Key Takeaways
- Bursa karbon telah dibuka di Indonesia sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) secara global.
- Perdagangan karbon (carbon trading) mengikuti prinsip Polluter Pay Principles (PPP), di mana perusahaan yang menghasilkan polusi GRK harus membayar emisinya.
- Perkebunan sawit memiliki potensi untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon dengan tiga skema: konservasi karbon stok, peningkatan karbon stok, dan penurunan emisi dalam produksi minyak sawit.
- Peraturan Presiden dan peraturan lingkungan telah mengatur perdagangan karbon melalui bursa karbon di Indonesia.
- Dalam mekanisme perdagangan karbon, perusahaan diberikan izin emisi karbon tertentu, dan jika melebihi izin tersebut, harus mengimbangi emisinya atau membeli izin dari perusahaan lain.
- Sektor perkebunan, termasuk perkebunan sawit, diakui memiliki potensi besar dalam mengurangi emisi GRK melalui penyerapan karbon atmosfer melalui fotosintesis.
- Perkebunan sawit memiliki tiga skema potensial dalam perdagangan karbon: konservasi stok karbon, peningkatan karbon stok, dan penurunan emisi dalam produksi.
- Inovasi teknologi dan manajemen dapat meningkatkan karbon stok perkebunan sawit.
- Proses produksi minyak sawit menghasilkan emisi GRK, tetapi dengan inovasi teknologi, emisi ini dapat dikurangi.
Table of Contents
Resume
Perdagangan karbon merupakan salah satu wahana untuk memperluas partisipasi dunia usaha bahkan masyarakat untuk ikut dalam upaya menurunkan emisi GRK global. Perdagangan karbon pada dasarnya mengadopsi prinsip Polluter Pay Principles (PPP). Perkebunan sawit berpotensi untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon. Tiga skema penurunan emisi GRK global dari perkebunan sawit yakni konservasi karbon stok, peningkatan karbon stok, dan penurunan emisi dalam proses produksi minyak sawit.
Pendahuluan
Bursa karbon di Indonesia telah dibuka dan diresmikan Presiden RI Joko Widodo pada tanggal 26 September 2023. Pembukaan bursa karbon tersebut merupakan tindak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) No. 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.
Peraturan Presiden tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI (Permen LHK) No. 21 Tahun 2022 tentang Tatalaksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Sedangkan perdagangan karbon melalui bursa karbon diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 14 Tahun 2023 tentang Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SE-OJK) No. 12/SEOJK.04/2023 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.
Perdagangan karbon dapat dilakukan secara langsung maupun secara tak langsung (melalui bursa karbon). Pembukaan bursa karbon tersebut merupakan babak baru dan menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk memfasilitasi partisipasi dunia usaha bersama dengan komunitas internasional untuk ikut berkontribusi lebih besar dalam menurunkan emisi karbon atmosfer bumi.
Dalam Permen LHK No. 21 Tahun 2022 tersebut pada prinsipnya menyebutkan bahwa perdagangan karbon dapat berlaku pada setiap sektor/sub sektor dan pelaku usaha, termasuk perkebunan sawit. Prinsip ini sesuai dengan kenyataan bahwa setiap aktivitas manusia menghasilkan emisi karbon atau setara karbon sehingga untuk menurunkan emisi memerlukan gerakan bersama.
Pada artikel jurnal ini akan didiskusikan sejarah dan prinsip dasar perdagangan karbon yang sedang berlaku. Kemudian didiskusikan potensi perkebunan sawit untuk ikut berpartisipasi dalam perdagangan karbon.
Prinsip Carbon Trading
Seluruh komunitas internasional berada dalam satu “rumah besar” bernama ekosistem planet bumi. Atmosfer planet bumi telah dijejali sampah dari kegiatan manusia yakni gas-gas rumah kaca (GRK) atau greenhouse gasses (GHG) yang terdiri dari gas CO2, CH4, NxO, dan lain lain, dimana konsentrasi gas-gas tersebut telah melampaui konsentrasi alamiahnya. Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC (1991) mengungkapkan konsentrasi CO2 pada atmosfer bumi telah meningkat dari 280 ppmv (part per million volume) pada 1800-an menjadi 353 ppmv pada tahun 1990.
