Back to Top
Rating & Comment

[Jurnal 2023] COP-28 DUBAI SUMMIT, EMISI ENERGI FOSIL, DAN BIOENERGI SAWIT

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Resume

Penyelenggaraan COP-28 di Dubai pada tahun 2023 menunjukkan kuatnya komitmen komunitas global dalam penurunan emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim global. Pengembangan bioenergi sawit (generasi satu, dua, dan tiga) menjadi solusi konkret menurunkan konsumsi energi fosil (solar/diesel, bensin, avtur, batu bara, gas alam), mengingat penggunaan energi fosil merupakan sumber utama emisi GRK global. Oleh karena itu, industri sawit dan bioenergi sawit harus ditempatkan menjadi bagian program mitigasi perubahan iklim baik di level lokal, nasional, maupun global.



Pendahuluan

United Nations Climate Change Conference (UNFCCC) atau lebih dikenal sebagai Conference of Parties (COP) merupakan konferensi internasional yang diadakan setiap tahun untuk membahas isu dan komitmen dunia dalam rangka mencegah perubahan iklim dan meminimalisir kenaikan suhu bumi. Penyelenggaraan COP telah berlangsung sejak tahun 1995 di Berlin Jerman. Penyelenggaraan pada tahun ini merupakan yang ke-28 (COP-28) yang berlangsung pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2023 di Dubai United Arab Emirat (UAE).

Sebagaimana pelaksanaan COP sebelumnya, fokus konferensi internasional adalah membangun dan memperbarui komitmen internasional untuk mengatasi perubahan iklim (global climate changes) yang semakin mengancam kehidupan di planet bumi. Penyebabnya sudah diketahui dan diyakini yakni terjadinya pemanasan global (global warming) akibat peningkatan emisi Gas-Gas Rumah Kaca/GRK (Greenhouse Gasses/GHG) ke atmosfer bumi (PASPI, 2023).

Komponen emisi GRK terbesar di atmosfer bumi adalah karbon dioksida (CO2) (Olivier et al., 2022), dimana emisi tersebut juga mengalami peningkatan konsentrasi dari 280 ppmv (part per million volume) pada 1800-an menjadi 353 ppmv pada tahun 1990 dan kemudian terus meningkat menjadi 407 ppmv pada tahun 2018 (IEA, 2013, 2016, 2019). Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (National Aeronautics and Space Administration/NASA) mengungkapkan bahwa tingkat konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer bumi pada Mei 2022 telah meningkat menjadi 417.6 ppmv.

Sumber utama emisi GRK (termasuk emisi CO2) global juga sudah diketahui publik yakni emisi dari penggunaan energi fosil (batubara, minyak bumi, dan gas alam). Oleh karena itu, komunitas ilmuwan dunia mengeluarkan peringatan “stop fossil fuels before it’s too late” (IPCC, 2023).

Dalam rangka memitigasi peningkatan emisi GRK tersebut, komunitas global diharuskan untuk mengurangi (bahkan menghentikan) penggunaan energi fosil. Hal ini menjadi permasalahan, mengingat pengurangan (dan penghentian) penggunaan energi fosil juga berarti dengan penurunan kesejahteraan masyarakat dunia. Oleh karena itu, terdapat dua solusi yang dianggap realistis yakni: (1) penyerapan kembali konsentrasi emisi GRK yang terlanjur tinggi pada atmosfer, dan (2) mencegah peningkatan konsentrasi emisi GRK ke atmosfer bumi dengan mengganti secara bertahap energi fosil dengan energi yang lebih rendah emisi.

Tulisan ini akan mendiskusikan kontribusi emisi energi fosil global dalam emisi GRK global. Kemudian akan didiskusikan juga terkait dengan potensi bioenergi sawit sebagai bagian solusi baik untuk menyerap kembali GRK yang terlanjur lepas ke atmosfer bumi maupun pengganti energi fosil untuk mengurangi emisi GRK.

