Back to Top
Rating & Comment

REINVESTASI DANA PUNGUTAN EKSPOR SAWIT PADA PEREMAJAAN SAWIT RAKYAT (2023)

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Policy Brief
CITE THIS POLICY BRIEF

Kebijakan pungutan ekspor (export levy) sawit yang dilaksanakan Pemerintah Indonesia sejak tahun 2015 merupakan instrumen dan mekanisme penghimpunan dana pembiayaan perkebunan sawit dari dan untuk perkebunan sebagaimana yang diamanatkan Pasal 93 UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Pasal 93 tersebut menyebutkan bahwa pembiayaan usaha perkebunan yang dilakukan oleh pelaku usaha perkebunan bersumber dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan, dana lembaga pembiayaan, dana masyarakat, dan dana lain yang sah. Dana yang dihimpun dari pelaku usaha tersebut dapat digunakan kembali (reinvestasi) pada perkebunan itu sendiri antara lain untuk membiayai peremajaan sawit rakyat (PSR).

Perhatian reinvestasi dana pungutan ekspor sawit pada PSR dinilai sangat penting dan strategis, mengingat kebun sawit rakyat merupakan salah satu aktor penting dalam industri sawit nasional maupun ekonomi daerah (PASPI, 2022, 2023). Dari total luas kebun sawit nasional sekitar 16.3 juta hektar, sekitar 41 persen merupakan kebun sawit rakyat yang tersebar pada sekitar 225 kabupaten.

Kondisi kebun sawit rakyat dengan produktivitas rendah disebabkan karena penggunaan benih tidak berkualitas (illegitim), kultur teknis yang jauh dari standar, tata kelola yang bermasalah, dan seterusnya hanya dapat (lebih mudah) diperbaiki dengan melakukan peremajaan (replanting). Masalahnya kemampuan pembiayaan peremajaan petani sawit yang relatif rendah dan lemahnya akses petani sawit pada lembaga pembiayaan. Implikasi kondisi tersebut adalah petani sawit sulit melakukan self financing replanting sehingga diperlukan dukungan kebijakan publik dalam rangka peremajaan sawit perkebunan sawit rakyat (PASPI, 2023).

Artikel ini akan mendiskusikan perkembangan mutakhir reinvestasi dana pungutan ekspor sawit pada PSR. Kemudian juga akan didiskusikan terkait dengan potensi manfaat yang akan dinikmati sebagai dampak dari reinvestasi PSR tersebut di kawasan pedesaan.


REINVESTASI PADA PSR

 Berbeda dengan perusahaan perkebunan negara dan swasta, dimana kegiatan replanting telah menjadi bagian dari kegiatan rutin perusahaan, kegiatan replanting pada perkebunan rakyat menghadapi berbagai kendala yang memerlukan dukungan kebijakan pemerintah. Berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan petani dalam melakukan replanting antara lain luas kebun yang dimiliki, tingkat pendapatan, sumber pendapatan, legalitas lahan (Safitri dan Rosyani, 2014; Anggraeny et al., 2016).

Dukungan pembiayaan PSR sangat diperlukan mengingat sebagian besar petani tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membiayai replanting sendiri. Studi Mariyah et al. (2018) mengungkap bahwa petani yang memiliki tabungan hanya 46 persen sedangkan sisanya 54 persen tidak punya tabungan dan hanya sekitar 10.8 persen petani yang sanggup membiayai sendiri investasi replanting.

Ketersediaan pembiayaan sangat mempengaruhi kesediaan petani dan keberhasilan replanting (Andriati, 2011; Safitri dan Rosyani, 2014; Ruf dan Burger, 2015; Anggraeny et al., 2016). Petani yang tidak memiliki sumber pembiayaan umumnya tidak melakukan atau terlambat dalam melaksanakan replanting pada kebun sawitnya (Thang, 2011; Hutasoit et al., 2015). Peremajaan sawit memerlukan pembiayaan investasi yang relatif mahal bagi perkebunan sawit rakyat. Selain itu, penataan kelembagaan dan tata kelola PSR tersebut sangat diperlukan untuk mempermudah keberhasilan petani dalam melakukan replanting maupun pengelolaan kebun secara keseluruhan (Andriati, 2011; Zen et al., 2016). Oleh karena itu, intervensi kebijakan publik berupa fasilitas pembiayaan investasi murah sangat diperlukan bagi perkebunan kelapa sawit rakyat.

Dengan kendala yang dihadapi oleh kebun sawit rakyat yang demikian dan menindaklanjuti UU 39/2014, pemerintah mengambil kebijakan publik dengan membangun kelembagaan pembiayaan perkebunan melalui PP No. 24 tahun 2015 dan No. 61 tahun 2015 jo Perpres No. 66 tahun 2018 yakni tentang penghimpunan dana perkebunan dan penggunaan dana perkebunan kelapa sawit. Dalam pengelolaannya dilaksanakan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Kebijakan pembiayaan PSR ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 84 Tahun 2017 tentang Penggunaan Dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit. Artinya dana pungutan ekspor (dana sawit) direinvestasikan kepada perkebunan sawit rakyat melalui dukungan dana peremajaan (PASPI Monitor, 2023c). Dukungan pembiayaan PSR dari dana BPDPKS semula ditetapkan Rp 25 juta per hektar (maksimum 2 hektar per petani), kemudian dinaikkan menjadi Rp 30 juta per hektar. Selain itu, pembiayaan PSR juga dikembangkan melalui skema pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) khusus yang dapat diakses oleh petani sawit dan atau kelompok.

Pelaksanaan operasional PSR diatur melalui kebijakan kelembagaan dan tata kelola PSR sebagaimana dimuat dalam Peraturan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 2016 tentang Pedoman Replanting Sawit dan Peraturan Menteri Pertanian No. 15 Tahun 2020 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan, serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit. Untuk mempercepat pelaksanaan PSR, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pertanian No. 18 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Pembangunan Kebun Masyarakat Sekitar, mengintegrasikan program PSR dengan kemitraan antara perusahaan perkebunan dengan perkebunan sawit rakyat di sekitarnya.

Untuk mempercepat implementasi PSR, Presiden RI Joko Widodo langsung meresmikan gerakan percepatan PSR secara nasional dimulai di Banyuasin Sumatera Selatan pada 13 Oktober tahun 2017. Kemudian dilanjutkan di Serdang Bedagai Sumatera Utara pada 27 November 2017 dan di Rokan Hilir Riau pada 9 Mei 2018.

Sejak dimulainya PSR sebagai bentuk reinvestasi dana pungutan ekspor, nilai reinvestasi dana pungutan ekspor pada PSR (dana PSR) yang telah disalurkan BPDPKS terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 1).

Gambar 1. Akumulasi Reinvestasi Dana Pungutan Ekspor Sawit pada PSR yang Disalurkan BPDPKS Periode 2016-Juli 2023 (Sumber: BPDPKS, 2023)

Akumulasi Reinvestasi Dana Pungutan Ekspor Sawit pada PSR yang Disalurkan BPDPKS Periode 2016 Juli 2023
Gambar 1. Akumulasi Reinvestasi Dana Pungutan Ekspor Sawit pada PSR yang Disalurkan BPDPKS Periode 2016-Juli 2023 (Sumber: BPDPKS, 2023)

Dimulai dari reinvestasi/penyaluran dana PSR hanya sekitar Rp 6 Miliar tahun 2016, secara akumulatif meningkat menjadi Rp 5.3 Triliun tahun 2020. Dana PSR tersebut hingga bulan Juni 2023 secara akumulatif telah mencapai sekitar Rp 8.08 Triliun.

Sementara itu, output reinvestasi dana PSR ditunjukkan dari luas kebun sawit rakyat yang telah diremajakan. Perkembangan luas kebun penerima dana PSR secara akumulatif dari tahun 2016 hingga bulan Juni 2023 disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Akumulasi Luas Kebun Sawit Rakyat Hasil Reinvestasi Dana PSR dalam Periode Tahun 2016-Juni 2023 (Sumber: BPDPKS, 2023; Kementerian Pertanian, 2023)

Akumulasi Luas Kebun Sawit Rakyat Hasil Reinvestasi Dana PSR dalam Periode Tahun 2016 Juni 2023
Gambar 2. Akumulasi Luas Kebun Sawit Rakyat Hasil Reinvestasi Dana PSR dalam Periode Tahun 2016-Juni 2023 (Sumber: BPDPKS, 2023; Kementerian Pertanian, 2023)

Luas kebun sawit hasil PSR secara akumulatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dimulai hanya seluas 254 hektar tahun 2016 dan kemudian secara akumulatif meningkat menjadi 292 ribu hektar hingga Juni 2023. Sementara itu distribusi penerima menunjukkan bahwa Top-10 provinsi penerima reinvestasi dana PSR merupakan daerah-daerah sentra utama perkebunan sawit nasional yakni Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Bengkulu.

Output reinvestasi dana PSR tersebut tentu bukan hanya sekedar ditunjukkan dari luasan kebun sawit rakyat yang berhasil diremajakan. Namun lebih dari itu, reinvestasi dana PSR tersebut menjadi jalan masuk untuk introduksi inovasi dalam rangka perbaikan kebun sawit rakyat. Setidaknya terdapat 10 aspek introduksi inovasi untuk area improvement pada PSR yakni:

  1. Introduksi teknologi land clearing dan chipping;
  2. Introduksi varietas benih sawit unggul;
  3. Introduksi kultur teknis Good Agriculture/Plantation Practices (GAP) khususnya pada masa Tanaman Belum Menghasilkan (TBM);
  4. Pengembangan kelembagaan collective action seperti kelompok tani dan koperasi;
  5. Perbaikan tata kelola kebun termasuk legalitas dan geospasial;
  6. Membangun dan membuka akses petani pada lembaga keuangan;
  7. Membangun networking dan jejaring kemitraan pada produsen sarana prasarana dan pemasaran TBS (Pabrik Kelapa Sawit/CPO mill);
  8. Pengembangan SDM petani sawit;
  9. Penyediaan dan perbaikan infrastruktur kebun; serta
  10. Mempersiapkan kebun sawit untuk memperoleh sertifikasi berkelanjutan.

Dengan kata lain, PSR bukan sekadar melakukan replanting pada tanaman sawit semata, melainkan merupakan paket kebijakan yang komprehensif untuk mengatasi permasalahan kebun sawit rakyat (PASPI Monitor, 2023b) sekaligus juga “replanting” ekosistem baru bisnis berbasis sawit di kawasan pedesaan. Secara ekonomi, reinvestasi dana pungutan ekspor sawit melalui pembiayaan PSR bukan hanya sekadar mengganti tanaman tua, tetapi juga “menambah darah baru” melalui introduksi 10 aspek inovasi di atas sebagai ekosistem kegiatan ekonomi berbasis kebun sawit di kawasan pedesaan.


POTENSI MULTIMANFAAT PSR

Dari sudut ekonomi produksi, 10 aspek inovasi pada area improvement tersebut akan bermuara pada dua cara peningkatan produktivitas kebun sawit secara simultan. Dua cara yang dimaksud (Sipayung, 2012, 2018) adalah peningkatan produktivitas total (total factor productivity) sebagai dampak dari penggunaan varietas benih sawit unggul baru dan peningkatan produktivitas parsial (partially factor productivity) sebagai dampak dari perbaikan kultur teknis Good Agriculture/Plantation Practices (GAP). Implikasi keduanya akan terlihat pada kenaikan produktivitas kebun sawit hasil PSR dibandingkan dengan produktivitas kebun sawit sebelum PSR.

Seberapa besar kenaikan produktivitas kebun sawit hasil PSR (reinvenstasi dana PSR) tersebut memang masih menunggu waktu (sebagian besar tanaman masih berada di fase TBM). Namun bercermin dari success story plasma PTPN 5 di Riau (kebun plasma Sei Tapung, kebun plasma Sei Buatan) yang melibatkan 5 KUD dengan luasan 3,408 hektar menunjukkan harapan yang membanggakan. Dengan periode replanting tahun 2012-2014, rata-rata produktivitas kebun sawit tahun 2022 (usia tanaman 8-10 tahun) mencapai sekitar 27.7 ton TBS per hektar dengan kisaran produktivitas sebesar 26.2-29.7 ton TBS per hektar atau hampir mencapai 6 ton minyak per hektar. Capaian produktivitas kebun sawit plasma tersebut lebih baik dari standar varietas yang digunakan yakni 26.9 ton TBS per hektar atau 200 persen diatas produktivitas sawit rakyat nasional.

Potensi produksi minyak sawit dari PSR sangat strategis bagi industri sawit nasional. Dapat dibayangkan jika luas kebun sawit rakyat sebesar 6.8 juta hektar dapat meningkat produktivitasnya dari saat ini rata-rata 3 ton minyak per hektar menjadi 6 ton minyak per hektar, maka akan ada tambahan minyak sawit nasional dari sawit rakyat sebesar 20 juta ton per tahun. Sehingga produksi sawit rakyat keseluruhan akan menjadi sekitar 40 juta ton per tahun atau dua kali lipat produksi minyak sawit Malaysia.

Peningkatan produktivitas perkebunan sawit juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan sustainability baik berupa penurunan emisi maupun beban Species Richness Loss atau biodiversity loss (Beyer et al., 2020; Beyer dan Rademacher, 2021; PASPI Monitor, 2023a, PASPI, 2023). Selain dari aspek lingkungan, peningkatan produktivitas kebun sawit rakyat tersebut juga akan berdampak pada aspek sosial ekonomi yang ditunjukkan dari peningkatan pendapatan petani sawit dan keluarganya. Hal ini akan meningkatkan dan menjamin kesejahteraan petani dan keluarganya paling sedikit selama 25 tahun kedepan.

Kehadiran reinvestasi pada PSR juga akan menarik berkembangnya kegiatan terkait seperti pembibitan, penyedia pupuk, jasa mekanisasi, dan lembaga keuangan. Hal ini men-triggering dana investasi baru pada kegiatan/sektor ekonomi yang terkait langsung dengan PSR tersebut. Melalui mekanisme multiplier effect (direct effect, indirect effect, induced consumption), peningkatan produksi minyak sawit yang bersumber dari kebun sawit rakyat hasil reinvestasi PSR juga turut akan memperbesar “kue ekonomi” berupa kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan, dan peningkatan pendapatan di kawasan pedesaan, regional, maupun nasional.

Dengan kata lain, PSR tidak hanya menciptakan manfaat baru pada perkebunan sawit yang ikut dalam program kebijakan tersebut. Reinvestasi dana sawit melalui PSR juga mampu men-trigger dan menciptakan manfaat baru di luar kebun sawit PSR yang dapat dinikmati secara inklusif oleh masyarakat.


Kesimpulan

Perkebunan sawit rakyat memiliki tingkat produktivitas yang rendah karena penggunaan benih tidak berkualitas (illegitim), kultur teknis yang jauh dari standar, dan tata kelola yang bermasalah. Solusi untuk memperbaiki kondisi tersebut adalah dengan melakukan peremajaan (replanting). Namun di sisi lain, petani sawit sulit melakukan self financing replanting karena lemahnya kemampuan dan akses terhadap sumber pembiayaan. Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah memberikan dukungan melalui reinvestasi dana pungutan ekspor (dana sawit) sebagai dukungan pembiayaan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).

Secara akumulatif, reinvestasi dana pungutan ekspor dalam bentuk dana PSR mengalami peningkatan dari hanya sekitar Rp 6 Miliar tahun 2016 dan meningkat menjadi Rp 8.07 Triliun hingga periode Juni 2023. Demikian juga dengan luas kebun sawit hasil PSR yang secara akumulatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Luas kebun sawit rakyat yang berhasil diremajakan hanya seluas 254 hektar tahun 2016 dan secara akumulatif meningkat menjadi 292 ribu hektar hingga Juni 2023.

Distribusi penerima dukungan pembiayaan PSR juga tersebar pada Top-10 provinsi sentra sawit nasional yakni Sumatera Selatan, Aceh, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Barat, dan Bengkulu. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat reinvestasi dana sawit melalui PSR dirasakan secara inklusif oleh petani sawit rakyat dan dampak positifnya juga akan menjadi “efek domino” bagi peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat keseluruhan.


Implikasi Kebijakan

Kebijakan reinvestasi dana pungutan ekspor (dana sawit) dalam bentuk pembiayaan PSR dan program pendukungnya didasarkan pada kebutuhan riil petani sawit rakyat. Kebijakan ini juga sekaligus menjadi solusi untuk menjawab keterbatasan petani sawit dalam aspek kemampuan dan akses pada sumber pembiayaan peremajaan. Output dari kebijakan reinvestasi dana pungutan ekspor bukan hanya terkait dengan peningkatan luas kebun sawit rakyat yang diremajakan maupun jumlah dana yang disalurkan dari tahun ke tahun. Kebijakan tersebut perlu dilihat dari helicopter view, dimana kebijakan tersebut menjadi upaya “replanting” ekosistem baru bisnis berbasis sawit di kawasan pedesaan yang akan bermuara pada penciptaan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih besar dan dirasakan secara inklusif baik petani sawit rakyat dan keluarganya maupun masyarakat secara umum.

ACKNOWLEDGEMENT

Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.


Daftar Pustaka (Link)

  1. Andriati WIGP. 2011. Penguatan Aspek Kelembagaan Program Revitalisasi Perkebunan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit Plasma. Jurnal Agro Ekonomi. 29(2):169-190.
  2. Anggraeny S, Mulyono P, Sadono D. 2016. Partisipasi Petani dalam Replanting di Provinsi Jambi. Jurnal Penyuluhan. 12(1): 1-14.
  3. Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv.
  4. Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813.
  5. BPDPKS [Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit]. 2023. Kinerja Program BPDPKS.
  6. Hutasoit FR., Hutabarat S, Muwardi D. 2015. Analisis Persepsi Petani Kelapa Sawit Swadaya Bersertifikasi RSPO Dalam Menghadapi Kegiatan Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit di Kecamatan Ukui Kabupaten Pelalawan. JOM Faperta. 2(1):13-17.
  7. Kementerian Pertanian. 2023. Program Peremajaan Kelapa Sawit Pekebun Melalui Kemitraan. Materi Presentasi pada Pertemuan Koordinasi dan Sinkronisasi Peremajaan Kelapa Sawit. Jakarta
  8. Mariyah, Syaukat Y, Hartoyo S, A Fariyanti, B Krisnamurthi. 2018. The Role of Farm Household Saving for Oil Palm Replanting at Paser Regency, East Kalimantan. International Journal of Economics and Financial Issues. 8(5); 124-130.
  9. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2022. Analisis Komparasi Kemajuan Sosial, Ekonomi & Ekologi Antara “Desa Sawit” Vs “Desa Non-Sawit” di Indonesia. Bogor (ID): PASPI.
  10. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  11. PASPI Monitor. 2023a. Kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) Dan Net Zero Emissions (NZE) Indonesia Serta Tiga Jalur Kontribusi Industri Sawit. Artikel Diseminasi & Policy Brief. 1(1).
  12. PASPI Monitor. 2023b. Masalah Sawit Rakyat dan Kebutuhan Paket Kebijakan Peremajaan Sawit Rakyat Sebagai Solusi. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(4).
  13. PASPI Monitor. 2023c. Peranan Kebijakan Pungutan Ekspor Sawit Dan Bpdpks Dalam Industri Sawit Nasional. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(9).
  14. Ruf F, Burger K. 2015. Planting and Replanting Tree crops Smallholders’ Investment Decision.
  15. Safitri D, Rosyani LA. 2014. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi Petani Terhadap Peremajaan Kelapa Sawit. Sosio Ekonomika Bisnis. 17:45-56.
  16. Sipayung T. 2012. Ekonomi Agribisnis Minyak Sawit. Bogor (ID): IPB Press.
  17. Sipayung T. 2018. Politik Ekonomi Perkelapasawitan Indonesia. Bogor (ID): PASPI.
  18. Thang TC. 2011. Optimal Investment Decisions of Coffee Farmers in Vietnam [Thesis]. Australia (AU): Western Australia University.
  19. Zen Z, Barlow C, Gondowarsito R, McCarthy JF. 2016. Interventions to Promote Smallholder Oil Palm And Socio-Economic Improvement In Indonesia. [research publication]. Australia (AU): Australia National University.
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x