Salah satu Asta Cita Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto adalah membangun dari desa dari bawah untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan. Asta Cita tersebut juga merupakan bagian dari “Prabowonomics” dan dipandang sebagai sebuah koreksi dari pendekatan pembangunan wilayah di Indonesia yang selama ini bias kota (urban biased) atau growth-pole strategy yang faktanya mendorong urbanisasi dan disparitas ekonomi kota-desa. “Prabowonomics” tersebut juga sekaligus mengoreksi strategi pembangunan “menetes ke bawah” (trickle down effect).
“Prabowonomics” tersebut menekankan bahwa cara membangun ekonomi nasional secara keseluruhan adalah melalui pembangunan kawasan pedesaan. Jika kawasan pedesaan maju, akan menarik perkembangan seluruh sektor-sektor ekonomi nasional, baik melalui multiplier direct effect, multiplier indirect effect maupun melalui multiplier induced consumption.
Paradigma “Prabowonomics” tersebut juga secara empiris mungkin dapat dipahami bagaimana proses pembangunan perkebunan sawit di Indonesia selama ini. Pembangunan perkebunan sawit yang dimulai dari kawasan pedesaan sejak 40 tahun lalu, kini menjadi salah satu lokomotif ekonomi nasional. Tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana pembangunan perkebunan sawit selama ini yang dimulai dari desa-desa dan dari bawah, sebagaimana pandangan “Prabowonomics” yang tertuang dalam Asta Cita tersebut.
PENGALAMAN PERKEBUNAN SAWIT
Sejak tahun 2006, Indonesia telah berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar dunia (PASPI, 2023; USDA, 2024). Prestasi tersebut merupakan hasil proses pembangunan “dari bawah” atau dari desa-desa terbelakang, terisolir, dan terpinggirkan. Awalnya, perkebunan sawit dibangun di daerah-daerah yang dapat dikategorikan sebagai degraded area yakni daerah yang terdegradasi secara sosial, ekonomi, dan ekologi serta biasanya berada di kawasan yang terisolir, terbelakang, miskin, pinggiran, dan pelosok (PASPI, 2022, 2023).
Mengacu pada Say’s Law yakni supply creates own its demand, ekonomi degraded area hanya mungkin dibangun jika dunia usaha (seperti kebun sawit) tumbuh berkembang sehingga sumber daya alam yang ada di daerah degraded area tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan “kue ekonomi” seperti peningkatan pendapatan, kesempatan kerja, dan produksi barang/jasa yang diperlukan masyarakat.
Pembangunan perkebunan sawit melibatkan kombinasi investasi pemerintah, swasta, dan masyarakat yang difokuskan di daerah tertentu yakni perkebunan sawit. Hal ini mengadopsi teori big-push strategy yang dikembangkan oleh ekonom Paul Rosenstein-Rodan pada tahun 1943. Teori tersebut mengungkapkan bahwa pembangunan pedesaan akan berhasil secara signifikan jika dilakukan dengan dorongan besar (big push) yakni dengan investasi besar dan masal untuk ukuran perekonomian daerah. Pembangunan kawasan pedesaan dengan “gigitan-gigitan kecil” (bit by bit) tidak akan menghasilkan kemajuan yang berarti.
Cikal bakal pembangunan perkebunan sawit di Indonesia dimulai dengan pilot project dengan bantuan Bank Dunia yang kemudian dikenal dengan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR) yang memadukan investasi pemerintah, swasta, dan rakyat. Sejak tahun 1980, implementasi berbagai pola PIR perkebunan sawit yakni PIR Lokal/Khusus, PIR Trans, dan PIR KPPA, PIR (Sipayung, 2012, 2018; PASPI, 2014, 2022, 2023) yang digerakkan oleh perusahaan perkebunan negara dan swasta. Implementasi berbagai variasi model PIR tersebut berhasil membangun perkebunan sawit nasional dari hanya sekitar 295 ribu hektar tahun 1980 menjadi sekitar 4 juta hektar pada tahun 2000 (Ditjenbun, 2022).
