Back to Top
Rating & Comment

PENGEMBANGAN MINYAK MAKAN MERAH BERBASIS KOPERASI PETANI SEBAGAI SOLUSI PENGUATAN SAWIT RAKYAT DAN PENINGKATAN SOCIAL WELFARE (2023)

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Poin-poin Utama

  1. Pengembangan Minyak Makan Merah di Indonesia menjadi alternatif minyak goreng yang kaya fitonutrien seperti karoten dan vitamin E.
  2. Minyak Makan Merah dapat membantu mengatasi masalah impor vitamin, tingginya angka stunting, dan mendukung ketahanan pangan lokal.
  3. Petani sawit rakyat memiliki peran penting dalam industri sawit nasional, dengan luas perkebunan dan produksi minyak sawit yang signifikan.
  4. Petani sawit swadaya, meskipun berperan penting, menghadapi beberapa tantangan, termasuk skala usaha kecil, rendahnya harga TBS, dan rendahnya nilai tambah produk.
  5. Koperasi petani sawit menjadi solusi untuk memperkuat posisi petani sawit dalam rantai pasok, meningkatkan ekonomi petani, dan mengurangi masalah transmisi harga.
  6. Model bisnis koperasi petani sawit yang terintegrasi hulu-hilir dapat mengoptimalkan nilai tambah dan memperkuat posisi petani dalam rantai pasokan.
  7. Pemerintah Indonesia telah mendukung pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit sebagai langkah untuk memperkuat industri sawit nasiona

Kunjungan kerja Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri ke PPKS Medan dalam rangka melihat inovasi pengolahan Minyak Makan Merah pada pertengahan tahun lalu, merupakan secercah harapan yang menjadi kiblat baru dalam pengembangan industri sawit nasional. Setelah kunjungan kerja tersebut, Presiden menyetujui pengembangan Minyak Makan Merah sebagai alternatif minyak goreng dan solusi permasalahan yang dihadapi oleh petani sawit.

Dari sisi konsumen, Minyak Makan Merah tidak hanya dikonsumsi sebagai alternatif minyak goreng namun memiliki peran yang lebih besar. Minyak Makan Merah yang kaya fitonutrien seperti karoten (prekursor vitamin A) dan vitamin E menjadi sebuah solusi untuk mengatasi besarnya impor vitamin, tingginya angka stunting, dan mencapai ketahanan pangan lokal (PASPI Monitor, 2023).

Pengembangan Minyak Makan Merah sebagai salah satu jalur hilirisasi sawit juga dimaksudkan untuk menjadi solusi bagi para petani sawit yang bergantung pada penjualan Tandan Buah Segar (TBS). Hal tersebut menjadi concern pemerintah, mengingat besarnya dampak anjloknya harga petani sawit akibat kebijakan larangan ekspor dan DMO-DPO yang diberlakukan ketika meroketnya harga minyak goreng di tahun lalu (PASPI Monitor, 2022). Sebagai solusi atas permasalahan tersebut, petani sawit diarahkan berkolaborasi dan membentuk koperasi untuk selanjutnya berpartisipasi dalam hilirisasi sawit yakni pengembangan Minyak Makan Merah. 

Program pemerintah dalam pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit ini tidak hanya ditujukan dalam rangka stabilisasi harga TBS, namun program ini berpotensi menjadi solusi menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh petani sawit. Oleh karena itu, artikel ini akan mendiskusikan lebih lanjut terkait pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit sebagai solusi komprehensif bagi penguatan sawit rakyat dan meningkatkan kesejahteraan secara keseluruhan.

SOLUSI PENGUATAN POSISI PETANI SAWIT YANG SERBA LEMAH

Petani sawit rakyat menjadi salah satu aktor penting dalam industri sawit nasional. Pada awal perkembangan sawit di Indonesia, para ekonom dunia menyangsikan petani sawit dapat berpartisipasi dalam budidaya sawit, mengingat usaha ini membutuhkan investasi yang besar dan kemampuan rakyat pada saat itu belum mampu mengakomodir hal tersebut. Namun melalui adopsi dan replikasi model kemitraan (Pola Inti Rakyat/PIR) antara korporasi (negara dan swasta) dengan rakyat, telah berhasil membawa perkebunan sawit rakyat pada perkembangan yang cukup revolusioner (Sipayung, 2018; PASPI, 2023).

Data Kementerian Pertanian (2023) menunjukkan bahwa luas perkebunan sawit rakyat meningkat signifikan dari sekitar 6.17 ribu hektar tahun 1980 menjadi 6.03 juta hektar tahun 2021 dan diperkirakan mencapai 6.3 juta hektar pada tahun 2023. Pangsa perkebunan sawit rakyat dalam total luas perkebunan sawit nasional juga meningkat dari hanya 2 persen menjadi 40 persen. Perkebunan sawit rakyat juga memasok sekitar 35-40 persen dari produksi minyak sawit nasional.

Perkebunan sawit rakyat juga menjadi mata pencaharian bagi 2.5 juta rumahtangga petani dan sekitar 10 juta orang anggota keluarga petani sawit bergantung perekonomiannya pada sektor tersebut. Selain petani sawit, multiplier effect perkebunan sawit yang berhasil mendorong perkembangan UMKM dan sektor ekonomi lainnya di kawasan pedesaan juga turut berkontribusi pada perekonomian dan kesejahteraan masyarakat sekitar kebun sawit. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan sawit rakyat merupakan basis ekonomi kerakyatan yang berperan dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi, menyerap tenaga kerja, hingga mengentaskan kemiskinan di kawasan pedesaan (PASPI, 2014, 2023; World Growth, 2011; TNP2K, 2019; Edwards, 2019).

Dibalik keberhasilannya membawa industri sawit nasional berkembang secara revolusioner hingga berkontribusi besar dalam pertumbuhan ekonomi rakyat di kawasan pedesaan, posisi petani relatif lemah dalam rantai pasok sawit nasional. Kondisi ini banyak dihadapi oleh petani sawit di Indonesia yang sebagian besar merupakan petani swadaya. Berikut elaborasi dari lemahnya posisi petani sawit yang dimaksud.

Pertama, skala usaha perkebunan sawit rakyat relatif kecil, menyebar, dan berjalan sendiri-sendiri. Petani sawit swadaya memiliki luas lahan yang relatif sempit dengan rata-rata 2-4 hektar. Di sisi lain, minyak sawit bukan komoditas yang bisa langsung dikonsumsi dan harus diolah untuk meningkatkan nilai tambah sehingga harus terintegrasi dengan PKS dan industri refinery yang memiliki kapasitas besar (Chalil et al., 2019). Hal ini menyebabkan petani sawit harus menghadapi kekuatan monopolistik di pasar input produksi dan kekuatan monopsonistik di pasar output (Pabrik Kelapa Sawit/PKS). Dengan kondisi tersebut merugikan petani sawit rakyat karena harus membayar input lebih mahal dan menerima harga TBS yang lebih rendah dari yang seharusnya sehingga memperkecil keuntungan yang diterima petani sawit.

Kedua, rendahnya harga TBS. Petani sawit (khususnya swadaya) menghadapi rantai pasok/tata niaga yang panjang (Gambar 1), dimana setiap mata rantai dalam tata niaga tersebut mengambil margin keuntungan (double marginalization) sehingga menekan harga TBS yang diterima petani.

