Back to Top
Rating & Comment

MASALAH SAWIT RAKYAT DAN KEBUTUHAN PAKET KEBIJAKAN PEREMAJAAN SAWIT RAKYAT SEBAGAI SOLUSI 2023

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Perkebunan sawit rakyat merupakan bagian penting dalam industri sawit nasional. Dari sekitar 16.3 juta hektar perkebunan sawit nasional, sekitar 40 persen merupakan kebun sawit rakyat. Sedangkan dalam produksi CPO nasional, pangsa perkebunan sawit rakyat diperkirakan hanya 35 persen. Hal ini disebabkan karena rendahnya produktivitas perkebunan sawit rakyat dibandingkan perkebunan swasta maupun perkebunan negara (PTPN).

Selain kontribusinya besar dalam produksi sawit nasional, perkebunan sawit rakyat juga menyangkut nasib dari sekitar 2.5 juta rumah tangga petani. Dengan rata-rata jumlah anggota keluarga sebanyak 4 orang, maka setidaknya 10 juta orang rakyat Indonesia menggantungkan hidupnya pada sektor perkebunan sawit. Angka tersebut belum termasuk tenaga kerja yang bekerja pada usaha mikro, kecil, menengah yang terlibat dengan perkebunan sawit (PASPI, 2023) seperti jasa pengakutan dan transportasi, penyediaan agroinput, jasa perdagangan bahan pangan yang diperlukan masyarakat petani sawit di kawasan pedesaan.

Dengan peran yang demikian signifikan, pengembangan sawit rakyat tidak hanya sekedar menyangkut keberlanjutan produksi minyak sawit nasional. Lebih dari itu, pengembangan sawit rakyat menyangkut secara langsung kehidupan jutaan rakyat dan nasib ekonomi masyarakat di kawasan pedesaan.

Berbagai masalah sedang melilit sawit rakyat. Produktivitas yang masih rendah akibat penggunaan benih yang kurang berkualitas (illegitim), penerapan GAP (Good Agriculture Practices) yang rendah dan belum optimal (Sipayung, 2012), legalitas lahan dan kebun sawit (Safitri dan Rosyani, 2014; Anggraeny et al., 2016), infrastruktur kebun yang buruk, tidak tersedianya pembiayaan replanting (Andriati, 2011; Safitri dan Rosyani, 2014; Ruf dan Burger, 2015; Anggraeny et al., 2016, et al.,2018)); bargaining position di pasar yang lemah, dan berbagai masalah kelembagaan (Andriati, 2011; Zen et al., 2016).

Masalah  multidimensi tersebut tidak terjadi dalam waktu “satu malam”, melainkan berakar jauh ke belakang setidaknya sejak awal tahun 2000-an yakni pada era Reformasi atau otonomi daerah. Oleh karena itu, artikel ini akan mendiskusikan terkait akar masalah yang terjadi pada sawit rakyat saat ini. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi paket program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang dapat menjadi solusi permasalahan yang dihadapi sawit rakyat.

Akar Masalah Sawit Rakyat

Perkebunan sawit rakyat mulai memasuki industri sawit di Indonesia melalui Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang diprogramkan pemerintah sejak tahun 1980 (Badrun, 2010; Sipayung, 2012; PASPI, 2023). Pada periode tahun 1980 hingga tahun 2000, meskipun  kebun sawit rakyat bertumbuh 1.1 juta hektar dalam periode tersebut namun pengembangan kebun sawit rakyat masih secara langsung ditangani pemerintah. Sehingga tidak ada isu legalitas lahan, isu legalitas kebun sawit, maupun isu kawasan hutan. Regulasi terkait kawasan hutan yakni UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan baru diberlakukan pada tahun 1999.

Perkembangan perkebunan sawit yang relatif cepat terjadi setelah tahun 2000, dimana luas kebun sawit rakyat meningkat dari 1.17 juta hektar tahun 2000 menjadi 6.04 juta hektar pada tahun 2020 (Ditjenbun, 2021). Peningkatan luas perkebunan sawit rakyat hampir 6 kali lipat sehingga dapat dikategorikan sebagai suatu revolusi (Sipayung, 2012; Byarlee et al., 2016). Selain pertumbuhan yang revolusioner, hal lain yang membuat terkesan adalah kehebatan petani dalam membangun kebun sawit rakyat yang relatif cepat dan dibiayai secara mandiri atau self-financing (dibiayai dari tabungan petani atau jual aset petani) dan mencari sendiri lahannya.

