan dalam produksi minyak bumi, Rusia termasuk produsen ketiga terbesar dengan pangsa 12 persen.

Peran Rusia juga cukup besar dalam industri pupuk dunia. Pangsa Rusia dalam pupuk nitrogen dunia mencapai 15-20 persen, 17 persen dalam pupuk potashium dunia dan secara keseluruhan pangsa Rusia pada pupuk dunia mencapai 13-16 persen. Demikian juga dalam pangan global, peran Rusia-Ukraina juga besar dengan menguasai sekitar 34 persen gandum dunia, 17 persen jagung dunia, dan 55-81 persen minyak biji bunga matahari dunia.

Meskipun banyak negara di dunia relatif berhasil dalam mengatasi Pandemi Covid-19, namun dampaknya pada supply chain barang global masih terjadi. Perubahan skedul produksi, kekurangan peti kemas dan gangguan lalu lintas kapal secara internasional, masalah ketersediaan tenaga kerja, karantina dan lainnya, masih mengganggu produksi dan pasokan barang secara internasional.

Merebaknya kembali varian baru Covid di China telah memaksa negara tersebut untuk kembali melakukan lockdown di beberapa kota. Kebijakan Zero Covid yakni Find, Test, Trace, Isolate, Support (FTTIS) yang diterapkan pemerintah China (bukan hidup berdampingan dengan Covid) menyebabkan penutupan sementara arus keluar masuk manusia dan barang dari dan ke China. Kebijakan Zero Covid tersebut juga turut mempengaruhi rantai pasok barang global secara keseluruhan. Hal ini dikarenakan China memiliki peran yang sangat besar dalam rantai pasok barang global.

Adanya disrupsi supply secara global tersebut telah memicu terjadinya shortage, peningkatan biaya produksi barang global (cost push inflation) dan penurunan pertumbuhan ekonomi global.

Koreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi global pun terpaksa dilakukan IMF. Laju pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2021 yang mampu mencapai 6.1 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi tahun 2022 diproyeksikan terkoreksi hampir 50 persen yakni hanya menjadi sekitar 3.6 persen (Tabel 1).

resesi ekonomi dunia
Table 1. Projected Global Economic Growth and Inflation in Several Regions/Countries in 2021-2023

Rusia yang menyulut perang dengan melakukan invasi ke Ukraina, menikmati pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021 sebesar 4.7 persen dan diproyeksikan mengalami pertumbuhan negatif tahun 2022 (-8.5 persen) maupun tahun 2023 (-2.3 persen).

Lima kawasan/negara yang menjadi lokomotif utama ekonomi dunia selama ini yakni Eropa, USA, China dan India, yang berhasil mencatat pertumbuhan ekonomi tinggi pada tahun 2021, diproyeksikan mengalami penurunan pertumbuhan yang drastis pada tahun 2022. Bahkan rendahnya tingkat pertumbuhan masih berlanjut hingga tahun 2023 dan belum juga pulih dengan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021.

Hal yang menarik adalah ASEAN-5 termasuk didalamnya Indonesia. Setelah tumbuh positif sebesar 3.4 persen tahun 2021, pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 diproyeksikan justru mengalami pertumbuhan yang makin tinggi yakni sebesar 5.4 persen (2022) dan 6 persen (2023). Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021 yang mencapai 3.7 persen, diproyeksikan akan mampu mencatat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari rata-rata ASEAN-5 dan dunia yakni sebesar 5.4 persen (2022) dan 6 persen (2023).

Proyeksi penurunan pertumbuhan ekonomi global tersebut juga disertai dengan peningkatan laju inflasi. Secara internasional, laju inflasi tahun 2021 sebesar 3.1 persen di negara-negara maju dan 5.9 persen di negara-negara berkembang. Laju inflasi tersebut diproyeksikan meningkat pada tahun 2022 menjadi 5.7 persen di negara maju dan 8.7 persen di negara berkembang.

Eropa dan USA akan mengalami laju inflasi yang lebih tinggi dari laju inflasi yang pernah dialami dalam 20 tahun terakhir. Laju inflasi Europa diproyeksikan naik dari 4.9 persen tahun 2021 menjadi 12.6 tahun 2022 dan 7.8 persen tahun 2023. Sementara laju inflasi USA yang tahun 2021 masih 4.7 persen, diproyeksikan meningkat menjadi 7.7 persen tahun 2022 dan kemudian menurun menjadi 2.9 persen tahun 2023.