Gambar 1. Panjangnya Rantai Pasok TBS Petani Sawit Swadaya (Sumber: BPDPKS dan P2EB UGM, 2020)

Gambar 1. Panjangnya Rantai Pasok TBS Petani Sawit Swadaya (Sumber: BPDPKS dan P2EB UGM, 2020)

Panjangnya Rantai Pasok TBS Petani Sawit Swadaya
Gambar 1. Panjangnya Rantai Pasok TBS Petani Sawit Swadaya (Sumber: BPDPKS dan P2EB UGM, 2020)

Selain itu, perkebunan sawit rakyat (swadaya) biasanya berlokasi jauh dari PKS. Jauhnya jarak dengan akses jalan yang relatif sulit akan meningkatkan beban transportasi yang harus ditanggung oleh petani sawit. Rantai pasok yang panjang dan jarak kebun yang jauh juga berimplikasi waktu tenggang yang lebih lama. Keterlibatan banyak pihak dalam rantai pasok TBS petani swadaya juga akan semakin menambah lama waktu tenggang tersebut. Biasanya pengepul akan mengangkut TBS sehari setelah pemanenan. TBS yang dibiarkan dengan waktu yang lama dan tidak langsung diolah akan mempengaruhi kualitasnya. Kadar Asam Lemak Bebas (ALB) akan meningkat sehingga kualitas TBS lebih rendah. Hal ini juga akan berpengaruh pada semakin rendahnya harga TBS petani swadaya karena PKS harus melakukan beberapa treatment khusus untuk menurunkan kadar ALB.

Double marginalization di setiap mata rantai pasok ditambah diskon harga karena perbedaan kualitas dan tingginya biaya transportasi menyebabkan harga TBS yang diterima oleh petani swadaya hanya sekitar 60-70 persen dari harga TBS di level PKS atau harga referensi TBS yang telah ditetapkan oleh Tim Penetapan Harga TBS tingkat Provinsi (Gambar 2).

Gambar 2. Perbedaan Harga TBS antara Penetapan Disbun versus Harga yang Diterima Petani Sawit Swadaya Periode Januari-Juni 2023: Studi Kasus Riau (Sumber: APKASINDO, data diolah PASPI)

Perbedaan Harga TBS antara Penetapan Disbun versus Harga yang Diterima Petani Sawit Swadaya Periode Januari Juni 2023
Gambar 2. Perbedaan Harga TBS antara Penetapan Disbun versus Harga yang Diterima Petani Sawit Swadaya Periode Januari-Juni 2023: Studi Kasus Riau (Sumber: APKASINDO, data diolah PASPI)

Selain dihargai rendah, TBS petani sawit swadaya juga menghadapi fluktuasi harga yang cukup tinggi (Chalil dan Barus, 2018; Chalil et al., 2019) akibat transmisi harga (pass-through) yang langsung dan cepat (Sipayung dan Purba, 2015). Kondisi ini semakin parah ketika panen raya, dimana TBS petani swadaya akan semakin tersisihkan oleh PKS karena suplainya sudah tercukupi baik dari kebun sendiri atau kebun plasma.

Ketiga, petani sawit saat ini hanya bergerak pada sektor on-farm atau budidaya perkebunan sehingga nilai tambah yang dinikmati relatif kecil. Output yang dihasilkan dari perkebunan sawit rakyat adalah TBS. Artinya pendapatan petani sawit berasal dari nilai jual-beli TBS, dimana nilai produk tersebut sangat kecil dibandingkan nilai tambah produk hilir sawit (Gambar 3).

Gambar 3. Nilai Tambah Produk Hilir Sawit (Sumber: Kementerian Perindustrian, 2019)

Nilai Tambah Produk Hilir Sawit
Gambar 3. Nilai Tambah Produk Hilir Sawit (Sumber: Kementerian Perindustrian, 2019)

Uraian di atas menunjukkan bahwa posisi tawar (bargaining position) petani sawit yang lemah dalam rantai pasok sawit nasional. Kondisi ini menjadi sebuah ironi yang merugikan petani sawit hingga berpotensi semakin memperkecil kontribusi petani sawit dalam menggerakkan lokomotif ekonomi pedesaan.

Koperasi petani sawit rakyat dengan unit usaha integrasi hulu-hilir menjadi solusi untuk memperkuat posisi petani sawit dalam rantai pasok. Melalui koperasi, petani-petani sawit dapat berkolaborasi dan bersinergi untuk meningkatkan economic of scale-nya dengan mengintegrasikan usaha pada sektor hulu dan hilir.

Pengupayaan koperasi petani sawit rakyat untuk ikut masuk pada industri hulu dan hilir merupakan bagian proses industrialisasi. Dengan cara yang demikian, masalah-masalah transmisi (pass through) dan masalah margin ganda (double marginalization) pada rantai pasok yang panjang akan hilang atau minimum. Selain itu, nilai tambah (added value) pada industri hulu dan hilir minyak sawit juga dinikmati petani sawit melalui koperasinya. Dengan tata kelola yang demikian, koperasi petani sawit yang terintegrasi hulu-hilir akan memperkuat bargaining position petani sawit dan meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

Model Bisnis

Visi penguatan sawit rakyat melalui pengembangan koperasi petani sawit yang didalamnya terdapat unit usaha terintegrasi hulu hingga hilir juga mampu dipotret Pemerintah Indonesia. Inovasi produk dan teknologi Minyak Makan Merah karya Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dikembangkan menjadi sebuah program yang khusus ditujukan dalam rangka penguatan sawit rakyat. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Koperasi dan UKM Nomor 5 Tahun 2023 mengenai Tata Kelola Minyak Makan Merah Berbasis Koperasi.

Dalam program tersebut, pengembangan Minyak Makan Merah akan dilakukan oleh koperasi petani sawit. Koperasi yang dimaksud adalah badan usaha ekonomi formal yang praktiknya bermotif ekonomi secara murni. Petani-petani sawit yang memiliki kebun sawit (tanaman yang sudah menghasilkan TBS) dengan luas sekitar 1,000 hektar dapat membentuk dan/atau menjadi anggota koperasi. Untuk kegiatan operasionalnya, koperasi dijalankan oleh manajemen profesional dengan turut melibatkan perwakilan petani sebagai dewan pengawas. Meskipun dikelola oleh tenaga manajemen profesional, seluruh petani sawit sebagai anggota memiliki saham koperasi tersebut.

Berbeda dengan koperasi petani sawit yang telah dibentuk sebelumnya, dimana koperasi hanya berperan sebagai penampung TBS petani yang kemudian disalurkan ke PKS atau koperasi konsumsi yang menjual keperluan rumahtangga petani sawit. Koperasi petani sawit dalam rangka mengembangkan Minyak Makan Merah atau dapat disebut sebagai koperasi petani sawit generasi kedua adalah koperasi yang memiliki unit usaha dengan sistem terintegrasi vertikal dari hulu ke hilir. Dalam lingkup unit usaha hulu, koperasi memiliki fungsi untuk menjalankan kegiatan ekonomi yang terkait dengan atau mendukung usaha budidaya dan memiliki skala ekonomi seperti pengadaan pupuk, pemanenan TBS, dan pengangkutan TBS. Sementara itu pada lingkup unit usaha hilir, koperasi memiliki unit pengolahan TBS lebih lanjut seperti PKS dan Pabrik Minyak Makan Merah.

Dengan model yang demikian menunjukkan bahwa urusan budidaya kebun sawit tetap menjadi urusan masing-masing anggota petani secara mandiri. Petani sawit anggota koperasi “menyerahkan” hasil panen TBS-nya kepada koperasi untuk diolah dan tidak ada transaksi jual-beli TBS antara petani dan koperasi. Selanjutnya melalui unit usaha hilir koperasi (PKS dan Pabrik Minyak Makan Merah), koperasi mengolah TBS petani anggotanya menjadi produk hilir bernilai ekonomi tinggi seperti Minyak Makan Merah maupun produk turunannya. Selain memproduksi produk hilir sawit, koperasi juga menangani proses pemasaran produk tersebut. Secara lebih singkat model bisnis pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit ditunjukkan pada Gambar 4.