Perkembangan sawit rakyat yang revolusioner tersebut berlangsung pada lingkungan strategis yang sedang mengalami perubahan secara fundamental, baik di Indonesia maupun internasional. Perubahan fundamental yang dimaksud adalah dampak multidimensi yang diakibatkan oleh krisis, otonomi daerah, demokrasi politik dan ekonomi, liberalisasi ekonomi, serta perubahan kebijakan tata ruang kehutanan. Dengan kombinasi perubahan lingkungan strategis yang fundamental tersebut, membuat pertumbuhan revolusioner perkebunan sawit rakyat menimbulkan masalah dalam tata kelola pembangunan yang ujungnya menimbulkan dan menyisakan multidimensi masalah yang melilit kebun sawit rakyat saat ini.

Pertama, Dampak Multidimensi Krisis Tahun 1998/1999. Multidimensi krisis yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998/1999 memiliki dampak luas bagi pembangunan nasional secara keseluruhan. Selama 2000-2004, pemerintah terpaksa fokus dan menggunakan sumber dayanya yang ada untuk mengeluarkan ekonomi nasional dari jurang krisis untuk memulihkan ekonomi Indonesia.

Pada masa krisis tersebut, krisis finansial juga dialami pusat-pusat penelitian komoditas perkebunan termasuk produsen bibit bermutu dari perusahaan negara yakni kebun bibit sawit Marihat-Simalungun milik Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Akibatnya, produksi benih sawit bermutu turun drastis, sementara pada waktu yang bersamaan kebutuhan benih dari calon kebun sawit rakyat meningkat cepat. Hal ini menjadi insentif yang dimanfaatkan pembibit sawit palsu yang menjual bibit sawit tidak unggul (illegitim) atau dikenal dengan bibit “Mariles” (Marihat Leles). Bibit palsu inilah yang digunakan mayoritas petani sawit rakyat untuk menanam kebunnya khususnya selama periode tahun 2000-2010. Penggunaan benih illegitim tersebut juga diperparah dengan pelaksanaan budidaya kebun sawit (best practices) yang jauh dari standar sehingga produktivitas sawit rakyat jauh dibawah standar yang diharapkan.

Kedua, Otonomi Daerah. Bersamaan dengan pemerintah yang sedang fokus mengatasi dampak krisis multidimensi, era otonomi daerah pun dilaksanakan berdasarkan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 dan diubah lagi dengan UU No. 23 Tahun 2014. Hal yang fundamental dari pelaksanaan otonomi daerah tersebut adalah desentralisasi pengelolaan pembangunan dari pemerintah pusat ke pemerintahan kabupaten/kota. Pengelolaan pembangunan perkebunan seperti perizinan, pembinaan, perencanaan, dan pembiayaan yang sebelumnya ditangani Kementerian pertanian (c.q Dirjen Perkebunan) kemudian didesentralisasikan menjadi kewenangan dan kewajiban pemerintah kabupaten/kota sejak tahun 2000.

Proses desentralisasi pengelolaan pembangunan yang demikian cepat menimbulkan kegamangan dalam tata kelola pembangunan perkebunan. Kementerian Pertanian sudah melepaskan tanggung jawab/kewenangan kepada pemerintahan kabupaten/kota, sementara itu pemerintah kabupaten/kota belum memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjalankan tanggung jawab/kewenangan tersebut. Akibatnya pelayanan publik kepada petani sawit menjadi tidak optimal. Desentralisasi pelayanan publik yang memiliki tujuan ideal untuk mengefisiensikan dan mendekatkan pelayanan publik bagi para petani sawit, namun dalam pelaksanaanya para petani sawit malah tidak terlayani. Banyaknya perkebunan sawit rakyat yang belum memiliki legalitas lahan dan usahanya yang sebagian besar berakar dari era tersebut.

Ketiga, Perubahan Kebijakan Pertanahan, Tata Ruang, dan Kehutanan. Selama era reformasi dan era otonomi daerah yang dimulai tahun 2000 hingga saat ini, pendulum kebijakan tata ruang dan kebijakan kehutanan juga terus berubah-ubah. Semula dengan UU No. 22 Tahun 1999, kewenangan pertanahan dan tata ruang serta kehutanan ikut didesentralisasikan ke pemerintah kabupaten/kota, kemudian melalui UU No. 23 Tahun 2014, kewenangan pemerintah daerah tersebut kembali ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat.

Perubahan pendulum kebijakan kewenangan pertanahan, tata ruang, dan kehutanan tersebut menimbulkan masalah yang makin kompleks. Pada rezim sebelum terbitnya UU No. 22 Tahun 1999, banyak kabupaten yang telah menyusun sendiri tata ruang wilayahnya, termasuk tata ruang kehutanan. Namun setelah diberlakukannya rezim UU No. 23 Tahun 2014, rencana pemerintah daerah tersebut dibatalkan dan dialihkan kepada pemerintah pusat. Akibatnya banyak kebun sawit rakyat yang sebelumnya berada di luar kawasan hutan, menjadi terjebak dalam kawasan hutan akibat perubahan tata ruang dan kebijakan kehutanan. Uraian di atas menjadi argumen untuk menjelaskan mengapa kebun sawit (juga sektor lain) banyak yang kini terindikasi dalam kawasan hutan dan masalah legalitas.