Keberhasilan implementasi berbagai variasi model PIR pada perkebunan sawit tersebut, tampaknya makin menarik minat investasi swasta dan rakyat yang lebih besar dan meluas untuk mengembangkan perkebunan sawit di kawasan pedesaan. Semula perkebunan sawit hanya terdapat di 2 provinsi (Sumatera Utara dan Riau), kemudian berkembang meluas ke sekitar 24 provinsi lainnya di Indonesia. Perkembangan perkebunan sawit mengalami pertumbuhan pesat (setelah orde reformasi bergulir) yang tercermin dari pertumbuhan luas areal perkebunan sawit yang cepat dari hanya sekitar 4 juta hektar tahun 2000 menjadi 16.8 juta hektar tahun 2023 (Ditjenbun, 2022).
Pertumbuhan kebun sawit di kawasan pedesaan tersebut dapat dilihat sebagai ruralisasi investasi yakni mengalirnya dana investasi dari kota ke desa (PASPI Monitor, 2023b). Untuk membangun 16.8 juta hektar kebun sawit tersebut, setidaknya telah menarik investasi sekitar Rp 1,000 Triliun (hanya untuk kebun sawit). Investasi tersebut belum termasuk investasi untuk pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), jalan/jembatan, pelabuhan CPO, perumahan dan perkantoran, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta fasilitas umum/sosial lainnya.
Berkembangnya perkebunan sawit di kawasan pedesaan tersebut juga dapat dilihat sebagai ruralisasi SDM yakni mengalirnya sumber daya manusia dari kota ke desa (PASPI Monitor, 2023b). Perkebunan sawit yang teknologinya relatif padat karya (labor intensive) mendorong ruralisasi SDM ke perkebunan sawit di kawasan pedesaan. Hal ini terkonfirmasi dari jumlah SDM yang terserap dan menjadi tenaga kerja langsung dan tak langsung pada perkebunan sawit mencapai sekitar 16.5 juta orang (PASPI, 2023).
Pertumbuhan perkebunan sawit di kawasan pedesaan tersebut juga menarik tumbuh berkembangnya kegiatan ekonomi yang menyediakan agroinput, jasa, dan kebutuhan masyarakat yang bekerja di perkebunan sawit (Rifin, 2011; PASPI, 2022, 2023). Berbagai usaha perdagangan agroinput (pupuk, pestisida, alat-alat perkebunan), jasa transportasi TBS/CPO, jasa perbankan, kegiatan perdagangan sembako dan peralatan kantor/ rumah tangga, jasa kuliner (warung makan, restaurant), berkembang pesat di kawasan pedesaan seiring dengan perkembangan perkebunan sawit di kawasan tersebut (Gambar 1).
Gambar 1. Proses Pengembangan Pembangunan Perkebunan Sawit dari Daerah Terbelakang/Terisolasi Menuju Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru di Kawasan Pedesaan

Perkembangan perkebunan sawit beserta kegiatan ekonomi terkait dengan perkebunan sawit tersebut kemudian secara aglomerasi berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Studi PASPI (2014, 2022, 2023) mengungkapkan daerah-daerah yang sebelumnya terisolir, pelosok, dan terbelakang, kemudian dapat berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di berbagai daerah sentra-sentra perkebunan sawit pedesaan (Tabel 1).
Tabel 1. Pusat-Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru Daerah Berbasis Perkebunan Sawit
Provinsi | Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru |
---|---|
Aceh | Nagan Raya, Aceh Singkil, Aceh Timur, Subulussalam, Aceh Barat Daya, Aceh Utara dan lainnya |
Sumatera Utara | Stabat, Belarang, Sei Rampah, Limapuluh, Perdagangan, Rantau Prapat, Aek Kanopan, Aek Nabara, Kota Pinang, Sosa, Sibuhuan, Panyabungan dan lainnya |
Sumatera Barat | Pasaman Barat, Dharmas Raya, Agam, Pesisir Selatan, Sijunjung dan lainnya |
Sumatera Selatan | Sungai Lilin, Tugumulyo, Pematang Panggang, Bayung Lencir, Musi Rawas, Peninjauan, Muara Enim, Lahat |
Riau | Pasir Pengaraian, Bangkinang, Siak Sri Indrapura, Rengat, Tembilahan, Bengkalis, Bagan Siapi-Api, Teluk Kuantan, Dumai, Pekanbaru dan lainnya |
Jambi | Sarolangun, Sungai Bahar, Sengeti, Kuala Tungkal dan lainnya |
Bengkulu | Bengkulu Selatan, Mukomuko, Seluma, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah dan lainnya |
Kalimantan Barat | Sanggau, Bengkayang, Ketapang, Sintang, Kubu Ra dan lainnya |
Kalimantan Tengah | Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya |
Kalimantan Timur | Sangatta, Tenggarong, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan lainnya |
Kalimantan Selatan | Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya |
Sulawesi | Mamuju, Donggala, Bungku
LOKOMOTIF EKONOMI KAWASAN PEDESAANBerkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis sawit di berbagai daerah, menjadi lokomotif ekonomi yang menarik perkembangan sektor-sektor ekonomi lainya baik secara langsung (direct effect) maupun secara tidak langsung (indirect effect) mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages) maupun keterkaitan ke depan (forward linkages) (Syahza, 2005; PASPI, 2014) sehingga berdampak luas pada perekonomian secara keseluruhan. Sektor-sektor ekonomi yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkages) dengan perkebunan sawit seperti industri pembibitan, industri agrokimia, industri alat dan mesin, jasa transportasi, industri perbankan, dan lainnya ikut berkembang akibat perkembangan perkebunan sawit. Demikian juga sektor-sektor ekonomi yang menggunakan hasil perkebunan sawit sebagai bahan baku seperti industri oleofood complex, industri oleokimia complex, industri bioenergy/biofuel complex, industri pengolahan biomassa sawit, jasa perdagangan, pasar, kuliner, dan lain-lain, juga turut mengalami perkembangan pesat akibat berkembangnya perkebunan sawit (Rifin, 2011; PASPI, 2014; Edwards, 2019). Dampak pengembangan perkebunan sawit dalam perekonomian nasional yang telah dinikmati Indonesia antara lain sebagai berikut. Pertama, jumlah dunia usaha nasional bertumbuh yakni perusahaan sawit sekitar 2000-an perusahaan, usaha rumah tangga petani sawit sekitar 2.5 juta unit. dan jutaan usaha kecil menengah yang bergerak pada supplier kebutuhan barang dan jasa untuk perkebunan sawit, usaha pengolahan dan perdagangan produk sawit, dan berbagai ragam usaha lain yang berkembang akibat berkembangnya perkebunan sawit. Kedua, penyerapan tenaga kerja meningkat dalam jumlah besar. Saat ini terdapat sekitar 20 juta tenaga kerja yang terserap secara langsung dan tak langsung dalam perkebunan sawit (Rifin, 2011; Sipayung, 2012; Varkkey, 2012; PASPI, 2014, 2023). Ketiga, pertumbuhan ekonomi daerah dan peningkatan pendapatan petani. Pertumbuhan ekonomi daerah-daerah sentra sawit lebih cepat dibanding daerah bukan sentra sawit (Syahza, 2005; Budidarsono et al., 2013; PASPI, 2014, 2023; Kasyrno, 2015; Apresian et al., 2020). Demikian juga, pendapatan petani sawit mengalami peningkatan yang lebih besar dibanding pendapatan petani komoditas lain (Susila, 2004; Feintrenie et al., 2010; Rist et al., 2010; Adebo et al., 2015; Euler et al., 2016; Gatto et al., 2017; Kubitza; et al., 2018; Qaim et al., 2020; Apresian