POIN-POIN UTAMA
- Ekspansi perkebunan kelapa sawit selama 20 tahun terakhir telah memunculkan kekhawatiran akan kehilangan biodiversitas.
- Pemerintah Indonesia telah mengatur agar perkebunan kelapa sawit terpisah dari kawasan lindung dan konservasi untuk menjaga biodiversitas.
- Terdapat tiga sistem pelestarian biodiversitas di Indonesia: In Situ, Ex Situ, dan melalui pembudidayaan.
- Sistem In Situ melibatkan pelestarian habitat alami melalui berbagai tipe kawasan lindung seperti Taman Nasional dan Suaka Margasatwa.
- Sistem Ex Situ melibatkan pembangunan habitat buatan di luar habitat alamiah sebagai pelestarian biodiversitas.
- Sistem pelestarian biodiversitas melalui pembudidayaan termasuk dalam pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, dan hutan tanaman.
- Perkebunan kelapa sawit juga memiliki mekanisme pelestarian biodiversitas, termasuk pengembangan varietas tanaman sawit yang beragam dari generasi ke generasi.
- Sebagian besar areal perkebunan kelapa sawit dialokasikan untuk kawasan HCV dan HCS, pemukiman karyawan, dan fasilitas umum yang berfungsi untuk konservasi biodiversitas.
- Pohon kelapa sawit yang berumur 25-30 tahun mendukung regrowth biodiversity pada areal perkebunan tersebut.
- Studi empiris menunjukkan bahwa jumlah jenis biodiversitas pada perkebunan kelapa sawit dewasa tidak selalu lebih rendah dibandingkan dengan lahan sebelumnya atau area hutan lindung.
- Komparasi dengan minyak nabati lain menunjukkan bahwa biodiversity loss pada perkebunan kelapa sawit lebih rendah.
Table of Contents
PENDAHULUAN
Ekspansi perkebunan sawit yang relatif cepat dalam periode 20 tahun terakhir sering dituding mengancam biodiversity loss (Fitzherbert et al., 2008; Koh dan Wilcove, 2008; Foster et al., 2011; Savilaakso et al., 2014; Vijay et al., 2016; Austin et al., 2019; Qaim et al., 2020). Pengaitan perkebunan kelapa sawit dengan biodiversity loss juga telah menjadikan minyak sawit dan produk turunannya digolongkan sebagai high-risk commodity di Uni Eropa.
Pengembangan perkebunan sawit dinilai sebagai penyebab terancamnya habitat satwa-satwa liar. Pihak NGO baik yang beroperasi di Indonesia maupun transnasional, sering memuat berita satwa liar khususnya satwa yang dilindungi (seperti Orang Utan, Mawas, Harimau Sumatera, Gajah Sumatera) terancam punah akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Selain itu, perkebunan sawit juga dituding monokultur dan tidak memiliki biodiversitas.
Tudingan NGO tersebut mungkin terpengaruh pada sejarah pembangunan di daratan Eropa dan Amerika Utara yang pada awal pembangunanya melakukan deforestasi total hutan alamnya dan tidak lagi menyisakan virgin forest sebagai “rumahnya” biodiversitas.
Namun berbeda dengan sejarah Eropa dan Amerika Utara tersebut, Indonesia sejak awal pembangunan telah lebih dahulu menetapkan regulasi terkait hutan mana yang harus dipertahankan/dilindungi sebagai “rumahnya” biodiversitas dan hutan mana yang dapat dikonversi untuk kegiatan pembangunan ekonomi dan pemukiman manusia. Para NGO juga tampaknya kurang memahami sistem dan karakteristik perkebunan sawit yang jauh berbeda dengan tanaman monokultur, termasuk tanaman minyak nabati lainnya.
Artikel ini mendiskusikan bagaimana Indonesia melestarikan biodiversitasnya sehingga biodiversitas alamiah masih relatif lestari hingga saat ini. Kemudian dilanjutkan diskusi bagaimana perkebunan sawit juga menjadi bagian dari pelestarian biodiversitas dan memiliki biodiversitas.
