Back to Top
Rating & Comment

BILL GATES, MINYAK SAWIT, DAN TOP EMITTER GAS RUMAH KACA GLOBAL

JOURNAL AUTHOR

Dr. ir. tungkot sipayung

Executive Director at PASPI

Dr. Ir. Tungkot Sipayung is a seasoned professional in the palm oil industry with over 23 years of experience. Currently serving as Executive Director of PASPI, he is a recognized leader and expert in the development of agribusiness strategies. Under his leadership, PASPI continues to drive growth, innovation, and sustainability in the industry.

Bagikan Jurnal
CITE THIS JOURNAL ARTICLE

Bill Gates pernah melontarkan pandangannya yang dikutip berbagai media tentang perubahan iklim global sebagai akibat dari peningkatan emisi gas-gas rumah kaca (GRK) global setiap tahun. Selain menjadi pendiri Microsoft, Bill Gates juga menjadi investor utama riset C16 Biosciences Inc., menuding proses produksi minyak sawit sebagai penyebab meningkatnya emisi GRK global.

Meskipun isu pengkaitan emisi GRK global dengan produksi minyak sawit bukan hal yang baru, namun untuk sekelas Bill Gates yang memiliki akses informasi yang luas, pernyataannya tersebut tersebut bersifat tendensius seakan proses produksi minyak sawit menjadi kontributor penting dalam peningkatan emisi GRK global. Memang dapat dipahami bahwa pernyataan Bill Gates tersebut terkait dengan pengkondisian pasar untuk produk C16 sintetis yang merupakan substitusi minyak sawit alami, dimana produk tersebut sedang dikembangkan oleh perusahaan Bill Gates.

Tampaknya keunggulan minyak sawit menarik perhatian Bill Gates meskipun kontribusi minyak sawit dalam GRK global relatif kecil dan mengabaikan data emitter utama GRK global. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan Top-5 emitter GRK dunia dan tempat dimana Bill Gates berada, terluput dari perhatian Bill Gates.

Meskipun demikian, pernyataan Bill Gates yang mengaitkan emisi GRK global dengan perubahan iklim merupakan sesuatu yang mencerahkan. Pemikiran solutif yang dihasilkan Bill Gates terkait dengan perlunya inovasi untuk mengembangkan produk substitusi yang lebih hemat atau minimum emisi, juga diharapkan dapat memotivasi dunia.

Tulisan ini akan mendiskusikan perkembangan mutakhir dari top emitter GRK global. Kemudian akan dilanjutkan dengan diskusi terkait industri sawit memiliki potensi yang besar sebagai solusi bagi masyarakat global untuk memitigasi perubahan iklim global.


TOP-5 EMITTER GRK GLOBAL

Semua kegiatan kehidupan manusia di seluruh dunia menghasilkan emisi dan berkontribusi pada peningkatan emisi GRK global. Tentu saja besarnya emisi setiap orang dan setiap kegiatan berbeda-beda tergantung dari berbagai faktor. Secara umum, berlaku bahwa semakin meningkat perekonomian dan jumlah penduduk, maka emisi GRK juga makin meningkat.

Studi terbaru emisi GRK global (European Commission, 2023; IEA, 2023) mengungkapkan bahwa emisi GRK global masih mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Emisi GRK global tahun 2022 mencapai sekitar 53.8 Gt CO2 eq. Emisi tersebut meningkat 1.4 persen dari GRK global tahun 2021 atau meningkat 2.3 persen dibandingkan GRK global tahun 2019 (sebelum Pandemi Covid-19).

Top-5 negara emitter GRK global (Gambar 1) secara konsisten menjadi Top-5 emitter GRK global sejak tahun 1970-an (PASPI, 2023) bahkan tidak mengalami perubahan dalam satu abad terakhir. Negara yang dimaksud adalah China dengan emisi sebesar 15.7 Gt CO2 eq atau pangsanya sebesar 29.2 persen dari GRK global. Kemudian disusul oleh Amerika Serikat sebesar 6 Gt CO2 eq (11.2 persen), India sebesar 3.9 Gt CO2 eq (7.3 persen), EU-27 sebesar 3.6 Gt CO2 eq (6.7 persen), dan Rusia sebesar 2.6 Gt CO2 eq (4.8 persen). Pangsa kelima negara tersebut mencapai hampir 60 persen dari emisi GRK global tahun 2022.

Top 5 Negara Emitter GRK Global Tahun 2022

Jika dibandingkan dengan Top-5 emitter di atas, emisi Indonesia yang disebut Bill Gates sebagai penyumbang emisi GRK global, hanya sekitar 1.2 Gt CO2 eq atau sekitar 20 persen dari emisi GRK Amerika Serikat (European Commission, 2023).

Penyebab peningkatan emisi GRK tersebut bersumber dari aktivitas manusia di Bumi dan munculnya gas-gas buatan manusia seperti golongan Chlorofluorocarbon (CFC) dan halogen (human enhanced greenhouse effect). Berbagai studi empiris (IEA, 2016; Olivier et al., 2022) mengungkapkan bahwa sektor energi (fosil) merupakan kontributor utama emisi GRK  global. 

Temuan serupa juga diungkapkan European Commision (2023) dan IEA (2023). Dari 53.8 Gt CO2 eq emisi GRK global tahun 2022, sekitar 76 persen (41.2 Gt CO2 eq) merupakan emisi yang bersumber dari energi fosil. Emisi GRK dari energi fosil tersebut meningkat hampir 1.5 kali lipat dari hanya sekitar 28.1 Gt CO2 eq pada tahun 2000.

Dalam periode tahun 2000-2022 (Gambar 2), emisi dari konsumsi batu bara (coal) meningkat hampir dua kali lipat dari hanya 8.9 Gt CO2 eq menjadi 15.5 Gt CO2 eq. Kontribusi emisi dari minyak bumi (oil) juga meningkat dari 9.7 Gt CO2 eq menjadi 11.2 Gt CO2 eq. Demikian juga emisi gas alam (natural gas) meningkat dari 4.6 Gt CO2 eq menjadi 7.3 Gt CO2 eq. Ketiga sumber energi fosil tersebut menyumbang sekitar 82 persen emisi GRK energi fosil.

Kontribusi Energi Fosil dalam GRK Global Periode Tahun 2000 2022

Perkembangan dan komposisi sumber emisi GRK global maupun emisi GRK dari energi fosil tersebut mengungkapkan bahwa total emisi GRK global masih berada pada tren yang meningkat (PASPI Monitor, 2023d). Sumber emisi GRK utama global masih tetap berasal dari energi fosil. Tiga sumber energi fosil dunia yakni batu bara, minyak fosil, dan gas alam masih menjadi kontributor utama GRK global. Bahkan kontribusi emisi batu bara cenderung meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir. Demikian juga dengan Top-5 emitter GRK global belum berubah.

Top-5 emitter GRK global dan sumber utama emisi GRK global tersebut, seharusnya memperoleh perhatian dari Bill Gates. Jika ingin berkontribusi pada penurunan emisi GRK global (sebagai penyebab perubahan iklim), seharusnya Bill Gates lebih memberi perhatian pada pengembangan sumber-sumber energi yang meminimumkan emisi dan renewable sebagai pengganti energi fosil. Sebagai kontributor terbesar emisi GRK global, penurunan konsumsi energi fosil akan berdampak besar bagi pengurangan emisi GRK global.

Sebagai influencer global, Bill Gates juga diharapkan menggunakan pengaruhnya untuk “memaksa” Top-5 emitter GRK global (termasuk Amerika Serikat) untuk mengurangi emisinya, dimana negara-negara tersebut menyumbang hampir 60 persen GRK global. Jika terjadi penurunan emisi GRK dari Top-5 emitter tersebut sebanyak 10 persen saja, maka penurunan emisi GRK global akan signifikan.

Meskipun bukan Top-5 emitter GRK global, Indonesia telah mengambil langkah-langkah dalam menurunkan emisi melalui program Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emission (NZE) pada tahun 2050 (PASPI Monitor, 2021b; 2023e). Termasuk di dalamnya kebijakan substitusi energi fosil dengan energi rendah emisi dan renewable.  


Sawit Solusi Dunia

Terkait dengan proses produksi minyak nabati dunia (termasuk minyak sawit), sejumlah isu yang menjadi sorotan Bill Gates yakni isu deforestasi, biodiversity loss, emisi, carbon sink/ sequestration, dan polusi. Isu tersebut menurut Bill Gates menjadi argumen penting dalam pengembangan C16 sintetis.

