Resume
Perkebunan sawit yang umumnya dikembangkan di daerah degraded area pada kawasan yang terbelakang, terisolir, pelosok, miskin investasi, miskin SDM, dan miskin infrastruktur. Melalui ruralisasi investasi dan SDM yang tercipta akibat perkembangan perkebunan sawit mampu mengubah degraded area menjadi devoloping area. Ruralisasi investasi dan SDM melalui perkebunan sawit menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan yang sebelumnya dikategorikan sebagai degraded area. Ruralisasi investasi dan SDM melalui perkebunan sawit juga menjadi lokomotif dan mengintegrasikan ekonomi antar sektor pedesaan dan dengan sektor ekonomi perkotaan sehingga menciptakan ekonomi yang inklusif serta mengurangi polarisasi ekonomi perkotaan (urban) dengan ekonomi pedesaan (rural).
Daftar Isi
Pendahuluan
Selama ini, pendekatan pembangunan daerah umumnya mengadopsi strategi pusat pertumbuhan (growth pole strategy). Strategi tersebut menjadikan kota-kota sebagai pusat pertumbuhan, sedangkan daerah pedesaan diposisikan sebagai periferi pendukung kota-kota.
Strategi pembangunan yang demikian telah mendorong terjadinya urbanisasi yang ditandai dengan derasnya penghisapan modal (capital drain) dan tenaga kerja bermutu (brain drain) dari kawasan pedesaan ke perkotaan. Sehingga kawasan pedesaan menjadi kekurangan investasi (under investment), sementara perkotaan mengalami over investment. Akibatnya perekonomian daerah umumnya menampilkan wajah ekonomi dualistik. Disatu sisi berkembang ekonomi perkotaan (urban economic) relatif maju yang digerakkan sektor industri dan perdagangan dan disisi lain terdapat ekonomi pedesaan (rural economic) yang umumnya terbelakang, terisolir, terdegradasi, dan miskin. Ekonomi dualistik akan terus terpolarisasi jika tidak ada upaya sistematis dan masif untuk membalik arus (ruralisasi) yang menarik kembali modal dan tenaga kerja kembali ke kawasan pedesaan, khususnya pada daerah-daerah terbelakang dan terisolir.
Berbagai kebijakan dan program untuk memacu pembangunan pedesaan mulai dari Inpres Desa hingga Dana Desa, tampaknya belum mampu mempersempit polarisasi ekonomi dualistik tersebut. Selain pendekatanya parsial dan volume yang terlalu kecil/terbatas sehingga kebijakan dan program tersebut hanya menimbulkan “gigitan-gigitan kecil” (bit by bit) yang dampaknya kecil bagi ekonomi pedesaan.
Pembangunan kebun sawit di Indonesia berorientasi pada pedesaan (ruralisasi). Kebun sawit berkembang di kawasan pedesaan dan bukan di kawasan perkotaan. Secara akumulatif, skalanya tergolong besar sehingga dapat berdampak besar (big push) bagi ekonomi pedesaan. Selain memutarkan roda perekonomian kawasan pedesaan, perkebunan sawit juga mampu menarik gerbang ekonomi perkotaan.Tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana pembangunan perkebunan sawit di Indonesia meruralisasikan modal dan tenaga kerja ke daerah pedesaan untuk menggerakkan ekonomi degraded area di kawasan pedesaan menjadi pusat pertumbuhan baru. Kemudian juga akan didiskusikan terkait perkembangan perkebunan sawit yang juga mampu menarik dan mengintegrasikan ekonomi perkotaan.
Key Takeaways
- Kebun sawit dikembangkan di daerah terbelakang, terisolir, dan miskin investasi.
- Ruralisasi melalui kebun sawit menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di kawasan pedesaan yang sebelumnya terdegradasi.
- Pertumbuhan kebun sawit di pedesaan merupakan bentuk ruralisasi investasi dan sumberdaya manusia.
- Investasi sekitar Rp 1,000 trilyun untuk kebun sawit, mendukung berbagai sektor ekonomi pedesaan.
- Berkembangnya perdagangan agroinput, jasa transportasi, perbankan, dan kegiatan kuliner di kawasan pedesaan seiring perkembangan kebun sawit.
- Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru muncul di provinsi dengan kebun sawit, dengan pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan yang cepat
- Nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dan masyarakat perkotaan mencapai Rp 379 trilyun per tahun.
- Simbiosis mutualisme ekonomi mengintegrasikan sektor ekonomi pedesaan dan perkotaan.
Kebun Sawit Sebagai Ruralisasi Ekonomi
Perkebunan sawit dibangun di daerah-daerah yang dapat dikategorikan sebagai degraded area yakni daerah yang terdegradasi secara sosial, ekonomi, dan ekologi serta biasanya berada di kawasan yang terisolir, terbelakang, miskin, pinggiran, dan pelosok (PASPI, 2022; PASPI, 2023). Mengacu pada Say’s Law yakni supply creates own its demand, ekonomi degraded area hanya mungkin dibangun jika dunia usaha (seperti kebun sawit) berkembang untuk mengubah sumberdaya yang ada sehingga dapat menghasilkan “kue ekonomi”.
Pembangunan perkebunan sawit yang melibatkan kombinasi investasi pemerintah, swasta, dan masyarakat yang difokuskan di daerah tertentu, telah mengadopsi teori big-push strategy. Teori tersebut dikembangkan oleh ekonom Paul Rosenstein-Rodan pada tahun 1943, yang menyatakan bahwa pembangunan pedesaan akan berhasil secara signifikan jika dilakukan dengan dorongan besar (big push) yakni dengan investasi besar dan masal untuk ukuran perekonomian daerah.
Dimulai dengan pilot project dengan bantuan Bank Dunia yang kemudian dikenal dengan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Sejak tahun 1980, implementasi pola PIR dalam pengembangan perkebunan sawit digerakkan oleh BUMN perkebunan kemudian pola PIR tersebut terus berkembang hingga menghasilkan berbagai variasi seperti PIR Lokal, PIR Khusus, PIR Trans, dan PIR KPPA (PASPI, 2014; Sipayung, 2012, 2018; PASPI, 2022; PASPI, 2023). Keberhasilan adopsi berbagai variasi pola PIR tersebut menjadi titik awal ruralisasi investasi dan sumberdaya manusia (SDM) ke perkebunan sawit di kawasan pedesaan.
Perkembangan perkebunan sawit mengalami pertumbuhan pesat setelah orde reformasi bergulir (sejak tahun 2000). Meskipun pada masa sulit dan dukungan pendanaan yang minim dari pemerintah, inisiatif perusahaan swasta dan masyarakat lokal (petani) menjadi driver dalam pembangunan kebun sawit di kawasan pedesaan. Hal ini tercermin dari pertumbuhan luas areal perkebunan sawit yang meningkat dari hanya sekitar 4 juta hektar tahun 2000 menjadi 16.3 juta hektar tahun 2020.
Pertumbuhan kebun sawit di kawasan pedesaan tersebut merupakan bentuk ruralisasi investasi dan sumberdaya manusia. Untuk membangun 16.3 juta hektar kebun sawit tersebut, setidaknya telah menarik investasi sekitar Rp 1,000 trilyun (hanya untuk kebun sawit). Investasi tersebut belum termasuk investasi untuk pembangunan Pabrik Kelapa Sawit (PKS), jalan/jembatan, pelabuhan CPO, perumahan dan perkantoran, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta fasilitas umum/sosial lainnya.
Perkembangan perkebunan sawit di kawasan pedesaan yang teknologinya relatif padat karya (labor intensive) mendorong ruralisasi SDM ke perkebunan sawit di kawasan pedesaan. Hal ini terkonfirmasi dari jumlah SDM yang terserap dan menjadi tenaga kerja (langsung dan tak langsung) pada perkebunan sawit mencapai sekitar 16.5 juta orang (PASPI, 2023).