TIGA SISTEM PELESTARIAN BIODIVERSITAS
Indonesia menganut paradigma harmoni ekosistem, dimana biodiversitas, manusia, dan pemukiman beserta kegiatan ekonominya, hidup berdampingan pada ruang masing-masing. Paradigma tersebut berwujud dari regulasi Indonesia yang menetapkan minimum 30 persen daratan dipertahankan sebagai hutan asli, termasuk hutan lindung dan konservasi yang berfungsi sebagai “rumahnya” biodiversitas. Diluar wilayah “rumah” biodiversitas yang telah ditetapkan tersebut, ruang/daratan lainnya digunakan untuk pemukiman, pertanian/ perkebunan, dan kegiatan sektor pembangunan lainnya.
Regulasi yang demikian semula ditetapkan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang kemudian tertuang pada UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Secara garis besar, sistem pelestarian biodiversitas di Indonesia terdiri dari sistem In Situ, sistem Ex-Situ, dan sistem pembudidayaan. Dua sistem pelestarian biodiversitas yakni In Situ dan Ex Situ berada dalam kawasan lindung, sedangkan pelestarian biodiversitas yang dilakukan secara pembudidayaan berada di kawasan budidaya.
Pertama, sistem pelestarian biodiversitas secara In Situ yakni melestarikan biodiversitas dengan mempertahankan habitat alamiahnya yakni hutan lindung/konservasi sumber daya alam (Nature Conservation Area). Beberapa diantaranya adalah Cagar Alam (Strict Nature Reserve), Suaka Margasatwa (Wildlife Sanctuary), Taman Nasional (National Park), Taman Wisata Alam (Nature Tourism Park), Taman Hutan Rakyat (Grand Forest Park), dan Taman Buru (Hunting Park).
Hutan lindung dan hutan konservasi berfungsi untuk melindungi sekaligus menjadi “rumahnya” satwa-satwa liar (seperti Orang Utan, Mawas, Harimau Sumatera, Gajah, Badak Bercula, Komodo, dan lain-lain) dan biodiversitas lainnya yang tersebar di berbagai lokasi di Indonesia. Selain sebagai “rumahnya” biodiversitas, hutan lindung dan konservasi juga berfungsi untuk proteksi alam dan melestarikan stok karbon tinggi.
Kedua, sistem pelestarian biodiversity secara Ex Situ yakni membangun (melalui intervensi manusia) habitat buatan (menyerupai habitat alami) di luar habitat alamiahnya sebagai “rumahnya” biodiversitas. Beberapa diantaranya adalah Taman Hewan/Fauna (Zoo Park), Kebun Raya (Botanical Garden) yang terdapat hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Selain berfungsi sebagai pelestarian biodiversitas, pelestarian biodiversitas secara Ex Situ tersebut juga berfungsi sebagai rekreasi, edukasi, dan riset.
Ketiga, sistem pelestarian biodiversitas secara pembudidayaan (agriculture). Sistem pembudidayaan (pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, hutan tanaman) keanekaragaman tumbuhan dan hewan/ternak merupakan salah satu bagian mekanisme pelestarian biodiversitas lintas generasi (UN, 2008). Berbagai jenis tanaman dan hewan yang menyediakan pangan, papan, dan sandang bagi masyarakat dunia saat ini merupakan hasil pelestarian biodiversitas melalui pembudidayaan tanaman/hewan dari generasi ke generasi.
Dengan ketiga sistem pelestarian biodiversitas di Indonesia tersebut, kiranya sangat jelas bahwa pembangunan di Indonesia memiliki mekanisme pelestarian biodiversitas tropis. Pada tahun 2020, luas hutan sebagai kawasan pelestarian biodiversitas secara In Situ, Ex Situ maupun di kawasan budidaya masih seluas sekitar 47 persen dari luas daratan Indonesia.
Dengan mekanisme pelestarian biodiversitas baik secara In Situ maupun Ex Situ tersebut, biodiversitas asli tropis masih terlestarikan hingga sekarang. Apakah biodiversitas asli sub-tropis masih lestari hingga sekarang di Eropa maupun di Amerika Utara?
