Back to Top
Rating & Comment

KEBIJAKAN NON-TARIFF BARRIER IMPOR MINYAK SAWIT UNI EROPA

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Resume

Kebijakan non-tariff barrier yang diterapkan Uni Eropa selama ini dilakukan untuk membangun persepsi negatif terhadap minyak sawit dan mengontrol perdagangan minyak sawit ke pasar EU. Kebijakan tersebut tidak berdampak signifikan terhadap impor minyak sawit di pasar EU maupun ekspor minyak sawit maupun perekonomian negara-negara produsen minyak sawit. Bahkan juga tidak berdampak signifikan pada aspek lingkungan.

Uni Eropa tercatat sebagai kawasan negara tujuan ekspor minyak sawit yang “rajin” menghambat minyak sawit. Di sisi lain, Uni Eropa juga dikenal sebagai salah satu kawasan negara yang gigih memperjuangkan free trade sejak perundingan GATT Tahun 1994 hingga terbentuknya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1995. Namun dengan banyaknya kebijakan perdagangan yang menghambat minyak sawit menunjukkan bahwa Uni Eropa justru mempraktikkan cara-cara perdagangan yang proteksionistis baik untuk menghambat masuknya minyak sawit maupun untuk melindungi produksi minyak nabati domestiknya. 

Dalam menghadapi persaingan perdagangan komoditas dunia dikenal dua strategi besar yakni strategi persaingan harga (price competition) dan persaingan non-harga (non-price competition). Harga minyak sawit yang jauh lebih kompetitif dibandingkan minyak nabati lain termasuk minyak rapeseed yang banyak diproduksi Uni Eropa (PASPI, 2023), tampaknya memaksa Uni Eropa menerapkan strategi non-price competition untuk melawan impor minyak sawit di pasar kawasan negara tersebut.

Dalam praktik non-price competition, Uni Eropa memilih memformulasikan dan mengimplementasi berbagai bentuk hambatan perdagangan non-tarif atau non-tariff barrier (NTB) meskipun harus melanggar prinsip-prinsip WTO. Berbagai bentuk NTB menyerang minyak sawit dilakukan secara diskriminatif, namun daya saing minyak sawit masih terlalu kuat untuk ditaklukkan meskipun pertarungan dilakukan di halaman Uni Eropa sendiri.Tulisan ini akan mendiskusikan bagaimana Uni Eropa merancang berbagai serial kebijakan non-tariff barrier yang menghambat minyak sawit masuk ke kawasan negara tersebut. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi terkait dampak kebijakan tersebut pada industri minyak sawit khususnya di negara-negara produsen minyak sawit maupun dampaknya pada ekonomi global.


KEBIJAKAN NON-TARIFF BARRIER UNI EROPA

Uni Eropa (European Union/EU) menghadapi dilema besar dalam penyediaan minyak nabati untuk konsumsi domestiknya. Konsumsi minyak nabati EU terus mengalami peningkatan yakni dari sekitar 14.1 juta ton tahun 2000 menjadi 22.6 juta ton tahun 2010 dan meningkat menjadi sekitar 24.4 juta ton tahun 2023 (USDA, 2024). Konsumsi minyak nabati EU yang tinggi dan meningkat tersebut melampaui kemampuan produksi minyak nabati domestiknya (minyak rapeseed dan minyak bunga matahari). Akibatnya EU harus mengimpor minyak nabati dalam volume yang besar dan cenderung meningkat setiap tahun.

Dalam total konsumsi minyak nabati EU, pangsa minyak nabati impor tahun 2000 masih sekitar 30 persen kemudian meningkat menjadi 35.5 persen tahun 2010 dan terus meningkat lagi menjadi sekitar 38 persen tahun 2023 (USDA, 2024). Minyak nabati yang diimpor EU adalah minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, minyak bunga matahari, minyak olive, minyak kelapa, dan minyak kacang tanah.

Minyak nabati terbesar dalam impor EU adalah minyak sawit dengan pangsa sekitar 62-68 persen selama 20 tahun terakhir. Dominasi minyak sawit dalam impor minyak nabati EU tersebut terkait dengan keunggulan minyak sawit antara lain harga yang relatif kompetitif, pasokan stabil dan jumlah besar serta aplikasinya yang luas baik untuk pangan, oleokimia maupun energi (Europe Economics, 2014, 2016).

Dengan kenyataan ini, tampaknya ada kekhawatiran tentang ketergantungan EU pada minyak sawit yang semakin kuat. Bahkan dikhawatirkan juga produksi minyak rapeseed yang disubsidi besar-besaran oleh pemerintah EU secara perlahan akan tergusur oleh kehadiran minyak sawit di pasar domestik. Oleh karena itu, EU memilih dua strategi besar baik dari sisi permintaan/konsumen maupun sisi suplai. Strategi dari demand side yakni dengan membangun persepsi negatif masyarakat EU terhadap minyak sawit yang diharapkan akan menurunkan preferensi masyarakat terhadap minyak sawit. Sementara itu, strategi dari supply side bertujuan menghambat dan mengontrol perdagangan minyak sawit ke pasar EU.

Untuk membangun persepsi negatif terhadap minyak sawit, EU memfasilitasi gerakan ratusan NGO trans-nasional dan lokal (di negara produsen sawit) untuk melakukan kampanye negatif terhadap minyak sawit dengan mengkaitkan minyak sawit dengan berbagai isu yang sedang menjadi perhatian masyarakat global. Meskipun EU juga melakukan deforestasi total dalam membangun daratan Eropa di masa lalu sehingga menyebabkan biodiversity loss, namun isu tersebut digunakan untuk dikaitkan dengan minyak sawit.

Pada masa lalu, EU juga banyak melakukan praktek pelanggaran Hak Asasi Manusia (khususnya pada era kolonialisme Eropa), isu tersebut juga digunakan untuk menyudutkan minyak sawit. Bahkan EU yang kini menjadi salah satu Top-5 emiter GHG global, justru menuding minyak sawit sebagai sumber emisi yang menyebabkan pemanasan global dan perubahan iklim. Dengan isu-isu tersebut, EU berhasil membangun gerakan anti sawit level global dengan mengusung tema “No Palm Oil” dan labelisasi “Palm Oil Free” pada kemasan produk.

Dalam rangka mengontrol perdagangan minyak sawit, EU meng-endorse berdirinya Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) pada tahun 2004 dan mewajibkan sertifikasi RSPO untuk perdagangan minyak sawit ke pasar EU. Mungkin menilai RSPO tidak efektif untuk mengurangi perdagangan minyak sawit, EU kembali mengembangkan metode pengontrolan rantai pasok minyak sawit mulai dari mata rantai produsen hingga konsumen minyak sawit. Selain itu, UE juga memberlakukan metode/regulasinya secara sepihak kepada negara lain (imperialisme regulasi EU) yang oleh Bradford (2020) menyebutnya sebagai “Brussel Effect”.

Pemberlakuan Renewable Energy Directive II (RED II) tahun 2018 (PASPI Monitor, 2019) yang menggolongkan minyak sawit sebagai high-risk ILUC (Indirect Land Use Change) secara diskriminatif, dimana kebijakan tersebut tidak berlaku bagi minyak nabati lain baik dari impor maupun produksi domestiknya. Implementasinya RED II ILUC tersebut adalah kebijakan menghilangkan secara bertahap (phase out) minyak sawit dari pasar EU khususnya untuk sektor energi mulai tahun 2021 hingga tahun 2030.

Belum kebijakan RED II ILUC selesai, EU kembali menerbitkan kebijakan baru yakni  European Union Deforestation-free Regulation on Supply Chain. Kebijakan tersebut dituangkan dalam Regulation (EU) 2023/1115 of the European Parliament and of the Council of 31 May 2023 on the making available on the Union market and the export from the Union of certain commodities and products associated with deforestation and forest degradation and repealing Regulation (EU) No 995/2010 (disingkat EUDR). Inti kebijakan EUDR tersebut mewajibkan rantai pasok minyak sawit due diligence terkait deforestasi dan degradasi hutan serta menyerahkan geolokasi yang mulai berlaku mulai tanggal 29 Desember 2024 (PASPI Monitor, 2022, 2023a,, 2023b, 2023c, 2023d).

