Poin-Poin Utama Global Warming dan Solusi dari Industri Sawit
- Pertama, perkebunan sawit sebagai carbon sink yang dapat menyerap kembali emisi karbon di atmosfer Bumi.
- Kedua, kebun sawit sebagai aforestasi yakni konversi lahan stok karbon lebih rendah menjadi perkebunan sawit dengan karbon stok yang lebih tinggi.
- Ketiga, menyediakan renewable energy yang relatif lebih rendah emisi karbon sebagai substitut energi fosil yang non-renewable dan high carbon emission.
- Keempat, menyediakan bahan pangan dengan emisi relatif rendah untuk mengganti minyak nabati lebih boros emisi.
- Kelima, memperbaiki teknologi dan manajemen sepanjang rantai pasok industri hilir untuk menurunkan emisi agar memperbesar Neto Carbon Sink di sepanjang rantai pasok hulu-hilir sawit.
Daftar Isi
Pendahuluan
Pemanasan global (global warming) merupakan isu yang paling mengemuka dan menakutkan dalam abad ini. Dampak pemanasan global yang sangat luas dan sistemik telah mengundang perhatian masyarakat global untuk terus berdiskusi baik terkait dengan penyebab maupun solusinya.
Secara alamiah, atmosfer Bumi diisi Gas Rumah Kaca-GRK (Greenhouse Gasses-GHG) dengan komponen utama yakni karbon dioksida (CO2), metane (CH4), dan nitrogen (N2) dengan konsentrasi alamiah tertentu. Fungsi gas rumah kaca tersebut untuk membentuk mekanisme efek rumah kaca (natural greenhouse effect) sehingga panas matahari terperangkap di atmosfer Bumi pada level yang cukup untuk melindungi dan memelihara temperatur atmosfer Bumi agar nyaman untuk kehidupan.
Peningkatan intensitas efek rumah kaca pada atmosfer Bumi terjadi ketika konsentrasi emisi GRK atmosfer Bumi tersebut melampaui konsentrasi alamiahnya sehingga makin banyak panas matahari terperangkap dalam atmosfer Bumi. Akibatnya udara Bumi makin panas (global warming) dan menyebabkan terjadinya perubahan iklim global (global climate change).
Dengan demikian secara teoritis, ada kombinasi dua hal yang harus dilakukan seluruh masyarakat dunia untuk mengatasi pemanasan global tersebut. Pertama, bagaimana caranya agar konsentrasi emisi GRK yang terlanjur tinggi pada atmosfer Bumi dapat diturunkan. Dan Kedua, langkah apa yang dapat dilakukan untuk mencegah peningkatan emisi GRK (tambahan GRK baru) ke atmosfer Bumi. Semua negara, sektor, industri, perusahaan, rumah tangga, dan individu di planet Bumi perlu mengambil bagian untuk mencegah dan/atau menurunkan konsentrasi GRK di atmosfer Bumi.
Tulisan dalam artikel ini akan mendiskusikan terkait penyebab pemanasan global yakni kontributor emisi GHG planet Bumi. Kemudian juga akan didiskusikan terkait solusi yang dapat diberikan industri sawit dalam upaya bersama mengatasi pemanasan global tersebut.
Kontributor Global Warming
Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC (2018) mengungkapkan bahwa konsentrasi emisi GRK di atmosfer Bumi mengalami peningkatan dalam periode pre-industri (1800-an) hingga saat ini (PASPI, 2023a). Konsentrasi CO2 pada atmosfer Bumi telah meningkat dari 280 ppmv (part per million volume) pada 1800-an menjadi 353 ppmv pada tahun 1990 dan terus meningkat pada tahun 2005 mencapai 379 ppmv. Kemudian mengalami kenaikan menjadi 396 ppmv tahun 2013, 399 ppmv tahun 2015, dan terus meningkat menjadi 407 ppmv pada tahun 2018 (IEA, 2013, 2016, 2019). Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) juga mengungkapkan bahwa tingkat konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi pada Mei 2022 telah meningkat menjadi 417.6 ppmv.
