Back to Top
Rating & Comment

KEBIJAKAN DANA BAGI HASIL SAWIT, DUKUNGAN FISKAL DARI INDUSTRI SAWIT, DAN KONTRIBUSI SAWIT DALAM EKONOMI DAERAH 2023

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Pendahuluan

Pemerintah telah merespons aspirasi pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) sentra sawit agar pajak ekspor (bea keluar dan pungutan ekspor) produk sawit dapat dibagikan ke daerah-daerah penghasil sawit (sentra sawit). Respons pemerintah tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit (PP 38/2023) dan kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 91 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit (PMK 91/2023).

Peruntukan dana bagi hasil sawit sebagaimana diatur dalam PP 38/2023 dan PMK 91/2023 tersebut diutamakan untuk perbaikan infrastruktur jalan di kabupaten sentra sawit. Peruntukan DBH sawit tersebut merespon aspirasi pemerintah daerah yang menilai perlunya dana pemeliharaan infrastruktur jalan dan jembatan untuk mendukung aktivitas industri sawit baik di daerah sentra sawit maupun kabupaten yang berbatasan langsung dengan kabupaten sentra sawit.

Sebelum kebijakan DBH sawit tersebut dikeluarkan, penerimaan pemerintah dari industri sawit telah disalurkan melalui berbagai jalur fiskal baik untuk industri sawit maupun ekonomi daerah secara keseluruhan

Tulisan ini mendiskusikan dukungan fiskal dari industri sawit. Kemudian didiskusikan DBH sawit sebagai bagian dari kontribusi industri sawit dalam pembiayaan kebijakan fiskal dalam menggerakkan ekonomi daerah terutama daerah sentra sawit di Indonesia.

Key Takeaways

  • Pemerintah merespons aspirasi daerah sentra kelapa sawit dengan kebijakan Dana Bagi Hasil Sawit (DBH).
  • Dana Bagi Hasil Sawit mengalokasikan pungutan ekspor dan bea keluar produk sawit ke daerah penghasil sawit.
  • Dana Bagi Hasil Sawit digunakan untuk perbaikan infrastruktur jalan di daerah sentra sawit, mendukung aktivitas industri sawit.
  • Industri sawit berkontribusi dalam pembiayaan fiskal melalui pajak, dividen BUMN sawit, bea keluar ekspor, dan pungutan ekspor.
  • Industri sawit juga berkontribusi pada ekonomi daerah melalui jalur APBN, APBD, dan Dana Sawit.
  • Dana Bagi Hasil Sawit dialokasikan ke daerah sentra sawit (60%), kabupaten berbatasan (20%), dan provinsi sentra sawit (20%).
  • Alokasinya didasarkan pada luas area dan produktivitas perkebunan sawit.
  • Penggunaan Dana Bagi Hasil Sawit mencakup pemeliharaan jalan dan jembatan, pendataan, sertifikasi, dan penurunan kemiskinan.
  • Kebijakan Dana Bagi Hasil Sawit bertujuan memacu pertumbuhan ekonomi daerah dan mendukung perkebunan sawit.

Dukungan Fiskal dari Industri Sawit

Dalam konteks kebijakan fiskal, industri sawit berkontribusi dalam pembiayaan fiskal dan tentunya sekaligus menikmati stimulus fiskal. Kontribusi industri sawit dalam pembiayaan fiskal mencakup pajak (berbagai jenis pajak pusat maupun pajak daerah) yang dipungut pemerintah dari industri sawit, dividen dari BUMN sawit, bea keluar ekspor (export duty) produk sawit, dan pungutan ekspor (export levy) produk sawit.

Untuk tujuan penerimaan negara (dan tujuan lainnya) pemerintah menarik pajak ekspor minyak sawit dan turunannya. Sejak tahun 2011, pemerintah memberlakukan bea keluar ekspor sebagai pengganti pajak ekspor sebelumnya (Sipayung, 2018). Bea keluar ekspor sawit dan turunannya merupakan penerimaan negara yang pemanfaatannya untuk pembangunan nasional melalui mekanisme APBN. Kemudian sejak tahun 2015 sebagai tindak lanjut Undang-Undang No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU 39/2014), pemerintah juga menerapkan pungutan ekspor (export levy).

Pungutan ekspor sawit sesuai dengan UU 39/2014, PP 24/ 2015, Perpres 61/2015 jo Perpres 24/2016 jo Perpres 66/2018 dan PMK 113/2015, dimana peruntukan pungutan ekspor (Dana Sawit) tersebut dikembalikan ke industri sawit. Untuk pengelolaan Dana Sawit tersebut, Menteri Keuangan membentuk Badan Layanan Umum yang bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sejak tahun 2015.