Jika kebijakan RED II ILUC lebih fokus pada penggunaan minyak sawit pada energi di EU, kebijakan EUDR mencakup semua penggunaan minyak sawit di EU baik untuk pangan, energi maupun oleokimia. Tidak hanya minyak sawit mentah, kebijakan tersebut juga menargetkan hingga ke produk hilir atau produk yang mengandung minyak sawit.

Kebijakan Uni Eropa yang terbaru adalah Corporate Sustainability Due Diligence Directive (CSDDD), dimana kebijakan tersebut mewajibkan perusahaan (beserta rantai pasoknya) melakukan uji tuntas terkait dampak lingkungan, sosial, dan tata kelola atau Environment, Social, and Governance (ESG). Tidak cukup hanya membuat laporan ESG, tetapi perusahaan juga wajib melakukan uji tuntas sesuai dengan standar EU.

Semua kebijakan EU tersebut baik yang bertujuan untuk membangun persepsi negatif terhadap minyak sawit maupun berbagai bentuk kebijakan mengontrol rantai pasok minyak sawit merupakan bentuk non-tariff barrier yang termasuk ke dalam bagian non-price competition atau bentuk neoproteksionisme EU (Sihotang, 2022; Bangun et al., 2023). Tujuannya adalah menghambat dan mengontrol minyak sawit masuk ke pasar EU. Dengan politik imperialisme regulasi EU, tampaknya EU tak peduli bahwa cara cara neoproteksionisme tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip WTO/GATT dan tidak berkontribusi pada pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) yang diusung Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai platform pembangunan global 2015-2030.


DAMPAK KEBIJAKAN NON-TARIFF BARRIER UNI EROPA

Apakah kebijakan non-tariff barrier tersebut berpengaruh pada perdagangan minyak sawit global? Tentu saja perlu waktu untuk membuktikan secara komprehensif. Namun berbagai studi berikut ini menarik untuk didiskusikan.

Kebijakan RED II ILUC, sertifikasi RSPO, kampanye negatif (palm oil free, no palm oil) maupun tudingan tudingan negatif yang dialamatkan kepada minyak sawit merupakan kebijakan proteksionis non-tariff barrier untuk menghambat minyak sawit sekaligus menjaga daya saing minyak nabati Eropa (Bangun et al., 2023). Pemenuhan sertifikasi RSPO oleh Indonesia tidak mempengaruhi market share Indonesia di negara-negara Eropa (Tandra et al., 2021). Hal ini berarti minyak sawit yang memperoleh sertifikasi RSPO atau tidak memiliki sertifikasi RSPO, tidak mempengaruhi keputusan masyarakat EU dalam mengkonsumsi minyak sawit. Tampaknya harga minyak sawit yang kompetitif di mata konsumen EU, masih menjadi atribut utama dan terpenting dalam menentukan keputusan konsumen EU dalam memilih minyak sawit.

Studi Rifin et al. (2020) mengungkap bahwa pembatasan ekspor sawit Indonesia ke Eropa dengan berbagai kebijakan non-tarif tidak terlalu berpengaruh pada perekonomian nasional maupun ekspor Indonesia. Hal ini mudah dipahami karena pasar ekspor sawit Indonesia tidak lagi tergantung pada pasar Uni Eropa melainkan telah terdiversifikasi ke kawasan/negara lain.

Hal yang menarik hasil studi Pratama et al. (2020) yang mengungkapkan bahwa kebijakan non-tariff barrier EU bukan hanya berdampak negatif pada negara produsen minyak sawit (meskipun tidak signifikan) tetapi juga berdampak pada seluruh negara di dunia, termasuk Uni Eropa. Hal ini terkait dengan hasil studi yang mengungkapkan bahwa perdagangan minyak sawit global menciptakan manfaat berupa job creation dan income generating di negara-negara importir sawit dunia (European Economic, 2014, 2016; PASPI Monitor, 2021a, 2021b; PASPI, 2023).

Studi Mohammad et al. (2024) mengungkapkan bahwa pelarangan ekspor minyak sawit ke Eropa tidak mempengaruhi daya saing minyak sawit di EU maupun substitusi minyak sawit dengan minyak rapeseed dan minyak kedelai. Bahkan studi Rum et al. (2022) mengungkapkan bahwa kebijakan RED II EU dengan rencana phase-out minyak sawit hanya berdampak kecil baik secara ekonomi maupun secara lingkungan di negara-negara produsen minyak sawit. Strategi diversifikasi pasar ekspor, pengembangan hilirisasi domestik, dan peningkatan konsumsi domestik membuat minyak sawit Indonesia memiliki daya tahan terhadap perubahan kebijakan negara-negara importir minyak sawit.

