Resume
Perkebunan sawit dituding sebagai penyebab biodiversity loss. Merujuk pada sistem tata ruang yang diadopsi menunjukkan bahwa Indonesia menjaga harmoni keseimbangan ruang nasional, termasuk di dalamnya kawasan budidaya (sektor perkotaan dan pertanian/perkebunan sawit) dan kawasan konservasi/lindung. Pengembangan perkebunan sawit (dan sektor perkotaan) berada di luar kawasan hutan lindung (sebagai habitat biodiversitas). Di sisi lain, kehadiran kebun sawit di kawasan pedesaan berpotensi berkontribusi pada pelestarian satwa liar melalui peningkatan pendapatan dan penurunan kemiskinan masyarakat di kawasan pedesaan, program CSR perusahaan perkebunan sawit, dan fungsi mekanisme konservasi biodiversitas.
Pendahuluan
Keterkaitan perkebunan sawit dengan pelestarian biodiversitas (termasuk satwa liar) menjadi salah satu isu yang dilontarkan sejumlah ahli dan NGO terhadap sawit. Ekspansi perkebunan sawit yang relatif cepat dalam periode 20 tahun terakhir sering dituding menyebabkan biodiversity loss (Fitzherbert et al., 2008; Koh dan Wilcove, 2008; Foster et al., 2011; Savilaakso et al., 2014; Vijay et al., 2016; Austin et al., 2019). Pengaitan perkebunan sawit dengan isu biodiversity loss juga telah menjadikan minyak sawit dan produk turunannya digolongkan sebagai high-risk commodity di Uni Eropa (PASPI Monitor, 2022, 2023a,, 2023b, 2023c, 2023f).
Tudingan tersebut mungkin terpengaruh pada sejarah pembangunan di daratan Eropa dan Amerika Utara yang pada awal pembangunannya (sebelum abad ke 19) melakukan deforestasi total hutan alamnya dan tidak lagi menyisakan virgin forest sebagai “rumahnya” biodiversitas. Hal ini tercermin dari hilangnya hutan primer (virgin forest) di kawasan Amerika maupun di daratan Eropa (LCA Works, 2018, Sabatini et al. 2018, Barredo et al. 2021, PASPI Monitor, 2023).
Berbeda dengan sejarah masa lalu Eropa dan Amerika Utara tersebut, Indonesia sejak awal pembangunan telah menganut apa yang disebut dengan harmoni keseimbangan ruang nasional dalam dimensi sosial, ekonomi, dan ekologi. Pemukiman masyarakat beserta aktivitas sosial ekonominya, dan habitat satwa liar (biodiversitas) hidup berdampingan secara harmoni di ruang masing-masing. Artikel ini akan mendiskusikan bagaimana harmoni tersebut terjadi, khususnya pada kebun sawit, masyarakat, dan satwa liar dalam ruang nasional.
HARMONI RUANG NASIONAL
Dalam konstitusi dasar Indonesia (UU Dasar 1945) telah mengadopsi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Bumi dan perairan beserta kekayaan alam didalamnya dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara lintas generasi.
Kemakmuran rakyat (welfare society) hanya mungkin tercapai dengan meningkatkan pendapatan rakyat dan ketersediaan barang/jasa secara berkesinambungan. Mengacu pada hukum ekonomi “Say’Law”, untuk menghasilkan pendapatan dan barang/jasa diperlukan kegiatan ekonomi yang menghasilkan pendapatan dan barang/jasa baik bahan pangan, non-pangan dan jasa lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan sektor pertanian termasuk perkebunan sawit dan sektor industri (perkotaan). Sedangkan jasa lingkungan diperoleh dari pelestarian alam/hutan termasuk didalamnya biodiversitas (termasuk satwa liar).
Sektor perkebunan sawit, industri, dan kehutanan menghasilkan produk yang berbeda-beda dan bersifat non-substitutable. Bahan pangan tidak bisa diganti dengan produk non-pangan hasil industri (perkotaan) maupun jasa lingkungan (daur siklus CO2, konservasi hidrologi/tata air, benteng alam). Sebaliknya jasa lingkungan yang dihasilkan dari kehutanan tidak bisa diganti oleh perkebunan sawit dan industri. Oleh karena itu, keberadaan ketiga sektor tersebut harus tetap ada dan terjaga kelestariannya.
Disinilah titik temu harmoni antara sektor industri (perkotaan), perkebunan sawit (tentu juga sektor pertanian lain) dan kehutanan (PASPI Monitor, 2023). Ketiganya harus berkembang dan sustainable pada ruang masing-masing yang diatur oleh kebijakan tata ruang nasional.