Konsentrasi CO2 pada atmosfer bumi tahun 2005 meningkat mencapai 379 ppmv kemudian mengalami kenaikan menjadi 396 ppmv tahun 2013, dan 399 ppmv tahun 2015, kemudian terus meningkat menjadi 407 ppmv pada tahun 2018 (IEA, 2013, 2016, 2019). Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mengungkapkan bahwa tingkat konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer bumi pada Mei 2022 telah meningkat menjadi 417.6 ppmv.
Peningkatan konsentrasi GRK tersebut diyakini menyebabkan semakin banyak panas matahari yang terperangkap dalam atmosfer bumi sehingga mengakibatkan terjadinya pemanasan global (global warming) dan perubahan iklim global (global climate changes) (PASPI, 2023). Sebagai satu “rumah besar”, dampak pemanasan global dan perubahan iklim global tersebut dirasakan seluruh komunitas dunia tanpa terkecuali dan dinilai telah mengancam kehidupan dalam ekosistem planet bumi. Solusinya adalah perlunya gerakan bersama komunitas global untuk menghentikan, menurunkan emisi GRK global dan menyerap kembali emisi GRK yang terlanjur lepas ke atmosfer bumi.
Bentuk komitmen komunitas global tertuang dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang dibentuk pada tanggal 21 Maret 1994. UNFCCC tersebut beranggotakan 197 negara (termasuk Indonesia) merajut konvensi atau perjanjian internasional yang bertujuan menjaga atau menurunkan konsentrasi GRK atmosfer bumi kembali pada konsentrasi alamiahnya. Anggota (parties) UNFCC tersebut melakukan Conference of Parties (COP) secara periodik. COP pertama dilaksanakan pada tahun 1995 di Berlin, Jerman, selanjutnya pelaksanaan COP ketiga terjadi pada tahun 1997 di Kyoto yang menghasilkan Kyoto Protocol. Pada COP ke-15 dilaksanakan pada tahun 2015 di Paris yang kemudian menghasilkan Paris Agreement. Penyelenggaraan COP ke-27 pada tahun 2022 di Glasgow Skotlandia.
Upaya penurunan emisi GRK di bawah UNFCCC tersebut didasarkan pada teori Polluter’s Pay Principles/PPP (OECD, 1992; Munir, 2013). Menurut teori PPP tersebut, siapa yang menghasilkan polusi (emisi GRK) harus membayar emisinya dan siapa yang tidak menghasilkan emisi, menyerap emisi, atau mengurangi emisi GRK dapat memperoleh insentif.
Negara-negara maju yang umumnya memiliki tingkat emisi yang relatif tinggi dikelompokkan dalam Annex 1, dimana negara-negara tersebut wajib menurunkan emisi. Sedangkan negara-negara berkembang yang umumnya menghasilkan emisi yang lebih rendah (non-Annex 1) tidak diwajibkan namun secara sukarela dapat ikut menurunkan emisinya.
Indonesia secara sukarela juga telah mengambil inisiatif untuk menyusun rencana penurunan emisi yang dikenal dengan Nationally Determined Contribution (NDC) sejak tahun 2016. Melalui NDC tersebut, Pemerintah Indonesia bertekad untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 persen (unconditional) dan sebesar 41 persen (conditional) pada tahun 2030 (Pemerintah Republik Indonesia, 2016, 2021).
Implementasi teori PPP tersebut dalam kerjasama dibawah UNFCCC (khususnya Kyoto Protocol dan Paris Agreement) diwujudkan dalam tiga bentuk yakni: Pertama, kerjasama antar negara-negara maju melalui Joint Investment (JI) untuk membangun proyek-proyek penurunan emisi di negara-negara maju (Annex 1). Kedua, kerjasama negara-negara maju (Annex 1) dengan negara-negara berkembang (non-Annex 1) melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) untuk menurunkan emisi di negara-negara non-Annex 1. Dan Ketiga, mekanisme perdagangan karbon (Cap & Trade).
