Kontribusi industri sawit sebagai sumber devisa ditunjukkan baik sebagai devisa ekspor maupun devisa subsitusi impor. Industri sawit menghasilkan devisa ekspor yang terus meningkat hingga mencapai USD 39 Miliar pada tahun 2022. Sedangkan devisa subsitusi impor dari pengembangan biodiesel sawit mampu menghemat devisa impor untuk solar fosil yang juga terus meningkat hingga mencapai USD 9.5 Miliar pada periode yang sama. Kombinasi keduanya mampu membuktikan kontribusi industri sawit dalam menciptakan surplus perdagangan Indonesia tahun 2022 yang semakin besar hingga memecahkan rekor tertinggi.
- Poin-poin utama Kontribusi Sawit sebagai Sumber Devisa Nasional
- Perkembangan Kontribusi Industri Sawit Sebagai Sumber Devisa Nasional
- Ekspor Produk Kelapa Sawit Sebagai Sumber Devisa
- Biodiesel Sawit Sebagai Sumber Devisa Subsitusi Impor Solar Fosil
- Kontribusi Industri Sawit Sebagai Sumber Devisa yang Memperbesar Surplus Perdagangan Indonesia.
- Kesimpulan
- Daftar Pustaka
- Download Jurnal
Poin-poin utama Kontribusi Sawit sebagai Sumber Devisa Nasional
- Kontribusi industri sawit sebagai sumber devisa dapat dilihat dari devisa ekspor produk sawit dan devisa subsitusi impor solar fosil.
- Minyak sawit dan produk turunannya merupakan sumber devisa yang mampu mencetak surplus besar bagi neraca perdagangan non-Migas.
- Larangan ekspor minyak sawit pada Mei 2022 menurunkan volume ekspor produk sawit, tetapi tidak mengurangi devisa ekspor. Bahkan, devisa ekspor produk sawit pada tahun 2022 meningkat dan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah industri sawit nasional.
- Pengembangan biodiesel sawit mampu memperkecil defisit neraca perdagangan Migas yang selalu negatif setiap tahun.
- Kemampuan industri sawit sebagai sumber devisa tersebut telah terbukti baik dalam menghadapi Pandemi Covid-19 tahun 2020 dan 2021, dinamika geopolitik tahun 2022, dan diharapkan dapat menjadi “benteng pertahanan” Indonesia dalam menghadapi resesi ekonomi global 2023-2024.
Perkembangan Kontribusi Industri Sawit Sebagai Sumber Devisa Nasional
Bagi negara berkembang (developing countries) seperti Indonesia, surplus perdagangan merupakan variabel penting untuk memperbesar kapasitas dan pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Surplus perdagangan diperoleh dari net ekspor yang positif yakni jika nilai ekspor lebih tinggi dibandingkan nilai impor.
Surplus perdagangan tersebut dapat digunakan untuk membiayai sektor-sektor ekonomi. Dampak lanjutannya adalah peningkatan “kue ekonomi” yang diterjemahkan dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja, peningkatan produksi barang/jasa, dan peningkatan pendapatan. Uraian di atas menunjukkan bahwa pentingnya suatu negara memiliki sektor unggulan yang mampu menciptakan surplus perdagangan dan menambah cadangan devisa.
Peran industri sawit sebagai sumber devisa bagi Indonesia telah banyak diungkapkan oleh berbagai studi empiris (World Growth, 2011; Rifin, 2012; Sipayung, 2018). Produk sawit merupakan komoditas pertanian ekspor terbesar bagi Indonesia selama dua dekade terakhir (Edwards, 2019). Terlebih sejak kebijakan perdagangan sawit Indonesia yang berorientasi ekspor pada tahun 2000, industri sawit mampu menjadi sumber devisa yang handal. Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dan sekitar 80 persen dari produksinya diekspor ke berbagai negara, industri sawit mampu menghasilkan devisa yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Selain ditujukan untuk pasar ekspor, perkembangan hilirisasi sawit domestik sebagai bagian dari strategi subsitusi impor mampu berkontribusi dalam penghematan devisa. Pengembangan biodiesel sawit dengan kebijakan mandatori biodiesel yang semakin intensif, berpotensi besar untuk semakin meningkatkan penghematan devisa impor solar.