Key Takeaways

  • COP-28 di Dubai pada tahun 2023 menunjukkan komitmen global untuk penurunan emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim.
  • Bioenergi sawit (generasi satu, dua, dan tiga) dianggap sebagai solusi konkret untuk mengurangi konsumsi energi fosil dan emisi GRK global.
  • Emisi GRK global pada tahun 2022 mencapai sekitar 53.8 Gt CO2 eq, dengan peningkatan sebesar 1.4 persen dibandingkan tahun 2021.
  • China, Amerika Serikat, dan India menjadi top-3 negara emitter GRK global pada tahun 2022.
  • Sekitar 76 persen dari emisi GRK global tahun 2022 berasal dari energi fosil.
  • Konsumsi batubara, minyak bumi, dan gas alam merupakan penyumbang utama emisi GRK dari energi fosil.
  • Bioenergi sawit memiliki potensi sebagai substitusi energi fosil, dengan tiga generasi produk termasuk biodiesel, bioetanol, dan biogas.
  • Penggunaan biodiesel sawit dapat menghemat emisi hingga 62 persen dibandingkan dengan solar fosil.
  • Program mandatori biodiesel (B30) di Indonesia berhasil menurunkan emisi GRK sebesar 27.8 juta ton CO2 eq pada tahun 2022.
  • Industri sawit perlu diintegrasikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui penggunaan bioenergi sawit sebagai substitusi energi fosil.

Emisi Energi Fosil

Studi terbaru emisi GRK global (European Commission, 2023; IEA, 2023) mengungkapkan bahwa emisi GRK global masih mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Emisi GRK global tahun 2022 mencapai sekitar 53.8 Gt CO2 eq. Emisi GRK global tahun 2022 tersebut meningkat 1.4 persen dari GRK global tahun 2021, meningkat 6.2 persen dibandingkan GRK global tahun 2020, dan meningkat 2.3 persen dibandingkan GRK global tahun 2019 (sebelum Pandemi Covid-19).

Top-5 negara emitter GRK global (Gambar 1) adalah China dengan emisi sebesar 15.7 Gt CO2 eq atau pangsanya sebesar 29.2 persen dari GRK global. Kemudian disusul oleh Amerika Serikat sebesar 6 Gt CO2 eq (11.2 persen), India sebesar 3.9 Gt CO2 eq (7.3 persen), EU-27 sebesar 3.6 Gt CO2 eq (6.7 persen), dan Rusia sebesar 2.6 Gt CO2 eq (4.8 persen). Pangsa kelima negara tersebut mencapai hampir 60 persen dari emisi GRK global tahun 2022. Negara-negara tersebut secara konsisten menjadi Top-5 emitter GRK global sejak tahun 1970-an (PASPI, 2023).

Gambar 1. Top-5 Negara Emitter GRK Global Tahun 2022 (Sumber: European Commission, 2023)

emisi energi fosil
Gambar 1. Top-5 Negara Emitter GRK Global Tahun 2022 (Sumber: European Commission, 2023)

Sumber utama emisi GRK global adalah energi fosil. Dari 53.8 Gt CO2 eq emisi GRK global tahun 2022, sekitar 76 persen (41.2 Gt CO2 eq) merupakan emisi yang bersumber dari energi fosil (European Commission, 2023; IEA, 2023). Emisi GRK dari energi fosil tersebut meningkat hampir 1.5 kali lipat dari hanya sekitar 28.1 Gt CO2 eq pada tahun 2000 (Gambar 2).

Dalam periode tahun 2000-2022, emisi dari konsumsi batubara (coal) meningkat hampir dua kali lipat dari hanya 8.9 Gt CO2 eq menjadi 15.5 Gt CO2 eq. Kontribusi emisi dari minyak bumi (oil) juga meningkat dari 9.7 Gt CO2 eq menjadi 11.2 Gt CO2 eq. Demikian juga emisi gas alam (natural gas) meningkat dari 4.6 Gt CO2 eq menjadi 7.3 Gt CO2 eq dalam periode yang sama. Ketiga sumber energi fosil tersebut menyumbang sekitar 82 persen emisi GRK energi fosil.