Pertumbuhan perkebunan sawit di kawasan pedesaan tersebut juga menarik tumbuh berkembangnya kegiatan ekonomi yang menyediakan agroinput, jasa, dan kebutuhan masyarakat yang bekerja di perkebunan sawit (Rifin, 2011; PASPI, 2023). Berbagai usaha perdagangan agroinput (pupuk, pestisida, alat-alat perkebunan), jasa transportasi TBS/CPO, jasa perbankan, kegiatan perdagangan sembako dan peralatan rumah tangga, jasa kuliner (warung makan, restauran), berkembang pesat di kawasan pedesaan seiring dengan perkembangan perkebunan sawit di kawasan tersebut. Berkembangnya kegiatan ekonomi tersebut tentunya juga menjadi bagian dari ruralisasi investasi dan SDM yang dihela oleh perkebunan sawit.
Perkembangan perkebunan sawit beserta kegiatan ekonomi terkait dengan perkebunan sawit tersebut menumbuhkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Studi PASPI (2014, 2022, 2023) mengungkapkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan perkebunan sawit pedesaan (Tabel 1). Ruralisasi investasi dan SDM melalui perkebunan sawit di kawasan pedesaan bukan hanya mampu mengubah degraded area menjadi berkembang, tetapi juga telah menjadi driver berkembangnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan.
Tabel 1. Pusat-pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru Daerah yang Berbasis Perkebunan Sawit
Provinsi | Pusat Pertumbuhan Ekonomi Baru |
---|---|
Aceh | Nagan Raya, Aceh Singkil, Aceh Timur, Subulussalam, Aceh Barat Daya, Aceh Utara dan lainnya |
Sumatera Utara | Stabat, Belarang, Sei Rampah, Limapuluh, Perdagangan, Rantau Prapat, Aek Kanopan, Aek Nabara, Kota Pinang, Sosa, Sibuhuan, Panyabungan dan lainnya |
Sumatera Barat | Pasaman Barat, Dharmas Raya, Agam, Pesisir Selatan, Sijunjung dan lainnya |
Sumatera Selatan | Sungai Lilin, Tugumulyo, Pematang Panggang, Bayung Lencir, Musi Rawas, Peninjauan, Muara Enim, Lahat. |
Riau | Pasir Pengaraian, Bangkinang, Siak Sri Indrapura, Rengat, Tembilahan, Bengkalis, Bagan Siapi-Api, Teluk Kuantan, Dumai, Pekanbaru dan lainnya |
Jambi | Sarolangun, Sungai Bahar, Sengeti, Kuala Tungkal dan lainnya |
Bengkulu | Bengkulu Selatan, Mukomuko, Seluma, Bengkulu Utara, Bengkulu Selatan, Bengkulu Tengah dan lainnya |
Kalimantan Barat | Sanggau, Bengkayang, Ketapang, Sintang, Kubu Ra dan lainnya |
Kalimantan Tengah | Sampit, Kuala Pembuang, Pangkalan Bun, Kasongan dan lainnya |
Kalimantan Timur | Sangatta, Tenggarong, Tana Pase, Tanjung Redeb, Nunukan, Sendawar dan lainnya |
Kalimantan Selatan | Batulicin, Kotabaru, Pelaihari dan lainnya |
Sulawesi | Mamuju, Donggala, Bungku, Luwu, Pasangkayu dan lainnya |
Papua & Papua Barat | Keerom, Sorong, Sorong Selatan, Manokwari, Teluk Bintuni, Fak-Fak, Merauke dan lainnya |
Peningkatan aktivitas ekonomi di kawasan pedesaan baik pada sektor perkebunan sawit maupun sektor lainnya yang terkait dengan perkebunan sawit berkontribusi pada peningkatan ekonomi daerah. Studi PASPI (2014, 2022, 2023) mengungkapkan bahwa perekonomian daerah sentra-sentra sawit relatif lebih besar dengan laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan daerah non-sentra sawit.
Studi Kasryno (2015) yang juga menunjukkan fenomena yang sama yakni beberapa provinsi sentra sawit di Indonesia seperti Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan (Barat, Tengah dan Timur) memiliki tingkat pertumbuhan PDRB yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi dengan luas perkebunan kelapa sawit yang relatif rendah seperti di Aceh, Sumatera Barat, Bengkulu, Lampung, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi.
Selain pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat, penurunan kemiskinan pada provinsi sentra sawit seperti Sumatera dan Kalimantan juga lebih cepat dibandingkan dengan provinsi non-sentra produksi sawit. Berbagai studi (Susila, 2004; Susila dan Munadi, 2008; World Growth, 2011; PASPI, 2014, 2023; Kasryno, 2015; Edwards, 2019) menyebutkan bahwa pengentasan kemiskinan pada sentra sawit di pedesaan relatif lebih cepat dibandingkan dengan non-sentra sawit.