Gambar 4. Model Bisnis Koperasi Petani dalam Pengembangan Minyak Makan Merah (Sumber: Sipayung, 2023)

Model Bisnis Koperasi Petani dalam Pengembangan Minyak Makan Merah
Gambar 4. Model Bisnis Koperasi Petani dalam Pengembangan Minyak Makan Merah (Sumber: Sipayung, 2023)

Model bisnis yang ditunjukkan pada gambar di atas merupakan model yang ideal, dimana koperasi petani sawit memiliki unit usaha yang komplit dari mulai hulu (perkebunan sawit yang dimiliki oleh petani sawit anggotanya) hingga hilir (PKS dan Pabrik Minyak Makan Merah). Dengan mekanisme yang demikian, koperasi petani sawit membutuhkan investasi besar untuk membangun industri hilir (PKS dan Pabrik Minyak Makan Merah) dan modal awal operasional.

Koperasi petani sawit yang sudah memiliki legalitas formal dapat mengakses permodalan baik dari pemerintah, lembaga perbankan, maupun pihak lainnya untuk membiayai investasi dan operasional pengembangan hilirisasi sawit yang terintegrasi hulu-hilir. Sumber modal yang dapat diakses oleh koperasi petani sawit antara lain Dana Sawit yang dikelola oleh BPDPKS, pinjaman dana bergulir yang disediakan oleh LPDB-KUMKM, atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) di perbankan.

Secara teknis, adopsi model bisnis (Gambar 4) juga dapat dilakukan bertahap disesuaikan dengan kemampuan koperasi petani sawit. Setidaknya terdapat dua pola yang dapat diadopsi oleh koperasi petani sawit. Pola pertama yakni koperasi petani sawit dapat mulai membangun PKS terlebih dahulu, kemudian selanjutnya mengembangkan hilirisasi sawit lebih lanjut dengan membangun Pabrik Minyak Makan Merah. Sedangkan pada pola kedua, koperasi dapat membangun pabrik Minyak Makan Merah lebih dahulu kemudian membangun PKS. Pada pola kedua ini, sebelum selesai dibangun PKS, koperasi dapat melakukan titip olah TBS pada PKS terdekat yang kemudian CPO hasil olahannya dapat disalurkan ke pabrik Minyak Makan Merah milik koperasi.

Adopsi pola kedua telah dilakukan oleh Koperasi Pujakesuma yang membangun pabrik Minyak Makan Merah di lahan areal perkebunan PTPN II di Pagar Merbau Sumatera Utara (Gambar 5) sebagai pilot project dari program ini. Koperasi Pujakesuma merupakaan salah satu koperasi yang beranggotakan petani sawit binaan Kementerian Koperasi dan UMKM yang mendapatkan bantuan dana pembangunan pabrik Minyak Makan Merah dari BPDPKS serta bantuan teknis dan teknologi dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit.

Gambar 5. Pabrik Minyak Makan Merah di PTPN II di Pagar Merbau Sumatera Utara

Pabrik Minyak Makan Merah di PTPN II di Pagar Merbau Sumatera Utara
Gambar 5. Pabrik Minyak Makan Merah di PTPN II di Pagar Merbau Sumatera Utara

Sebagai pilot project program ini, Koperasi Pujakesuma mendapatkan TBS dari petani sawit anggotanya, kemudian TBS tersebut dititipkan untuk diolah menjadi CPO di PKS milik PTPN II. Hasil olahan CPO tersebut kemudian disalurkan ke pabrik Minyak Makan Merah yang dikelola oleh koperasi Pujakesuma. Kedepannya, Koperasi Pujakesuma diarahkan untuk mengadopsi model bisnis ideal yakni dengan membangun PKS sendiri yang terintegrasi dengan pabrik Minyak Makan Merah yang telah ada saat ini.