Gambar 2. Kontribusi Energi Fosil dalam GRK Global Periode Tahun 2000-2022 (Sumber: IEA, 2023)

Kontribusi Energi Fosil dalam GRK Global Periode Tahun 2000 2022
Gambar 2. Kontribusi Energi Fosil dalam GRK Global Periode Tahun 2000-2022 (Sumber: IEA, 2023)

Perkembangan dan komposisi sumber emisi GRK global maupun emisi GRK dari energi fosil tersebut mengungkapkan bahwa total emisi GRK global masih berada pada tren yang meningkat. Sumber emisi GRK utama global masih tetap berasal dari energi fosil. Tiga sumber energi fosil dunia yakni batu bara, minyak fosil, dan gas alam masih menjadi kontributor utama GRK global. Bahkan kontribusi emisi batu bara cenderung meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir. Demikian juga dengan Top-5 emitter GRK global belum berubah.

Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya-upaya internasional untuk menurunkan emisi GRK global termasuk adopsi program energy mix tampaknya masih sekadar retorika belaka. Tekanan negara maju, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat, dengan menggerakkan NGO trans-nasional pada isu deforestasi, termasuk menghambat industri sawit dan komoditas tropis lainnya dengan alasan penurunan emisi global (PASPI Monitor, 2022a; 2022b) merupakan argumen yang salah alamat atau meng-address masalah yang salah. Masalah utamanya yakni konsumsi energi fosil yang semakin besar dan terus meningkat sebagai sumber emisi GRK penyebab global warming dan global climate change.

Seharusnya penurunan konsumsi energi fosil menjadi agenda utama negara-negara maju dalam upaya penurunan emisi GRK. Bukan sebaliknya dengan mengalihkan isu atau meng-addresss masalah yang salah karena hal tersebut tidak berkontribusi pada penyelesaian persoalan utama yakni penurunan emisi GRK global. Komunitas internasional harus fokus untuk mencari solusi atas persoalan utama yakni bagaimana mengurangi konsumsi energi fosil melalui substitusi dengan sumber-sumber energi yang emisinya lebih rendah dan bersifat renewable.


Bioenergi Sawit

Untuk mengatasi peningkatan emisi GRK global, dua solusi diperlukan sekaligus yakni bagaimana menyerap kembali emisi GRK yang terlanjur lepas ke atmosfer bumi dan mengurangi tambahan emisi dari bumi ke atmosfer, khususnya dari emisi energi fosil (energy-related  emissions). Berkaitan dengan hal tersebut, industri sawit global memiliki potensi menghadirkan kedua solusi yakni melalui penyerapan emisi karbon (carbon sink) dan penyimpanan stok karbon (biosequestrasi) (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023) serta produksi bioenergi substitusi energi fosil.

Pada dasarnya proses produksi perkebunan sawit merupakan proses pemanenan energi surya dan penyerapan karbon dari atmosfer bumi. Dengan demikian, perkebunan sawit dapat dipandang sebagai perkebunan karbon dan bioenergi (Gambar 3).

Gambar 3. Perkebunan Sawit sebagai Perkebunan Karbon dan Bioenergi

Gambar 3. Perkebunan Sawit sebagai Perkebunan Karbon dan Bioenergi
Gambar 3. Perkebunan Sawit sebagai Perkebunan Karbon dan Bioenergi

Dari proses produksi biologis perkebunan sawit dihasilkan tiga generasi bioenergi sawit secara joint product. Pertama, Bioenergi Sawit Generasi Pertama (First Generation Bioenergy) yang merupakan hasil pengolahan minyak sawit (Crude Palm Oil/CPO, Palm Kernel Oil/PKO) sebagai produk utama perkebunan sawit. Bioenergi sawit generasi pertama ini telah dikembangkan Indonesia maupun negara lainnya yakni biodiesel (Fatty Acid Methyl Ester) yang digunakan untuk substitusi solar fosil. Selain biodiesel, saat ini juga sedang dikembangkan green diesel atau solar sawit sebagai substitusi solar fosil, green gasoline (biopremium/bensin sawit) sebagai substitusi bensin fosil, dan green avtur (bioavtur sawit) sebagai substitusi avtur fosil. Pengolahan untuk menghasilkan green fuel sawit tersebut juga menghasilkan joint product berupa biogas yang dapat menjadi substitut gas alam/LNG.

Kedua, Bioenergi Sawit Generasi Kedua (Second Generation Bioenergy) yakni bioenergi sawit yang dihasilkan dari pemanfaatan biomassa perkebunan sawit. Selain menghasilkan minyak sawit (CPO/PKO) sebagai produk utama, kebun sawit juga menghasilkan biomassa sawit sebagai joint product. Biomassa yang dimaksud mencakup tandan kosong (empty fruit bunch), cangkang (palm kernel), serat buah (oil palm fibre and shell), batang kelapa sawit (oil palm trunk), dan pelepah kelapa sawit (oil palm fronds). Hasil study Foo-Yuen Ng et al. (2011) menunjukan bahwa untuk setiap hektar kebun sawit dapat menghasilkan biomassa sekitar 16 ton bahan kering (dry matter) per tahun atau sekitar tiga kali lebih besar dari produksi CPO dan PKO.

Melalui teknologi thermochemical, biological, chemical, dan physical conversion (Naik et al., 2010), biomassa sawit tersebut dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan berbagai bentuk bioenergi seperti bioetanol, biocoal, briket/biopellet, biogas dan lain-lain. Bioetanol dapat menjadi substitut atau digunakan dalam pencampuran (blending) dengan bensin fosil serta biocoal digunakan sebagai substitut atau dicampur (blended) dengan batu bara fosil.

Ketiga, Bioenergi Sawit Generasi Ketiga (Third Generation Bioenergy) yakni bioenergi sawit yang dihasilkan dari pemanfaatan limbah Pabrik Kelapa Sawit/PKS (CPO Mill) berupa POME (Palm Oil Mill Effluent). Pemanfaatan POME untuk menghasilkan bioenergi dengan mengadopsi teknologi methane capture untuk menangkap gas methane sehingga dapat menghasilkan biogas/biomethane. Biogas hasil pengolahan POME tersebut juga sudah banyak dimanfaatkan sebagai sumber listrik pada level lokal (desa sekitar PKS). Selain menghasilkan biogas, aplikasi teknologi methane capture tersebut juga dapat menurunkan emisi GRK yang sangat signifikan yakni sekitar 66-90 persen (PASPI Monitor, 2023; Nisa dan Wijayanti, 2023; Mathews and Ardiyanto, 2015).

Teknologi lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan bioenergi berbasis POME adalah menggunakan sludge digester methane capture dengan teknologi budidaya alga sehingga dapat menghasilkan biodiesel algae (Yonas et al., 2012; Nur et al., 2013,2015; Sukumaran et al., 2014).

Bioenergi sawit setidaknya memiliki dua keunggulan sebagai substitusi/blending dengan energi fosil. Pertama, bioenergi sawit dihasilkan setelah terlebih dahulu menyerap karbon dari atmosfer bumi (melalui proses fotosintesis) sehingga memiliki neraca yang relatif rendah karbon dibandingkan energi fosil. Sehingga jika bioenergi sawit digunakan untuk substitut atau blending energi fosil, maka akan terjadi penghematan emisi (saving emission). Kedua, bioenergi sawit merupakan energi terbarukan (renewable energy). Selama matahari bersinar dan karbon dioksida di atmosfer bumi ada, maka bioenergi sawit akan terus dihasilkan. Hal ini berbeda dengan energi fosil yang bersifat tak dapat diperbaharui (non-renewable energy) yang akan habis.