Berbagai jalur fiskal yang dibiayai oleh industri sawit yang berkontribusi pada ekonomi daerah (Gambar 1). Pertama, jalur mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak pemerintah pusat, dividen BUMN sawit, dan bea keluar dari industri sawit menjadi bagian dari (menyatu dengan) penerimaan pemerintah pusat. Melalui mekanisme APBN, dana tersebut disalurkan (desentralisasi fiskal, Dana Alokasi Umum/DAU, Dana Alokasi Khusus/DAK, dan bentuk lainnya) ke pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota. Melalui proses pembangunan, dana tersebut dimanfaatkan untuk menciptakan “kue ekonomi” di daerah dalam bentuk peningkatan kesempatan kerja, penciptaan pendapatan, serta produksi barang dan jasa pada ekonomi daerah.

Gambar 1. Kontribusi Industri Sawit pada Kebijakan Fiskal untuk Ekonomi Daerah

kebijakan dana bagi hasil sawit
Gambar 1. Kontribusi Industri Sawit pada Kebijakan Fiskal untuk Ekonomi Daerah

Kedua, jalur Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Pajak daerah dari industri sawit yang diterima (menjadi hak) pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota menjadi bagian dari pembiayaan APBD baik provinsi, kabupaten dan kota. Melalui proses pembangunan, dana tersebut juga menciptakan “kue ekonomi” pada ekonomi daerah. Peningkatan pendapatan daerah juga meningkatkan penerimaan pemerintah berupa pajak yang berasal dari kegiatan perkebunan sawit (Sandker et al., 2007). Daerah yang memiliki perkebunan sawit meningkatkan ketersediaan fasilitas listrik, penggunaan bahan bakar untuk memasak yang modern, membangun pasar, klinik kesehatan, sekolah, tempat ibadah, dan fasilitas publik lainnya yang mendukung aktivitas ekonomi di wilayah tersebut (PASPI, 2023).

Ketiga, jalur Dana Sawit yang dikelola oleh BPDPKS. Dana Sawit yang berasal dari pungutan ekspor industri sawit dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan program pengembangan industri sawit yang ditetapkan UU 39/2014 dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya. Program yang dibiayai Dana Sawit (PASPI, 2023) yakni (1) program peremajaan sawit rakyat; (2) dukungan sarana dan prasarana; (3) pelatihan dan pengembangan SDM petani; (4) riset penelitian dan pengembangan; (5) promosi; (6) pemenuhan hasil perkebunan sawit di kebutuhan pangan, (7) hilirisasi sawit; serta (8) penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati (BBN).

Penggunaan Dana Sawit untuk membiayai riset dan pengembangan industri sawit nasional oleh perguruan tinggi dan lembaga riset baik di tingkat pusat maupun daerah; program pelatihan dan pengembangan SDM petani sawit; promosi sawit untuk  membangun citra positif kelapa sawit baik di dalam negeri maupun internasional; program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR); pembiayaan  sarana dan prasarana untuk petani sawit; dan insentif pengembangan biodiesel sawit baik untuk memperluas pasar minyak sawit maupun substitusi solar fosil. Hampir seluruhnya penerima manfaat Dana Sawit tersebut adalah industri sawit yang notabennya berada di daerah. Melalui industri sawit menciptakan “kue ekonomi” pada daerah (PASPI, 2023).

Keempat, jalur Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit. Jalur DBH sawit ini merupakan jalur fiskal baru yang dikeluarkan pemerintah. Pembiayaan DBH ini berasal dari sebagian penerimaan negara dari bea keluar dan sebagian dari pungutan ekspor sawit. Sebelum DBH diberlakukan, bea keluar disalurkan seluruhnya melalui mekanisme APBN. Sedangkan Dana Sawit (dari pungutan ekspor) disalurkan melalui BPDPKS. Oleh karena itu, jalur fiskal DBH sawit ini lebih pada refocusing sebagian dana bea keluar dan pungutan ekspor sawit pada daerah.

Dana Bagi Hasil Sawit dan Peruntukannya

Jalur fiskal DBH sawit dengan prioritas pemeliharaan infrastruktur jalan di kabupaten sentra sawit terkait dengan sejarah pembangunan perkebunan sawit. Pembangunan perkebunan sawit di Indonesia merupakan bagian dari strategi pembangunan pedesaan atau rural development oil palm-driven (PASPI Monitor, 2022). Perkebunan sawit dibangun di daerah-daerah yang dikategorikan sebagai degraded area yakni daerah yang terdegradasi secara sosial, ekonomi dan ekologi, terisolir, terbelakang, miskin, pinggiran, dan pelosok.