Penyebab peningkatan emisi GRK tersebut bersumber dari aktivitas manusia di Bumi dan munculnya gas-gas buatan manusia seperti golongan Chlorofluorocarbon (CFC) dan halogen (human enhanced greenhouse effect). Berbagai studi empiris (IEA, 2016; Olivier et al., 2022) mengungkapkan bahwa sektor energi (fosil) merupakan kontributor utama emisi GRK global. Dari sekitar 58.8 Gt CO2 eq emisi GRK global, sekitar 73 persen disumbang oleh emisi dari energi fosil (Gambar 1).
Gambar 1 Kontributor Emisi GHG global (Sumber: Oliver et al., 2022)

Dengan demikian, kiranya sangat jelas bahwa kontributor utama dari GRK global yang menjadi pemicu pemanasan global adalah emisi dari konsumsi energi fosil, khususnya dari minyak bumi, batu bara, dan gas alam. Emisi energi fosil inilah menjadi masalah utama penyebab pemanasan global, sehingga masyarakat global tidak perlu mencari-cari sumber lain atau mengalihkan isu ini ke sektor lain.
Jika emisi GRK energi fosil ini dapat diturunkan secara signifikan, maka akan berdampak signifikan bagi penurunan emisi GRK global. Memang masih ada sumber emisi lain yakni sebesar 28 persen yang bersumber dari sektor lain seperti sektor pertanian (16 persen) dan Land Use Change Land Use Change Forestry-LUCLUCF (12 persen), dimana kedua sektor tersebut juga perlu berkontribusi menurunkan emisinya. Namun, penurunan emisi pada sektor pertanian dan LULUCF tersebut tidak terlalu dampak besar jika emisi energi fosil tersebut tidak diturunkan secara signifikan.
Sebagaimana diingatkan kembali IPCC (2023) yakni “new warning from the scientific community is to stop fossil fuels before it’s too late”. Peringatan tersebut bermakna agar masyarakat dunia harus bersedia, berkomitmen kuat untuk mengurangi bahkan menghentikan penggunaan energi fosil sebelum terlambat. Produsen energi fosil jangan lagi membiayai NGO Multilateral untuk mengalihkan isu emisi dan pemanasan global atau memindahkanya dengan menuding atau mengkambinghitamkan sektor lain. Selain tidak berguna, juga hanya akan menambah persoalan baru.
Masyarakat dunia juga perlu beralih dari penggunaan energi fosil yang emisinya tinggi ke sumber energi yang lebih rendah emisi karbonnya. Konsumsi bahan pangan juga harus berubah dari bahan pangan yang boros emisi ke bahan pangan yang hemat emisi.
Pada saat yang sama, segala upaya yang dapat menyerap kembali GRK atmosfer Bumi agar konsentrasi GRK atmosfer Bumi berkurang, juga perlu menjadi gerakan bersama. Aforestasi dan reforestasi dengan penanaman tumbuhan/tanaman yang menyerap karbon dari atmosfer Bumi juga patut terus digalakan sebagai bagian solusi yang sangat penting dalam mitigasi global warming.
Sawit Bagian Solusi
Industri sawit global merupakan salah satu industri yang potensial menjadi bagian solusi dari pengurangan emisi GRK global. Bahkan perkebunan sawit yang sering disebut sebagai perkebunan karbon, juga memiliki peran yang semakin penting dalam penyerapan kembali karbon dari atmosfer Bumi.
Terdapat lima cara industri sawit global berkontribusi pada penurunan dan penyerapan kembali emisi karbon. Pertama, perkebunan sawit merupakan carbon sink. Proses produksi pada perkebunan sawit secara alamiah merupakan proses pemanenan energi surya dengan menyerap CO2 dari atmosfer Bumi sehingga dapat mengurangi konsentrasi CO2 atmosfer Bumi.