BIODIVERSITAS KEBUN SAWIT
Perkebunan sawit yang dikembangkan di kawasan budidaya juga dituding monokultur sehingga menyebabkan biodiversity loss. Tudingan tersebut sebetulnya tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada. Meskipun fungsinya bukan untuk pelestarian biodiversity, namun perkebunan sawit dalam praktiknya juga melakukan fungsi pelestarian biodiversitas (PASPI, 2023) dengan sifatnya yang relatif terbatas yakni hanya melalui pembudidayaan tanaman sawit.
Pertama, perkebunan sawit itu sendiri dari generasi ke generasi dapat dipandang sebagai mekanisme pelestarian dan pemanenan biodiversitas tanaman sawit. Catatan sejarah menunjukkan bahwa perkebunan sawit yang awalnya hanya berasal dari empat varietas tanaman sawit yang ditanam di Kebun Raya Bogor tahun 1848, kemudian melalui proses pembudidayaan dari generasi ke generasi kini telah berkembang menjadi lebih dari 70 varietas tanaman sawit. Dapat dibayangkan tanpa proses pembudidayaan dapat dipastikan bahwa plasma nutfah sawit sudah lama punah. Artinya mekanisme pelestarian biodiversitas melalui pembudidayaan bukan hanya melestarikan biodiversitas saja tetapi juga efektif memperbanyak biodiversitas tanaman yang bersangkutan.
Kedua, secara umum luas Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan pemerintah kepada korporasi, hanya sekitar 60-70 persen yang dipergunakan untuk perkebunan sawit. Dan sisanya yakni 30-40 persen dialokasikan untuk kawasan High Conservation Value (HCV)/High Carbon Stock (HCS), pemukiman karyawan, perkantoran, serta fasilitas umum dan sosial. Areal HCV dan HCS tersebut ditujukan untuk konservasi biodiversitas dan sumberdaya alam di kawasan budidaya perkebunan.
Ketiga, tanaman sawit ditanam dengan minimum tillage, minimum weeding, tidak ada ratoons, akan tumbuh menjadi pohon dengan diameter yang relatif besar dan tinggi, serta memiliki canopy cover mendekati 100 persen pada umur dewasa. Pohon sawit tumbuh dan berproduksi selama satu siklus (life span) yakni 25-30 tahun. Hal ini memungkinkan tumbuh berkembangnya kembali biodiversitas (regrowth biodiversity) pada areal perkebunan tersebut (kecuali mamalia besar) seiring dengan pertambahan umur kelapa sawit (PASPI Monitor, 2020).
Pada saat land clearing atau awal penanaman, mungkin sebagian biodiversitas fauna akan migrasi sebentar ke lokasi sekitar, namun beberapa waktu kemudian akan kembali ke perkebunan sawit. Berbagai studi empiris (Erniwati et al., 2017; Santosa et al., 2017; Santosa dan Purnamasari, 2017; Suharto et al., 2019) mengungkapkan bahwa jumlah jenis biodiversitas pada perkebunan sawit dewasa tidak selalu lebih rendah dibandingkan dengan biodiversitas yang ada pada lahan sebelum dijadikan perkebunan kelapa sawit (Ecosystem Benchmark) maupun biodiversitas pada areal berhutan (High Conservation Value) di sekitarnya (Tabel 1).
Tabel 1 Perbandingan Jumlah Jenis Biodiversitas di Perkebunan Kelapa Sawit, Ecosystem Benchmark, dan HCV/NKT
Taska / Ekosistem | Sumatera Utara | Riau | Sumatera Selatan | Kalimantan Barat | Kalimantan Tengah | Sulawesi Barat |
---|---|---|---|---|---|---|
MAMALIA | ||||||
Benchmark* | 2-4 | 0-7 | 3 | 0-4 | 0-3 | 0-2 |
Kebun sawit | 3-5 | 0-5 | 4 | 3-4 | 1-4 | 1 |
HCV/NKT | 2-4 | 2-6 | 4 | 3-7 | 3-6 | 3 |
BURUNG | ||||||
Benchmark* | 12-21 | 9-32 | 35 | 7-26 | 13-30 | 12-36 |
Kebun sawit | 17 | 14-21 | 26 | 11-19 | 9-22 | 17-33 |
HCV/NKT | 10-24 | 9-27 | 33 | 14-23 | 17-33 | 20-22 |
HERPETOFAUNA | ||||||
Benchmark* | 7-9 | 3-13 | 11 | 2-13 | 4-12 | 4-5 |
Kebun sawit | 9-14 | 6-16 | 18 | 7-12 | 9-13 | 3-11 |
HCV/NKT | 6-7 | 2-11 | 6 | 4-11 | 9-15 | 6 |
KUPU-KUPU | ||||||
Benchmark* | 17-22 | 11-29 | 14 | 3-21 | 5-19 | 10-23 |
Kebun sawit | 13-23 | 12-31 | 30 | 11-20 | 14-28 | 10-19 |
HCV/NKT | 10-19 | 9-22 | 12 | 6-26 | 15-37 | 12 |
TUMBUHAN | ||||||
Benchmark* | 51-66 | 25-120 | 8 | 31-71 | 5-22 | 25-53 |
Kebun sawit | 61-75 | 55-59 | n.a | 16-61 | n.a | 31-39 |
HCV/NKT | 73-85 | 8-129 | 15 | 34-99 | 6-51 | 45-50 |
Dalam satu lanskap ekosistem perkebunan sawit terdiri dari beberapa tipe habitat seperti tanaman sawit umur muda, umur sedang, umur tua, semak belukar, dan area HCV yang tetap dibiarkan berhutan. Dengan bervariasinya lanskap tersebut menjadi area tumbuh berkembangnya flora dan fauna di ekosistem perkebunan sawit. Pada lokasi perkebunan sawit juga ditemukan bahwa jumlah jenis biodiversitas seperti herpetofauna dan kupu-kupu justru meningkat dibandingkan jumlah jenis biodiversitas di Ecosystem Benchmark maupun HCV.
Keempat, pada fase penanaman dan pemeliharaan Tanaman Belum Menghasilkan (TBM), di sela-sela tanaman kelapa sawit juga ditanam tanaman cover crop berupa tanaman kacang-kacangan seperti Calopogonium sp., Pueraria sp., Mucuna sp., Centrosema sp. (Prawirosukarto et al., 2005; Yasin et al., 2006; PASPI Monitor, 2021a). Pada tanaman menghasilkan, biomass dari pruning, tandan kosong dan land application POME yang mengembalikan biomassa sawit ke lahan juga menumbuhkembangkan biodiversitas mikroba tanah. Tanaman cover crop dan biodiversitas mikroba tanah tersebut jelas menambah kekayaan biodiversitas perkebunan kelapa sawit.
Kelima, perkebunan sawit khususnya pada perkebunan sawit rakyat, dimana para petani sawit juga mengembangkan berbagai pola integrasi seperti integrasi sawit dengan tanaman pangan (Partohardjono, 2003; Slingerland et al., 2019; Baihaqi et al., 2020; Kusumawati et al., 2021) pada masa TBM/Immature dan integrasi sawit-ternak pada fase Tanaman Menghasilkan/Mature (Batubara, 2004; Sinurat et al., 2004; Ilham dan Saliem, 2011; Utomo dan Widjaja, 2012; Winarso dan Basuno, 2013) sehingga biodiversitas pada perkebunan sawit semakin meningkat.
Dengan demikian, kiranya jelas bahwa biodiversitas perkebunan sawit pada saat land clearing memang menurun, namun biodiversitas mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya umur perkebunan kelapa sawit hingga berumur 25-30 tahun. Apakah pada tanaman minyak nabati lain yang umumnya tanaman semusim, ditemukan biodiversitas seperti pada perkebunan sawit?
Beyer et al., (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) melakukan studi komparasi biodiversity loss global antar minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversikan menjadi tanaman minyak nabati. Studi tersebut menggunakan indikator jejak (footprint) Species Richness Loss (SRL) per liter minyak nabati sebagai ukuran biodiversity loss (Gambar 1).
Gambar 1. Komparasi Spices Richness Loss Minyak Sawit Versus Minyak Nabati Lain (Sumber: Beyer et al., 2020; Beyer dan Rademacher, 2021)
![Komparasi Spices Richness Loss Minyak Sawit Versus Minyak Nabati Lain [Jurnal 2023] PELESTARIAN BIODIVERSITAS DAN BIODIVERSITAS KEBUN SAWIT DI INDONESIA Komparasi Spices Richness Loss Minyak Sawit Versus Minyak Nabati Lain](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/02/Komparasi-Spices-Richness-Loss-Minyak-Sawit-Versus-Minyak-Nabati-Lain.webp)
Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa biodiversity loss minyak sawit lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lain (minyak kedelai, minyak kacang tanah, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed). Secara relatif dengan SRL minyak sawit sebagai pembanding menunjukkan bahwa indeks SRL minyak kedelai 284 persen, indeks SRL minyak rapeseed 179 persen, dan indeks SRL minyak bunga matahari 144 persen. Artinya dengan SRL sebagai indikator biodiversity loss menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang paling rendah biodiversity loss-nya, sedangkan minyak nabati yang paling besar biodiversity loss-nya adalah minyak kedelai (PASPI Monitor, 2021b).
KESIMPULAN
Tiga sistem pelestarian biodiversitas di Indonesia yakni sistem pelestarian biodiversity In Situ, sistem pelestarian biodiversitas Ex Situ, dan sistem pelestarian biodiversitas melalui pembudidayaan. Pelestarian biodiversitas secara In Situ dan Ex Situ berada di kawasan lindung (protected area), sedangkan pelestarian secara pembudidayaan berada di kawasan budidaya.
Lima mekanisme pelestarian biodiversitas pada perkebunan sawit di Indonesia yakni pelestarian dan pengembangan varietas tanaman sawit, pengembangan HCV dan HCS, regrowth biodiversity, pengembangan cover-crop dan recycling biomass, dan pengembangan integrasi tanaman pangan-ternak-sawit. Dengan lima mekanisme pelestarian biodiversitas tersebut, perkebunan sawit menjadi bagian dari pelestarian biodiversitas dan bukan murni budidaya monokultur yang menyebabkan biodiversity loss.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka
- Baihaqi A, Luthfi, Hidayat T. 2020. Dampak Keberadaan Program Corporate Social Responsibility (CSR) Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Desa Pandahan dan Desa Pulau Pinang Kabupaten Tapin. Frontier Agribisnis. 1(4): 113-120.
- Batubara LP. 2004. Pola Pengembangan Usaha Ternak Kambing Melalui Pendekatan Integrasi dengan Sistem Usaha Perkebunan Karet dan Kelapa Sawit. Prosiding Lokakarya Nasional Kambing Potong, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian pada Bogor, 6 Agustus 2004.
- Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv.
- Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact? Sustainability. 13: 1813.
- Erniwati, Zuhud EAM, Anas I, Sunkar A, Santosa Y. 2017. Independent Smallholder Oil Palm Expansion and Its Impact on Deforestation: Case Study in Kampar District, Riau Province, Indonesia. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. 23(3): 119-127.
- Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, A Brühl, Donald PF, Phalan B. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends Ecol. 23(10): 538– 545.
- Foster WA, Snaddon JL., Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV. 2011. Establishing the Evidence Base for Maintaining Biodiversity and Ecosystem Function in The Oil Palm Landscapes of Southeast Asia. Philosophical Transactions Biological Sciences. 366 (1582): 3277–3291.
- Ilham N, Saliem HP. 2011. Kelayakan Finansial Sistem Integrasi Sawit-Sapi Melalui Program Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Analisis Kebijakan Pertanian. 9(4): 349-369.
- Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters. 1(2): 60–64.
- Kusumawati SA, Yahya S, Hariyadi, Mulatsih S, Istina IN. 2021. The Dynamic of Carbon Dioxide (CO2) Emission and Land Coverage on Intercropping System on Oil Palm Replanting Area. Journal of Oil Palm Research. 33(2): 267-277.
- Partohardjono S. 2003. Integrasi Tanaman Kelapa Sawit dengan Tanaman Pangan Jagung dan Ubi Kayu di Lahan Kering. Dipresentasikan pada Lokakarya Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi.
- PASPI Monitor. 2020. Oil Palm Glorious, Indonesian Biodiversity Still Faboulous. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(04): 19-24.
- PASPI Monitor. 2021a. Oil Palm Plantation: An Integral Part of Soil and Water Conservation. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(26): 439-444.
- PASPI Monitor. 202b. Biodiversity Loss to Produce Palm Oil is Higher Than Other Vegetable Oils, Isn’t True?. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(45): 563-568.
- PASPI. 2023a. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute
- Prawirosukarto S, Syamsuddin E, Darmosarkoro W, Purba A. 2005. Tanaman Penutup dan Gulma Pada Kebun Kelapa Sawit Buku I. Medan (ID): Pusat Penelitian Kelapa Sawit.
- Santosa Y, Purnamasari I. 2017. Variation Of Butterfly Diversity in Different Ages Palm Oil Plantations in Kampar, Riau. Prosiding Seminar Nasional Masyarakat Biodiversitas Indonesia. 3(2): 278-285.
- Santosa Y, Sunkar A, Kwatrina RT. 2020. Is it True that Oil Palm Plantations are the Main Driver of Indonesia’s Tropical Forest Deforestation?. International Journal of Palm Oil. 3(1): 1-10.
- Savilaakso S, Garcia C, Garcia-Ulloa J, Ghazoul J, Groom M, Guariguata MR, Laumonier Y, Nasi, R, Petrokofsky G, Snaddon J. 2014. Systematic Review of Effects on Biodiversity from Oil Palm Production. Environmental Evidence. 3(4): 1–20.
- Slingerland M, Khasanah N, Noordwijk MV, Susanti A, Meilantina M. 2019. Improving Smallholder Inclusivity Through Integration of Oil Palm with Crops. Tropenbos Organization.
- Sinurat A, Purwadaria T, Mathius IW, Sitompul DM, Manurung BP. 2004. Integrasi Sapi-Sawit: Upaya Pemenuhan Gizi Sapi dari Produk Samping. Prosiding Seminar Nasional Integrasi Tanaman-Ternak.
- Suharto R, Agus F, Santosa Y, Sipayung T, Gunarso, P. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energy Directive (EU Directive 2018/2001) dan EU Commission Delegated Regulation 2019/807 serta Perumusan Posisi Indonesia terhadap Kebijakan Tersebut. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; PT Riset Perkebunan Nusantara.
- United Nations. 2008. Biodiversity and Agriculture: Safeguarding Biodiversity and Securing Food for the World. Secretariat of the Convention on Biological Diversity. ISBN: 92-9225-111-2.
- Utomo BN, Widjaja E. 2012. Pengembangan Sapi Potong Berbasis Industri Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Litbang Pertanian. 31(4): 153-161.
- Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 11(7): 1-19.
- Wilcove DS, Koh LP. 2010. Addressing the threats to biodiversity from oil-palm agriculture. Biodiversity & Conservation. 19: 999–100.
- Winarso, Basuno E. 2013. Pengembangan Pola Integrasi Tanaman – Ternak Merupakan Bagian Upaya Mendukung Usaha Pembibitan Sapi Dalam Negeri. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 31(2): 151-169.
- Yasin S, Iwan D, Ade C. 2006. Pengaruh Tanaman Penutup Tanah dan Berbagai Umur Tanaman Sawit Terhadap Kesuburan Tanah Ultisol di Kabupaten Dharmasraya. Jurnal Solum. 3(1): 34-39.