Secara internasional, terdapat sekitar 17 jenis sumber minyak nabati dunia yang diproduksi dan dikonsumsi baik sebagai bahan pangan maupun energi. Namun dari ketujuh belas jenis minyak nabati tersebut, hanya terdapat empat jenis minyak nabati utama dunia yakni minyak sawit, minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari. Keempat jenis minyak nabati tersebut mencakup sekitar 90 persen volume produksi dan konsumsi minyak nabati dunia (PASPI, 2023).

Keempat jenis minyak nabati utama tersebut memiliki produktivitas minyak yang berbeda-beda (PASPI, 2023). Produktivitas minyak per hektar minyak sawit sekitar 8-10 kali produktivitas minyak nabati lainnya (minyak kedelai, minyak rapeseed, dan minyak bunga matahari). Kelapa sawit tidak hanya paling efisien dalam penggunaan lahannya tetapi produktivitas minyaknya juga paling tinggi (PASPI Monitor, 2021a). 

Rata-rata produktivitas sawit dalam menghasilkan minyak (CPO+CPKO) mencapai 3.36 ton per hektar. Sementara itu, produktivitas tanaman bunga matahari, rapeseed, dan kedelai dalam menghasilkan minyaknya berturut-turut hanya sebesar 0.78 ton per hektar, 0.74 ton per hektar, dan 0.47 ton per hektar. Dengan produktivitas minyak nabati yang demikian, masyarakat dunia secara rasional dapat memilih minyak nabati yang secara relatif lebih sustainable.

Berdasarkan studi jejak deforestasi global (Matthew, 1983; Walker, 1993; Horughton, 1996; Egli, 2001; Bhattarai et al., 2001; FAO, 2012; European Commission, 2013; USDA, 2014; Keenan et al., 2015; Kaplan et al., 2017; Sabatini et al., 2018; Barredo et al., 2021; European Commission, 2023) mengungkapkan bahwa hampir seluruh daratan di permukaan planet bumi terkait deforestasi di masa lalu dan deforestasi masih berlangsung sampai saat ini di berbagai negara meski tidak seintensif masa-masa sebelumnya. Tidak hanya minyak nabati dunia saja, tetapi semua produk jika ditelusuri terkait langsung atau tidak langsung dengan deforestasi. Yang berbeda adalah waktu terjadinya deforestasi pada masing-masing negara.

Proses produksi setiap jenis minyak nabati di berbagai negara produsen, sebagaimana yang disampaikan Bill Gates, memang tetap terkait dengan deforestasi dan emisi. Jika ingin mencari minyak nabati yang bebas deforestasi dan emisi, tidak akan pernah ditemukan dalam dunia nyata (tidak realistis). Sehingga isunya bukan lagi terkait atau tidak dengan deforestasi atau emisi, melainkan jenis minyak nabati apa yang secara relatif lebih hemat deforestasi dan emisi.

Secara relatif, minyak sawit memiliki berbagai keunggulan sustainable yang dapat menjadi solusi bagi masyarakat dunia (PASPI Monitor, 2023a, 2023b, 2023c, 2023d, 2024). Pertama, tanaman kelapa sawit paling produktif dan hemat dalam penggunaan lahan. Untuk menghasilkan satu ton minyak nabati, kelapa sawit hanya butuh sekitar 0.2 hektar lahan. Sedangkan minyak nabati lain memerlukan lahan 8-10 kali lahan lebih luas untuk menghasilkan minyak nabati. Jika lahan yang digunakan untuk proses produksi minyak nabati berasal dari deforestasi, maka sawit jauh lebih hemat deforestasi dibandingkan minyak nabati lain. Hal ini juga berarti bahwa kehadiran minyak sawit dapat mencegah deforestasi dunia lebih luas dalam menghasilkan minyak nabati dunia (PASPI, 2023).

Kedua, biodiversity loss. Jika diasumsikan semua lahan berasal dari hasil deforestasi masa lalu, maka semua ekspansi minyak nabati menyebabkan biodiversity loss. Studi Beyer et al. (2020) dan Beyer & Rademacher (2021) tentang komparasi biodiversity loss global antar minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi menjadi tanaman minyak nabati. Dengan mengukur indikator jejak (footprint) yakni Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan (sebagai ukuran biodiversity loss) menunjukkan bahwa biodiversity loss minyak sawit jauh lebih kecil dibandingkan dengan minyak nabati lainnya (PASPI, 2023). Hal ini berarti bahwa dengan kehadiran minyak sawit membuat masyarakat dunia terhindar dari biodiversity loss yang lebih besar.