Melalui proses fotosintesis tanaman kelapa sawit, energi matahari dan CO2 dari atmosfer Bumi, diserap dan diubah menjadi minyak sawit, biomassa, dan sebagian disimpan dalam bentuk karbon stok organik lahan. Berdasarkan studi Henson (1999) mengungkapkan bahwa perkebunan sawit menyerap CO2 (melalui fotosintesis) dari atmosfer Bumi sebesar 161 ton CO2 per hektar dan menggunakan kembali (respirasi) sebesar 96.5 ton CO2 per hektar, sehingga net carbon sink tanaman kelapa sawit sebesar 64.5 ton CO2 per hektar ( Tabel 1).
Tabel 1 Perkebunan Sawit sebagai Carbon Sink
| Indikator | Hutan Tropis | Kebun Sawit |
|---|---|---|
| Asimilasi kotor (ton CO2/ha/tahun) | 163.5 | 161.0 |
| Total respirasi (ton CO2/ha/tahun) | 121.1 | 96.5 |
| Asimilasi neto (ton CO2/ha/tahun) | 42.4 | 64.5 |
| Produksi oksigen (ton O2/ha/tahun) | 7.09 | 18.70 |
Perkebunan sawit yang potensial menjadi Net Carbon Sink (NCS) tersebut dapat mengurangi konsentrasi karbon dioksida dari atmosfer Bumi. Carbon sink pada perkebunan sawit bahkan dapat lebih besar dibandingkan dengan tanaman hutan. Minyak sawit dan biomassa yang dihasilkan dari kebun sawit tersebut, selanjutnya melalui proses pengolahan pada industri hilir sawit menghasilkan berbagai produk pangan dan kesehatan (oleofood complex), produk turunan oleokimia, dan bioenergi/biofuel yang relatif rendah emisi karbon.
Kedua, perkebunan sawit berperan dalam penyerapan karbon dan penyimpanan karbon, peran tersebut dapat dilihat sebagai suatu aforestasi yakni membangun “fungsi hutan” di luar kawasan hutan. Melalui fotosintesis dan proses biosquestrasi, karbon yang diserap kebun sawit diubah menjadi stok karbon organik. Chan (2002) menghitung besarnya biomassa dan stok karbon (above ground biomass) hasil carbon sequestration pada perkebunan sawit yakni berkisar 5.8 ton per hektar (pada tanaman belum menghasilkan) hingga 45.3 ton per hektar (pada umur tanaman 20-24 tahun) atau rata-rata sebesar 30 ton karbon per hektar.
Kusumawati et al. (2021) menemukan bahwa perkebunan sawit berumur satu tahun mengandung karbon stok sebesar 43.5 ton per hektar dan perkebunan sawit yang berumur 28 tahun memiliki karbon stok sebesar 74.7 ton per hektar. Studi Khasanah (2019) juga mengungkapkan bahwa rata-rata stok karbon pada biomassa di atas tanah pada perkebunan sawit Indonesia mencapai 40 ton per hektar.
Berbagai studi (Gunarso et al., 2013a,b; Suharto et al., 2019) mengungkapkan bahwa sebagian besar asal usul lahan kebun sawit di Indonesia berasal dari tutupan lahan yang stok karbonya lebih rendah dari stok karbon kebun sawit (di luar kebun sawit gambut yang masih menjadi perdebatan). Artinya konversi lahan (land use change) menjadi kebun sawit merupakan suatu carbon absorption (Net Carbon Sink) dan bukan carbon source. Neto carbon absorption LUC kebun sawit tersebut juga merupakan hasil dari biosequestrasi yang menyerap kembali karbon dari atmosfer Bumi.
Dengan demikian, kiranya cukup jelas bahwa melalui proses fotosintesis kebun sawit karbon dari atmosfer Bumi diserap kembali dan melalui proses biosequestrasi disimpan karbon tersebut disimpan dalam bentuk stok karbon organik tanah yang kemudian menjadi karbon anorganik dalam tanah.