Dengan demikian, secara keseluruhan ekonomi dunia sedang berada dalam pusaran resesi ekonomi yang disertai laju inflasi tinggi atau kondisi stagflasi. Suatu kondisi yang tidak mudah mengatasinya. Kebijakan ekspansi fiskal dan moneter yang diperlukan untuk keluar dari resesi justru dapat menyulut laju inflasi yang lebih tinggi. Sebaliknya kebijakan kontraktif fiskal dan moneter yang biasanya efektif untuk meredam inflasi, justru berpotensi semakin menjerumuskan ekonomi global ke jurang resesi yang lebih dalam.

DAMPAK PADA INDUSTRI SAWIT

Industri sawit global yang merupakan bagian integral dari perekonomian global tentu tidak bisa terlepas dari kondisi stagflasi tersebut. Ekonomi global mempengaruhi industri sawit baik dari segi output yang dihasilkan, input yang digunakan dan kebijakan yang akan dikeluarkan setiap negara dalam merespon kondisi stagflasi tersebut.

Pertama, industri sawit yang sebagian besar produksinya ditujukan untuk pasar dunia (ekspor) akan menghadapi penurunan daya beli secara internasional baik karena resesi ekonomi (Tabel 1) maupun kenaikan harga minyak sawit dunia itu sendiri (Tabel 2).

Kawasan Eropa, India, China merupakan kawasan yang memiliki lebih dari separuh penduduk dunia merupakan pasar utama minyak sawit. Pada tahun 2022 dan 2023, kawasan tersebut akan mengalami pelemahan daya beli per kapita sebagai akibat kombinasi dari resesi dan inflasi tinggi secara global. Namun, mengingat minyak sawit merupakan bagian dari bahan pangan pokok, dimana konsumsinya lebih dipengaruhi oleh jumlah penduduk daripada pengaruh pendapatan (Kojima, 2016), maka diperkirakan konsumsi minyak sawit total di kawasan tersebut tidak akan mengalami penurunan yang signifikan.

Kawasan emerging market bagi industri sawit yakni kawasan Sub Sahara Africa, Middle East and North Africa, yang umumnya merupakan negara dengan berpendapatan relatif rendah, diperkirakan mengalami penurunan daya beli termasuk pada minyak sawit pada tahun 2023. Kawasan ini diperkirakan selain mengalami resesi ekonomi, juga akan mengalami laju inflasi yang relatif tinggi bahkan tertinggi dibandingkan kawasan lain. Kondisi ini menyebabkan semakin menggerus daya beli secara signifikan dan berdampak pada penurunan konsumsi minyak sawit.

Kawasan ASEAN-5 termasuk Indonesia, merupakan kawasan produksi sekaligus konsumsi minyak sawit terbesar di dunia. Berbeda dengan kawasan negara yang lain, kawasan ASEAN-5 diproyeksikan tahun 2022-2023 tidak mengalami resesi melainkan menikmati pertumbuhan yang lebih tinggi (booming) disertai dengan laju inflasi yang moderat. Hal ini memungkinkan terjadinya peningkatan konsumsi minyak sawit di kawasan ASEAN-5.

Bahkan dengan booming pertumbuhan ekonomi pada kawasan ini (khususnya di Indonesia) berpeluang besar untuk meningkatkan konsumsi minyak sawit yang lebih besar dengan perluasan penggunaan minyak sawit domestik, baik untuk mensubsitusi bahan bakar fosil maupun petrokimia yang harganya semakin mahal secara internasional.Kedua, selain dari segi output, industri sawit dalam kondisi inflasi tinggi dan resesi ekonomi dunia menghadapi kenaikan harga input baik bahan baku pupuk maupun produk pupuk itu sendiri (Tabel 2).

Table 2. Projection Of Input Prices and Global Palm Oil Prices in 2022–2024
Tabel 2. Proyeksi Harga Input dan Harga Minyak Sawit Dunia Periode Tahun 2022-2024

Harga minyak mentah (crude oil) dan gas (sebagai bahan baku pupuk urea) serta harga pupuk (DAP, Phosphat Rock, Pothasium Chloride, TSP, Urea) pada tahun 2022 diperkirakan naik sebesar 33-147 persen. Harga-harga tersebut diperkirakan sedikit menurun pada tahun 2023 dan 2024, namun level harganya masih diatas level harga tahun 2021. Sementara itu, harga minyak sawit dunia juga mengalami kenaikan sekitar 46 persen tahun 2022 dan diperkirakan mengalami penurunan pada tahun 2023 dan 2024.

Mengingat pupuk merupakan komponen biaya produksi terbesar pada produksi perkebunan sawit, kenaikan harga-harga pupuk tersebut akan ditransmisikan pada kenaikan biaya produksi (cost per unit). Kenaikan biaya produksi diperkirakan lebih tinggi dibanding kenaikan harga minyak sawit sehingga menyebabkan margin minyak sawit makin rendah pada periode tahun 2023-2024.