Dengan  kata lain, banyaknya masalah yang kini dihadapi perkebunan sawit rakyat yang sebagian besar diakibatkan oleh perubahan fundamental kebijakan pengelolaan pembangunan  yang tidak terkelola dengan baik. Kecepatan pertumbuhan perkebunan sawit rakyat yang melampaui kemampuan pelayanan publik dari pemerintah akibat terjadinya perubahan fundamental lingkungan strategis secara simultan.

Dalam situasi dimana masalah legalitas perkebunan sawit rakyat masih belum diselesaikan, kebijakan yang dimaksudkan untuk meningkatkan produktivitas dan sustainability sawit rakyat namun mempersyaratkan legalitas kebun sawit rakyat menjadi kebijakan yang mustahil dapat dijangkau petani sawit. Kebijakan Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO), Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), Program Bantuan Sarana Prasarana termasuk perkreditan, yang mempersyaratkan legalitas sawit rakyat, sulit dijangkau bahkan bisa membuat  petani sawit frustasi.

Menjadikan PSR sebagai Paket Solusi

Untuk menyelesaikan multi masalah yang sedang melilit sawit rakyat tersebut, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan realistis. Selama ini sudah banyak kebijakan dan program pemerintah dari berbagai kementerian yang ditujukan untuk menolong sawit rakyat. Misalnya kebijakan dan program dari Kementerian Pertanian yakni berupa Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dengan paket teknologi baru (varietas unggul dan adopsi GAP) sebagaimana yang dimuat dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 2016 tentang Pedoman Peremajaan Perkebunan Sawit Rakyat. Program lainnya antara lain penyediaan sarana prasarana (Peraturan Menteri Pertanian No. 15 Tahun 2020) dan kemitraan untuk kepastian GAP dan pasar TBS petani (Peraturan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 2021).

Kementerian Keuangan juga memiliki kebijakan dan program pembiayaan PSR (Peraturan Menteri Keuangan No. 84 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 49 Tahun 2018) serta fasilitas pembiayaan KUR dari perbankan. Demikian juga dengan Kementerian Koperasi dan UKM yang memfasilitasi koperasi petani sawit untuk berkembang ke hilir (Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 5 Tahun 2023 mengenai Tata Kelola Minyak Makan Merah Berbasis Koperasi).

Pada level nasional, untuk mencapai sustainability sawit rakyat juga diatur melalui Peraturan Presiden No. 44 Tahun 2020 tentang ISPO (PASPI Monitor, 2020). Sedangkan untuk penyelesaian legalitas sawit rakyat juga telah diatur dalam UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kebijakan dan program tersebut berjalan sendiri-sendiri, delivery implementasinya juga sendiri- sendiri, bukan hanya dari masing-masing kementerian tetapi juga dari kementerian yang sama. Selain menimbulkan masalah delivery kebijakan dan program, hal ini juga menyulitkan petani sawit untuk menjangkaunya. 

Hal yang paling fatal adalah kebijakan-kebijakan tersebut (PSR, Sarpras, ISPO, KUR) mempersyaratkan petani sawit rakyat sebagai penerima harus memiliki kelengkapan dokumen yang menunjukkan legalitas kebun sawitnya. Padahal legalitas inilah yang justru menjadi masalah utama perkebunan sawit rakyat. Hal ini mengakibatkan kebijakan dan program tersebut gagal (atau hanya relatif kecil) dijangkau petani.

Dalam konteks kebijakan publik, legalitas atau perizinan usaha merupakan bagian pelayanan publik yang penyediaannya hanya dilakukan oleh pemerintah. Tidak ada lembaga lain yang dapat memberikan perizinan pada dunia usaha, termasuk petani sawit. Oleh karena itu, perizinan atau legalitas kebun sawit rakyat seyogyanya menjadi layanan publik. Dan karenanya kurang tepat bila legalitas sawit rakyat dijadikan pra-kondisi untuk PSR, ISPO, dan Sarpras. Sebaiknya, penyelesaian legalitas sawit rakyat juga dijadikan menjadi bagian dari paket  kebijakan/program tersebut.

Dengan pemikiran yang demikian, seharusnya PSR merupakan suatu paket kebijakan layanan pemerintah kepada petani sawit yang berisikan: (1) layanan teknologi varietas unggul dan rekomendasi GAP sawit dan tanaman sela; (2) layanan legalitas kebun sawit rakyat; (3) layanan pengembangan kelembagaan dan koperasi petani sawit rakyat; (4) layanan sarana prasarana termasuk hilirisasi; (4) layanan kemitraan; (5) dukungan pembiayaan; serta (6) layanan sertifikasi ISPO.