Ketiga, subsitusi energi fosil. Kunci mengatasi pemanasan global adalah mengurangi penggunaan energi fosil yang terbukti sebagai kontributor terbesar emisi global (PASPI Monitor, 2021b; PASPI, 2023a). Dipihak lain, energi dibutuhkan untuk kehidupan. Oleh karena itu, solusinya adalah memperbanyak penggunaan energi yang dapat diperbarui (renewable energy) yang relatif rendah emisi karbon.
Industri sawit menjadi bagian solusi karena menyediakan renewable energy rendah emisi seperti biofuel yakni biodiesel (PASPI Monitor, 2021a, PASPI, 2023a), diesel sawit/green diesel bensin sawit (PASPI Monitor, 2022a), dan avtur sawit maupun bioenergi berbasis biomassa sawit seperti biocoal, biopelet, dan biogas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa biodiesel dari sawit dapat menghemat emisi (PASPI, 2023a). European Commission Joint Research Centre (2013) mengungkapkan bahwa biodiesel sawit yang dihasilkan dari Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menerapkan teknologi methane capture mampu menghemat emisi (emission saving) mencapai 62 persen. Kemampuan biodiesel sawit tersebut juga lebih tinggi dibandingkan biodiesel nabati lain seperti biodiesel bunga matahari (58 persen), biodiesel rapeseed (45 persen), dan biodiesel kedelai (40 persen).
Hasil penelitian Mathews dan Ardyanto (2015) juga mendukung temuan Uni Eropa tersebut, dimana penggunaan biodiesel sawit sebagai pengganti diesel fosil dapat menurunkan emisi GHG di atas 60 persen. Studi Euro Lex (2009) juga mengungkapkan bahwa biodiesel sawit mampu menghemat emisi sekitar 62 persen lebih rendah dibandingkan dengan emisi yang dihasilkan dari mesin yang menggunakan energi fosil.
Keempat, menyediakan subsitusi minyak nabati dunia yang relatif high carbon emission. Secara internasional, terdapat minyak nabati utama dunia yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed. Dari keempat minyak nabati utama tersebut, mana yang menghasilkan emisi yang paling lebih rendah ?
Berdasarkan studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) menemukan bahwa pada level ekosistem global, untuk setiap ton minyak nabati yang dihasilkan sumber minyak nabati yang paling boros emisi adalah minyak kedelai. Kemudian disusul oleh minyak kacang tanah, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Sedangkan sumber minyak nabati yang paling hemat emisi adalah minyak sawit (PASPI, 2023a). Jika dibandingkan dengan emisi karbon yang dihasilkan untuk memproduksi minyak sawit, emisi karbon dari produksi minyak kedelai lebih tinggi 425 persen, emisi minyak kacang tanah lebih tinggi 424 persen, emisi minyak rapeseed lebih tinggi 242 persen, dan emisi minyak bunga matahari lebih tinggi 225 persen.
Kelima, Penurunan emisi GRK dengan perbaikan teknologi dan manajemen rantai pasok minyak sawit. Untuk memperbesar kontribusi industri sawit dalam menurunkan emisi global dan menurunkan konsentrasi karbon atmosfer bumi, penurunan emisi sepanjang rantai pasok hulu-hilir sawit masih dapat dilakukan. Menurut studi Mathews and Ardiyanto (2015) pada tahap proses produksi kebun sawit hingga ke PKS (CPO Mill), kontributor emisi terbesar adalah POME (62 persen), kemudian disusul pupuk (31.5 persen) dan energi fosil (5.1 persen). Sedangkan pada industri hilir kontributor terbesar adalah energi untuk esterifikasi dan refining serta transportasi.
Emisi POME dengan teknologi methane capture mampu menurunkan emisi POME sekitar 97 persen. Saat ini baru sebagian kebun sawit yang mengadopsi teknologi methane capture sehingga perlu lebih diperluas ke depan. Berdasarkan berbagai hasil studi (Seng et al., 2021; Vincenza, 2021) menunjukkan bahwa kombinasi perbaikan teknologi dan manajemen pada perkebunan sawit dapat menurunkan emisi yang signifikan bahkan mendekati emisi nol.