et al., 2020; Chrisendo et al., 2021). Selain lebih profitable, peningkatan proporsi pendapatan petani sawit juga meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman sawitnya (Budidarsono et al., 2013). Keempat, pengurangan kemiskinan di Indonesia. Berbagai studi mengungkapkan bahwa perkembangan perkebunan sawit di Indonesia menurunkan kemiskinan (Susila, 2004; Susila dan Munadi, 2008; Rist et al., 2010; World Growth, 2011; Sayer et al., 2012; PASPI, 2014, 2023; Kasryno, 2015; Dib et al., 2018; Edwards, 2019; TNP2K, 2019; Qaim et al., 2020). Hal ini sebagai dampak dari peningkatan pendapatan yang dinikmati secara inklusif baik petani sawit, karyawan perusahaan perkebunan,maupun masyarakat secara umum. Kelima, peningkatan PDB nasional. Pertumbuhan perekonomian daerah yang dihela perkebunan sawit juga berkontribusi terhadap perekonomian nasional (PDB) yang juga semakin meningkat (Rifin, 2010; PASPI, 2014; Kasyrno, 2015). Perkebunan sawit menghasilkan output dan nilai tambah yang terus meningkat sehingga mendorong pertumbuhan PDB nasional (PASPI, 2023). Keenam, sumber devisa. Devisa negara meningkat cepat baik dari hasil ekspor sawit dan produk turunannya maupun dari devisa substitusi impor (penghematan devisa dari substitusi solar fosil impor dengan biodiesel). Pengalaman Indonesia tahun 2015-2022 (PASPI Monitor, 2023a) mengungkapkan bahwa devisa sawit meningkat dari sekitar USD 19.1 Miliar tahun 2015 menjadi USD 49 Miliar tahun 2022. Peningkatan devisa sawit tersebut bersumber dari peningkatan devisa ekspor sawit yang meningkat dari USD 18.6 Miliar menjadi USD 39 Miliar pada periode yang sama. Devisa juga bersumber dari peningkatan devisa substitusi impor (penghematan devisa impor solar akibat biodiesel) yang meningkat dari USD 0.5 Miliar menjadi USD 10.3 Miliar. Dengan uraian di atas jelas mengungkapkan bahwa pendekatan “Prabowonomics” yang memulai pembangunan dari “bawah” atau dari desa, sebagaimana pengalaman pada pembangunan perkebunan sawit nasional berhasil bukan hanya membangun desa itu sendiri tetapi juga menarik perkembangan sektor-sektor ekonomi nasional secara keseluruhan. Bahkan pada kasus pembangunan sawit nasional, kebun-kebun sawit nasional yang dibangun di daerah pelosok, terisolir, dan terbelakang, mampu berkontribusi tidak hanya mampu menyumbang devisa terbesar dalam ekonomi Indonesia tetapi juga telah menempatkan Indonesia sebagai produsen minyak sawit terbesar dunia. Kesimpulan“Prabowonomics” yang menekankan pembangunan desa dan dari bawah merupakan koreksi atas strategi pembangunan nasional yang bersifat trickle down-effect dan strategi pembangunan wilayah growth pole strategy. Pengalaman pembangunan perkebunan sawit di Indonesia dapat menjadi salah satu empirical evidence “Prabowonomics” bahwa pembangunan yang dimulai dari desa (“dari bawah”) bahkan sekalipun dari desa-desa yang terisolir, pelosok, dan terbelakang terbukti berhasil bahkan berkontribusi besar baik dalam pengurangan pengangguran dan kemiskinan maupun peningkatan pendapatan petani, daerah, dan nasional. Implikasi KebijakanPengalaman pembangunan perkebunan sawit di Indonesia yang semula dikembangkan di desa-desa yang terisolir, pelosok, dan terbelakang kemudian hingga berhasil tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi baru, dapat dijadikan sebagai bukti (empirical evidence) dari salah satu Asta Cita Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto atau “Prabowonomics”. Untuk mencapai cita-cita tersebut, dibutuhkan ekosistem kebijakan yang mendukung ruralisasi investasi dan SDM dari kota ke desa sebagai modal awal penggerak roda perekonomian kawasan desa. ACKNOWLEDGEMENT Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini. Daftar Pustaka (LINK)
Bagikan Jurnal
0
0
votes Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Login
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
|