Ketiga mekanisme perdagangan karbon tersebut menganut teori PPP. Kelompok negara-negara yang emisinya lebih tinggi (Annex 1) membayar kelompok negara-negara yang lebih rendah emisinya (non-Annex 1) melalui mekanisme JI dan CDM. Mekanisme perdagangan karbon berpedoman pada Kyoto Protocol dan Paris Agreement (Metcalf, 2009). Perdagangan karbon merupakan salah satu mekanisme untuk menurunkan emisi global dengan memperluas partisipasi dunia usaha (McAllister, 2012).
Dalam mekanisme perdagangan karbon, berdasarkan prosedur baseline yang ditetapkan pemerintah, setiap perusahaan diberikan batas (permits/allowance) emisi karbon yang boleh dikeluarkan perusahaan yang bersangkutan selama periode tertentu. Kemudian setelah perusahaan beroperasi selama periode yang ditetapkan dilakukan verifikasi emisi karbon yang dikeluarkan. Jika jumlah emisi karbon perusahaan yang bersangkutan melebihi izin (permit) emisi karbon yang sudah ditetapkan, maka perusahaan tersebut wajib menutup (offset) emisi karbonnya dari perusahaan lain yang emisi karbonnya di bawah izinnya. Sebaliknya, jika jumlah emisi karbon perusahaan tidak melebihi izin (permits), maka selisihnya dapat diperdagangkan (tradable) baik melalui perdagangan langsung (dengan perusahaan yang emisi karbon melebihi izinnya) maupun perdagangan di bursa karbon yang diatur pemerintah.
Dibandingkan dengan mekanisme pajak karbon yang telah lama diadopsi negara-negara dunia untuk mengendalikan emisi, penurunan emisi melalui mekanisme perdagangan karbon memang memiliki sejumlah kelemahan. Salah satu kelemahan perdagangan karbon adalah volatilitas harga karbon yang relatif tinggi (Metcalf dan Weisbach, 2009). Harga karbon di kawasan Eropa misalnya berfluktuasi dari sekitar 25 euro per ton CO2 tahun 2008 menjadi hanya 0.15 euro per ton CO2 tahun 2019. Selain itu, perdagangan karbon lebih rumit karena harus menentukan baseline, pembagian izin (permits), monitoring perdagangan karbon, offsetting emisi karbon antar negara, dan juga perizinan transaksi komoditas berjangka (Avi-Yonah et al., 2009).
Potensi Carbon Trade Sawit
Sektor pertanian termasuk perkebunan telah lama diakui memiliki multifungsi baik fungsi ekonomi, sosial, dan lingkungan (Huylenbroeck et al., 2007). Kemampuan tanaman dalam fotosintesis yang menyerap karbon dari atmosfer bumi, menjadikan pertanian sebagai salah satu solusi penurunan emisi dari atmosfer bumi.
Dalam Permen LHK No. 21 Tahun 2022, sektor perkebunan termasuk perkebunan sawit menjadi salah satu subsektor yang ditargetkan dalam perdagangan karbon. Terdapat tiga skema dari perkebunan sawit yang dapat menyumbang pada pengurangan emisi global (PASPI Monitor, 2023a) sehingga cukup potensial dapat berpartisipasi dalam perdagangan karbon.
Pertama, skema konservasi stok karbon (carbon sink/carbon sequestration). Kelapa sawit merupakan tanaman perenial dengan siklus produksi (life span) selama 25-30 tahun. Dengan karakteristik yang demikian, perkebunan sawit dapat dipandang sebagai “perkebunan karbon” (Gambar 1).
Gambar 1 Penyerapan CO2 dan Karbon Stok pada Perkebunan Sawit
![Penyerapan CO2 dan Karbon Stok pada Perkebunan Sawit [Jurnal 2023] CARBON TRADING DAN POTENSI PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA Penyerapan CO2 dan Karbon Stok pada Perkebunan Sawit](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/02/Penyerapan-CO2-dan-Karbon-Stok-pada-Perkebunan-Sawit.webp)
Melalui proses fotosintesis, kebun sawit menyerap CO2 dari atmosfer bumi sekitar 161 ton CO2 eq per hektar dan secara netto menjadi penyerap karbon (carbon sink) sebesar 64.5 ton CO2 eq per hektar (Tabel 1).
