Poin-Poin Utama
- Indonesia adalah produsen dan konsumen terbesar minyak sawit, tetapi stunting masih tinggi di daerah produsen minyak sawit
- Tingkat stunting di Indonesia mencapai 21,6%, khususnya di beberapa provinsi produsen minyak sawit.
- Indonesia bergantung pada impor vitamin A dan E, yang berdampak pada devisa negara.
- Minyak Sawit Merah (M3) merupakan solusi inovatif yang mempertahankan senyawa bioaktif dan memiliki potensi gizi yang tinggi.
- Produksi M3 menggunakan teknologi refining yang mempertahankan kandungan beta-karoten, vitamin A, vitamin E, squalene, dan senyawa bioaktif lainnya.
- M3 menawarkan komposisi yang terkonsentrasi dari senyawa bioaktif, menjadikannya sumber nutrisi yang kaya dibandingkan minyak kelapa sawit mentah, minyak masak komersial, dan minyak zaitun.
Table of Contents
Minyak sawit adalah minyak nabati yang versatile atau serbaguna karena dapat diaplikasikan untuk menghasilkan berbagai macam consumer goods. Survey World Wildlife Foundation (2017) mengungkapkan lebih dari 50 persen produk kemasan yang ada di supermarket dunia mengandung minyak sawit. Salah satu bentuk olahan minyak sawit yang digunakan oleh masyarakat dunia adalah produk pangan seperti minyak goreng, mie, roti, kue, krimer, margarin dan lain-lain. Hal ini semakin menegaskan kontribusi sawit dalam feeding the world (PASPI, 2023).
Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia juga terus berinovasi dalam pengembangan hilirisasi sawit untuk menghasilkan consumer goods. Pada hilirisasi sawit jalur pangan (oleofood complex), salah satu produk yang sedang dikembangkan saat ini adalah Minyak Makan Merah (M3).
Minyak Makan Merah (M3) sendiri bukan merupakan “barang” baru dalam inovasi produk hilir sawit. Produk tersebut sudah sejak lama dikembangkan oleh para peneliti sawit di Indonesia. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) telah melakukan studi dan penelitian terkait minyak makan merah sejak dua dekade terakhir, namun inovasi tersebut belum dikomersialisasikan dan dikonsumsi secara meluas di Indonesia.
Sejak kunjungan kerja Bapak Presiden Joko Widodo dan beberapa menteri ke PPKS Medan pada pertengahan tahun lalu, produk M3 ini kembali menjadi pemberitaan nasional dan menarik perhatian masyarakat Indonesia. Selanjutnya setelah kunjungan kerja tersebut, Presiden menyetujui pengembangan industri dan produk Minyak Makan Merah menjadi fokus pemerintah untuk segera ditindaklanjuti.
Pemerintah melihat urgensi pengembangan industri dan produk M3 untuk menjadi langkah solusi dan mitigasi fenomena kenaikan harga minyak goreng sawit yang terjadi pada tahun 2022. Namun lebih dari itu, pengembangan M3 menjadi langkah strategis terhadap permasalahan pangan dan gizi di Indonesia. Artikel ini akan mendiskusikan lebih lanjut terkait pengembangan M3 sebagai solusi komprehensif bagi industri sawit maupun Indonesia.
IRONI MASYARAKAT PRODUSEN SAWIT TERBESAR
Sejak tahun 2006, Indonesia berhasil menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia. Selain menjadi produsen terbesar, Indonesia juga tercatat sebagai konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Data terbaru yang dipublikasikan USDA (2023) mengungkapkan pangsa Indonesia dalam produksi minyak sawit dunia mencapai 59 persen, sedangkan pangsanya dalam konsumsi minyak sawit dunia mencapai 25 persen. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki peran strategis dalam pasar minyak sawit dunia.