Dengan paket PSR tersebut, jika dilaksanakan akan dapat menyelesaikan multi masalah yang selama ini dihadapi petani sawit. Tidak hanya menyelesaikan masalah yang ada, paket tersebut juga akan membangun ekosistem di kalangan petani untuk menaikkan produktivitas kebun sawit rakyat, pengembangan hilirisasi, dan meningkatkan sustainability sawit rakyat.

Mengingat paket PSR tersebut berasal dari berbagai  kementerian dan pemerintah daerah, maka sebaiknya paket PSR yang demikian diatur dalam level Peraturan Presiden. Sehingga semua kementerian terkait dan pemerintah daerah dapat dalam satu komando baik dalam delivery, implementasi maupun evaluasi dan monitoring.

Kesimpulan

Multi masalah yang sedang dihadapi sawit rakyat yakni produktivitas yang masih rendah akibat penggunaan benih yang kurang berkualitas (illegitim), penerapan GAP yang rendah, masalah legalitas lahan dan kebun sawit, infrastruktur kebun yang buruk, bargaining position petani di pasar yang lemah, masalah kelembagaan, pembiayaan, dan ketidakterjangkauan pada sertifikasi ISPO. Masalah tersebut merupakan dampak dari perubahan fundamental lingkungan strategis yang terjadi selama era reformasi dan perubahan dalam era otonomi daerah.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, memerlukan suatu paket kebijakan PSR sebagai layanan publik yang terdiri dari: (1) layanan teknologi varietas unggul dan rekomendasi GAP sawit dan tanaman sela; (2) layanan legalitas kebun sawit rakyat; (3) layanan pengembangan kelembagaan dan koperasi petani sawit rakyat; (4) layanan sarana prasarana termasuk hilirisasi; (4) layanan kemitraan; (5) dukungan pembiayaan; serta (6) layanan sertifikasi ISPO.

Implikasi Kebijakan

Pemerintah dapat menyelesaikan multi masalah yang dihadapi oleh perkebunan sawit rakyat. Dengan paket kebijakan PSR yang di dalamnya terdiri dari 6 layanan publik yakni: (1) teknologi varietas unggul dan rekomendasi GAP sawit dan tanaman sela; (2) legalitas kebun sawit rakyat; (3) pengembangan kelembagaan dan koperasi petani sawit rakyat; (4) sarana prasarana termasuk hilirisasi; (4) kemitraan; (5) dukungan pembiayaan; dan (6) sertifikasi ISPO. Paket program PSR tersebut perlu diterbitkan melalui Peraturan Presiden sehingga dapat diimplementasikan satu komando pada berbagai level maupun lintas kementerian.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.

Daftar Pustaka

  • Andriati WIGP. 2011. Penguatan Aspek Kelembagaan Program Revitalisasi Perkebunan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma. Jurnal Agro Ekonomi. 29(2):169-190
  • Anggraeny S, Mulyono P, Sadono D. 2016. Partisipasi Petani dalam Replanting di Provinsi Jambi. Jurnal Penyuluhan. 12(1): 1-14
  • Byarlee D, et al. 2017. The Tropical Oil Crops Revolution: Food, Feed and Forest. Oxford University Press
  • Badrun M. 2010. Tonggak Perubahan Melalui PIR Kelapa Sawit. Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian RI
  • Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI. 2021. Statistik Perkebunan Unggulan Nasional.
  • Hutasoit FR., Hutabarat S, Muwardi D. 2015. Analisis Persepsi Petani Kelapa Sawit Swadaya Bersertifikasi RSPO Dalam Menghadapi Kegiatan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan. JOM Faperta. 2(1):13-17
  • Mariyah, Syaukat Y, Hartoyo S, A Fariyanti, B Krisnamurthi. 2018. The Role of Farm Household Saving for Oil Palm Replanting at Paser Regency, East Kalimantan. International Journal of Economics and Financial Issues. 8(5); 124-130
  • PASPI Monitor. 2020. Presidential Regulation On Ispo And Critics Of The Concept Of Palm Oil Sustainability. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(18): 115-122
  • PASPI. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute 
  • Ruf F, Burger K. 2015. Planting and Replanting Tree Crops Smallholders’ Investment Decision.
  • Safitri D, Rosyani LA. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap Peremjaan Kelapa Sawit. Sosio Ekonomika Bisnis. 17:45-56
  • Santika T, Wilson KA, Budiharta S, Law EA, Poh TM. 2019. Does Oil Palm Agriculture Help Alleviate Poverty? A Multidimensional Counterfactual Assessment of Oil Palm Development in Indonesia. World Development. 120:105–117. 
  • Sipayung T. 2012. Ekonomi Agrobisnis Minyak Sawit. IPB Press: BogorSipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. Bogor
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x