Ketiga, emisi karbon. Pengkaitan produksi minyak nabati termasuk minyak sawit terhadap emisi karbon juga menjadi isu lingkungan global. Studi Beyer et al. (2020) dan Beyer & Rademacher (2021) menemukan bahwa pada level ekosistem global, kebun sawit dunia adalah penghasil minyak nabati paling rendah emisinya dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Artinya produksi minyak sawit paling hemat emisi (PASPI, 2023). Dengan kehadiran minyak sawit, masyarakat dunia terhindar peningkatan emisi GRK yang lebih besar dalam proses produksi dan konsumsi minyak nabati.

Keempat, carbon sink atau carbon sequestration. Untuk membantu menurunkan emisi GRK dari atmosfer bumi, diperlukan penyerapan kembali emisi GRK dari atmosfer bumi dan disimpan selama mungkin dalam tanah. Perbedaan produktivitas antar minyak nabati juga mencerminkan perbedaan kemampuan penyerapan karbon (emisi GRK) dari atmosfer bumi serta penyimpanan dalam bentuk biomassa dan tanah. Kemampuan carbon sink/sequestration pada tanaman kelapa sawit bervariasi tergantung berbagai faktor seperti umur tanaman, produktivitas, dan populasi tanaman. Umumnya semakin tua umur tanaman sawit akan diikuti dengan peningkatan karbon stok (Singh et al., 2018; Lamade dan Bouillet, 2015; PASPI, 2023).

Studi Chan (2002) mengungkapkan bahwa karbon stok perkebunan sawit berkisar antara 16.12-45.28 ton C/hektar. Studi Kusumawati et al. (2021) mengungkapkan karbon stok perkebunan sawit berkisar antara 43.50-74.7 ton C/hektar. Kemudian studi Khasanah et al. (2019) juga mengungkapkan bahwa karbon stok perkebunan sawit rata-rata sebesar 40 ton C/hektar. Studi Setiadi et al. (2020) juga menemukan bahwa karbon stok kebun sawit berkisar antara 34.16-69.32 ton karbon per hektar. Karbon stok kebun sawit tersebut lebih tinggi dari karbon stok yang dimiliki rata-rata karbon stok per hektar hutan di Perancis (CIRAD, 2015).

Karbon stok tersekuestrasi di lokasi perkebunan sawit hingga 25-30 tahun. Bahkan karbon stok yang telah berubah menjadi karbon organik tanah (soil organic carbon) yang dapat bertahan dalam tanah hingga lebih 100 tahun. Hal ini berarti kehadiran minyak sawit membuat masyarakat dunia secara langsung dan atau secara tak langsung dapat melakukan penyerapan kembali karbon atmosfer dan menyimpannya dalam karbon organik tanah.

Kelima, polusi tanah/air dalam menghasilkan minyak nabati dunia. Penggunaan teknologi pupuk dan pestisida pada proses budidaya tanaman minyak nabati memang menghasilkan residu pupuk dan pestisida baik pada tanah maupun air. 

Berdasarkan data FAO (2013) untuk setiap ton minyak nabati yang dihasilkan tanaman minyak sawit menghasilkan polutan nitrogen sebesar 5 kilogram, phospor (P2O5) sebesar 2 kilogram, dan pestisida sebesar 0.4 kilogram. Sedangkan tanaman minyak rapeseed menghasilkan polutan nitrogen sebesar 10 kilogram, phospor (P2O5) sebesar 13 kilogram, dan pestisida sebesar 9 kilogram. Sumber minyak nabati yang paling besar menghasilkan polutan adalah kedelai, dimana setiap ton minyak kedelai akan menghasilkan nitrogen sebesar 32 kilogram, phospor (P2O5) sebesar 23 kilogram, dan pestisida sebesar 23 kilogram. Hal ini menunjukkan bahwa produksi minyak sawit menghasilkan polutan yang relatif sedikit dibandingkan minyak rapeseed dan minyak kedelai (PASPI, 2023).

Dengan demikian kiranya cukup jelas bahwa berbagai isu yang menjadi sorotan Bill Gates yakni deforestasi, biodiversity loss, emisi, carbon sink, maupun polutan terkait dengan proses produksi minyak nabati dunia adalah benar. Berbagai fakta empiris menunjukkan bahwa minyak sawit secara relatif paling sustainable dibandingkan minyak nabati lain yakni secara relatif minimum dalam deforestasi, biodiversity loss, emisi, dan polutan namun lebih tinggi dalam carbon sink/ sequestration.