Di sisi lain, masyarakat perkebunan sawit maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan menghadapi ironi sebagai implikasi dari strategisnya peran Indonesia. Ironi yang dimaksud sebagai berikut:
Pertama, masyarakat perkebunan sawit dan masyarakat pedesaan di sentra-sentra sawit harus membayar minyak goreng dengan harga yang lebih mahal dengan akses yang relatif terbatas (langka). Minyak sawit dihasilkan dari perkebunan sawit (dan Pabrik Kelapa Sawit/PKS) yang letaknya tersebar di kawasan pedesaan di daerah pinggiran daerah. Sementara itu, pabrik minyak goreng berada di luar sentra-sentra produksi minyak sawit kawasan pedesaan. Banyak pabrik minyak goreng berada di wilayah perkotaan (dekat pelabuhan) bahkan di luar provinsi sentra sawit seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur (Kementerian Perindustrian, 2022).
Selain sebagai produsen minyak sawit (bahan baku minyak goreng), petani sawit dan masyarakat sekitar di pedesaan sentra sawit juga merupakan konsumen minyak goreng sawit. Produksi minyak goreng sawit yang berada di luar kawasan sentra sawit membuat masyarakat sentra sawit harus membayar produk tersebut dengan harga yang lebih mahal, mengingat biaya transportasi yang tinggi (Gambar 1). Tidak hanya harga yang relatif lebih mahal, jauhnya lokasi pabrik juga menyebabkan ketersediaan produk minyak goreng sawit di lokasi sentra-sentra sawit (pasar) juga relatif terbatas.
Gambar 1. Perbedaan Harga Minyak Goreng Curah pada Level Produsen Versus Konsumen di Pasar Tradisional: Studi Kasus Riau (Sumber: Bank Indonesia, 2023)

Dalam skala nasional, masyarakat Indonesia juga menghadapi lonjakan harga minyak goreng yang signifikan yang terjadi sepanjang Semester 1 tahun 2022 (Gambar 2). Selain kenaikan harga, minyak goreng sawit juga mengalami kelangkaan sehingga sulit diakses oleh masyarakat Indonesia (PASPI Monitor, 2022). Hingga saat ini, harga minyak goreng (khususnya kemasan premium) masih bertahan di level tinggi atau harganya belum kembali pada level harga sebelum anomali di tahun 2022. Hal ini menjadi sebuah ironi bagi Indonesia, yang notabenenya negara ini dikenal sebagai produsen bahan baku minyak goreng.
Gambar 2. Perkembangan Harga Minyak Goreng Berbagai Kemasan di Indonesia Periode Januari 2020-Agustus 2023 (Sumber: Kementerian Perdagangan, 2023)

Kedua, tingginya angka stunting di Indonesia. Stunting merupakan kondisi balita dengan tubuh pendek dan rendahnya fungsi kognitif yang disebabkan karena kekurangan vitamin A. Stunting menjadi perhatian pemerintah Indonesia, mengingat dampak jangka panjangnya yang mengancam produktivitas dan daya saing, menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan memperlebar ketimpangan (TNP2K, 2017).
Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia tahun 2022 (Kementerian Kesehatan, 2023), rata-rata nasional angka stunting di Indonesia mencapai 21.6 persen. Angka tersebut mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya (24.4 persen). Data tersebut juga menunjukkan sekitar 18 provinsi memiliki tingkat stunting di atas rata-rata nasional.
Gambar 3. Prevalensi Balita Stunting di Top-10 Provinsi Sentra Sawit Indonesia Tahun 2022 (Sumber: Kementerian Kesehatan, 2023)

Diantara provinsi-provinsi di Indonesia, tingkat stunting di Top-10 sentra sawit di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 3. Tingkat atau prevalensi balita yang menderita stunting di enam provinsi sentra sawit relatif lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Keenam provinsi sentra sawit yang dimaksud adalah Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur.
Kondisi di atas menjadi sebuah ironi karena tingkat stunting di masyarakat sentra sawit relatif tinggi, padahal kebun sawit merupakan lumbung vitamin A, vitamin E (Slover, 1971; Gunstone, 1986; Palm Oil Human Nutrition, 1989) dan senyawa bioaktif/fitonutrien seperti fitosterol, squalene, co-enzym Q10, phenolics, ubiquinone, (Goh et al., 1985; Tay et al., 2000; Berger, 2007; Kumar dan Krishna, 2014) yang bermanfaat bagi kesehatan manusia, termasuk mencegah penyakit stunting.
Ketiga, tingginya ketergantungan Indonesia terhadap vitamin A dan E impor. Salah satu bentuk intervensi pemerintah Indonesia untuk mengatasi tingginya angka stunting adalah dengan pemberian vitamin A baik secara oral yang dilakukan di posyandu/puskesmas maupun melalui penambahan (fortifikasi) vitamin A pada bahan makanan. Kedua strategi tersebut memiliki implikasi terhadap semakin besarnya kebutuhan vitamin A dalam negeri (PASPI Monitor, 2020).
Untuk memenuhi besarnya kebutuhan dalam negeri, Indonesia harus mengimpor vitamin A dari berbagai negara. Selama periode tahun 2011-2022, nilai impor vitamin A mengalami peningkatan signifikan yakni dari USD 10.26 juta menjadi USD 26.80 juta (Gambar 4 bagian a). Demikian juga dengan volume impor yang meningkat dari 341 ton menjadi 547 ton pada periode yang sama.
Gambar 4. Perkembangan Nilai dan Volume Vitamin A (a) dan Vitamin E (b) yang Diimpor Indonesia Periode Tahun 2011-2022 (Sumber: ITC Trademap, data diolah PASPI, 2023)

Selain vitamin A, Indonesia juga banyak mengimpor vitamin E untuk memenuhi besarnya kebutuhan industri pangan, industri farmasi dan obat, serta industri kosmetik (skincare dan make up). Selama periode tahun 2011-2022, nilai vitamin E yang diimpor Indonesia relatif besar dan juga mengalami peningkatan yakni dari USD 19.71 juta menjadi USD 33.87 juta (Gambar 4 bagian b). Demikian juga dengan volume impor vitamin E yang meningkat lebih dari 3 kali lipat yakni dari 867 ton menjadi 2.6 ribu ton pada periode yang sama.
Besarnya nilai impor vitamin A dan E tersebut tentu saja membebani devisa neraca perdagangan Indonesia. Misalnya pada tahun 2022, total devisa yang dihabiskan untuk mengimpor vitamin A dan E sebesar USD 60.67 juta atau sekitar Rp 910 milyar (nilai tukar Rp 15,000). Selain besarnya devisa impor, ketergantungan Indonesia terhadap vitamin A dan E impor juga berpotensi sensitif terhadap instabilitas pasokan dan harga.
Kondisi tersebut cukup ironis. Indonesia mengimpor Vitamin A dan E yang meningkat setiap tahunnya. Padahal perkebunan sawit Indonesia berpotensi menghasilkan vitamin A dan E yang dapat memenuhi kebutuhan domestik.
Keempat, kandungan vitamin dan senyawa bioaktif dalam minyak sawit dibuang. Aplikasi teknologi pengolahan minyak sawit menjadi minyak goreng komersial yang selama ini dipasarkan di dalam negeri, telah sengaja mereduksi bahkan menghilangkan karoten (Gambar 5) untuk menghasilkan minyak berwarna kuning keemasan (Yuliasari et al., 2014). Teknologi pengolahan yang demikian untuk mengakomodir preferensi masyarakat Indonesia dan lebih diterima pasar. Konsumen masyarakat Indonesia telah terbiasa mengkonsumsi minyak goreng dengan warna putih (minyak kelapa, minyak inti sawit) dan warna kuning (minyak sawit) sehingga standar perdagangan minyak goreng selama ini adalah minyak goreng berwarna putih dan kuning.
Gambar 5. Teknologi Pengolahan CPO menjadi Minyak Goreng Sawit Komersial

Dengan teknologi pengolahan yang demikian, kadar karoten (prekursor vitamin A) dan senyawa bioaktif lainnya akan mengalami penurunan atau hilang. Padahal berbagai riset dan studi empiris dalam negeri maupun internasional telah mengungkapkan senyawa bioaktif (fitonutrien) yang terkandung dalam minyak sawit bermanfaat bagi kesehatan manusia (PASPI, 2023). Untuk “mengganti” vitamin A yang hilang, industri harus melakukan fortifikasi atau penambahan vitamin A pada produk minyak goreng (PASPI Monitor, 2020). Hal tersebut telah diatur dalam SNI 7709:2019 dan Peraturan Menteri Perindustrian No. 17 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) Minyak Goreng Sawit Secara Wajib.
MINYAK MAKAN MERAH SEBAGAI SEBUAH SOLUSI
Ironi yang telah diuraikan di atas menunjukkan bahwa kandungan minyak sawit yang kaya vitamin belum dimanfaatkan dengan optimal untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi. Minyak sawit memiliki potensi yang besar untuk semakin berkontribusi dalam menyediakan sumber pangan bergizi yang dapat diakses oleh masyarakat Indonesia dengan harga yang terjangkau dan ketersediaan yang besar sehingga dapat berkontribusi dalam mewujudkan ketahanan pangan lokal dan nasional.
Pengembangan hilirisasi untuk menghasilkan produk pangan (termasuk pangan fungsional) berbasis sawit menjadi langkah strategis untuk mengejawantahkan potensi tersebut. Besarnya volume produksi dan keunggulan nutrisi yang terkandung dalam minyak sawit menjadi faktor kuat untuk menghasilkan produk pangan bergizi bagi masyarakat Indonesia. Salah satu hasil inovasi produk hilir sawit di bidang pangan adalah Minyak Makan Merah (M3).
Minyak Makan Merah (M3) merupakan nama lain dari minyak sawit merah (Red Palm Oil), dimana produk tersebut merupakan olahan dari minyak sawit mentah (CPO) yang masih mempertahankan kandungan beta karoten (vitamin A), vitamin E, squalene, dan kandungan senyawa bioaktif (fitonutrien) lainnya dengan kadar yang relatif tinggi (PASPI, 2023). Berbeda dengan teknologi produksi minyak goreng sawit komersial yang membuang karoten (Gambar 5), produksi M3 menggunakan rekonfigurasi teknologi refining yang bertujuan untuk mempertahankan sebanyak mungkin kandungan karoten dan senyawa bioaktif (fitonutrient) dalam produk akhir. Teknologi tersebut telah dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS).
Pada rekonfigurasi teknologi refining tersebut, proses rafinasi minyak sawit (CPO) dilakukan secara fisik (rafinasi fisik) pada suhu rendah (Alyas et al., 2006; Ayustaningwarno, 2012; Hasibuan et al., 2021) dengan suhu kurang dari 70 derajat celcius. Tahapan proses pembuatan minyak sawit merah dengan rekonfigurasi teknologi (PPKS, 2022) tersebut minyak sawit (CPO) yang masuk akan dilakukan rafinasi untuk mengurangi kadar Asam Lemak Bebas (ALB) dan fraksinasi tahap 1 kemudian akan menghasilkan Refined Red Palm Oil, selanjutnya masuk ke fraksinasi tahap 2 yang akan menghasilkan Minyak Makan Merah (atau Red Palm Oil) dan produk sampingan yakni Red Palm Stearin.
Proses pembuatan minyak makan merah mampu mengkonsentrasikan komposisi senyawa bioaktif (fitonutrien) tanpa mengorbankan kualitas komposisi asam lemaknya. Dengan rekonfigurasi teknologi tersebut akan menghasilkan minyak makan berwarna merah kejinggaan kaya karoten (vitamin A), vitamin E, dan squalene. Jika dibandingkan dengan CPO, minyak goreng komersial (yang beredar di pasar saat ini), dan minyak zaitun (yang diklaim sebagai minyak sehat) menunjukkan bahwa kandungan senyawa bioaktif (fitonutrien) pada Minyak Makan Merah paling tinggi (Tabel 1).
Tabel 1. Komposisi Senyawa Bioaktif pada Minyak Makan Merah
Senyawa Bioaktif/Fitonutrient | Konsentrasi (ppm) | |||
CPO | Minyak Goreng Komersial | Minyak Zaitun* | Minyak Makan Merah | |
Karoten (Vitamin A) | 506 | 15-20 | 1.4 – 8.9 | 753 |
Vitamin E | 910 | 323 | 23.2 – 370.6 | 1,016 |
Squalene | 237 | 128 | 7 – 120 | 348 |
Besarnya kandungan vitamin dan senyawa bioaktif (fitonutrien) dalam M3 menjadikan produk tersebut tidak hanya menjadi alternatif minyak goreng yang digunakan dalam proses memasak, namun produk tersebut dapat dikategorikan sebagai pangan fungsional yang bermanfaat bagi kesehatan. Selain dikonsumsi secara langsung, M3 ini juga dapat digunakan oleh industri sebagai fortifikan vitamin A dan/atau provitamin A pada minyak goreng sawit komersial dan produk pangan lainnya.
Dengan teknologi pengolahan yang lebih advance, produk M3 juga dapat dimanfaatkan oleh industri farmasi. Minyak Makan Merah kaya karoten (vitamin A), vitamin E, dan squalene dapat dikemas dalam bentuk enkapsulan yang dijadikan sebagai produk suplemen/multivitamin yang ditujukan baik untuk memenuhi kebutuhan Kementerian Kesehatan pada program mencegah stunting maupun memenuhi kebutuhan pasar komersial.
Hal ini juga menunjukkan bahwa pengembangan produk M3 selain dapat memenuhi kebutuhan pangan dan pangan fungsional (suplemen/multivitamin), juga dapat membuat Indonesia tidak lagi bergantung pada impor vitamin A dan E sintetis. Implikasinya adalah penghematan devisa impor yang akan berkontribusi pada perbaikan neraca perdagangan Indonesia.
Untuk mewujudkan visi tersebut, pemerintah telah mengembangkan suatu ekosistem baru berupa dukungan kebijakan dalam pengembangan produk M3. Melalui Peraturan Menteri Koperasi dan UKM No. 5 Tahun 2023 tentang Tata Kelola Minyak Makan Merah Berbasis Koperasi menjadi payung hukum pengembangan M3 yang diproduksi oleh koperasi petani sawit. Regulasi tersebut juga diperkuat dengan regulasi/sertifikasi lain seperti SNI, BPOM, dan Halal.
Dengan pengembangan model bisnis yang demikian, proses produksi M3 akan dilakukan di sekitar perkebunan sawit rakyat. Artinya masyarakat sekitar perkebunan dan masyarakat pedesaan di sentra produksi sawit akan dapat dengan mudah mengakses produk M3 dengan harga yang relatif terjangkau, mengingat biaya transportasi yang rendah karena lokasi pabrik dan pasar input-output relatif dekat.
Kesimpulan
Minyak sawit memiliki beberapa keunggulan diantaranya adalah sebagai bahan baku yang versatile dan kandungan gizi yang relatif tinggi dan bervariasi. Didukung dengan ketersediaan volume yang melimpah dan keunggulan tersebut, industri sawit nasional memiliki potensi yang besar untuk menghasilkan produk pangan maupun produk kesehatan bagi masyarakat Indonesia. Namun saat ini, pengembangan hilirisasi sawit pada jalur pangan dan kesehatan belum optimal.
Di sisi lain, Indonesia dan industri sawit menghadapi berbagai ironi yakni mahal dan langkanya minyak goreng sawit, tingkat stunting yang tinggi, besarnya ketergantungan terhadap vitamin A dan E impor, serta teknologi refining yang belum memanfaatkan kandungan senyawa bioaktif pada minyak sawit. Ironi tersebut juga berkaitan dengan belum optimalnya peran industri sawit dalam menghasilkan produk pangan dan kesehatan berbasis sawit yang bergizi, relatif kompetitif, dan mudah diakses.
Minyak Makan Merah (M3) menjadi salah satu produk hilir sawit yang saat ini sedang dikembangkan. Produk M3 tersebut juga sekaligus menjadi solusi komprehensif menjawab ironi dan permasalahan yang dihadapi oleh Indonesia. Dengan konfigurasi teknologi refining, produk M3 masih mempertahankan kandungan beta karoten (vitamin A), vitamin E, squalene, dan kandungan senyawa bioaktif (fitonutrien) lainnya dengan kadar yang relatif tinggi. Selain itu, pengembangan produk M3 juga diarahkan pemerintah untuk diproduksi pada tingkat lokal (sekitar perkebunan sawit). Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan produk M3 menjadi solusi untuk substitusi impor, cegah stunting, dan mewujudkan ketahanan pangan lokal.
Implikasi Kebijakan
Pengembangan industri Minyak Makan Merah (M3) saat ini menjadi fokus perhatian Pemerintah Indonesia. Perangkat regulasi sedang dan telah disusun oleh K/L terkait dalam rangka pengembangan industri hingga penyediaan produk M3 di pasar yang dapat diakses dengan mudah dan murah oleh masyarakat baik masyarakat yang berada di sekitar perkebunan sawit maupun masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Implikasi pengembangan produk M3 menjadi solusi komprehensif untuk substitusi vitamin impor, cegah stunting, dan mewujudkan ketahanan pangan lokal. Selain itu, pengembangan produk M3 ini juga menjadi upaya Indonesia untuk menstabilkan pasar minyak sawit dunia, mengingat perannya sebagai produsen sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel diseminasi dan policy brief ini.
Daftar Pustaka
- Alyas SA, Abdullah A, Idris NA. 2006. Changes Ofβ-Carotene Content During Heating of Red Palm Olein. Journal of Palm Oil Research, Special Issue-April 2006. 99-102.
- Ayustaningwarno F. 2012. Proses Pengolahan dan Aplikasi Minyak Sawit Merah pada Industri Pangan. Vitasphere. 2:1-11.
- Bank Indonesia. 2023. Informasi Harga Pangan Antar Daerah.
- Berger KG. 2007. Trans-Free with the Products of the Oil Palm – A Selective Review. Czech Journal of Food Sciences. 25(4): 174-181.
- Gunstone FD, JL Harwood, FB Padlay, 1986. Lipid Handbook. London (UK): Chapman and Hall.
- Goh SH, Choo YM, Ong SH. 1985. Minor Constituents of Palm Oil. Journal of the American Oil Chemists’Society. 62. 237–240
- Hasibuan HA, Warnoto, Magindrin, Lubis A. 2021. Produksi Minyak Sawit Kapasitas 100 Kg/Batch dan Produk Diversifikasinya berupa Shortening dan Margarin. Warta PPKS. 26(1):20-29.
- ITC Trademap. 2023. Palm Oil and Its Products Exports. [internet].
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2023. Buku Saku Hasil Survey Status Gizi Indonesia 2022.
- Kementerian Perdagangan. 2023. Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok.
- Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2022. Tata Kelola Industri CPO dan Minyak Goreng Indonesia. Dipresentasikan pada Rapat Dengar Pendapat Komisi VII DPR-RI pada tanggal 24 Mei 2022.
- Kumar PKP, Krishna AGG. 2014. Physico-Chemical Characteristic and Nutraceutical Distribution of Crude Palm Oil and Its Fractions. Grasas Y Aceites. 65(2): 1-12.
- PASPI Monitor. 2020. Potensi Penyediaan Vitamin A Berbasis Minyak Sawit untuk Memenuhi Kebutuhan Domestik. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 1(26): 175-182.
- PASPI Monitor. 2022. Kebijakan Stabilisasi Minyak Goreng Domestik. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3(6): 619-626.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute.
- [PPKS] Pusat Penelitian Kelapa Sawit. 2022. Teknologi Minyak Makan Merah Bergizi dan Menyehatkan.
- Slover HT. 1971. Tocopherol in Food and Fats. Lipid. 6(5): 291-296.
- [TNP2K] Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan. 2019. Ringkasan Kebijakan: Industri Kelapa Sawit, Penanggulangan Kemiskinan dan Ketimpangan.
- [USDA] United States of Departement Agricultural. 2023. Oilseed: World and Market Trade Annual Report.
- Yuliasari S, Fardiaz D, Andarwulan N, Yuliani S. 2014. Karakteristik Nanoemulsi Minyak Sawit Merah yang Diperkaya Beta Karoten. Jurnal Penelitian Tanaman Industri. 20(3):111-121.