Dengan kondisi awal daerah pembangunan perkebunan sawit tersebut maka pembukaan jalan masuk (access road) menjadi bagian penting dari investasi awal pembangunan perkebunan sawit (PASPI, 2014; PASPI, 2023). Berdasarkan data Potensi Desa (BPS, 2021) dan Indeks Desa Membangun (Kemendes, 2021), umumnya jalan masuk ke sentra perkebunan sawit didominasi jalan non-aspal berbeda dengan jalan non-sentra sawit yang didominasi dengan jalan aspal (PASPI, 2022).

Dengan semakin berkembangnya perkebunan sawit, aktivitas pengangkutan barang dari dan ke sentra perkebunan sawit juga semakin meningkat dan intensif. Pengangkutan Tandan Buah Segar (TBS) dari lokasi perkebunan sawit ke CPO mill, dan pengangkutan CPO dari CPO mill ke pelabuhan juga semakin meningkat dan intensif. Jalan masuk ke areal perkebunan yang sebagian besar dibangun ketika pembangunan perkebunan sawit tidak mampu lagi menampung kegiatan transportasi yang makin intensif. Sehingga banyak jalan yang memerlukan perbaikan dan perawatan.

Perbaikan dan perawatan jalan tersebut yang umumnya jalan kabupaten memang tanggung jawab APBD kabupaten. Namun, APBD kabupaten juga terbatas karena harus membiayai perawatan jalan di luar sentra kebun sawit.

Adanya DBH sawit yang “dialirkan” ke kabupaten-kabupaten sentra sawit diharapkan dapat membantu pemeliharaan infrastruktur jalan tersebut. DBH tersebut dibiayai dari dana bea keluar serta pungutan ekspor minyak sawit dan produk turunannya. Penyaluran DBH sawit tersebut dapat diposisikan sebagai Transfer Keuangan Daerah (TKD) yang mengikuti tata kelola keuangan negara (PP 38/2023, PMK 91/2023).

Setidaknya ada tiga hal yang menarik dari pengalokasian DBH sawit tersebut. Pertama, dari segi alokasi DBH sawit secara nasional disalurkan ke kabupaten-kabupaten sentra sawit (60 persen), kabupaten non-sentra sawit yang berbatas langsung dengan kabupaten sentra sawit (20 persen), dan provinsi sentra sawit (20 persen). Hal ini memberi penghargaan yang proporsional baik bagi kabupaten sentra sawit, kabupaten tetangga (non-sentra sawit) maupun provinsi sentra sawit yang masing-masing wilayah memiliki peran dan penerima manfaat/dampak yang berbeda dari perkebunan sawit.

Selain itu DBH sawit yang demikian dimana kabupaten non-sentra sawit yang berbatasan langsung juga memperoleh alokasi DBH sawit. Hal ini dimaksudkan sebagai kompensasi atas eksternalitas negatif dan pemerataan kemajuan. Studi PASPI (2014, 2022, 2023) dan Kasryno (2015) mengungkapkan bahwa sentra-sentra sawit di Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah selain perekonomiannya lebih besar, laju pertumbuhan ekonomi kabupaten sentra sawit juga lebih cepat dibandingkan dengan kabupaten non-sentra sawit.

Kedua, pengalokasian DBH sawit untuk kabupaten sentra sawit didasarkan pada luas areal (50 persen) dan produktivitas (50 persen). Kabupaten-kabupaten sentra sawit yang berhasil meningkatkan produktivitas kebun sawitnya akan memperoleh DBH sawit yang lebih besar. Hal ini menjadi insentif yang positif untuk memacu dan memfasilitasi peningkatan produktivitas kebun sawit di daerahnya.

Ketiga, dari segi penggunaan DBH sawit yang disalurkan yakni sebesar 90 persen digunakan untuk perbaikan jalan dan jembatan di luar kebun sawit. Selain menyumbang pada efisiensi transportasi TBS/CPO dari kebun sawit, hal ini juga merespon aspirasi para bupati sentra sawit selama ini. Sedangkan sisanya yakni 10 persen digunakan untuk pendataan kebun sawit rakyat, pendampingan untuk sertifikasi ISPO, perlindungan sosial tenaga kerja, rehabilitasi lahan/hutan, dan rencana aksi sawit berkelanjutan.

Hal yang menarik juga adalah masuknya variabel penurunan kemiskinan dalam menentukan alokasi DBH sawit ke daerah. Hal ini cukup logis mengingat peran industri sawit selama ini cukup signifikan dalam penurunan kemiskinan pedesaan baik pada sentra sawit maupun non-sentra sawit (Susila, 2004; Susila dan Munadi, 2008; World Growth, 2011; PASPI, 2014, 2023; Kasryno, 2015; Edwards, 2019; PASPI Monitor, 2020). Masuknya indikator penurunan kemiskinan sebagai salah satu dasar alokasi DBH sawit ke daerah semakin mengukuhkan dan sekaligus lebih menggerakkan industri sawit sebagai salah satu lokomotif pengentasan kemiskinan di daerah.

Dengan DBH sawit (beserta seluruh jalur fiskal di atas) diharapkan akan semakin menumbuhkembangkan perkebunan sawit daerah, menciptakan manfaat kemajuan baik secara ekonomi, sosial maupun ekologi kepada masyarakat dan ekonomi daerah. Selain itu, perkebunan sawit dapat berperan lebih besar menjadi lokomotif yang mampu menarik kegiatan sektor-sektor ekonomi terkait yang dapat menciptakan manfaat lebih luas dan dinikmati masyarakat daerah secara keseluruhan.

Peningkatan kinerja perkebunan sawit dan ekonomi daerah pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan pemerintah baik bea keluar, pungutan ekspor maupun pajak pusat dan daerah. Hal ini selanjutnya akan meningkatkan volume empat jalur fiskal tersebut sehingga semakin menambah “darah baru” untuk memutar kembali dan memperbesar ekonomi daerah.

Kesimpulan Kebijakan Dana Bagi Hasil Sawit

Kebijakan dana bagi hasil sawit menambah dan memfokuskan pada aliran jalur fiskal ke daerah-daerah kabupaten sentra sawit maupun kabupaten yang berbatasan dengan kabupaten sentra sawit yang secara keseluruhan akan bermuara pada geliat ekonomi daerah. Selain jalur fiskal DBH sawit, tiga jalur fiskal sebelumnya yang ikut dibiayai oleh penerimaan pemerintah dari industri sawit telah dilakukan pemerintah untuk ekonomi daerah. Tiga jalur yang dimaksud adalah melalui jalur fiskal APBN, jalur fiskal APBD, dan jalur fiskal Dana Sawit (yang dikelola BPDPKS).

Implikasi Kebijakan Dana Bagi Hasil Sawit

Mengingat kebijakan dana bagi hasil Sawit merupakan kebijakan baru, maka kebijakan ini perlu disosialisasikan kepada pemerintah daerah agar memiliki pemahaman yang sama terkait DBH sawit dan peruntukannya. Sinergitas keempat jalur fiskal tersebut perlu dimaksimumkan agar menjadi stimulus yang lebih besar dalam mendorong ekonomi daerah. Di sisi lain, peluang tumpang tindih antar keempat jalur fiskal tersebut sangat besar. Oleh karena itu, perlu perencanaan yang lebih cermat untuk memastikan kegiatan yang dibiayai keempat jalur fiskal tersebut pada level lokal tidak tumpang tindih. Selain itu, kemungkinan terjadinya crowding-out juga sangat besar. Kehadiran dana pemerintah (yang didistribusikan melalui 4 jalur fiskal tersebut) sebaiknya tidak menggantikan investasi petani maupun dunia usaha.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.

Daftar Pustaka Kebijakan Dana Bagi Hasil Sawit

  1. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2022. Statistik Potensi Desa Indonesia 2021.
  2. Edwards RB. 2019. Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesian Palm Oil. Working Paper Dartmouth College.
  3. Kasryno F. 2015. The Economic Impacts of Palm Oil in Indonesia. The High Carbon Stock Science Study 2015.
  4. [Kemendesa PDT] Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia. 2021. Indeks Desa Membangun 2021. https://drive.google.com/file/d/1Ng9MJ2vlUjPceQ4f2pNKgWnmXy-eWe6Z/view 
  5. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry Its role in: Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Bogor (ID): PASPI. 
  6. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2022. Analisis Komparasi Kemajuan Sosial, Ekonomi & Ekologi Antara “Desa Sawit” Vs “Desa Non-Sawit” di Indonesia. Bogor (ID): PASPI.
  7. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  8. PASPI Monitor. 2020. Bukti Empiris Peran Perkebunan Sawit dalam PDRB dan Penurunan Kemiskinan Daerah. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(22): 145-152.
  9. PASPI Monitor. 2022. Ketahanan Ekonomi “Desa Sawit” Versus “Desa Non-Sawit”. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(13): 669-676.
  10. Sandker M, Suwarno A, Campbell BM. 2007. Will Forest Remain in the Face of Oil Palm Expansion? Simulating Change in Malinau Indonesia. Ecology and Society. 12(2).
  11. Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
  12. Susila WR. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic Growth and Poverty Alleviation in Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 23(3): 107-114.
  13. Susila WR, E Munadi. 2008. Dampak Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO Terhadap Kemiskinan di Indonesia. Informatika Pertanian. 17(2): 1173-1194.
  14. World Growth. 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia.
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x