Kenaikan harga pupuk tersebut akan menurunkan penggunaan pupuk pada perkebunan sawit sehingga akan berdampak pada produktivitas minyak pada 6-24 bulan kemudian. Langkah-langkah untuk meningkatkan efektifitas pemupukan dan inovasi subsitusi pupuk anorganik dengan pupuk organik/biofertilizer lokal akan dapat mengurangi kenaikan biaya produksi perkebunan sawit dan mencegah penurunan produktivitas.

Ketiga, untuk menghadapi perekonomian dunia yang stagflasi dan untuk meredam laju inflasi yang sedang terjadi, Bank Sentral seperti The Fed (USA) dan ECB (EU) akan menerapkan kebijakan uang ketat (Tight Money Policy) dengan menaikkan tingkat suku bunga Bank Sentral. Kebijakan ini akan mendorong kenaikan suku bunga kredit dari perbankan sehingga cost of money dan biaya investasi pada industri sawit juga akan semakin mahal. Hal ini juga akan berkontribusi pada peningkatan biaya produksi industri minyak sawit.

Dengan demikian, industri sawit akan menghadapi berbagai risiko strategis yang semakin menguat dalam dua tahun kedepan. Penurunan daya beli negara-negara importir minyak sawit akibat resesi ekonomi dan kenaikan biaya produksi akibat inflasi global. Di sisi lain, peluang juga terbuka lebar bagi industri sawit khususnya di kawasan ASEAN-5. Peningkatan penyerapan minyak sawit di pasar domestik pada negara-negara kawasan ASEAN-5 yang diperkirakan menikmati economic booming dalam 3 tahun kedepan merupakan peluang yang dapat dimanfaatkan.

Kesimpulan

Dalam tiga tahun kedepan (2022-2024), perekonomian dunia diperkirakan akan mengalami resesi ekonomi dan disertai dengan laju inflasi (stagflasi). Secara internasional, akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat dunia.

Kawasan Eropa, India, China, Sub Sahara Afrika, Afrika Utara yang merupakan pasar utama minyak sawit, akan mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dan laju inflasi yang relatif tinggi. Kondisi ini menyebabkan terjadinya penurunan daya beli pada negara-negara importir minyak sawit akibat resesi ekonomi dan kenaikan biaya produksi sebagai dampak dari tingginya inflasi global.

Namun peluang juga terbuka bagi industri sawit khususnya di kawasan ASEAN-5. Negara-negara dalam kawasan ASEAN-5, khususnya Indonesia, diproyeksikan mengalami economic booming dengan laju inflasi yang moderat.

Meningkatkan penyerapan minyak sawit di pasar domestik pada negara-negara kawasan ASEAN-5 seperti subsitusi bahan bakar fosil dengan biofuel sawit dan subsitusi petrokimia dengan oleokimia sawit, berpeluang besar untuk dikembangkan dalam 3 tahun kedepan.

Ke depan, resiko ketidakpastian global makin dinamis tergantung pada perang Rusia-Ukraina, Zero-Covid Policy di China dan munculnya varian Covid baru (Pandemi Covid). Oleh karena itu, kapabilitas dan fleksibilitas keputusan untuk memitigasinya perlu dibangun secara berkesinambungan pada industri sawit.

Daftar Pustaka

  • Aslund A, 2022. Russia’s War on Global Food Security. Policy Brief. Antlantic Council.
  • European Parlement. 2022. Future Shocks 2022: Addressing Risks and Building Capabilities. European Parliamentary Research Service with the Directorates-General for Internal Polices (IPOL) and External Policies (EXPO).
  • [IMF] International Monetary Fund. 2023. World Economic Outlook: War Sets Back the Global Recovery. WOE April 2022. International of Monetery Fund.
  • Kojima. 2016. A Global Demand Analysis of Vegetable Oils for Food Use and Industrial Use. Paper presentation at Agricultural and Applied Economic Association. Boston.
  • PASPI Monitor. 2021a. Contribution of Palm Oil Industry: Feeding the World. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(4): 299-304.
  • PASPI Monitor. 2021b. Palm Oil: Biofueling the World. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(6): 311-316.
  • Shigetomi Y, Shimura Y, Yamamoto Y. 2020. Trends in Global Dependency on the Indonesian Palm Oil and Resultant Environmental Impacts. Scientific Reports. 10:20624.
  • World Bank. 2022. Commodity Markets Outlook: The Impact of the War in Ukraine on Commodity Markets. World Bank Report. April 2022.