Tabel 1 Perbandingan Penyerapan Karbon Kelapa Sawit dengan Hutan Tropis
Indikator | Hutan Tropis | Kebun Sawit |
---|---|---|
Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun) | 163.5 | 161.0 |
Total respirasi (ton CO2/ha/tahun) | 121.1 | 96.5 |
Asimilasi neto (ton CO2/ha/tahun) | 42.4 | 64.5 |
Produksi oksigen (ton O2/ha/tahun) | 7.09 | 18.70 |
Indeks luas daun | 7.3 | 5.6 |
Efisiensi fotosintesis (%) | 1.73 | 3.18 |
Efisiensi konversi radiasi (g/mj) | 0.86 | 1.68 |
Total biomas di area (ton/ha) | 431 | 100 |
Incremental biomas (ton/ha/tahun) | 5.8 | 8.3 |
Produktivitas bahan kering (ton/ha/tahun) | 25.7 | 36.5 |
Karbon yang diserap oleh perkebunan sawit melalui mekanisme biosekuestrasi disimpan pada biomassa tanaman sawit itu sendiri (above ground biomass). Selanjutnya proses sekuestrasi yang berlangsung pada sistem perakaran bawah tanah (under ground biomass) kemudian disimpan dalam karbon organik tanah dan karbon anorganik tanah yang lebih dikenal dengan karbon stok.
Besarnya karbon stok perkebunan sawit bervariasi tergantung berbagai faktor seperti umur tanaman, produktivitas, dan populasi tanaman. Umumnya semakin tua umur tanaman sawit akan diikuti dengan peningkatan karbon stok (Singh et al., 2018; Lamade dan Bouillet, 2015).
Studi Chan (2002) mengungkapkan bahwa karbon stok perkebunan sawit berkisar antara 16.12-45.28 ton C/ha. Studi Kusumawati et al. ( 2021) mengungkapkan karbon stok perkebunan sawit berkisar antara 43.50-74.7 ton C/ha. Kemudian studi Khasanah et al. (2019) juga mengungkapkan bahwa karbon stok perkebunan sawit rata-rata sebesar 40 ton C/ha. Studi Setiadi et al. (2020) juga menemukan bahwa karbon stok kebun sawit berkisar antara 34.16-69.32 ton C/ha.
Karbon stok tersekuestrasi di lokasi perkebunan sawit hingga 25-30 tahun. Hal ini berbeda dengan karbon stok Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dipanen pada umur kurang dari 10 tahun. Bahkan kemampuan penyerapan karbon dioksida dari atmosfer bumi pada perkebunan sawit lebih besar dari pada hutan tropis yang sudah dewasa (Tabel 1).
Karbon stok perkebunan sawit tersebut merupakan akumulasi dari hasil proses penyerapan CO2 dari atmosfer bumi dapat dilihat sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim (PASPI Monitor, 2023b) yakni pengurangan konsentrasi CO2 pada atmosfer bumi. Sehingga karbon stok pada perkebunan sawit dapat diperdagangkan dalam perdagangan karbon.
Kedua, skema peningkatan karbon stok perkebunan sawit. Berbagai inovasi teknologi jika diterapkan pada perkebunan sawit dapat meningkatkan karbon stok perkebunan sawit. Inovasi teknologi yang dimaksud adalah perbaikan manajemen, inovasi teknologi peningkatan produktivitas perkebunan sawit, serta integrasi tanaman sawit dengan tanaman hutan, tanaman buah-buahan, teknologi biochar, dan lain-lain.