Dengan kata lain, industri sawit menjadi sumber devisa, baik devisa hasil ekspor minyak sawit dan produk turunannya maupun penghematan devisa solar impor akibat implementasi kebijakan mandatori biodiesel. Kedua sumber devisa sawit tersebut berkontribusi secara signifikan pada perbaikan neraca perdagangan (trade account) Indonesia. Artikel dalam tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana kinerja industri sawit sebagai sumber devisa pada tahun 2022. Kinerja industri sawit tersebut juga akan terlihat pada pada neraca perdagangan Migas dan non-Migas yang akan bemuara pada neraca perdagangan Indonesia.
Ekspor Produk Kelapa Sawit Sebagai Sumber Devisa
Berbagai studi empiris telah menunjukkan secara eksplisit berkaitan kontribusi industri sawit sebagai sumber devisa bagi Indonesia. Devisa tersebut dihasilkan dari kegiatan ekspor produk sawit. Produk yang dimaksud mencakup minyak sawit mentah (CPO+CPKO), minyak sawit olahan RPO/RPKO (Refined Palm Oil/Refined Palm Kernel Oil) dan produk berbasis minyak sawit seperti biodiesel dan produk oleokimia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2023), devisa sawit dari kegiatan ekspor tersebut mengalami peningkatan signifikan yakni dari USD 23 Miliar tahun 2020 menjadi USD 39 Miliar pada tahun 2022 (Tabel 1). Perolehan devisa ekspor produk sawit tahun 2022 kembali memecahkan rekor tertinggi sepanjang sejarah industri sawit nasional. Sebelumnya rekor devisa sawit tertinggi tercatat pada tahun 2021 yakni dengan devisa mencapai USD 36.2 Miliar (PASPI Monitor, 2022a).
Tabel 1. Ekspor Sawit Indonesia dan Komposisinya Tahun 2020-2022
Komposisi Ekspor (Juta Ton) | Nilai (2020) | Persen (2020) | Nilai (2021) | Persen (2021) | Nilai (2022) | Persen (2022) |
---|---|---|---|---|---|---|
Crude (CPO + PKO) | 7.5 | 22.0 | 2.6 | 7.5 | 3.6 | 10.5 |
Refined (RPO + RPKO) | 22.6 | 66.5 | 27.6 | 79.9 | 25.7 | 75.8 |
Product Palm Oil Based (Biodiesel + Oleochemical) | 3.9 | 11.5 | 4.4 | 12.7 | 4.6 | 13.7 |
Total Volume Ekspor | 34.0 | 100.0 | 34.6 | 100.0 | 34.0 | 100.0 |
Total Nilai Ekspor (Miliar USD) | 23.0 | 100.0 | 36.2 | 100.0 | 39.0 | 100.0 |
Unit Ekspor value (USD/ton) | 675.4 | 1,046.9 | 1,147.1 |
Selain berhasil memecahkan rekor tertinggi, devisa ekspor tersebut juga dinilai lebih berkualitas. Devisa ekspor diperoleh dari volume ekspor yang lebih sedikit yakni 34 juta ton atau mengalami penurunan dibandingkan tahun 2021 yakni sebanyak 34.6 juta ton. Dengan volume ekspor yang menurun namun nilainya meningkat menunjukkan bahwa sumber pertumbuhan utama devisa ekspor sawit tersebut berasal dari perubahan kualitas produk yang makin didominasi produk olahan hasil hilirisasi sawit domestik (PASPI Monitor, 2021a) dan peningkatan harga ekspor.
Selama periode tahun 2020-2022, pangsa volume ekspor bahan mentah (CPO dan CPKO) mengalami penurunan dari sekitar 22 persen menjadi hanya 10.5 persen. Sebaliknya, pangsa ekspor produk olahan (RPO dan RPKO) meningkat dari 66.5 persen menjadi 75.8 persen. Demikian juga, pangsa produk akhir berbasis minyak sawit juga mengalami peningkatan yakni dari 11.5 persen menjadi 13.7 persen pada periode tahun tersebut.
Peningkatan harga ekspor menjadi faktor utama yang mendorong peningkatan nilai ekspor produk sawit. Dengan menggunakan export unit price (nilai ekspor dibagi volume ekspor) sebagai proxy harga ekspor, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan export unit price yang diterima Indonesia yakni dari USD 675.4 per ton tahun 2020 menjadi USD 1,147.1 per ton tahun 2022.