Pengembangan C16 sebagai substitut minyak sawit tentu saja tidak mungkin benar-benar terhindar dari masalah lingkungan, sebagaimana klaim Bill Gates. Dengan pendekatan footprint atau Life Cycle Analisis, seluruh mata rantai proses produksi C16 juga menghasilkan emisi GRK dan isu lingkungan lainnya. Tentu saja pengembangan C16 berbasis mikroba perlu dilakukan ke depan untuk memenuhi kebutuhan dunia di masa depan, termasuk untuk kemungkinan substitut energi fosil.


Kesimpulan

Berbagai isu lingkungan terkait proses produksi minyak nabati dunia yang disoroti Bill Gates seperti deforestasi, biodiversity loss, emisi, carbon sink/ sequestration, dan polusi. Isu tersebut tidak hanya terkait minyak nabati dunia, melainkan terkait dengan hampir seluruh kegiatan di planet Bumi.

Top-5 emitter GRK global yakni China, Amerika Serikat, India, Uni Eropa, dan Rusia. Semua kegiatan manusia menghasilkan emisi. Namun sumber emisi GHG utama dunia berasal dari penggunaan energi fosil (oil, coal, natural gas). Sedangkan emisi dari proses produksi minyak nabati dunia, termasuk minyak sawit relatif kecil.

Berbagai bukti empiris menunjukkan bahwa deforestasi hampir terjadi pada setiap negara pada masa lalu dan masa kini sehingga hampir seluruh daratan beserta kegiatan di atasnya termasuk proses produksi minyak nabati dunia terkait langsung atau tidak langsung dengan deforestasi.  Namun diantara minyak nabati utama dunia, minyak sawit secara relatif lebih sustainable yakni produktivitas tinggi, deforestasi relatif rendah, lebih rendah emisi, lebih rendah polusi, dan lebih besar dalam penyerapan karbon (carbon sink/ sequestration). Kehadiran minyak sawit selama ini di pasar dunia mencegah masyarakat dunia untuk melakukan deforestasi, menyebabkan biodiversity loss, serta menghasilkan emisi dan polusi dunia yang lebih besar. Selain itu, kehadiran minyak sawit juga membantu menyerap kembali emisi GRK global dari atmosfer bumi dan menyimpannya dalam bentuk biomassa dan organik tanah.



Daftar Pustaka (LINK)