Dengan perbaikan teknologi dan manajemen tersebut emisi pada proses produksi CPO akan makin menurun secara signifikan (PASPI Monitor, 2022b; PASPI, 2023a). Sehingga jika digabungkan dengan Net Carbon Sink hasil fotosintesis pada kebun sawit akan menghasilkan Net Carbon Sink yang lebih besar lagi (PASPI, 2023b). Potensi tersebut akan semakin besar melalui penghematan emisi dari penggunaan energi yakni penggantian energi fosil maupun petrokimia menjadi biodiesel dan biomassa sawit.
Kesimpulan
Pemanasan global yang berdampak pada perubahan iklim dunia, disebabkan akibat peningkatan emisi GRK dari aktivitas manusia di Bumi, sehingga konsentrasinya di atmosfer Bumi melampaui konsentrasi alamiahnya. Kontributor utama emisi GRK global adalah emisi dari energi fosil. Untuk mengatasi pemanasan global dapat dilakukan melalui kombinasi dua cara yakni menurunkan emisi GRK untuk mencegah kenaikan konsentrasinya di atmosfer Bumi dan menyerap kembali karbon dioksida di atmosfer Bumi agar konsentrasinya kembali ke level alamiahnya.
Industri sawit potensial menjadi bagian solusi dari masalah pemanasan global melalui lima kontribusi penting. Pertama, perkebunan sawit sebagai carbon sink yang dapat menyerap kembali emisi karbon di atmosfer Bumi. Kedua, kebun sawit sebagai aforestasi yakni konversi lahan stok karbon lebih rendah menjadi perkebunan sawit dengan karbon stok yang lebih tinggi. Ketiga, menyediakan renewable energy yang relatif lebih rendah emisi karbon sebagai substitut energi fosil yang non-renewable dan high carbon emission. Keempat, menyediakan bahan pangan dengan emisi relatif rendah untuk mengganti minyak nabati lebih boros emisi. Dan Kelima, memperbaiki teknologi dan manajemen sepanjang rantai pasok industri hilir untuk menurunkan emisi agar memperbesar Neto Carbon Sink di sepanjang rantai pasok hulu-hilir sawit.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka
- Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv. https://doi.org/10.1101/2020.02.16.951301
- Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813. https://harvardforest1.fas.harvard.edu/sites/harvardforest.fas.harvard.edu/files/publications/pdfs/Beyer_Sustainability_2021.pdf
- Byarlee D, WP Falcon, RL Naylor. 2016. The Tropical Oil Crops Revolution: Food, Feed and Forest. Oxford (UK): Oxford University Press.
- Chan CK. 2002. Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strength. Dipresentasikan pada seminar R&D for competitive edge in the Malaysian Oil Palm Industry Malaysian Palm Oil Association (MPOA).
- Euro-Lex. 2009. Directive 2009/28/EC of the European Parliament and of the Council Of 23 April 2009 on the Promotion of the Use of Energy from Renewable Sources and Amending and Subsequently Repealing Directives 2001/77/EC and 2003/30/EC. L 140/16. https://eur-lex.europa.eu/
- Gunarso P, ME Hartoyo, Y Nugroho. 2013. Analisis penutupan lahan dan perubahannya menjadi kelapa sawit di Indonesia: Studi kasus di 5 pulau besar di Indonesia periode 1990-2010. Jurnal Green Growth dan Manajemen Lingkungan. 2(1):10-19.