Perkebunan Sawit Mengintegrasikan Ekonomi Desa-Kota
Ruralisasi investasi dan SDM melalui pengembangan perkebunan sawit di kawasan pedesaan tidak hanya menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi berbasis sawit tersebut juga mengintegrasikan perkebunan sawit dengan sektor ekonomi pedesaan dan sektor ekonomi perkotaan. Selain melalui mekanisme input- output (direct and indirect effect), perkembangan perkebunan sawit juga menghasilkan multiplier effect yang berdampak pada pendapatan dan konsumsi masyarakat atau induced consumption effect (PASPI, 2014; 2023).
Masyarakat yang bekerja pada perkebunan sawit (masyarakat kebun sawit) bukanlah produsen bahan pangan dan juga bukan produsen barang-barang hasil industri. Di sisi lain, masyarakat kebun sawit memiliki kebutuhan produk pangan maupun produk industri. Dengan jumlah masyarakat yang cukup besar yang juga didukung dengan daya beli yang relatif tinggi dan stabil menunjukkan bahwa masyarakat kebun sawit memiliki potensi pasar yang besar baik bagi produsen bahan pangan di sekitar perkebunan sawit maupun produsen hasil-hasil industri dari perkotaan.
Berdasarkan data BPS (2022) dapat diungkap besarnya nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat pertanian (petani tanaman pangan, peternakan, dan perikanan) yang ada disekitar kebun sawit serta masyarakat perkotaan sebagai produsen barang-barang industri (Gambar 1).
Gambar 1. Nilai Transaksi Masyarakat Kebun Sawit dengan Masyarakat Pertanian dan Masyarakat Perkotaan (Sumber: BPS, 2022; data diolah PASPI)
![Nilai Transaksi Masyarakat Kebun Sawit dengan Masyarakat Pertanian dan Masyarakat Perkotaan [Jurnal 2023] PERKEBUNAN SAWIT: RURALISASI EKONOMI DAN INTEGRASIKAN EKONOMI DESA-KOTA Ruralisasi ekonomi sawit](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/11/Nilai-Transaksi-Masyarakat-Kebun-Sawit-dengan-Masyarakat-Pertanian-dan-Masyarakat-Perkotaan.webp)
Nilai transaksi yang tercipta antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat pedesaan mencapai sekitar Rp 153 trilyun per tahun. Hal ini mencakup nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat petani tanaman pangan mencapai Rp 98 trilyun per tahun, dengan masyarakat peternak Rp 28 trilyun per tahun dan dengan masyarakat perikanan/nelayan mencapai Rp 27 trilyun per tahun.
Transaksi ekonomi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat petani/ peternak/perikanan tersebut mengungkapkan hubungan simbiosis mutualisme antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat petani/peternak/nelayan di pedesaan melalui pasar pangan. Simbiosis mutualisme pangan tersebut menjadi salah satu faktor penjelas mengapa masyarakat kebun sawit tidak pernah kekurangan pangan meskipun di daerah lain terjadi krisis pangan. Demikian juga masyakat petani/peternak/nelayan yang berada di kawasan sekitar sentra sawit tidak mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil pertaniannya.
Transaksi ekonomi antara masyarakat kebun sawit juga terjadi dengan masyarakat perkotaan. Masyarakat kebun sawit juga memerlukan barang-barang hasil industri yang diproduksi di kawasan perkotaan. Sebaliknya masyarakat industri perkotaan juga memerlukan pasar bagi hasil industrinya. Perlu dicatat bahwa masyarakat perkotaan disini bukan hanya perkotaan di provinsi sentra sawit, tetapi juga mencakup masyarakat industri yang ada di provinsi non-sentra sawit seperti provinsi di Pulau Jawa dan Bali.
