Back to Top
Rating & Comment

[Jurnal 2023] KEUNGGULAN PERKEBUNAN SAWIT DALAM CARBON SINK DAN PRODUKSI MINYAK HEMAT EMISI

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE
PASPI Monitor. (2023). KEUNGGULAN PERKEBUNAN SAWIT DALAM CARBON SINK DAN PRODUKSI MINYAK HEMAT EMISI. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 4(15). https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/sawit-dalam-carbon-sink/
PASPI Monitor. KEUNGGULAN PERKEBUNAN SAWIT DALAM CARBON SINK DAN PRODUKSI MINYAK HEMAT EMISI. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2023;4(15): %first_page_number%-%last_page_number% . Available from: https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/sawit-dalam-carbon-sink/.
PASPI Monitor. "KEUNGGULAN PERKEBUNAN SAWIT DALAM CARBON SINK DAN PRODUKSI MINYAK HEMAT EMISI." Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues, vol. 4, 2023, pp. %first_page_number%-%last_page_number%. https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/sawit-dalam-carbon-sink/. Diakses Pada : .

Resume

Perkebunan sawit (dan minyak sawit) sering dituding sebagai kontributor utama penghasil emisi GRK pada sektor pertanian global. Tudingan tersebut dinilai kurang tepat dan salah alamat karena tidak sesuai dengan data publikasi FAO (2022, 2023) yang mengungkapkan bahwa peternakan dan budidaya padi menjadi sub-sektor utama penghasil emisi GRK pada sektor pertanian global. Justru sebaliknya, perkebunan sawit menghasilkan minyak sawit yang rendah emisi serta memiliki kemampuan besar sebagai penyerap emisi karbon dari atmosfer bumi (carbon sink) yang kemudian disimpan sebagai stok karbon (carbon sink). Bahkan kemampuan carbon sink perkebunan sawit lebih tinggi dibandingkan kemampuan hutan maupun tanaman hutan. Hal ini menunjukkan perkebunan sawit menjadi bagian penting dari solusi mitigasi perubahan iklim global.


Pendahuluan

Isu global warming dan climate change menjadi topik yang terus didiskusikan dalam beberapa dekade terakhir. Masifnya dampak global warming dan climate change hingga mengancam eksistensi makhluk hidup di bumi menjadi urgensi agar seluruh pihak berupaya mencari dan mengupayakan solusi untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer bumi.

Industri sawit global menyimpan potensi yang besar sebagai bagian solusi dari global warming (PASPI Monitor, 2023 – JM7). Selain memproduksi bioenergi yang rendah emisi dan sustainable sebagai alternatif substitusi energi fosil yang boros emisi (PASPI Monitor, 2023 – JM14), perkebunan sawit juga memiliki kemampuan untuk menyerap emisi GRK di atmosfer bumi melalui proses fotosintesis.

Namun di sisi lain, perkebunan sawit dituding sebagai kontributor utama dalam peningkatan emisi GRK dalam sektor pertanian. Perkebunan sawit dinilai menjadi salah satu sumber emisi karbon yang signifikan (Germer dan Sauerborn, 2007; Reijnders dan Huijbregts, 2008; Chase dan Henson, 2010; Carlson et al., 2013). Selain dalam proses produksi (farm-gate) minyak sawit, penggunaan lahan perkebunan sawit juga dituding sebagai penghasil emisi karbon yang besar. Bahkan tudingan tersebut dijadikan sebagai dasar kebijakan diformulasikan oleh Uni Eropa seperti RED II ILUC  (PASPI Monitor, 2019) dan The Farm to Fork dalam kerangka European Green Deal (PASPI Monitor, 2021 – JM48).

Artikel ini akan mendiskusikan terkait sub-sektor yang berkontribusi dalam peningkatan emisi GRK di sektor pertanian. Selanjutnya juga akan didiskusikan terkait peranan perkebunan sawit dalam penyerapan emisi (carbon sink) dan penyimpanan karbon (carbon saving) sebagai bagian dari mitigasi perubahan iklim global.