- Gunarso P. ME Hartoyo, F Agus, TJ Killeen. 2013. Oil Palm and Land Use Change in Indonesia, Malaysia and Papua New Guinea. Tropenbos Organization. https://www.tropenbos.org/resources/publications/oil+palm+and+land+use+change+in+indonesia%2C+malaysia+and+papua+new+guinea
- [IEA] International Energy Agency. 2013. Emission from Fuel Combustion. https://doi.org/10.1787/co2_fuel-2013-en
- [IEA] International Energy Agency. 2016. Emission from Fuel Combustion. https://doi.org/10.1787/co2_fuel-2016-en
- [IEA] International Energy Agency. 2019. Emission from Fuel Combustion. https://iea.blob.core.windows.net/assets/eb3b2e8d-28e0-47fd-a8ba-160f7ed42bc3/CO2_Emissions_from_Fuel_Combustion_2019_Highlights.pdf
- [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. The Physical Science Basis, Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge (UK): Cambridge University Press. https://www.ipcc.ch/site/assets/uploads/2018/02/ar4-wg1-frontmatter-1.pdf
- Henson I. 1999. Comparative Ecophysiology of Palm Oil and Tropical Rainforest. Oil Palm and Environment: A Malaysian Perspective. Kuala Lumpur (MY): Malaysian Oil Palm Brower Council.
- Khasanah NM, V Noordwijk, H Ningsih, S Rahayu. 2019. Carbon Neutral? No Change in Mineral Soil Carbon Stock Under Oil Palm Plantations Derived from Forest or Non-Forest in Indonesia. Agriculture, Ecosystems and Environment. 211: 195–206.
- Kusumawati SA, Yahya S, Hariyadi, Mulatsih S, Istina IN. 2021. The Dynamic of Carbon Dioxide (CO2) Emission and Land Coverage on Intercropping System on Oil Palm Replanting Area. Journal of Oil Palm Research. 33(2): 267-277.
- Mathews J, Ardiyanto A. 2015. Estimation Of Greenhouse Gas Emissions for Palm Oil Biodiesel Production: A Review And Case Study Within The Council Directives 2009/28/Ec Of The European Parliament. Journal of Oil Palm, Environment & Health. 6:25-41. https://www.jopeh.com.my/index.php/jopecommon/article/view/95/128
- Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report. https://www.pbl.nl/sites/default/files/downloads/pbl-2022-trends-in-global-co2-and_total-greenhouse-gas-emissions-2021-summary-report_4758.pdf
- PASPI Monitor. 2021a. Multiple Benefits of the Palm Oil Biodiesel Mandatory. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(16): 369-376
- PASPI Monitor. 2021b. Global Greenhouse Gas Emission Issues: “Itchy Head, Scratched Feet”. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(38): 513-520
- PASPI Monitor. 2021c. Palm Oil Industry Will Become A Net Carbon Sink. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(47): 575-580
- PASPI Monitor. 2022a. Towards Net Zero Emissions And The Mandatory Palm Gasoline. Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(3): 595-600
- PASPI. 2023a. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute
- PASPI. 2023b. Kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) Dan Net Zero Emissions (NZE) Indonesia Serta Tiga Jalur Kontribusi Industri Sawit. Artikel Diseminasi & Policy Brief. https://palmoilina.asia/jurnal-kelapa-sawit/kebijakan-ndc-dan-nze/
- Ritchie H, Roser M. 2017. CO2 and Other Greenhouse Gas Emissions [internet]. https://ourworldindata.org/co2-and-greenhouse-gas-emissions
- Seng QK, J Tamahrajah. 2021. My Say: The Palm Oil Industry Can Be Net-Zero Carbon by 2040. Edge Malaysia Weekly. https://www.theedgemarkets.com/article/my-say-palm-oil-industry-can-be-netzero-carbon-2040
- Shahzad U. 2015. Global Warming: Causes, Effects and Solutions. University of Nebraska at Lincoln. https://www.academia.edu/15180958/Global_Warming_Causes_Effects_and_Solutions
- Suharto R, Agus F, Santosa Y, Sipayung T, Gunarso, P. 2019. Kajian Terhadap European Union Renewable Energy Directive (EU Directive 2018/2001) dan EU Commission Delegated Regulation 2019/807 serta Perumusan Posisi Indonesia terhadap Kebijakan Tersebut. Jakarta (ID): Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian; Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; PT Riset Perkebunan NusantaraVincenza M. 2021. The Environmental Impacts of Palm Oil and Main Alternative Oils. Euro- Mediterranean Centre on Climate Change (CMCC)