PENINGKATAN SOCIAL WELFARE BAGI PETANI SAWIT DAN KONSUMEN

Adopsi model bisnis terintegrasi hulu-hilir dalam pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit memiliki beberapa keunggulan. Petani sawit anggota koperasi akan menerima pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan harga jual TBS pada transaksi konvensional. Nilai penjualan TBS petani ditentukan dari margin penjualan Minyak Makan Merah (dan produk turunan) yang proporsional berdasarkan volume TBS yang diserahkan petani untuk diolah koperasi. Selain itu, petani sawit juga akan mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU) koperasi yang dibagikan setiap tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan petani yang tergabung dalam koperasi yang mengembangan Minyak Makan Merah relatif lebih tinggi.

Keunggulan lain juga terdapat pada output Minyak Makan Merah yang diproduksi oleh koperasi petani sawit terintegrasi hulu-hilir. Harga Pokok Produksi (HPP) produk tersebut lebih murah dibandingkan harga minyak goreng curah dan kemasan. Dengan mengadopsi integrasi hulu-hilir, double marginalization yang terjadi pada mata rantai pasok tidak ada. Selain itu, teknologi pengolahan pada PKS dan Pabrik Minyak Makan Merah hasil inovasi PPKS yang akan diadopsi oleh koperasi petani sawit adalah teknologi yang telah direkonfigurasi sehingga relatif lebih hemat energi dan biaya.

Lokasi PKS dan Pabrik Minyak Makan Merah yang berada di sekitar perkebunan sawit petani juga akan memangkas biaya pengangkutan TBS sebagai bahan baku. Minyak Makan Merah yang diperdagangkan secara lokal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar perkebunan sawit juga akan menurunkan biaya distribusi produk. Penghematan biaya-biaya tersebut berimplikasi pada harga produk Minyak Makan Merah yang terjangkau bagi konsumen. Keunggulan lainnya pada produk Minyak Makan Merah yang diproduksi oleh koperasi petani sawit yang terintegrasi hulu hilir adalah mutu dan kualitas produk dapat terjamin serta dapat memenuhi tuntutan traceability dan transparansi.

Dengan demikian, program pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit akan meningkatkan kesejahteran sosial baik bagi produsen maupun konsumen. Bagi produsen dalam hal ini adalah petani sawit akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dan lebih stabil karena tidak bergantung pada harga TBS yang cenderung fluktuatif. Sementara itu bagi konsumen akan memperoleh Minyak Makan Merah yang bernutrisi dengan harga yang relatif lebih murah dan ketersediaan produk yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan tujuan pemerintah Indonesia pada program pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit yakni meningkatkan kesejahteraan petani dan menyediakan alternatif minyak goreng bagi masyarakat dengan harga yang relatif terjangkau.

Kesimpulan

Perkebunan sawit rakyat berkontribusi dalam pertumbuhan industri sawit nasional yang revolusioner dan menjadi lokomotif ekonomi kawasan pedesaan. Namun dibalik kontribusi tersebut, posisi petani sawit dalam rantai pasok sawit sangat lemah. Skala usaha petani sawit kecil, menyebar, berjalan sendiri-sendiri, menghadapi rantai pasok yang panjang, serta hanya bergerak pada on-farm (perkebunan). Kelemahan tersebut berimplikasi pada petani sawit sangat bergantung pada penjualan TBS dengan harga yang relatif rendah. Jika kondisi ini terus dibiarkan berdampak pada kesejahteraan petani sawit yang menurun hingga memperkecil kontribusinya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan pedesaan.

Pengembangan kelembagaan petani sawit yang bergerak ke arah hilirisasi sawit menjadi solusi untuk memperkuat posisi petani sawit. Visi tersebut sejalan dengan kebijakan dan program pemerintah yakni pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit. Model bisnis untuk program tersebut dimana koperasi mengadopsi integrasi hulu-hilir. Petani sawit anggota koperasi menitipkan TBS kepada koperasi untuk diolah di unit usaha pabrik pengolahan yang memproduksi Minyak Makan Merah dan/atau produk turunan lainnya.

Adopsi model bisnis integrasi hulu-hilir pada pengembangan Minyak Makan Merah berbasis koperasi petani sawit berdampak pada peningkatan social welfare baik bagi produsen (petani sawit) maupun konsumen. Petani sawit akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dan lebih stabil karena tidak bergantung pada harga TBS yang cenderung fluktuatif. Manfaat positif juga dinikmati konsumen yang akan memperoleh Minyak Makan Merah yang bernutrisi dengan harga yang relatif lebih murah dan ketersediaan produk yang lebih besar.

Implikasi Kebijakan

Kebijakan dan program pengembangan Minyak Makan Merah yang ditujukan secara khusus untuk petani sawit dan koperasi petani sawit yang mengadopsi integrasi hulu-hilir menjadi entry point bagi petani sawit Indonesia untuk “naik kelas” dengan turut berpartisipasi dalam hilirisasi sawit. Program ini juga menjadi solusi dalam penguatan sawit rakyat dalam industri sawit nasional. Selain itu, adopsi program ini juga berdampak meningkatkan social welfare baik bagi produsen (petani sawit) maupun konsumen. Petani sawit akan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dan lebih stabil. Konsumen juga akan memperoleh Minyak Makan Merah yang bernutrisi dengan harga yang relatif lebih murah dan ketersediaan produk yang lebih besar. Melalui program tersebut, visi peningkatan kesejahteraan bagi petani sawit dan ketahanan pangan lokal dapat tercapai.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.

Daftar Pustaka

  1. Chalil D, Barus R. 2018. Partnership Models for Inclusive Oil Palm Smallholdings. Paper presented in CSSPO International Conference 2018: Towards Inclusive & Sustainale Agriculture. Serawak, 9-11 July 2018.
  2. Chalil D, Barus R, Alamsyah Z, Jullimursyida, Mawardati, Sadalia I. 2019. The Impacts of Oil Palm Plantations on Local and Migrant Smallholders Income. IOP Conference Series: Earth and Environmental Sceince. 336. https://iopscience.iop.org/article/10.1088/1755-1315/336/1/012002#:~:text=The%20results%20showed%20that%20oil,for%20productivity%20and%20selling%20price.
  3. Edwards RB. 2019. Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesian Palm Oil. Working Paper Dartmouth College. static1.squarespace.com/static/57d5edcf197aea51693538dc/t/5c98e6b4a4222ff822715558/1553524407756/eard_v9_1903_JIE-merged.pdf
  4. Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2021. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional 2020-2023. https://repository.pertanian.go.id/items/529921cc-7268-49f7-ae70-c44c74271a6f 
  5. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Startegic Policy Institute. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry Its role in: Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Bogor: PASPI. 
  6. PASPI Monitor. 2022. Kebijakan Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(6): 619-626. 
  7. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
  8. PASPI Monitor. 2023. Minyak Makan Merah Sebagai Solusi Untuk Substitusi Impor, Cegah Stunting, dan Ketahanan Pangan Lokal. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(5). https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/solusi-dari-minyak-makan-merah/ 
  9. Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute
  10. Sipayung T. 2023. Role Model Pengembangan Hilirisasi Industri Sawit Rakyat Melalui Koperasi. Materi Presentasi pada Webinar Hari Koperasi Nasional pada Tanggal 3 Juli 2023.
  11. Sipayung T, Purba JHV. 2015. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
  12. [TNP2K] Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2019. Ringkasan Kebijakan: Industri Kelapa Sawit, Penanggulangan Kemiskinan dan Ketimpangan. https://www.tnp2k.go.id/images/uploads/downloads/Binder_Volume1.pdf 
  13. World Growth. 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia. https://www.scirp.org/(S(i43dyn45teexjx455qlt3d2q))/reference/ReferencesPapers.aspx?ReferenceID=1673892
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x