Key Takeaways

  • Perkebunan sawit memiliki kemampuan besar sebagai penyerap emisi karbon dari atmosfer bumi (carbon sink) dan memiliki kemampuan carbon sink yang lebih tinggi dibandingkan hutan maupun tanaman hutan.
  • Sektor pertanian merupakan sektor terbesar kedua yang berkontribusi pada emisi Gas Rumah Kaca (GRK) global, dengan kontribusi sebesar 18.4 persen.
  • Pada tahun 2021, sub-sektor peternakan global menjadi penyumbang emisi terbesar pada level farm-gate, dengan enteric fermentation dan manure sebagai sumber emisi utama.
  • Emisi GRK pada level farm-gate memiliki rata-rata peningkatan terbesar selama periode tahun 2001-2021, mencapai 48 persen.
  • Tanaman sawit memiliki kemampuan penyerapan CO2 yang tinggi, dengan net carbon sink sebesar 64.5 ton CO2 per hektar per tahun.
  • Kemampuan carbon sink perkebunan sawit lebih besar dibandingkan dengan hutan, dengan rata-rata penyerapan CO2 sebesar 51.9 Mg CO2 eq/hektar/tahun.
  • Kebijakan pembatasan terhadap perdagangan dan konsumsi minyak sawit berdasarkan klaim kontribusi pada emisi GRK dinilai salah sasaran berdasarkan studi empiris.
  • Minyak kelapa sawit menghasilkan emisi minyak nabati paling rendah, lebih hemat dibandingkan dengan minyak biji bunga matahari, minyak rapeseed, minyak zaitun, minyak kedelai, dan minyak kacang tanah.
  • Studi menunjukkan bahwa emisi pada produksi minyak kelapa sawit lebih rendah dibandingkan dengan emisi dari minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed.
  • Gerakan “Palm Oil Free” dianggap sebagai gerakan anti-lingkungan karena dapat meningkatkan emisi gas rumah kaca dari produksi minyak nabati alternatif yang lebih boros emisinya.
  • Perkebunan kelapa sawit memiliki kemampuan sebagai carbon sink dan carbon saving, membuktikan potensinya sebagai solusi mitigasi perubahan iklim global.
  • Publikasi FAO menunjukkan bahwa sub-sektor peternakan, bukan perkebunan kelapa sawit, menjadi kontributor utama emisi gas rumah kaca pada sektor pertanian global.

Emisi GRK Sektor Pertanian Global

Pada dasarnya, seluruh aktivitas manusia menghasilkan emisi GRK. Sektor pertanian menjadi sektor terbesar kedua (setelah sektor energi) yang berkontribusi dalam emisi GRK global dengan pangsa sebesar 18.4 persen (WRI, 2021; PASPI, 2023). Sektor pertanian dunia berkontribusi sebesar 20 persen (10.6 Gt CO2 eq) dari total emisi GRK dunia tahun 2019 (Olivier et al., 2022; PASPI, 2023).

Dengan pendekatan yang lebih luas, publikasi terbaru FAO (2023) mengungkapkan bahwa sistem pangan pertanian (agrifood) global menghasilkan emisi sebesar 16 Gt CO2 eq pada tahun 2021. Emisi dalam sistem agrifood global tersebut mencakup emisi farm-gate terkait dengan proses produksi produk pertanian dan peternakan, emisi land-use change terkait dengan deforestasi dan pengeringan lahan organik untuk lahan pertanian/peternakan, dan emisi yang dihasilkan pre-and post-production atau sebelum proses produksi (sub sektor hulu/input produksi) dan sesudah proses produksi (hilir, transportasi, konsumsi rumah tangga, limbah produk pangan).

Dari ketiga komponen dalam sistem agrifood global, emisi GRK terbesar dihasilkan pada level farm-gate sebesar 7.8 Gt CO2 eq tahun 2021. Kemudian diikuti oleh emisi dari level pre- and post-production sebesar 5.3 Gt CO2 eq dan emisi dari land-use change sebesar 3.1 Gt CO2 eq. Meskipun emisi pada level farm-gate yang terbesar, namun kegiatan pada level pre- and post-production menghasilkan emisi dengan rata-rata peningkatan terbesar selama periode tahun 2001-2021 yakni sebesar 48 persen (Gambar 1). Rata-rata peningkatan emisi level farm-gate pada periode tersebut hanya sebesar 14 persen, sedangkan emisi dari land-use change justru mengalami penurunan sebesar 19 persen.

Gambar 1. Peningkatan Emisi GRK pada Sistem Agrifood Global Berdasarkan Komponennya Periode Tahun 2001-2021 (Sumber: FAO, 2023)

Peningkatan Emisi GRK pada Sistem Agrifood Global Berdasarkan Komponennya Periode Tahun 2001 2021
Peningkatan Emisi GRK pada Sistem Agrifood Global Berdasarkan Komponennya Periode Tahun 2001-2021 (Sumber: FAO, 2023)

Pada level farm-gate (Gambar 2), emisi paling besar dihasilkan oleh sub-sektor peternakan global tahun 2021 sebesar 4.2 Gt CO2 eq (54 persen) atau yang mencakup enteric fermentation (2.9 Gt CO2 eq, 37 persen) dan manure (1.3 Gt CO2 eq,17 persen). Selanjutnya disusul oleh lahan organik yang dikeringkan (drained organic soil) dan penggunaan energi (on-farm energy use) masing-masing sebesar 0.9 Gt CO2 eq (12 persen). Budidaya padi dan penggunaan pupuk sintetis juga termasuk ke dalam sub-sektor/aktivitas yang menghasilkan emisi paling besar pada level farm-gate yakni berturut-turut sebesar 0.7 Gt CO2 eq (9 persen) dan 0.6 Gt CO2 eq (8 persen).

Gambar 2. Sumber Emisi GRK pada Sistem Agrifood Global Level Farm-Gate Tahun 2021 (Sumber: FAO, 2023)

Sumber Emisi GRK pada Sistem Agrifood Global Level Farm Gate Tahun 2021
Gambar 2. Sumber Emisi GRK pada Sistem Agrifood Global Level Farm-Gate Tahun 2021 (Sumber: FAO, 2023)

Produksi produk peternakan merupakan komoditas yang paling banyak menghasilkan emisi (FAO, 2022). Emisi yang terdapat pada setiap satu kilogram daging sapi mencapai 30 kg CO2 eq. Kemudian disusul oleh daging domba (24.4 kg CO2 eq/kg), susu domba (5.6 kg CO2 eq/kg), daging babi (1.8 kg CO2 eq/kg), susu sapi (1 kg CO2 eq/kg), daging ayam (0.6 kg CO2 eq/kg), dan telur (0.6 kg CO2 eq/kg). Selain produk peternakan, emisi dari setiap satu kilogram beras sebesar 1.1 kg CO2 eq.

Publikasi FAO (2022, 2023) di atas menunjukkan bahwa perkebunan sawit maupun minyak sawit bukan kontributor utama dalam peningkatan emisi GRK pada sektor pertanian. Realita juga menunjukkan bahwa proses produksi minyak sawit menghasilkan emisi. Studi Harimurti et al. (2021) mengungkapkan bahwa rata-rata emisi karbon dari kegiatan produksi di kebun sawit sebesar 0.08 ton CO2 eq/ton TBS/tahun. Emisi karbon paling besar dihasilkan pada tanaman berusia 4 tahun (0.25 CO2 eq/ton TBS) dan kemudian menurun hingga titik terendah pada umur 9 tahun (0.04 CO2 eq/ton TBS).

Sumber emisi pada level kebun dan pabrik kelapa sawit (Mathews dan Ardiyanto, 2015) antara lain POME (62 persen), penggunaan pupuk (31.5 persen), dan penggunaan energi fosil (5.1 persen). Dengan perbaikan manajemen dan adopsi teknologi seperti methane capture untuk pengolahan POME, penggunaan biomassa sawit sebagai alternatif energi fosil dan pupuk anorganik, dan peningkatan produktivitas dapat menurunkan emisi pada perkebunan sawit dan meningkatkan sustainability ((PASPI Monitor, 2021JM46; Alcock et al., 2022).


Kemampuan Perkebunan Sawit dalam Carbon Sink dan Saving

Industri sawit global merupakan salah satu industri yang potensial menjadi bagian solusi dari pengurangan emisi GRK global. Perkebunan sawit juga sering disebut sebagai perkebunan karbon karena memiliki peran yang semakin penting dalam penyerapan kembali karbon dari atmosfer bumi.

Sama seperti tanaman lain di seluruh dunia, perkebunan sawit melakukan proses fotosintesis. Melalui proses tersebut, energi matahari dan CO2 dari atmosfer bumi diserap dan diubah menjadi minyak sawit, biomassa, dan sebagian disimpan dalam bentuk karbon stok organik lahan. Dengan kemampuan penyerapan CO2 dari atmosfer bumi tersebut, perkebunan sawit memiliki peran sebagai carbon sink (PASPI, 2023).

Berdasarkan studi Henson (1999) mengungkapkan bahwa perkebunan sawit menyerap CO2 (melalui fotosintesis) dari atmosfer Bumi sebesar 161 ton CO2 per hektar dan menggunakan kembali (respirasi) sebesar 96.5 ton CO2  per hektar, sehingga net carbon sink tanaman sawit sebesar 64.5 ton CO2 per hektar (Tabel 1).

Tabel 1. Perkebunan Sawit  sebagai Carbon Sink

IndikatorHutan TropisKebun Sawit
Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun)163.5161.0
Total respirasi (ton CO2/ha/tahun)121.196.5
Asimilasi netto (ton CO2/ha/tahun)42.464.5
Produksi oksigen (ton O2/ha/tahun)7.0918.70
Sumber: Henson (1999); PPKS (2004, 2005)

Kemampuan carbon sink pada perkebunan sawit tersebut bahkan lebih besar dibandingkan hutan. Studi Uning et al. (2020) juga mengungkapkan hal yang sama yakni tanaman sawit menyerap emisi sebesar 64 ton CO2/hektar/tahun atau lebih tinggi dibandingkan kemampuan hutan yang hanya sebesar 32 ton CO2/hektar/tahun. Hal ini dapat dipahami mengingat hutan tropis dipenuhi tumbuhan yang sudah dewasa/tua, dimana laju fotosintesis telah mendekati sama dengan laju respirasi (Soemarwoto, 1992).

PPKS (2023) merangkum hasil studi empiris juga mengkonfirmasi hal tersebut. Kemampuan penyerapan karbon dioksida pada tanaman sawit (36 ton CO2 per hektar) lebih besar dibandingkan dengan hutan alam (25 ton CO2 per hektar). Kemampuan tanaman sawit sebagai carbon sink tersebut juga bahkan lebih besar dibandingkan tanaman hutan seperti mahoni (25 ton CO2 per hektar), jati (21 ton CO2 per hektar), pinus (20 ton CO2 per hektar), dan sengon (18 ton CO2 per hektar).

Dalam Naskah Akademik Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi yang disusun oleh Fakultas Kehutanan IPB dan APKASINDO (Santosa et al., 2023) dengan menggunakan Net Primary Production (NPP) tanaman sawit lebih besar dibandingkan dengan hutan tropis maupun tanaman hutan (seperti akasia, pinus, jati, eucalyptus). Nilai NPP tersebut menunjukkan total karbon bersih yang diserap oleh tanaman dari atmosfer melalui proses fotosintesis.

Studi tersebut juga membandingkan kemampuan penyerapan karbon dioksida pada tanaman sawit versus hutan dan tanaman hutan (Gambar 3). Tanaman sawit memiliki rata-rata penyerapan karbon dioksida sebesar 51.9 Mg CO2 eq/hektar/tahun atau lebih tinggi dibandingkan hutan (51.1 Mg CO2 eq/hektar/tahun) dan tanaman hutan lainnya.

Gambar 3. Perbandingan Kemampuan Penyerapan CO2 antara Sawit Versus Hutan dan Tanaman Hutan (Sumber: Santosa et al., 2023)

Kemampuan tanaman sawit dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer bumi (carbon sink) bahkan lebih besar dibandingkan kemampuan hutan maupun tanaman hutan lainnya
Gambar 3. Perbandingan Kemampuan Penyerapan CO2 antara Sawit Versus Hutan dan Tanaman Hutan (Sumber: Santosa et al., 2023)

Dengan indikator nilai NPP dan penyerapan karbon dioksida pada tanaman sawit yang relatif tinggi mengindikasikan bahwa besarnya kemampuan sawit sebagai penyerap emisi karbon. Didukung dengan karakteristik tanaman sawit yang tergolong sebagai tanaman tahunan (perennial plant) dengan sistem perakaran yang intensif, berukuran relatif besar, pertumbuhan cepat, dan produksi tinggi dengan siklus pertanaman (lifespan) selama 25 tahun atau lebih menjadikan perkebunan sawit sebagai “mesin biologis” penyerap karbon dioksida (CO2) yang cukup besar.

Selain memiliki kemampuan dalam dalam penyerapan karbon, perkebunan sawit juga memiliki berperan dalam penyimpanan karbon (carbon saving). Melalui fotosintesis dan proses biosquestrasi, karbon yang diserap tanaman sawit diubah menjadi stok karbon yang disimpan sebagai biomassa tanaman sawit itu sendiri (above ground biomass) maupun pada sistem perakaran bawah tanah (under ground biomass) dalam bentuk karbon organik tanah dan karbon anorganik tanah (PASPI, 2023).

Studi Chan (2002) menghitung besarnya biomassa dan stok karbon (above ground biomass) hasil carbon sequestration pada perkebunan sawit yakni berkisar 5.8 ton per hektar (pada tanaman belum menghasilkan) hingga 45.3 ton per hektar (pada umur tanaman 20-24 tahun) atau rata-rata sebesar 30 ton karbon per hektar. Kusumawati et al. (2021) menemukan bahwa perkebunan sawit berumur satu tahun mengandung karbon stok sebesar 43.5 ton per hektar dan perkebunan sawit yang berumur 28 tahun memiliki karbon stok sebesar 74.7 ton per hektar. Studi Khasanah (2019) juga mengungkapkan bahwa rata-rata stok karbon pada biomassa di atas tanah pada perkebunan sawit Indonesia mencapai 40 ton per hektar.

Benang merah dari berbagai studi tersebut menunjukkan bahwa besarnya potensi karbon stok pada perkebunan sawit yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Karbon stok perkebunan sawit tersebut merupakan akumulasi dari hasil proses penyerapan CO2 dari atmosfer bumi dapat dilihat pengurangan konsentrasi CO2 pada atmosfer bumi. Hal ini semakin menambah potensi perkebunan sawit menjadi bagian dari solusi mitigasi perubahan iklim global.

Berbagai studi (Gunarso et al., 2013a,b; Suharto et al., 2019) mengungkapkan bahwa sebagian besar asal usul lahan kebun sawit di Indonesia berasal dari tutupan lahan yang stok karbonnya lebih rendah dari stok karbon kebun sawit (di luar kebun sawit gambut yang masih menjadi perdebatan). Artinya konversi lahan (land use change) menjadi kebun sawit merupakan suatu carbon absorption (net carbon sink) dan bukan carbon source. Selain sebagai bagian mitigasi perubahan iklim, besarnya kemampuan carbon sink dan carbon saving yang melekat pada perkebunan sawit menjadi sebuah upaya aforestasi (membangun “fungsi hutan” di luar kawasan hutan) dan rehabilitasi kawasan lahan terdegradasi/marjinal.


Produksi Minyak Nabati Hemat Emisi

Pada bagian awal tulisan telah dijelaskan bahwa sektor pertanian dan sistem agrifood global menjadi salah satu kontributor utama emisi GRK dunia. Implikasinya beberapa negara maju membatasi bahkan menghentikan perdagangan dan konsumsi komoditas/produk pertanian yang dianggap berkontribusi pada peningkatan emisi GRK, misalnya Uni Eropa dengan kebijakan RED II ILUC  (PASPI Monitor, 2019) dan The Farm to Fork dalam kerangka European Green Deal (PASPI Monitor, 2021 – JM48). Salah satu komoditas pertanian yang turut ditargetkan dalam kebijakan tersebut adalah minyak sawit dan produk turunannya.

Argumen kebijakan tersebut dinilai salah sasaran. Berbagai studi empiris justru membuktikan sebaliknya. Studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) mengungkapkan bahwa kebun sawit adalah penghasil minyak nabati paling rendah emisinya dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya (PASPI, 2023). Artinya emisi minyak sawit lebih rendah jika dibandingkan minyak biji bunga matahari, minyak rapeseed, minyak zaitun/olive, minyak kelapa, minyak kedelai, dan minyak kacang tanah.

Studi Alcock et al. (2022) juga mengungkapkan hal yang sama yakni emisi (tidak termasuk emisi land-use change) pada produksi minyak sawit lebih rendah diantara Top-4 tanaman minyak nabati utama dunia. Setiap satu kilogram minyak sawit yang diproduksi hanya menghasilkan emisi sebesar 0.43 kg CO2. Sedangkan emisi yang dihasilkan dari produksi satu kilogram minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed berturut-turut sebesar 1.18 kg CO2, 1.13 kg CO2, dan 1.02 kg CO2.

Hasil studi ini juga membuktikan bahwa kebijakan atau gerakan “Palm Oil Free” sebagai gerakan pro-environment yang bertujuan untuk membatasi/menghentikan konsumsi minyak sawit, justru bersifat sebagai gerakan anti-environment. Menghindari masyarakat dunia dari mengkonsumsi minyak sawit justru akan membawa masyarakat dunia pada dampak lingkungan yang lebih buruk yakni peningkatan emisi GRK dari produksi minyak nabati yang lebih boros emisinya. Jika masyarakat dunia concern untuk menurunkan emisi GRK, seharusnya masyarakat tersebut menghindari untuk mengkonsumsi komoditas pertanian yang boros emisi seperti daging, susu, dan telur atau minyak kedelai, bukan menghindari konsumsi minyak sawit yang relatif hemat emisi.


Kesimpulan

Sektor pertanian dan sistem agrifood global merupakan kontributor kedua terbesar (setelah energi) dalam emisi GRK dunia. Berlandaskan fakta tersebut, berbagai pihak menuding bahwa perkebunan sawit dan minyak sawit menjadi kontributor utama penghasil emisi GRK dalam sektor pertanian dunia. Implikasi dari argumen tersebut adalah munculnya gerakan “Palm Oil Free” dan kebijakan negara importir yang membatasi bahkan menghentikan perdagangan dan konsumsi minyak sawit (maupun produk turunannya) sebagai langkah untuk penurunan emisi GRK dan mitigasi perubahan iklim global.

Gerakan anti-sawit atau kebijakan yang mendiskriminasi minyak sawit tersebut dinilai salah sasaran. Publikasi FAO (2022, 2023) mengungkapkan bahwa peternakan dan budidaya padi menjadi sub-sektor utama penghasil emisi GRK pada sektor pertanian global. Publikasi tersebut juga menyebutkan bahwa komoditas peternakan (daging, susu, telur) dan beras menjadi komoditas pertanian dengan beban emisi terbesar. Sebaliknya, perkebunan sawit yang selama ini menjadi “kambing hitam” bukan menjadi kontributor utama dalam emisi GRK sektor pertanian global, justru mampu memproduksi minyak nabati yang paling hemat emisi dibandingkan minyak nabati lainnya.

Keunggulan lainnya yang dimiliki perkebunan sawit adalah kemampuannya sebagai carbon sink dan carbon saving. Kemampuan tanaman sawit dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer bumi (carbon sink) bahkan lebih besar dibandingkan kemampuan hutan maupun tanaman hutan lainnya. Karbon dari atmosfer bumi tersebut kemudian yang diserap oleh tanaman sawit tersebut kemudian disimpan menjadi stok karbon (carbon saving), dimana volume stok karbon tersebut akan terus meningkat seiring dengan pertambahan umurnya. Hal ini menunjukkan besarnya potensi perkebunan sawit, selain menjadi penghasil minyak nabati yang hemat tetapi juga turut menjadi bagian solusi mitigasi perubahan iklim global.


ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.


Daftar Pustaka

  1. Alcock TD, Salt DE, Wilson P, Ramsden SJ. 2022. More Sustainable Vegetable Oil: Balancing Productivity with Carbon Storage Opportunities. Science of the Environment. 829(2022): 154539
  2. Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv.
  3. Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813.
  4. Carlson KM,  Curran LM, Asner GP, Pittman AM, Trigg SN, Adeney JM. 2013. Carbon Emissions from Forest Conversion by Kalimantan Oil Palm Plantations. Natural Climate Change Journal. 3:283–287. 
  5. Chan CK. 2002. Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strength. Presented at MPOA Seminar 2002: R&D for competitive edge in the Malaysian oil palm industry. Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Association (MPOA).
  6. Chase LDC, Henson IE. 2010. A Detailed Greenhouse Gas Budget for Palm Oil Production. International Journal Agricultural Sustainability. 8:199–214.
  7. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2022. Statistical Yearbook: World Food and Agriculture 2022.
  8. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2023. FAOSTAT Analytical Brief 73: Agrifood Systems and Land-related Emission.
  9. Germer J, Sauerborn J. 2007. Estimation Impact of Oil Palm Plantation Establishment on Greenhouse Gas Balance. Environmental Development Sustainability. 10:697–716. 
  10. Gunarso P, ME Hartoyo, Y Nugroho. 2013a. Analisis penutupan lahan dan perubahannya menjadi kelapa sawit di Indonesia: Studi kasus di 5 pulau besar di Indonesia periode 1990-2010. Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan. 2(1):10-19.
  11. Gunarso P. ME Hartoyo, F Agus, TJ Killeen. 2013b. Oil Palm and Land Use Change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Tropenbos Organization.
  12. Harimurti D, Hariyadi J, Noor E. 2021. Reducing Greenhouse Gas Emissions in Oil Palm Plantations Using a Life Cycle Assessment Approach. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 11(1): 1-9.
  13. Henson I. 1999. Comparative Ecophysiology of Palm Oil and Tropical Rainforest. Oil Palm and Environment: A Malaysian Perspective. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Oil Palm Brower Council. 
  14. Khasanah NM, V Noordwijk, H Ningsih, S Rahayu. 2019. Carbon Neutral? No Change in Mineral Soil Carbon Stock Under Oil Palm Plantations Derived from Forest or Non-Forest in Indonesia. Agriculture, Ecosystems and Environment. 211: 195–206.
  15. Kusumawati SA, Yahya S, Hariyadi, Mulatsih S, Istina IN. 2021. The Dynamic of Carbon Dioxide (CO2) Emission and Land Coverage on Intercropping System on Oil Palm Replanting Area. Journal of Oil Palm Research. 33(2): 267-277.
  16. Mathews J, Ardiyanto A. 2015. Estimation Of Greenhouse Gas Emissions for Palm Oil Biodiesel Production: A Review And Case Study Within The Council Directives 2009/28/Ec Of The European Parliament. Journal of Oil Palm, Environment & Health. 6:25-41.
  17. Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
  18. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  19. PASPI Monitor. 2019. Minyak Sawit Dalam Persaingan Bahan Baku Biodiesel Uni Eropa: Motif RED II ILUC. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 5 (42): 1689-1696.
  20. PASPI Monitor. 2021a. European Green Deal dan Implikasinya bagi Industri Sawit. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2 (48): 581-584.
  21. PASPI Monitor. 2021b. Palm Oil Industry Will Become A Net Carbon Sink. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(47): 575-580. 
  22. PASPI Monitor. 2023a. Global Warming dan Solusi dari Industri Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(7): 783-789.
  23. PASPI Monitor. 2023b. COP-28 Dubai Summit, Emisi Energi Fosil, dan Bioenergi Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(14): 833-840.
  24. [PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2023. Pro dan Kontra Kajian Sawit sebagai Penyerap Karbon dan Potensi Implementasi Regenerative Agriculture di Perkebunan Kelapa Sawit. Materi Paparan dalam FGD Kajian Urgent dan Cepat LEMHANAS pada tanggal 24 Juli 2023. 
  25. Santosa Y, Soedomo S, Sumawinata B, Sunkar HA, Risdiyanto I. 2023. Kajian Akademik Kelapa Sawit sebagai Tanaman Hutan Terdegradasi. Bogor (ID): IPB Press.
  26. Soemarwoto O. 1992. Indonesia dalam Kamcah Isu Lingkungan Global. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.
  27. Suharto R, Agus F, Santosa Y, Sipayung T, Gunarso, P. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energy Directive (EU Directive 2018/2001) dan EU Commission Delegated Regulation 2019/807 serta Perumusan Posisi Indonesia terhadap Kebijakan Tersebut. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; PT Riset Perkebunan Nusantara.
  28. Reijnders L, Huijbregts M. 2008. Palm Oil and The Emission of Carbon-Based Greenhouse Gasses. Journal Clean Production. 16: 477–482.
  29. Uning R, Latif MT, Othman M, Juneng L, Hanif NM, Mohd Nadzir MS, Maulud KNA, Mohd Jaafar WSW, Said NFS, Ahamad F, Takriff MS. 2020. A Review of Southeast Asian Oil Palm and Its CO2 Fluxes. Sustainability. 12(12).
  30. [WRI] World Resouces Institute. 2020. Climate Watch.
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x