  1. Barredo J, Brailesco C, Teller A, Sabatini FM, Mauri A, Janouskova K. 2021. Mapping and Assessment of Primary and Old-Growth Forests in Europe. European Commission: JRC Science for Policy Report.
  2. Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv.
  3. Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact?. Sustainability. 13: 1813.
  4. Bhattarai M, Haming M. 2001. Institution and The Environmental Kuznet Curve for Deforestation: A Cross Country Analysis for Latin America, Africa, and Asia. World Development. 29(6): 995-1010.
  5. Chan CK. 2002. Oil Palm Carbon Sequestration and Carbon Accounting: Our Global Strength. Presented at MPOA Seminar 2002: R&D for competitive edge in the Malaysian oil palm industry. Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Association (MPOA).
  6. CIRAD. 2015. CIRAD Annual Report 2015: Result and Prospects.
  7. Egli H. 2001. Area Cross Country Study of the Environmental Kuznet Curve Misleading? New evidence from time series data to Germany. Greifswald (DE): Universiteit Greifswald.
  8. European Commission. 2013. The Impact of EU Consumption on Deforestation: Comprehensive: Analysis of the Impact of EU Consumption on Deforestation.
  9. European Commission, 2023. GRK Emissions of All World Countries 2023 Report.
  10. [FAO] Food Agricultural Organization. 2012. State of the World Forest. Rome.  
  11. [FAO] Food Agricultural Organization. 2013. Biofuels and Sustainability Challenges: A Global Assessment of Sustainability Issues, Trends and Policies for Biofuels and Related Feedstocks.
  12. [IEA] International Energy Agency. 2016. Emission from Fuel Combustion.
  13. [IEA] International Energy Agency. 2023. CO2 Emissions in 2022.
  14. Houghton RA. 1996. Land Use Change and Terrestrial Carbon: The Temporal Record in Forest Ecosystem, Forest Management and the Global Carbon Cycles (ed. MJ Apps & D.T. Price). Springer Group 1998. Berlin.
  15. Kaplan JO. 2017. Constraining the Deforestation History of Europe: Evaluation of Historical Land Use Scenarios with Pollen-Based Land Cover Reconstructions. Land. 6(4): 1-20
  16. Keenan RJ. 2015. Dynamics of Global Forest Area: Results from the FAO Global Forest Resources Assessment 2015. Forest Ecology and Management. 352:9-20.
  17. Khasanah NM, V Noordwijk, H Ningsih, S Rahayu. 2019. Carbon Neutral? No Change in Mineral Soil Carbon Stock Under Oil Palm Plantations Derived from Forest or Non-Forest in Indonesia. Agriculture, Ecosystems and Environment. 211: 195–206.
  18. Kusumawati SA, Yahya S, Hariyadi, Mulatsih S, Istina IN. 2021. The Dynamic of Carbon Dioxide (CO2) Emission and Land Coverage on Intercropping System on Oil Palm Replanting Area. Journal of Oil Palm Research. 33(2): 267-277.
  19. Lamade E, Bouillet JP. 2015. Carbon Storage and Global Change: The Role of Oil Palm.
  20. Matthew E. 1983. Global Vegetation and Land Use: New High-Resolution Data Based for Climate Study. Journal of climate change and applied Meteorology. 22:474-487.
  21. Olivier JGJ, Schure KM, Peters JAHW. 2022. Trends in Global CO2 and Total Greenhouse Gas Emissions: 2021 Summary Report.
  22. [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
  23. PASPI Monitor. 2021a. Minyak Sawit adalah Minyak Nabati yang Paling “Berminyak” di Dunia. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(9): 327-332.
  24. PASPI Monitor. 2021b. Industri Sawit Menuju Net Carbon Sink. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(47): 575-580.
  25. PASPI Monitor. 2023a. Global Warming dan Solusi dari Industri Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(7): 783-789.
  26. PASPI Monitor. 2023b. Carbon Trading dan Potensi Perkebunan Sawit Indonesia. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(10): 807-814.
  27. PASPI Monitor. 2023c. COP-28 Dubai Summit, Emisi Energi Fosil, dan Bioenergi Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(14): 833-840.
  28. PASPI Monitor. 2023d. Keunggulan Perkebunan Sawit dalam Carbon Sink dan Produk Minyak Hemat Emisi. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(15): 841-848.
  29. PASPI Monitor. 2023e. Kebijakan Nationally Determined Contribution (NDC) dan Net Zero Emissions (NZE) Indonesia serta Tiga Jalur Kontribusi Industri Sawit. Artikel Diseminasi dan Policy Brief. 1(2).
  30. PASPI Monitor. 2024. “Three In One Product” dari Perkebunan Sawit: Minyak Nabati, Biomassa, dan Jasa Lingkungan. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(16): 849-854.
  31. Sabatini FM, Burrascano S, Keeton WS, Levers C, Lindner M, Pötzschner F, Verkerk PJ, Bauhus J, Buchwald E, Chaskovsky O, Debaive N, Horváth F, Garbarino M, Grigoriadis M, Lombardi F, Duarte IM, Meyer P, Midteng R, Mikac S, Mikoláš M, Motta R, Mozgeris G, Nunes L, Panayotov M, Ódor P, Ruete A, Simovski B, Stillhard J, Svoboda M, Szwagrzyk J, Tikkanen OP, Volosyanchuk R, Vrska T, Zlatanov T, Kuemmerle T. 2018. Where are Europe’s last primary forests?. Biodiversity Review Diversity and Distribution. 24(10): 1426-1439.
  32. Singh SL, Sahoo UK, Kenye A, Gogoi A. 2018. Assessment of Growth, Carbon Stock and Sequestration Potential of Oil Palm Plantations in Mizoram, Northeast India. Journal of Environmental Protection. 9(9): 912-931.
  33. [USDA] United States of Department Agriculture. 2014. US Forest Resource Facts and Historical Trend. Washington DC (USA).
  34. [USDA] United States Department of Agriculture. 2023. Oilseed: World Market and Trend December 2023.
  35. Walker. 1993. Deforestation and Economic Development.
Bagikan Jurnal
0 0 votes
Berikan Rating Untuk Artikel Ini
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x