Hal lain yang menarik dari kinerja ekspor produk sawit tahun 2022 berkaitan dengan diberlakukannya kebijakan larangan ekspor untuk CPO dan bahan baku minyak goreng (PASPI, 2022). Kebijakan tersebut tertuang pada Peraturan Menteri Perdagangan No. 22/2022 yang bertujuan dalam rangka stabilisasi harga minyak goreng di pasar domestik. Kebijakan ini hanya berlaku kurang dari sebulan (28 April – 22 Mei 2022) dan berdampak cukup signifikan pada penurunan volume ekspor produk sawit baik pada periode Mei 2022 maupun total tahun 2022.
Faktor meningkatnya harga ekspor produk sawit kembali mendongkrak nilai ekspor produk sawit tahun 2022. Perang Rusia-Ukraina menyebabkan kenaikan tajam harga minyak sawit global selama Semester 1-2022 (PASPI, 2023) dan mengakibatkan harga ekspor produk sawit juga meningkat. Hal ini menunjukkan meskipun kebijakan larangan ekspor sementara untuk produk sawit diberlakukan, namun akibat kenaikkan harga sawit global membuat devisa sawit tahun 2022 kembali berhasil memecahkan rekor tertinggi.
Biodiesel Sawit Sebagai Sumber Devisa Subsitusi Impor Solar Fosil
Sejak tahun 2004, Indonesia berubah dari net exporter minyak bumi menjadi net importer minyak bumi, termasuk net importer solar fosil. Impor solar fosil Indonesia mengalami peningkatan seiring dengan kebutuhan dalam negeri yang juga meningkat akibat pertumbuhan populasi maupun pertumbuhan ekonomi. Jika tidak dilakukan subsitusi solar impor di dalam negeri, maka ketergantungan Indonesia pada solar impor akan semakin tinggi sehingga berpotensi menyebabkan instabilitas sosial-ekonomi.
Upaya untuk mengurangi ketergantungan tersebut adalah dengan memproduksi biodiesel berbasis minyak sawit yang dapat mensubstitusi penggunaan solar fosil, khususnya yang bersumber dari impor (PASPI Monitor, 2021c). Penggunaan biodiesel sawit untuk menggantikan solar fosil impor mampu menghemat devisa yang digunakan untuk mengimpor solar fosil. Penghematan devisa subsitusi impor solar fosil semakin meningkat sejalan dengan penggunaan biodiesel sawit di dalam negeri seiring dengan semakin intensif kebijakan mandatori biodiesel (Gambar 1).
Penghematan devisa subsitusi impor solar fosil impor mengalami peningkatan signifikan dari sekitar USD 3.3 Miliar tahun 2020 menjadi sekitar USD 9.5 Miliar tahun 2021. Peningkatan devisa subsitusi impor tersebut searah dengan peningkatan subsitusi impor solar yang tercermin dari peningkatan konsumsi biodiesel domestik yakni dari 8.43 juta ton t menjadi 10.43 juta ton pada periode tahun yang sama.
Kontribusi Industri Sawit Sebagai Sumber Devisa yang Memperbesar Surplus Perdagangan Indonesia.
Kontribusi industri sawit sebagai sumber devisa ditunjukkan pada neraca perdagangan (trade account) Indonesia (Tabel 2). Devisa sawit dari ekspor produk sawit dan turunannya mempengaruhi neraca perdagangan melalui neraca perdagangan non-migas. Sedangkan devisa subsitusi impor mempengaruhi neraca perdagangan melalui neraca perdagangan migas.
Tabel 2. Kontribusi Sawit sebagai Sumber Devisa pada Neraca Perdagangan Indonesia
Uraian (Miliar USD) | 2020 | 2021 | 2022 |
---|---|---|---|
Devisa Ekspor Sawit | 23.0 | 36.2 | 39.0 |
Devisa Subsitusi Impor (B-30) | 3.3 | 4.9 | 9.5 |
Devisa Ekspor Sawit + Devisa Subsitusi Impor (B-30) | 26.2 | 41.2 | 48.5 |
Net Ekspor Migas – Tanpa B-30 – Dengan B-30 | -8.6 -5.9 | -18.2 -13.3 | -32.1 -24.4 |
Net Ekspor Non-Migas – Tanpa Sawit – Dengan Sawit | 4.7 27.7 | 12.4 48.6 | 39.8 78.8 |
Net Trade – Tanpa Sawit dan B30 – Dengan Sawit dan B30 | -3.9 21.7 | -5.8 35.4 | 4.9 55.7 |
Total devisa sawit yang dihasilkan sebesar USD 23.9 Miliar pada tahun 2020 dan meningkat menjadi USD 48.5 Miliar pada tahun 2022. Pencapaian devisa sawit yang dicapai pada tahun 2022 tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah industri sawit Indonesia.
Pengaruh devisa subsitusi impor (kebijakan mandatori B-30) pada neraca migas terlihat pada perbedaan antara Net Ekspor Migas “Tanpa B-30” versus “Dengan B-30”. Defisit neraca perdagangan migas senantiasa mengalami defisit dari tahun ke tahun. Namun, defisit Net Ekspor Migas “Dengan B-30” lebih rendah dibandingkan dengan defisit Net Ekspor Migas “Tanpa B-30”. Misalnya pada tahun 2022, defisit Net Ekspor Migas “Dengan B-30” sebesar USD 24.4 Miliar atau lebih rendah dibandingkan Net Ekspor Migas “Tanpa B-30” (USD 32.1 Miliar).
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan mandatori biodiesel yang mensubsitusi solar impor dengan biodiesel sawit domestik dapat memperbaiki Net Ekspor Migas dengan menurunkan defisit Net Ekspor Migas. Data di atas juga searah dengan tujuan mandatori biodiesel di Indonesia (PASPI Monitor, 2021c).
Kontribusi devisa sawit terbesar dapat dilihat pada perbedaan Net Ekspor Non-Migas “Dengan Sawit” versus “Tanpa Sawit”. Pada kondisi “Tanpa Sawit”, Net Ekspor Non-Migas mengalami surplus dengan nilai yang relatif kecil pada tahun 2020 dan 2021. Sementara pada kondisi “Dengan Sawit”, Net Ekspor Non-Migas mengalami surplus dengan nilai yang besar yakni sebesar USD 27.7 Miliar tahun 2020 dan terus meningkat signifikan setiap tahun hingga mencapai USD 78.8 Miliar pada tahun 2022. Hal ini menunjukkan bahwa devisa sawit dari ekspor minyak sawit sangat besar kontribusinya dalam menciptakan surplus neraca non-Migas.
Efek neto dari kedua sumber devisa sawit tersebut ditunjukkan oleh perbedaan Net Trade antara “Tanpa Sawit + B30” versus “Dengan Sawit + B-30”. Pada kondisi “Tanpa Sawit +B-30”, Net Trade Indonesia mengalami defisit sebesar USD 3.9 Miliar tahun 2020 dan USD 5.8 Miliar tahun 2021, kemudian mengalami surplus dengan nilai yang relatif kecil yakni sebesar USD 4.9 Miliar tahun 2021. Sedangkan pada kondisi “Dengan Sawit + B-30”, Net Trade Indonesia mengalami surplus besar setiap tahun. Bahkan surplus perdagangan Indonesia tahun 2022 mengalami lonjakan signifikan yakni mencapai USD 55.7 Miliar atau lebih tinggi dibandingkan dengan surplus tahun sebelumnya (PASPI Monitor, 2022a).
Uraian di atas kembali menegaskan bahwa industri sawit berkontribusi besar dalam memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dengan menutup defisit maupun memperbesar surplus perdagangan. Peran industri sawit sebagai sumber devisa bukan hanya semakin penting dalam dalam menjaga kesehatan neraca perdagangan Indonesia, tetapi juga bermanfaat untuk menjaga stabilitas ekonomi (PASPI Monitor, 2021b).
Argumen tersebut telah dibuktikan ketika Indonesia menghadapi gejolak era Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 dan 2021 (PASPI Monitor, 2021d). Dengan kemampuannya sebagai sumber devisa, penghasil surplus dan penyelamat neraca perdagangan, menjadikan industri sawit sebagai sektor yang berpotensi menjadi “benteng pertahanan” dalam menghadapi resesi ekonomi global maupun dinamika global pada tahun 2023 dan 2024 (PASPI Monitor, 2022b).
Surplus neraca perdagangan tersebut memberikan peluang menutup neraca jasa (service account) yang senantiasa defisit. Dengan nilai surplus perdagangan yang cukup besar seperti tahun 2022, akan membuat neraca transaksi berjalan (current account) juga menikmati surplus. Surplus tersebut merupakan injeksi darah baru yang menstimulasi pertumbuhan ekonomi, memperbesar volume perekonomian dalam menciptakan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan (Kang, 2015; Murugesan, 2019).
Kesimpulan
Kontribusi industri sawit sebagai sumber devisa dapat dilihat dari dua sumber yakni devisa ekspor dan devisa subsitusi impor. Devisa ekspor yakni devisa hasil ekspor minyak sawit serta produk turunannya. Sedangkan devisa subsitusi impor adalah penghematan devisa akibat subsitusi solar fosil impor dengan biodiesel sawit domestik.
Devisa ekspor produk sawit tahun 2022 kembali mencatat rekor tertinggi dengan nilai sebesar USD 39 Miliar. Selain semakin besar dan terus meningkat, devisa produk sawit juga semakin berkualitas karena berasal dari ekspor produk olahan dan turunan semakin mendominasi. Demikian juga dengan penghematan devisa subsitusi impor yang semakin besar seiring dengan pengembangan biodiesel sawit di dalam negeri yang semakin intensif di dalam negeri. Penghematan devisa subsitusi impor tahun 2022 mencapai USD 9.5 Miliar atau lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.
Devisa ekspor produk sawit tersebut juga membuat surplus perdagangan Non-Migas semakin besar. Sementara itu, devisa subsitusi impor membuat defisit neraca Migas semakin kecil. Sehingga kombinasi keduanya mampu menciptakan surplus perdagangan Indonesia semakin besar pada tahun 2022, bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia. Hal ini menjadi bukti kontribusi industri sawit sebagai sumber devisa yang tidak hanya menyehatkan neraca perdagangan tetapi juga menghasilkan surplus besar hingga memecahkan rekor tertinggi.
Daftar Pustaka
- APROBI. Realisasi Data Produksi, Distribusi, dan Ekspor Biodiesel. [internet].
- Badan Pusat Statistik.Exim Perdagangan Ekspor-Impor Produk Sawit. [internet].
- Edward R. 2019. Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesia Palm Oil. Darthmouth College. Hannover.
- Kang H. 2015. Agricultural Exports and Economic Growth: Empirical Evidence from the Major Rice Exporting Countries. Agri Econ. 61(2): 81–87.
- Murugesan B. 2019. An Empirical Analysis of Agricultural Exporter on Economic Growth in India. Economic Affair. 64(3): 481-486.
- Palley TI. 2012. The Rise and Fall of Export-led Growth. Investigació Economica. 21(280): 141-161.
- PASPI. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry: Its Role in Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Palm oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Bogor.
- PASPI. 2022. Kaleidoskop 2022: Industri Sawit Nasional Bergejolak. [internet].
- PASPI. 2023. Prediksi Harga Minyak Sawit 2023. [internet].
- PASPI Monitor. 2021a. Hilirisasi dan Perubahan Komposisi Ekspor Minyak Sawit Indonesia. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(13): 351-356.
- PASPI Monitor. 2021b. Kontribusi Devisa Sawit dalam Neraca Perdagangan Indonesia. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(15): 363-368.
- PASPI Monitor. 2021c. Multi Manfaat Dari Kebijakan Mandatori Biodiesel Sawit. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(16): 369-376.
- PASPI Monitor. 2021d. Sumber Pertumbuhan Devisa Sawit Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(44): 557-562.
- PASPI Monitor. 2022a. Devisa Sawit dan Neraca Perdagangan Indonesia 2021 Capai Rekor Tertinggi. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(22): 727-732.
- PASPI Monitor. 2022b. Industri Sawit Sebagai Bagian “Benteng Pertahanan” Menghadapi Resesi Ekonomi Global. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(12): 663-668.
- Riffin A. 2012. The Contribution of Palm Oil Industry to Indonesia Economy. Input-Output Analysis. 20(1): 72-83.
- Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Bogor: PASPI.
- World Growth. 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. World Growth.