Dengan segala keunggulan minyak sawit tersebut, tampaknya EU enggan meninggalkan minyak sawit meskipun rencana untuk menghentikan konsumsi minyak sawit secara politik sering kali dilakukan. Berbagai ahli (Liao et al., 2020; Meijaard et al., 2020; Parsons et al., 2020; Beyer et al., 2021; Rum et al., 2022) mengingatkan bahwa untuk saat ini belum ada alternatif pengganti minyak sawit. Penggantian minyak sawit dengan minyak nabati lain memerlukan lahan yang lebih luas, air dan pupuk yang lebih banyak, produktivitas yang jauh lebih rendah, biaya produksi lebih mahal, dan lifespan yang lebih singkat sehingga secara ekonomi dan ekologi minyak sawit masih sulit digantikan minyak nabati lain (PASPI, 2023).

Dengan demikian, EU lebih baik menghentikan kreatifitasnya untuk mencari-cari kebijakan non-tariff barrier untuk menghambat perdagangan minyak sawit ke pasar EU. Selain tidak berguna dan bertentangan dengan prinsip-prinsip WTO/ GATT, kebijakan yang bersifat non-tariff barrier tersebut akan menjadi boomerang bagi masyarakat EU sendiri. Lebih baik energi dan sumberdaya EU dialokasikan untuk bersama-sama (setara) dengan negara produsen minyak sawit global untuk membangun industri minyak sawit yang makin berkelanjutan.


Kesimpulan

Untuk memenuhi kebutuhan domestiknya, Uni Eropa mengimpor minyak sawit dengan volume yang terus meningkat. Kondisi ini memicu kekhawatiran terkait ketergantungan Uni Eropa terhadap minyak sawit impor yang semakin kuat hingga menyebabkan tergesernya minyak rapeseed dan minyak bunga matahari yang diproduksi sendiri dan didukung oleh subsidi yang besar oleh EU.

Untuk mencegah hal tersebut, Uni Eropa memformulasikan dan mengimplementasi kebijakan non-tariff barrier (NTB) yang bertujuan untuk membangun persepsi negatif terhadap minyak sawit dan mengontrol perdagangan minyak sawit ke pasar EU. Kebijakan yang dimaksud antara lain sertifikasi dan labelisasi RSPO, RED II ILUC, EUDR, dan CSDDD.

Berbagai studi empiris menunjukkan bahwa kebijakan non-tariff barrier yang diberlakukan untuk perdagangan minyak sawit di Uni Eropa tidak berdampak signifikan terhadap impor minyak sawit di pasar EU karena pelaku bisnis masih menginginkan minyak sawit yang harganya relatif kompetitif dibandingkan minyak nabati lain. Kebijakan tersebut juga menimbulkan dampak yang tidak signifikan bagi ekspor dan perekonomian negara-negara produsen minyak sawit, mengingat negara produsen telah memiliki skenario antisipatif melalui diversifikasi pasar tujuan ekspor dan hilirisasi untuk meningkatkan konsumsi domestik. Selain itu, kebijakan tersebut juga tidak berdampak signifikan pada aspek lingkungan karena penggantian minyak sawit dengan minyak nabati lain memerlukan lahan yang lebih luas serta air dan pupuk yang lebih banyak yang berpotensi menyebabkan kerusakan lingkungan semakin besar.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.


Daftar Pustaka

  1. Bangun SZB, Hidayat T, Akim. 2023. The European Union Trade Protection on Indonesian Crude Palm Oil (CPO) Import. Paradigma PLISTAAT: Jurnal Ilmu Sosial dan Politik 3(1): 1-14.
  2. Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813.
  3. Bradford A. 2020. The European Union in a Globalized World: the “Brussels Effect”. Columbia Law School.
  4. European Economics. 2014. The Economic Impact of Palm Oil Imports in the EU.
  5. European Economics. 2016. The Downstream Economic Impact of Palm Oil Exports.
  6. Meijaard E, Brooks TM, Carlson KM, Slade EM, Garcia-Ulloa J, Gaveau DLA, Lee JSH, Santika T, Juffe-Bignoli D, Struebig MJ, Wich SA, Ancrenaz M, Koh LP, Zamira N, Abrams JF, Prins HHT, Sendashonga CN, Murdiyarso D, Furumo PR, Sheil D. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil in Context. Nature Plants. 6(12): 1418–1426.
  7. Mohamad AHH, Ab-Rahim R. 2024. Europe Union Ban on Palm Oil: The Trend of Palm Oil Competitiveness and The Co-Integration on the Soybean and Rapeseed Oil. International Journal of Business and Society. 25(1):260-283.
  8. Liao X, Gerichhausen M, Bengoa X, Rigarlsford G, Beverloo RH, Bruggeman Y, Rossi V. 2020. Large-Scale Regionalised LCA Shows that Plant-Based Fat Spreads Have a Lower Climate, Land Occupation and Water Scarcity Impact than Dairy Butter. The International Journal of Life Cycle Assessment. 25(6): 1043-1058.
  9. Parsons S, Raikova S, Chuck CJ. 2020. The Viability and Desirability of Replacing Palm Oil. Nature Sustainability Perspective. 3(6): 412–418.
  10. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  11. PASPI Monitor. 2019. Minyak Sawit dalam Persaingan Bahan Baku Biodiesel Uni Eropa: Motif RED II ILUC. Jurnal Monitor: Analisis Isu Strategis Sawit. 5(42): 1689-1696
  12. PASPI Monitor. 2021. Minyak Sawit Menciptakan Kesempatan Kerja di Negara Importir. Palm O’Journal: Analisis Isu Strategis Sawit. 2(2): 289-292.
  13. PASPI Monitor. 2021. Penciptaan Pendapatan (Income Generating) pada Hilirisasi Minyak Sawit di Negara Importir. Palm O’Journal: Analisis Isu Strategis Sawit. 2(3): 293-298.
  14. PASPI Monitor. 2022. Menyikapi Kebijakan Anti Deforestasi Uni Eropa pada Minyak Sawit. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3 (21): 721-726.
  15. PASPI Monitor. 2023a. European Deforestation-Free Regulation: Kebijakan Anti Deforestasi yang Makin Boros Deforestasi dan Emisi Global. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(4): 761-766.
  16. PASPI Monitor. 2023b. Pilihan Strategis Industri Sawit Nasional Merespon Kebijakan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR). Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(5): 767-776.
  17. PASPI Monitor. 2023c. Dampak Ekonomi European Union Deforestation Free Regulation (EUDR) pada Industri Sawit Nasional. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(6): 777-781.
  18. PASPI Monitor. 2023d. European Union Deforestation Free Regulation (EUDR) Ciptakan Risiko Ketidakpastian Industri Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(13): 827-832.
  19. Pratama AR, Widodo T. 2020. The Impact of Nontariff Trade Policy of European Union Crude Palm Oil Import on Indonesia, Malaysia, and the Rest of the World Economy: An Analysis in GTAP Framework. Jurnal Ekonomi Indonesia. 9(1).
  20. Rifin A, Feryanto, Herawati, Harianto. 2020. Assessing the Impact of Limiting Indonesian Palm Oil Exports to the European Union. Journal of Economic Structures. 9(26).
  21. Rum IA, Tukker A, de Koning A, Yusuf AA. 2022. Impact Assessment of the EU Import Ban on Indonesian Palm Oil: Using Environmental Extended Multi-Scale MRIO. Science of the Total Environment. 853(20).
  22. Sihotang ED. 2022. Analysis of Discriminatory Measures From European Analysis of Discriminatory Measures from European Union Renewable Energy Directive II to Indonesia as Palm Oil Producer Country. Indonesia Law Review Indonesia Law Review. 12(3): 12-22.
  23. Tandra H, Suroso AI, Syaukat Y, Najib M. 2021. Indonesian Oil Palm Export Market Share and Competitiveness to European Union Countries: Is The Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) Influential?. Jurnal Manajemen & Agribisnis. 18(3).
  24. [USDA] United States Department of Agriculture. 2024. European Union: Oilseed and Products Annual.
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x