Melalui perbaikan manajemen dan peningkatan produktivitas kebun sawit akan meningkatkan karbon stok atau soil organic carbon (Rahman et al., 2021). Integrasi tanaman sawit dengan tanaman lain (agroforestry) dilaporkan juga dapat meningkatkan karbon stok kebun sawit (Ahirwal et al., 2022). Inovasi teknologi biochar sebagai pengolahan tandan kosong juga meningkatkan dapat karbon stok (Noiret et al., 2022).
Pertumbuhan karbon stok kebun sawit dengan inovasi manajemen, teknologi, dan diversifikasi tersebut berarti terjadi peningkatan penyerapan karbon dioksida dari atmosfer bumi. Hal ini juga merupakan bagian mitigasi perubahan iklim yakni mengurangi konsentrasi GRK atmosfer bumi. Sehingga pertumbuhan karbon stok perkebunan sawit juga dapat diperdagangkan dalam perdagangan karbon.
Ketiga, skema penurunan emisi karbon. Meskipun perkebunan sawit memiliki kemampuan meningkatkan karbon stok, proses produksi minyak sawit juga menghasilkan emisi. Menurut studi Mathews dan Ardiyanto (2015), kontribusi emisi terbesar pada tahap proses produksi kebun sawit hingga ke CPO Mill bersumber dari (Gambar 2) POME (62 persen), kemudian disusul oleh pupuk (31.5 persen) dan energi fosil (5.1 persen).
Gambar 2 Sumber Utama Emisi pada Produksi Minyak Sawit
![Sumber Utama Emisi pada Produksi Minyak Sawit [Jurnal 2023] CARBON TRADING DAN POTENSI PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA Sumber Utama Emisi pada Produksi Minyak Sawit](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/02/Sumber-Utama-Emisi-pada-Produksi-Minyak-Sawit.webp)
Dengan berbagai inovasi teknologi, emisi GRK dari proses produksi minyak sawit dapat diturunkan. Aplikasi teknologi methane capture untuk pengolahan POME dapat menurunkan emisi GRK sangat signifikan mencapai 66 hingga 90 persen (Mathews dan Ardiyanto, 2015; Nisa dan Wijayanti, 2023). Adopsi teknologi methane capture tersebut dapat menurunkan emisi CPO Mill secara signifikan tanpa berpengaruh pada produksi CPO.
Inovasi teknologi pupuk juga dapat menurunkan emisi pupuk sekaligus meningkatkan produktivitas minyak. Inovasi teknologi pupuk controlling release fertilizer (coating) dapat menurunkan emisi pupuk hingga 50 persen (Sikora et al., 2020; IFA, 2022). Demikian juga, substitusi pupuk anorganik dengan biofertilizer juga menurunkan emisi GRK dari pupuk tanpa mempengaruhi produktivitas tanaman (Sun et al., 2021; Hidayat et al., 2023).
Berdasarkan berbagai hasil studi (Seng et al., 2021; Vincenza, 2021) menunjukkan bahwa kombinasi perbaikan teknologi dan manajemen dapat menurunkan emisi GRK pada produksi minyak sawit (Gambar 3).
Gambar 3 Skenario Penurunan Emisi pada Produksi Minyak Sawit dengan Berbagai Inovasi Teknologi dan Manajemen (PASPI Monitor, 2021; PASPI, 2023)
![Skenario Penurunan Emisi pada Produksi Minyak Sawit dengan Berbagai Inovasi Teknologi dan Manajemen [Jurnal 2023] CARBON TRADING DAN POTENSI PERKEBUNAN SAWIT INDONESIA Skenario Penurunan Emisi pada Produksi Minyak Sawit dengan Berbagai Inovasi Teknologi dan Manajemen](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/02/Skenario-Penurunan-Emisi-pada-Produksi-Minyak-Sawit-dengan-Berbagai-Inovasi-Teknologi-dan-Manajemen.webp)
Ket:
A : Kebun sawit + No Gap – No methane capture – No biomass energy
B : Kebun sawit + GAP – No methane capture – No biomass energy
C : Kebun sawit + GAP – Biomass energy – No methane capture
D : Kebun sawit + GAP + methane capture – No biomass energy
E : Kebun sawit + GAP + methane capture + biomas energy
Perubahan (penurunan) emisi GRK dengan mengadopsi inovasi teknologi dan manajemen produksi minyak sawit, tentu saja merupakan bagian dari mitigasi perubahan iklim. Penurunan emisi GRK tersebut dibandingkan baseline, potensial untuk diperdagangkan dalam perdagangan karbon.
Dengan ketiga skema diatas, jelas menunjukkan bahwa perkebunan sawit merupakan bagian solusi dari upaya penurunan emisi GHG atmosfer bumi baik melalui penyerapan kembali GRK dari atmosfer bumi (karbon stok dan peningkatan karbon stok) maupun melalui pengurangan emisi dalam proses produksi minyak sawit. Oleh karena itu, perkebunan sawit potensial ikut dalam perdagangan karbon yang sedang berkembang.
Kesimpulan
Komunitas global yang tergabung dalam United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) berkomitmen untuk menjaga atau menurunkan konsentrasi GRK atmosfer bumi kembali pada konsentrasi alamiahnya sebagai bentuk mitigasi dari global warming dan global climate change. Salah satu upaya menurunkan emisi GRK global yang digagas oleh komunitas global tersebut melalui perdagangan karbon.
Perdagangan karbon pada dasarnya mengadopsi prinsip Polluter Pay Principles. Jika jumlah emisi karbon perusahaan yang bersangkutan melebihi izin (permit) emisi karbon yang sudah ditetapkan, maka perusahaan tersebut wajib menutup (offset) emisi karbonnya dari perusahaan lain yang emisi karbonnya di bawah izinnya. Vice Versa.
Perkebunan sawit memiliki potensi yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam perdagangan karbon. Tiga skema penurunan emisi GRK global dari perkebunan sawit yakni konservasi karbon stok, peningkatan karbon stok, dan penurunan emisi dalam proses produksi minyak sawit.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka (Link)
- Ahirwal J, Sahoo UK, Thangjam U, Thong P. 2021. Oil Palm Agroforestry Enhances Crop Yield and Ecosystem Carbon Stock in Northeast India: Implications for The United Nations Sustainable Development Goals. Sustainable Production and Consumption.
- Avi-Yonah R, Uhlmann DM. 2009. Combating Global Climate Change: Why A Carbon Tax is a Better Response to Global Warming Than Cap and Trade. Stanford Environmental Law Journal. 28(3): 3-50.
- Chan CK. 2002. Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strength. Dipresentasikan pada seminar R&D for competitive edge in the Malaysian Oil Palm Industry Malaysian Palm Oil Association (MPOA).
- Henson I. 1999. Comparative Ecophysiology of Palm Oil and Tropical Rainforest. Oil Palm and Environment: A Malaysian Perspective. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Oil Palm Brower Council.
- Hidayat F, Yudhistira, Sapalina F, Pane RDP, Listia E, Amalia R, Winarna. 2023. Aplikasi Pupuk Hayati Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produktivitas Tanaman Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 31(2): 96-107.
- Huylenbroeck GV, V Vandermulen, EM Penningen, A Verspecht. 2007. Multifunctionality of Agriculture: A Review Definition, Evidence, and Instruments. Living Review in Landscape Research. 1(3).
- [IEA] International Energy Agency. 2013. Emission from Fuel Combustion.
- [IEA] International Energy Agency. 2016. Emission from Fuel Combustion.
- [IEA] International Energy Agency. 2019. Emission from Fuel Combustion.
- [IFA] International Fertilizer Association. 2022. Reducing Emissions From Fertilizer Use.
- Khasanah NM, V Noordwijk, H Ningsih, S Rahayu. 2019. Carbon Neutral? No Change in Mineral Soil Carbon Stock Under Oil Palm Plantations Derived from Forest or Non-Forest in Indonesia. Agriculture, Ecosystems and Environment. 211: 195–206.
- Kusumawati SA, Yahya S, Hariyadi, Mulatsih S, Istina IN. 2021. The Dynamic of Carbon Dioxide (CO2) Emission and Land Coverage on Intercropping System on Oil Palm Replanting Area. Journal of Oil Palm Research. 33(2): 267-277.
