Sawit merupakan Pahlawan devisa Indonesia. Hal ini dikarenakan kontribusi sawit sebagai sumber devisa bagi neraca perdagangan Indonesia (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023a). Kontribusi tersebut dapat dilihat melalui dua mekanisme yakni devisa ekspor dan devisa substitusi impor.
Devisa ekspor yakni devisa hasil ekspor minyak sawit serta produk turunannya. Ekspor produk sawit menunjukkan tren peningkatan yakni dari USD 1 miliar pada tahun 2000 menjadi USD 28.3 miliar pada tahun 2024. Bahkan devisa ekspor produk sawit pernah mencetak rekor tertinggi yakni mencapai USD 39 miliar pada tahun 2022.
Pasar utama ekspor produk sawit Indonesia pada tahun 2024 adalah China (20.4%), India (15.1%), EU-27 (10.4%), Pakistan (9.3%), dan Amerika Serikat (6.9%). Hal ini juga menunjukkan kebijakan perdagangan yang diimplementasikan di lima negara di atas akan mempengaruhi ekspor produk sawit Indonesia. Penerapan kebijakan tarif resiprokal di Amerika Serikat dan perjanjian perdagangan bilateral Indonesia-Uni Eropa (IEU CEPA) akan berdampak pada kinerja ekspor produk sawit Indonesia (PASPI Monitor, 2025).
Tidak hanya meningkat, devisa ekspor produk sawit juga semakin berkualitas. Kinerja ekspor produk sawit semakin didominasi oleh produk hasil hilirisasi sawit domestik yakni dalam bentuk produk olahan (RPO+RPKO) maupun produk jadi dibandingkan bahan mentah (CPO+CPKO). Dengan membandingkan pangsa ekspor pada tahun 2011 versus 2024, pangsa ekspor produk olahan sawit (RPO+RPKO) meningkat dari 41 persen menjadi 74 persen. Demikian juga dengan pangsa ekspor produk jadi berbasis sawit (oleokimia dan biodiesel) yang juga mengalami peningkatan dari 7 persen menjadi 16 persen. Di sisi lain, pangsa ekspor produk mentah (CPO+CPKO) menunjukkan penurunan yakni dari 52 persen menjadi 10 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan nilai tambah melalui hilirisasi sawit domestik berhasil.
Devisa ekspor produk sawit mempengaruhi neraca perdagangan melalui neraca perdagangan non-migas. Besarnya devisa ekspor produk sawit menyebabkan neraca perdagangan non-migas terus mencetak surplus besar. Tanpa devisa ekspor produk sawit, neraca perdagangan non-migas lebih rendah bahkan mengalami defisit. Misalnya pada tahun 2024, neraca perdagangan non-migas dengan produk sawit sebesar USD 51.4 miliar, sedangkan neraca perdagangan non-migas tanpa produk sawit hanya sebesar USD 23.1 miliar.
Kontribusi industri sawit juga berkontribusi dalam neraca perdagangan migas melalui biodiesel dan program mandatori biodiesel di Indonesia. Salah satu tujuan pengembangan biodiesel sawit di Indonesia adalah untuk mengurangi ketergantungan solar fosil impor (PASPI Monitor, 2023b). Penggunaan biodiesel sawit untuk mensubstitusi solar fosil impor mampu menghemat devisa yang digunakan untuk mengimpor solar fosil.
Peran biodiesel sawit tersebut dapat ditunjukkan dengan melihat neraca perdagangan migas. Defisit neraca perdagangan migas Indonesia menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun. Namun, defisit neraca perdagangan migas dengan biodiesel sawit (Bxx) lebih rendah dibandingkan dengan defisit neraca perdagangan migas tanpa biodiesel sawit. Misalnya pada tahun 2024, neraca perdagangan migas dengan biodiesel sawit mengalami defisit sebesar USD 20.4 miliar, sedangkan defisit neraca perdagangan non-migas tanpa biodiesel sawit lebih besar yakni sebesar USD 28.5 miliar.
Dengan demikian, total kontribusi industri sawit baik melalui devisa ekspor produk sawit maupun biodiesel sawit mampu menciptakan surplus besar pada neraca perdagangan Indonesia. Tanpa sawit (devisa ekspor dan biodiesel), neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Hal tersebut dapat dilihat misalnya pada neraca perdagangan Indonesia dengan sawit dan biodiesel tahun 2024 yang mengalami surplus sebesar USD 31 miliar. Tanpa sawit, neraca perdagangan Indonesia akan mengalami defisit sebesar USD 5.3 miliar.
Uraian di atas kembali menegaskan bahwa industri sawit berkontribusi besar dalam memperbaiki neraca perdagangan Indonesia dengan menutup defisit maupun memperbesar surplus perdagangan. Surplus tersebut merupakan injeksi darah baru yang memperbesar volume perekonomian dalam menciptakan kesempatan kerja, dan peningkatan pendapatan. Surplus tersebut sangat diperlukan dalam perekonomian di tengah situasi ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia seperti saat ini.