Substitusi atau blending bioenergi sawit dengan energi fosil telah terbukti dapat menurunkan emisi (PASPI, 2023).  European Commission Joint Research Centre (2013) mengungkapkan bahwa biodiesel sawit yang dihasilkan dari PKS (CPO Mill) yang menerapkan teknologi methane capture mampu menghemat emisi (emission saving) mencapai 62 persen. Jika dibandingkan dengan minyak nabati lain, kemampuan biodiesel sawit tersebut juga lebih tinggi dibandingkan biodiesel nabati lain seperti biodiesel rapeseed (45 persen) maupun biodiesel kedelai (40 persen). Hal ini juga terkait dengan proses produksi minyak sawit yang menghasilkan emisi yang lebih kecil dibanding minyak nabati alternatif (Beyer et al., 2020; Beyer dan Rademacher, 2021; PASPI, 2023).

Hasil penelitian Mathews dan Ardyanto (2015) juga mendukung temuan Uni Eropa tersebut, dimana penggunaan biodiesel sawit sebagai pengganti diesel/solar fosil dapat menurunkan emisi GRK di atas 60 persen. Studi Euro Lex (2009) juga mengungkapkan bahwa biodiesel sawit mampu menghemat emisi sekitar 62 persen lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan dari mesin yang menggunakan energi fosil.

Pengalaman Indonesia dengan program mandatori biodiesel selama periode 2015-2021 juga menunjukkan bahwa dampak penggunaan biodiesel sawit dapat menurunkan emisi GRK. Implementasi program mandatori biodiesel (B30) mampu menurunkan emisi GRK sebesar 22.3 juta ton CO2 eq tahun 2020 (PASPI, 2023), kemudian terus meningkat menjadi 24.4 juta ton CO2 eq tahun 2021 dan mencapai 27.8 juta ton CO2 eq tahun 2022 (BPDPKS, 2023). Hal ini membuktikan bahwa substitusi bioenergi sawit (biodiesel) untuk solar fosil mampu menurunkan emisi GRK.

Dengan demikian, potensi bioenergi sawit global dapat menjadi substitut atau blending energi fosil untuk menurunkan emisi GRK global. Oleh karena itu, industri sawit global perlu ditempatkan menjadi bagian dari upaya mitigasi perubahan iklim global khususnya menurunkan emisi melalui substitusi energi fosil dengan bioenergi sawit.

Kesimpulan

Pertumbuhan emisi GRK global sampai tahun 2022 masih menunjukkan tren yang meningkat. Top-5 negara emitter GRK global masih konsisten dipegang oleh China, USA, India, EU-27, dan Rusia. Kelima negara emitter tersebut menyumbang sekitar 60 persen GRK global. Sementara itu, kontributor emisi GRK global juga masih bersumber dari energi fosil dengan pangsa sekitar 76 persen dari emisi GRK global.

Salah satu solusi untuk mengurangi emisi GRK global adalah dengan menurunkan konsumsi energi fosil melalui substitusi dengan alternatif energi yang relatif rendah emisi dan renewable. Bioenergi sawit (generasi satu, dua, dan tiga) berpotensi menjadi solusi tersebut melalui penggunaanya untuk substitusi atau blending energi fosil yang relatif boros emisi dan non-renewable. Bioenergi sawit juga memiliki keunggulan yakni lebih rendah emisi dan renewable karena dihasilkan dengan terlebih dahulu melalui proses fotosintesis dengan menyerap karbon dari atmosfer bumi.

Substitusi solar fosil dengan biodiesel sawit dan green diesel (solar sawit), substitusi bensin fosil dengan green gasoline (biopremium/bensin sawit) dan bioetanol sawit, substitusi avtur fosil dengan green avtur (avtur sawit), substitusi batu bara dengan biocoal/biopellet sawit, dan seterusnya, berpotensi menjadi bagian program mitigasi perubahan iklim baik di level lokal, nasional, maupun global. Hal ini juga menunjukkan bahwa industri sawit global perlu ditempatkan sebagai bagian dari upaya internasional untuk menurunkan emisi dunia.


ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.


Daftar Pustaka

Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x