- Lamade E, Bouillet JP. 2015. Carbon Storage and Global Change: The Role of Oil Palm. CIRAD.
- Mathews J, Ardiyanto A. 2015. Estimation Of Greenhouse Gas Emissions for Palm Oil Biodiesel Production: A Review And Case Study Within The Council Directives 2009/28/Ec Of The European Parliament. Journal of Oil Palm, Environment & Health. 6:25-41.
- Mcallister L. 2012. Cap and Trade: Chapter 11. University of California, Davis.
- Metcalf GE. 2009. Designing a Carbon Tax to Reduce U.S. Greenhouse Gas Emissions. Review of Environmental Economics and Policy. 3(1): 63–83.
- Metcalf GE, Weisbach D. 2009. The Design Of A Carbon Tax. US: The Law School The University Of Chicago.
- Munir M. 2013. History and Development of the Polluter Pays Principle: How an Economic Idea Became a Legal Principle?. Social Science Research Network.
- Nisa JK, Wijayanti P. 2023. Methane Emissions Reduction from Palm Oil Mill Effluent through a Biogas Plant (Case Study: Tungkal Ulu Biogas Plant, Jambi). Jurnal Wilayah dan Lingkungan. 11(1).
- Noirot LM, Müller-Sto ̈ver DS, Wahyuningsih R, Sørensen H , Sudarno, Simamora A, Pujianto, Suhardi, Caliman JP. 2022. Impacts Of Empty Fruit Bunch Applications On Soil Organic Carbon In An Industrial Oil Palm Plantation. Journal of Environmental Management.
- [OECD] Organisation for Economic Co-Operation and Development. 1992. The Polluter-Pays Principle : Analyses And Recommendation.
- PASPI. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute
- PASPI Monitor. 2021. Palm Oil Industry Will Become A Net Carbon Sink. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(47): 575-580
- PASPI Monitor. 2023a. Kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emissions (NZE) Indonesia serta Tiga Jalur Kontribusi Industri Sawit. Artikel Diseminasi dan Policy Brief No. 2.
- PASPI Monitor. 2023b. Global Warming dan Solusi dari Industri Sawit. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 4(7): 783-789.
- Pemerintah Republik Indonesia. 2016. First Nationally Determined Contribution.
- Pemerintah Republik Indonesia. 2021a. Updated Nationally Determined Contribution.
- Rahman N, Giller KE, Neergaard Ad, Magid J, Ven GVD, Bruun TD. 2021. The Effects of Management Practices on Soil Organic Carbon Stocks of Oil Palm Plantations in Sumatra, Indonesia. Journal of Environmental Management. 278(2).
- Seng QK, J Tamahrajah. 2021. My Say: The Palm Oil Industry Can Be Net-Zero Carbon by 2040. Edge Malaysia Weekly.
- Sikora J, Niemiec M, Szelag-Sikora A, Gródek-Szostak Z, Kubon M, Komorowska M. 2020. The Impact of a Controlled-Release Fertilizer on Greenhouse Gas Emissions and the Efficiency of the Production of Chinese Cabbage. Energies. 13(8): 2063.
- Singh SL, Sahoo UK, Kenye A, Gogoi A. 2018. Assessment of Growth, Carbon Stock and Sequestration Potential of Oil Palm Plantations in Mizoram, Northeast India. Journal of Environmental Protection. 9(9): 912-931.
- Sun H, Zhang Y, Yang Y, Chen Y, Jeyakumar P, Shao Q, Zhou Y, Ma M, Zhu R, Qian Q, Fan Y, Xiang S, Zhai N, Li Y, Zhao Q, Wang H. Effect of Biofertilizer and Wheat Straw Biochar Application on Nitrous Oxide Emission and Ammonia Volatilization from Paddy Soil. Environmental Pollution. 15(275). Vincenza M. 2021. The Environmental Impacts of Palm Oil and Main Alternative Oils. Euro- Mediterranean Centre on Climate Change (CMCC)