Nilai transaksi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat perkotaan mencapai sekitar Rp 379 trilyun per tahun. Nilai transaksi dengan masyarakat perkotaan tersebut lebih dari dua kali lipat dari nilai transaksi dengan masyarakat pertanian (produsen bahan pangan). Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat kebun sawit merupakan pasar yang sangat besar bagi masyarakat perkotaan (produsen barang industri). Hal ini menunjukkan bahwa membangun kebun sawit berarti juga membangun pasar untuk ekonomi perkotaan.
Simbiosis mutualisme ekonomi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat petani pangan/peternak/nelayan maupun dengan masyarakat perkotaan (produsen barang industri) menunjukkan bahwa ekonomi kebun sawit mengintegrasikan ekonomi antar sektor ekonomi pedesaan dan dengan sektor ekonomi di perkotaan. Ekonomi kebun sawit dapat disebut sebagai lokomotif yang menarik pertumbuhan ekonomi sektor-sektor pertanian di kawasan pedesaan dan sekaligus juga menjadi lokomotif bagi sektor ekonomi di kawasan perkotaan. Pertumbuhan pendapatan masyarakat kebun sawit akan menarik pertumbuhan ekonomi pedesaan dan menarik pertumbuhan ekonomi perkotaan.
Dengan demikian, kiranya makin jelas bahwa ruralisasi investasi dan SDM melalui perkebunan sawit bukan hanya menggerakkan ekonomi degraded area di kawasan pedesaan hingga membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di pedesaan, namun juga turut mengintegrasikan ekonomi dengan sektor ekonomi di kawasan pedesaan dan sektor ekonomi di perkotaan. Selain menciptakan ekonomi yang inklusif, integrasi ekonomi yang demikian dalam jangka waktu yang panjang akan mengurangi polarisasi ekonomi perkotaan (urban) dengan ekonomi pedesaan (rural) dan mengoreksi ekonomi dualistis menjadi ekonomi rurban (rural-urban).
Kesimpulan
Perkebunan sawit dibangun di daerah-daerah yang dapat dikategorikan sebagai degraded area yakni daerah yang terdegradasi secara sosial, ekonomi, dan ekologi serta biasanya berada di kawasan yang terisolir, terbelakang, miskin, pinggiran, dan pelosok. Ruralisasi investasi dan SDM tercipta melalui pengembangan perkebunan sawit di kawasan pedesaan.
Seiring dengan perkembangan perkebunan sawit akibat ruralisasi investasi dan SDM mampu menciptakan multiplier effect yang mampu memutarkan roda perekonomian kawasan pedesaan melalui pengembangan sektor ekonomi lain yang terkait dengan perkebunan sawit. Hal ini mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di kawasan pedesaan yang sebelumnya dikategorikan sebagai degraded area.
Ruralisasi investasi dan SDM melalui perkebunan sawit juga mampu menciptakan simbiosis mutualisme ekonomi antara masyarakat kebun sawit dengan masyarakat petani pangan/peternak/nelayan maupun dengan masyarakat perkotaan (produsen barang industri). Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan sawit menjadi lokomotif dan mengintegrasikan ekonomi antar sektor pedesaan dan dengan sektor ekonomi perkotaan sehingga menciptakan ekonomi yang inklusif, mengurangi polarisasi ekonomi perkotaan (urban) dengan ekonomi pedesaan (rural), dan mengoreksi ekonomi dualistis menjadi ekonomi rurban (rural-urban).
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka (Link)
- Edwards RB. 2019. Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesian Palm Oil. Working Paper Dartmouth College.
- Kasryno F. 2015. The Economic Impacts of Palm Oil in Indonesia. The High Carbon Stock Science Study 2015.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry Its role in: Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Bogor (ID): PASPI.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2022. Analisis Komparasi Kemajuan Sosial, Ekonomi & Ekologi Antara “Desa Sawit” Vs “Desa Non-Sawit” di Indonesia. Bogor (ID): PASPI.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
- Rifin A. 2011. The Role of Palm Oil Industry in Indonesian Economy and Its Competitiveness. [disertasi]. Tokyo (JP): University of Tokyo.
- Sipayung T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor (ID): IPB Press
- Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
- Susila WR. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic Growth and Poverty Alleviation in Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 23(3): 107-114.
- Susila WR, E Munadi. 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika Pertanian. 17(2): 1173-1194.
- World Growth. 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia.