Untuk menjawab kampanye negatif dan tuntutan konsumen global terkait isu berkelanjutan, maka pemerintah Indonesia menyusun standar nasional dalam rangka mewujudkan perkebunan sawit yang berkelanjutan yaitu ISPO. Pada tahun 2020, Pemerintah Indonesia menerbitkan Perpres ISPO sebagai penyempurna Permentan 11/2015 dalam rangka penguatan ISPO dengan mengakomodir dinamika pasar global dan meningkatkan adopsi nilai-nilai SDGs.

Berbagai regulasi sebagai pedoman atau standar nasional terkait sistem berkelanjutan minyak sawit Indonesia sudah cukup komprehensif, namun terdapat poin-poin yang dapat dikritisi dari konsep sustainability yang diadopsi dalam ISPO (maupun sistem sertifikasi berkelanjutan lainnya) seperti konsep sustainability yang absolut dan tersekat-sekat, belum meng-cover produk olahan berbasis sawit dan supply chain mechanism, hingga hambatan dalam realisasi yang dihadapi baik oleh pekebun maupun perusahaan perkebunan sawit. Oleh karena itu, dibutuhkan rekomendasi kebijakan sebagai solusi atas kritik konsep sustainability yang diadopsi dalam ISPO atau sistem sertifikasi berkelanjutan lainnya.

Untuk meningkatkan realisasi ISPO dalam rangka mewujudkan visi industri sawit nasional yang berkelanjutan dan berdaya saing baik di pasar nasional maupun internasional, berikut beberapa hal yang direkomendasikan sebagai solusi atas kritik mengenai konsep dan penyelenggaraan sistem sertifikasi keberlanjutan.

Rekomendasi kebijakan yang dapat diadopsi oleh ISPO dengan menggunakan konsep relative sustainable dengan memasukkan prinsip degree of sustainable yang menunjukkan perbedaan kualitas keberlanjutan serta disesuaikan dengan kapabilitas dari pelaku usaha perkebunan baik perusahaan perkebunan maupun petani. Konsep relatif ini juga merupakan solusi untuk variasi segmen pasar yang memiliki willingness to pay yang berbeda terhadap atribut keberlanjutan pada produk.

ISPO juga harus menggunakan pendekatan ekosistem yang tidak hanya menilai satu plot kebun sawit, tetapi seluruh komponen dalam ekosistem tersebut termasuk biodiversitas didalamnya. Selain itu, penilaian keberlanjutan juga harus meng-cover seluruh supply chain mechanism dan produk berbasis kelapa sawit yang dihasilkan dari rantai pasok tersebut yang dapat dilabeli dengan ISPO Certified Product.

Diharapkan koordinasi dalam formulasi hingga implementasi kebijakan terkait legalitas lahan dan usaha perkebunan yang diamanatkan oleh Inpres 6/2019 dapat segera menyelesaikan permasalahan utama yang menjadi penyebab dari rendahnya realisasi ISPO. Penyelesaian legalitas perkebunan sawit rakyat dapat dilakukan melalui Kebijakan Tenurial seperti amnesti, Perhutanan Sosial dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Selain legalitas lahan dan usaha budidaya kelapa sawit, pekebun sawit juga harus tergabung dalam suatu kelompok atau kelembagaan yang legal secara hukum, misalnya kelembagaan pekebun sawit sekawasan, sehingga dapat memudahkan akses pekebun sawit terhadap berbagai bantuan seperti dana ISPO atau PSR, sekaligus juga untuk penguatan sawit rakyat.

Rekomendasi kebijakan sebagai solusi terkait hambatan dalam implementasi kemitraan bagi perusahaan perkebunan adalah reformulasi pola kemitraan yang dibuat lebih bervariatif atau tidak terbatas pada pola inti-plasma. Meskipun pola kemitraan tidak harus di bidang perkebunan sawit, namun melalui kemitraan perusahaan perkebunan dan masyarakat lokal dapat memenuhi prinsip ISPO dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat.