Back to Top
Content
Rating & Comment

Perdagangan Karbon : Definisi, Manfaat, Tujuan dan Proses (2025)

Share

Perubahan iklim menjadi perhatian utama dunia sehingga dunia melihat perdagangan karbon memainkan peran kunci dalam mengatasi dampak emisi gas rumah kaca. Artikel ini bertujuan untuk memberikan pemahaman menyeluruh mengenai perdagangan karbon, mencakup sejarah, definisinya, tujuannya, dan proses-prosesnya.

Apa itu Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon, yang juga dikenal sebagai perdagangan emisi atau cap-and-trade, adalah suatu pendekatan berbasis pasar untuk mengendalikan polusi melalui pemberian insentif ekonomi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2) dan polutan lain yang berkontribusi pada pemanasan global. Inti dari konsep ini adalah memberikan nilai finansial pada emisi karbon, sehingga perusahaan dan pemerintah terdorong untuk mengurangi emisi mereka agar memenuhi target tertentu.

Key Takeaways

  1. Perdagangan karbon, juga dikenal sebagai perdagangan emisi atau cap-and-trade, adalah cara pasar untuk mengendalikan polusi dengan memberikan insentif ekonomi kepada perusahaan dan negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama CO2.
  2. Perdagangan karbon dimulai sebagai respons global terhadap pemanasan global. Perkembangan utama mencakup Konferensi Stockholm 1972, Konferensi Rio de Janeiro 1992, Protokol Kyoto 1997, dan Perjanjian Paris 2015.
  3. Tujuan Perdagangan Karbon adalah mengurangi emisi karbon secara signifikan, menciptakan insentif ekonomi, menggunakan kredit karbon, mempromosikan proyek hijau, mengontrol dampak gas rumah kaca, dan memberikan nilai ekonomi.
  4. Ada dua jenis skema, yaitu Emissions Trading Scheme (ETS) dan Carbon Offset Scheme, dengan perbedaan dalam alokasi kuota dan penurunan emisi.
  5. Tantangan dan kritik meliputi potensi manipulasi pasar dan kekhawatiran mengenai efektivitas proyek kompensasi karbon.
  6. Indonesia memiliki potensi besar dalam perdagangan karbon melalui produksi minyak sawit.
  7. Indonesia diperkirakan berkontribusi sekitar 75-80% kredit karbon global dengan potensi nilai ekonomi lebih dari USD150 miliar.

Sejarah Perdagangan Karbon

Perdagangan karbon bermula dari keseriusan komitmen global dalam menghadapi dampak pemanasan global. Berikut adalah perkembangan sejarah konsep perdagangan karbon yang di kembangkan oleh komunitas global sebagai salah satu solusi penting untuk mengurangi pemanasan global

Konferensi Dunia Pertama tentang Lingkungan Manusia di Stockholm, 1972

Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia di Stockholm pada tahun 1972 merupakan konferensi dunia pertama yang menjadikan lingkungan sebagai isu utama. Peserta-peserta konferensi mengadopsi serangkaian prinsip untuk pengelolaan lingkungan yang baik, termasuk Deklarasi Stockholm dan Rencana Aksi untuk Lingkungan Manusia serta beberapa resolusi.

Deklarasi Stockholm, yang berisi 26 prinsip, menempatkan isu lingkungan di garis depan perhatian internasional dan menandai awal dialog antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi, polusi udara, air, dan laut, serta kesejahteraan global.

Rencana Aksi ini terdiri dari tiga kategori utama: a) Program Penilaian Lingkungan Global (rencana pengawasan); b) Kegiatan pengelolaan lingkungan; (c) Tindakan internasional untuk mendukung kegiatan penilaian dan pengelolaan yang dilakukan di tingkat nasional dan internasional. Selain itu, kategori-kategori ini dibagi menjadi 109 rekomendasi.

Salah satu hasil utama dari konferensi di Stockholm adalah pembentukan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP).

World Summit di Rio de Janeiro, 1992

Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan, juga dikenal sebagai ‘World Summit,’ diadakan di Rio de Janeiro, Brasil, dari 3 hingga 14 Juni 1992. Acara global ini mengumpulkan beragam pemimpin politik, diplomat, ilmuwan, serta perwakilan dari media dan organisasi non-pemerintah (NGO) dari 179 negara. Mereka bersatu dalam upaya besar untuk memfokuskan perhatian pada dampak aktivitas sosial-ekonomi manusia pada lingkungan.

Konferensi Rio de Janeiro menyoroti bagaimana faktor-faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan yang beragam secara kompleks saling bergantung dan berkembang bersama-sama. Kesuksesan di satu sektor memerlukan tindakan di sektor lain agar dapat berkelanjutan dari waktu ke waktu. Tujuan utama dari ‘World Summit’ Rio adalah menciptakan agenda yang komprehensif dan merumuskan rencana aksi baru untuk tindakan internasional dalam isu-isu lingkungan dan pembangunan. Hal ini diharapkan dapat membimbing kerjasama internasional dan kebijakan pembangunan di abad ke-21.

‘World Summit’ menyimpulkan bahwa konsep pembangunan berkelanjutan adalah tujuan yang dapat dicapai oleh semua orang di dunia, tanpa memandang tingkat lokal, nasional, regional, atau internasional. Konferensi ini juga mengakui bahwa mengintegrasikan dan menjaga keseimbangan antara kepentingan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan manusia sangat penting untuk menjaga kehidupan manusia di planet ini. Konsep integrasi ini adalah tonggak yang revolusioner pada zamannya dan memicu perdebatan sengit di antara pemerintah dan antara pemerintah serta warganegara mereka tentang cara memastikan keberlanjutan dalam pembangunan.

Salah satu hasil penting dari Konferensi UNCED adalah Agenda 21, sebuah program tindakan yang berani yang mengusulkan strategi baru untuk berinvestasi dalam masa depan guna mencapai pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan di abad ke-21. Rekomendasi-rekomendasinya mencakup berbagai metode pendidikan baru, cara-cara baru untuk melestarikan sumber daya alam, dan metode-partisipasi dalam ekonomi berkelanjutan yang inovatif.

‘World Summit’ memiliki banyak pencapaian besar, termasuk Deklarasi Rio dan 27 prinsip universalnya, Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, serta Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan. Selain itu, ‘World Summit’ mendorong pendirian Komisi Pembangunan Berkelanjutan, penyelenggaraan konferensi dunia pertama tentang pembangunan berkelanjutan di negara-negara kepulauan kecil pada tahun 1994, serta perundingan untuk membentuk perjanjian tentang stok lintas dan migrasi ikan yang sangat besar.

Protokol Kyoto, 1997

Protokol Kyoto diadopsi pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Saat ini, melibatkan 192 Negara Pihak. Protokol Kyoto berfungsi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dari negara industri dan ekonomi dalam transisi sesuai dengan target individu yang disepakati. Protokol ini didasarkan pada prinsip Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim dan mengikuti struktur berdasarkan lampiran.

Lampiran B Protokol Kyoto menetapkan target pengurangan emisi yang mengikat untuk 37 negara industri dan ekonomi dalam transisi serta Uni Eropa, dengan target rata-rata pengurangan emisi sebesar 5 persen dibandingkan dengan tahun 1990. Amandemen Doha terhadap Protokol Kyoto diadopsi pada 8 Desember 2012, memulai periode komitmen kedua dari tahun 2013 hingga 2020.

Amandemen tersebut mencakup komitmen baru, daftar ulang GRK yang harus dilaporkan, dan perubahan pada beberapa pasal Protokol Kyoto. Protokol Kyoto juga memperkenalkan mekanisme pasar fleksibel yang melibatkan perdagangan izin emisi GRK. Protokol ini memiliki sistem pemantauan, peninjauan, dan verifikasi yang ketat serta sistem kepatuhan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas Negara Pihak.

Dana Adaptasi didirikan untuk membiayai proyek adaptasi di negara-negara berkembang yang merupakan Negara Pihak Protokol Kyoto. Amandemen Doha mulai berlaku pada 31 Desember 2020 setelah mencapai ambang batas penerimaan instrumen sebanyak 144 dari 147 Negara Pihak yang menyetorkan instrumen penerimaan.

Perjanjian Paris, 2015

Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim. Diadopsi oleh 196 Negara Pihak pada COP21 tahun 2015, perjanjian ini memiliki tujuan utama untuk membatasi peningkatan suhu global. Sasaran utamanya adalah menjaga agar kenaikan suhu global berada di bawah 2°C di atas tingkat pra-industri, dengan upaya khusus untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1.5°C.

Implementasi Perjanjian Paris memerlukan transformasi ekonomi dan sosial berdasarkan ilmu pengetahuan terbaik yang tersedia. Negara-negara yang menjadi pihak perjanjian bekerja dalam siklus lima tahunan untuk meningkatkan tindakan iklim yang semakin ambisius, yang disebut sebagai “peningkatan.” Sejak tahun 2020, negara-negara telah mengajukan rencana tindakan iklim nasional mereka, dikenal sebagai Kontribusi yang Ditentukan Secara Nasional (NDC). Setiap NDC yang berikutnya dimaksudkan untuk mencerminkan tingkat ambisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan versi sebelumnya.

Perjanjian ini juga mengundang negara-negara untuk merumuskan Strategi Pengembangan Emisi Rendah Jangka Panjang (LT-LEDS) sebagai panduan jangka panjang. Meskipun LT-LEDS tidak bersifat wajib, mereka memberikan konteks untuk perencanaan jangka panjang dan prioritas pembangunan suatu negara.

Perjanjian Paris juga menegaskan pentingnya pendanaan iklim untuk mitigasi dan adaptasi. Negara-negara maju diharapkan memimpin dalam memberikan bantuan finansial kepada negara-negara yang kurang beruntung dan lebih rentan, sambil juga mendorong kontribusi sukarela dari pihak lain. Pendanaan iklim sangat diperlukan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan mengatasi dampak perubahan iklim.

Selain itu, Perjanjian Paris menekankan pengembangan dan transfer teknologi untuk meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Hal ini juga menciptakan kerangka kerja teknologi untuk memberikan panduan umum kepada Mekanisme Teknologi yang berfungsi baik.

Selain itu, perjanjian ini menekankan pentingnya kapasitas yang memadai dalam menghadapi tantangan yang disebabkan oleh perubahan iklim. Negara-negara maju diminta untuk meningkatkan dukungan terhadap tindakan yang membangun kapasitas di negara-negara berkembang.

Selanjutnya, Perjanjian Paris menciptakan kerangka kerja transparansi yang ditingkatkan untuk melaporkan kemajuan dalam mitigasi, adaptasi, dan dukungan iklim yang diberikan atau diterima. Informasi yang dikumpulkan melalui kerangka kerja ini akan digunakan dalam Penilaian Stok Global yang menilai kemajuan kolektif menuju tujuan iklim jangka panjang. Meskipun tindakan perubahan iklim perlu ditingkatkan secara signifikan untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris, tahun-tahun sejak berlakunya perjanjian ini telah menciptakan solusi rendah karbon dan peluang bisnis baru.

Semakin banyak negara, wilayah, kota, dan perusahaan yang menetapkan target netral karbon, dan solusi tanpa karbon menjadi kompetitif di sektor-sektor ekonomi yang mewakili 25% emisi. Trend ini paling mencolok dalam sektor energi dan transportasi dan telah menciptakan banyak peluang bisnis baru bagi mereka yang bergerak lebih awal. Pada tahun 2030, solusi tanpa karbon bisa menjadi kompetitif di sektor-sektor yang mewakili lebih dari 70% emisi global.

Tujuan Perdagangan Karbon

Tujuan perdagangan karbon adalah untuk mengatasi pemanasan global dengan cara yang efisien dan efektif. Hal ini mencakup beberapa aspek utama, antara lain :

  • Mengurangi Emisi Karbon: Perdagangan karbon bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dan gas rumah kaca secara signifikan dengan mengenakan batasan pada jumlah emisi yang dapat dihasilkan oleh perusahaan atau negara. Hal ini menciptakan insentif ekonomi untuk mengurangi emisi.
  • Menggunakan Kredit Karbon: Konsep utama dalam perdagangan karbon adalah penggunaan kredit karbon (carbon credit). Perusahaan yang berhasil mengurangi emisinya di bawah batas yang ditetapkan dapat menjual kredit karbon mereka kepada perusahaan lain yang melebihi batas emisinya.
  • Promosi Proyek Hijau: Kredit karbon yang diperoleh biasanya berasal dari proyek-proyek hijau yang membantu dalam menyerap karbon, seperti proyek penanaman hutan atau penggunaan energi terbarukan. Hal ini mendukung praktik-praktik ramah lingkungan.
  • Mengontrol Dampak Gas Rumah Kaca: Dengan mengatur emisi karbon, negara-negara dunia dapat mengontrol dampak gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer, sehingga dapat mengurangi dampak perubahan iklim.
  • Memberikan nilai ekonomi : Perdagangan karbon dapat membuka peluang ekonomi baru dengan menciptakan pasar untuk kredit karbon. Sebagai negara dengan peran penting dalam menangani perubahan iklim, Indonesia diperkirakan berkontribusi sekitar 75-80% kredit karbon global. Hal ini berpotensi memberikan kontribusi ekonomi lebih dari USD150 miliar bagi Indonesia.

Skema Perdagangan Karbon

Secara umum, perdagangan karbon terbagi menjadi dua jenis mekanisme, yaitu pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) dan pasar karbon wajib (mandatory carbon market). Mekanisme perdagangan karbon ini dapat dibedakan menjadi dua jenis utama:

  1. Skema Perdagangan Emisi (Emissions Trading Scheme/ETS)
    Juga dikenal sebagai sistem cap-and-trade. Skema ini umumnya diterapkan dalam pasar karbon yang diatur oleh pemerintah, di mana jumlah emisi karbon yang dapat diperdagangkan dibatasi. Dalam skema ini, emisi yang diperdagangkan adalah untuk emisi yang akan dihasilkan di masa depan. Pesertanya mencakup organisasi, perusahaan, bahkan negara. Kewajiban untuk mengurangi atau membatasi emisi diterapkan melalui alokasi kuota (allowance) di awal periode. Peserta yang melebihi batas emisi harus melaporkan emisinya secara berkala (biasanya setiap tahun) kepada lembaga yang ditunjuk. Pada akhir periode, peserta yang melewati batas dapat membeli kuota tambahan dari peserta yang memiliki kuota yang tidak terpakai (emisi yang lebih rendah dari batasan yang ditetapkan), dan sebaliknya.
  2. Skema Perdagangan Kredit Karbon
    Juga dikenal sebagai sistem baseline-and-crediting atau carbon offset. Skema ini tidak mengharuskan kuota (allowances) di awal periode. Sebagai gantinya, yang diperdagangkan adalah hasil sertifikasi penurunan emisi karbon yang terjadi akibat pelaksanaan proyek-proyek yang mengurangi emisi karbon. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton CO2. Pada skema kredit karbon, nilai kredit diterbitkan setelah periode tertentu (ex-post) dan dapat dijual serta digunakan oleh peserta untuk mencapai target penurunan emisi atau mencapai posisi netral karbon atau nol emisi.

Dalam skema ETS, nilai kredit sudah ditetapkan di awal (ex-ante), sehingga kredit baru hanya tersedia tergantung pada aktivitas emisi yang dilakukan oleh penghasil emisi.

Tantangan dan Kritik Perdagangan Karbon

Meskipun perdagangan karbon menawarkan harapan dalam pengurangan emisi, program ini juga menghadapi tantangan dan kritik, antara lain:

  • Manipulasi Pasar: Para kritikus berpendapat bahwa pasar karbon rentan terhadap upaya manipulasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Hal ini dapat mengakibatkan fluktuasi harga yang tidak stabil dan ketidaksetaraan dalam perdagangan karbon.
  • Integritas Lingkungan: Ada kekhawatiran serius terkait manfaat nyata bagi lingkungan dari beberapa proyek kompensasi karbon. Ini menyoroti pentingnya menerapkan standar persetujuan yang lebih ketat untuk memastikan bahwa upaya tersebut efektif dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
  • Keprihatinan Keadilan: Dampak dari perdagangan karbon terhadap komunitas yang rentan telah memunculkan keprihatinan akan isu keadilan. Dalam beberapa kasus, kelompok-kelompok tertentu mungkin mengalami dampak yang lebih besar dibandingkan dengan yang lain.
  • Transisi dari Bahan Bakar Fosil: Efektivitas perdagangan karbon dalam mendorong transisi dari penggunaan bahan bakar fosil masih menjadi perdebatan. Pertanyaannya adalah apakah sistem ini memberikan insentif yang cukup kuat bagi perusahaan dan negara untuk benar-benar beralih ke sumber energi yang lebih bersih dan berkelanjutan.

Tantangan-tantangan tersebut mencerminkan kompleksitas perdagangan karbon dan menegaskan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk mengatasi isu-isu ini dan memastikan bahwa sistem ini berfungsi secara efektif dalam menghadapi perubahan iklim secara global.

Perkebunan Sawit sebagai Potensi Perdagangan Karbon

Perkebunan sawit memiliki potensi untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon dengan tiga skema: konservasi karbon stok, peningkatan karbon stok, dan penurunan emisi dalam produksi minyak sawit. Pembukaan bursa karbon tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Bentuk komitmen komunitas global tertuang dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dibentuk pada tanggal 21 Maret 1994. UNFCCC tersebut beranggotakan 197 negara (termasuk Indonesia) merajut konvensi atau perjanjian internasional yang bertujuan menjaga atau menurunkan konsentrasi GRK atmosfer bumi kembali pada konsentrasi alamiahnya. Anggota (parties) UNFCCC tersebut melakukan Conference of Parties (COP) secara periodik. COP pertama dilaksanakan pada tahun 1995 di Berlin, Jerman, selanjutnya pelaksanaan COP ketiga terjadi pada tahun 1997 di Kyoto yang menghasilkan Kyoto Protocol.

Indonesia secara sukarela juga telah mengambil inisiatif untuk menyusun rencana penurunan emisi yang dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC) sejak tahun 2016. Melalui NDC tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen (unconditional) dan sebesar 41 persen (conditional) pada tahun 2030 (Pemerintah Republik Indonesia, 2016, 2021).

Perkebunan sawit memiliki potensi yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon dengan tiga skema penurunan emisi GRK global dari perkebunan sawit yakni konservasi karbon stok, peningkatan karbon stok, dan penurunan emisi dalam proses produksi minyak sawit.

Kesimpulan

Perdagangan karbon adalah pendekatan berbasis pasar untuk mengendalikan polusi dengan memberikan insentif ekonomi bagi perusahaan dan negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida (CO2), dan polutan lain yang berkontribusi pada pemanasan global. Inti dari konsep ini adalah memberikan nilai finansial pada emisi karbon, sehingga perusahaan dan pemerintah terdorong untuk mengurangi emisi mereka agar memenuhi target tertentu.

Sejarah perdagangan karbon dimulai dari keseriusan komitmen global dalam menghadapi dampak pemanasan global. Konferensi dan perjanjian internasional seperti Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris telah menjadi tonggak penting dalam pengembangan perdagangan karbon.

Tujuan utama perdagangan karbon adalah mengurangi emisi karbon secara signifikan dengan mengenakan batasan pada jumlah emisi yang dapat dihasilkan oleh perusahaan atau negara. Hal ini menciptakan insentif ekonomi untuk mengurangi emisi.

Ada dua jenis skema perdagangan karbon, yaitu pasar karbon sukarela dan pasar karbon wajib. Masing-masing memiliki karakteristik dan peran yang berbeda dalam mengatur emisi karbon.

Meskipun perdagangan karbon memiliki manfaatnya, ada tantangan dan kritik, termasuk potensi manipulasi pasar, isu integritas lingkungan, dan keprihatinan akan dampak terhadap komunitas yang rentan.

Perkebunan sawit memiliki potensi yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon dengan tiga skema penurunan emisi GRK global dari perkebunan sawit yakni konservasi karbon stok, peningkatan karbon stok, dan penurunan emisi dalam proses produksi minyak sawit.

Indonesia telah mengambil inisiatif untuk menyusun rencana penurunan emisi karbon yang ambisius melalui Nationally Determined Contribution (NDC). Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon dalam upaya mendukung perubahan iklim global.

Dengan demikian, perdagangan karbon merupakan alat yang penting dalam mengatasi perubahan iklim global, dan Indonesia memiliki potensi besar untuk berperan aktif dalam upaya ini. Dengan komitmen dan tindakan yang tepat, Indonesia dapat memberikan kontribusi positif dalam mengurangi emisi karbon dan mencapai tujuan-tujuan perubahan iklim global.

Share
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x