Sejak awal pembangunan di Indonesia, harmoni tersebut sudah diakomodasikan dalam kebijakan tata ruang (land use). Pada era Orde Baru, tata ruang tersebut diatur dalam Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang kemudian dituangkan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Ruang daratan dibagi atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung/hutan selain menjadi “rumahnya” biodiversitas (satwa liar/fauna, flora, dan mikroba) juga berperan dalam memproduksi jasa lingkungan. Sedangkan kawasan budidaya merupakan ruang bagi sektor perkotaan dan sektor pertanian/perkebunan, dan lain-lain. Dengan demikian, sektor kehutanan hidup berdampingan secara harmonis pada ruang masing-masing (Gambar 1).
Gambar 1. Ruang Harmoni Sektor Industri (Perkotaan), Perkebunan Sawit, dan Kehutanan
![Ruang Harmoni Sektor Industri Perkotaan Perkebunan Sawit dan Kehutanan [Jurnal 2024] HARMONI KEBUN SAWIT, SATWA LIAR, DAN PERKOTAAN DI INDONESIA Ruang Harmoni Sektor Industri Perkotaan Perkebunan Sawit dan Kehutanan](https://palmoilina.asia/wp-content/uploads/2023/02/Ruang-Harmoni-Sektor-Industri-Perkotaan-Perkebunan-Sawit-dan-Kehutanan.webp)
Menurut data Statistik Kehutanan (KLHK, 2021), dari sekitar 187 juta hektar luas daratan Indonesia tahun 2020, terdapat sekitar 88 juta hektar hutan berhutan (forested). Berarti sekitar 47 persen daratan Indonesia masih hutan. Proporsi tersebut di atas syarat minimal yang ditetapkan undang-undang (30 persen). Hutan tersebut lebih dari separuhnya merupakan hutan primer sebagai habitat alamiah biodiversitas seperti Gajah, Harimau, Orang Utan, Mawas, Badak, Singa, Beruang, berbagai jenis unggas dan lain-lain dan tumbuhan liar yang tersebar di seluruh daratan Indonesia.
Sementara itu, luas areal pertanian (di kawasan pedesaan) sekitar 55 juta hektar atau 29 persen dari luas daratan. Luasan tersebut termasuk perkebunan sawit dengan luas sekitar 14.9 juta hektar (Kementerian Pertanian, 2021) atau sekitar 8 persen dari luas daratan Indonesia. Sedangkan untuk sektor perkotaan (termasuk pemukiman, perkantoran, pusat bisnis, industri, dan lain-lain) mencapai 43 juta hektar atau sekitar 23 persen daratan.
Merujuk data dan fakta tersebut, tudingan para ahli (Fitzherbert et al., 2008; Koh dan Wilcove, 2008; Foster et al., 2011; Savilaakso et al., 2014; Vijay et al., 2016; Austin et al., 2019) beserta NGO yang mengatakan bahwa biodiversitas Indonesia terancam punah akibat perkembangan perkebunan sawit merupakan tudiangan yang kurang tepat. Biodiversitas termasuk satwa liar dengan perkebunan sawit hidup harmonis pada ruang yang berbeda untuk konteks ruang di Indonesia.
Dengan demikian, kiranya cukup jelas bahwa sektor industri di kawasan perkotaan, sektor pertanian/perkebunan sawit di kawasan pedesaan, dan hutan sebagai habitatnya biodiversitas dapat hidup dan berkembang dalam satu ruang daratan Indonesia. Sekali lagi hutan sebagai “rumahnya” biodiversitas harus tetap ada karena memiliki fungsi tersendiri dan tidak dapat digantikan oleh fungsi sektor pertanian/perkebunan sawit maupun fungsi sektor perkotaan. Sebaliknya, sektor perkotaan sebagai tempat beraktivitas dan kehidupan masyarakat juga memiliki tempat dan fungsi tersendiri yang tidak dapat digantikan baik oleh hutan maupun sektor pertanian/perkebunan sawit. Demikian juga sektor pertanian/perkebunan sawit sebagai penghasil pangan, energi, dan biomaterial juga memiliki ruang dan fungsi tersendiri yang tidak dapat digantikan oleh sektor perkotaan maupun hutan.
Sektor perkotaan, pertanian/perkebunan sawit, dan hutan memiliki fungsi masing-masing dalam ekosistem, dimana fungsi tersebut yang tidak dapat saling menggantikan sehingga harus hidup harmoni secara berdampingan pada ruang masing-masing yang ditetapkan.
HARMONI RUANG NASIONAL
Kata kunci pelestarian satwa liar adalah pelestarian hutan terutama hutan primer (virgin forest) yang merupakan “rumahnya” satwa liar. Kebijakan ruang harmoni ruang antara sektor perkotaan, perkebunan sawit, dan kehutanan (habitat satwa liar) bukan hanya menempatkan masing-masing pada ruang yang tepat tetapi menyelamatkan satwa liar. Keberadaan perkebunan sawit dalam harmoni tersebut menarik untuk dilihat lebih jauh.
Berbagai studi di berbagai negara menunjukkan bahwa masalah kemiskinan berkaitan erat dengan kelestarian hutan (Kirr et al., 2004; Pfaff et al., 2008; Miyamoto, 2019; Ofozor et al., 2022). Kemiskinan masyarakat di kawasan pedesaan berkontribusi pada degradasi hutan. Penurunan kemiskinan di kawasan pedesaan berpotensi menyelamatkan hutan (tentunya juga pelestarian satwa liar). Oleh karena itu, upaya penghapusan kemiskinan dan pendapatan masyarakat pedesaan berkontribusi pada pelestarian hutan.
Kehadiran perkebunan sawit di Indonesia yang umumnya adalah di kawasan pedesaan secara empiris terbukti menurunkan kemiskinan dan peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan (Susila, 2004; World Growth, 2011; Riffin, 2011; PASPI, 2014; Edwards, 2019; PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2023e). Kemajuan sosial ekonomi desa-desa sawit lebih baik dari desa-desa non-sawit (PASPI, 2022, 2023). Peningkatan pendapatan masyarakat pedesaan yang dihela oleh perkebunan sawit, mampu meningkatkan aksesnya untuk memenuhi kebutuhan pangan, kesehatan, dan pendidikan.
Hal ini juga menunjukkan bahwa peranan perkebunan sawit mampu menurunkan kemiskinan masyarakat di kawasan pedesaan (PASPI, 2023). Bahkan berbagai studi empiris juga menunjukkan bahwa desa-desa sawit memiliki tingkat kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan desa-desa non-sawit (PASPI, 2014; Euler et al., 2017; Dib et al., 2018; Edwards, 2019; Qaim et al., 2020).
Mengacu pada hasil studi-studi diatas, kehadiran perkebunan sawit di kawasan pedesaan potensial berkontribusi pada pelestarian hutan yang di dalamnya terdapat satwa liar. Peningkatan sumber pendapatan masyarakat perkebunan sawit di kawasan pedesaan membuat masyarakat pedesaan tidak perlu lagi memanfaatkan hutan sekitar (baik langsung maupun secara tidak langsung) sebagai sumber pendapatan.
Selain melalui penyediaan sumber ekonomi baru bagi masyarakat pedesaan, sejumlah korporasi sawit juga menyediakan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk pelestarian satwa-satwa liar di hutan sekitarnya. Perkebunan sawit juga memiliki lima fungsi/mekanisme pelestarian biodiversitas yakni pelestarian dan pengembangan varietas tanaman sawit, pengembangan HCV dan HCS, regrowth biodiversity, pengembangan cover-crop dan recycling biomass, dan pengembangan integrasi tanaman pangan-ternak-sawit (PASPI Monitor, 2023d ). Untuk lebih meyakinkan, kaitan antara kebun sawit dengan pelestarian hutan pedesaan yang demikian perlu studi lebih lanjut untuk mengungkap berapa besar kontribusi perkebunan sawit dalam pelestarian hutan termasuk sebagai konservasi habitat satwa liar.
Kesimpulan
Kebijakan tata ruang di Indonesia sejak awal pembangunan, telah mengadopsi prinsip harmoni ruang dimana hutan lindung/konservasi berhutan (forested) sebagai “rumahnya” satwa liar atau biodiversitas lainnya. Sedangkan ruang pengembangan perkebunan sawit (pertanian secara umum) dan sektor perkotaan (industri, pemukiman, pusat bisnis, dll) berada di luar “rumah” satwa liar tersebut.
Dari sekitar 187 juta daratan Indonesia, terdapat sekitar 47 persen daratan berupa hutan (forested) sebagai “rumah” satwa liar. Sedangkan 57 persen sisanya dialokasikan untuk sektor pertanian/perkebunan sawit dan perkotaan. Sementara itu, luas Kebun sawit hanya sekitar 8 persen dari luas daratan Indonesia.
Berbagai studi mengungkapkan bahwa pengurangan kemiskinan masyarakat pedesaan berkontribusi pada kelestarian hutan. Sementara itu, berbagai studi empiris juga mengungkap bahwa kehadiran kebun sawit di kawasan pedesaan berkontribusi pada peningkatan pendapatan dan penurunan kemiskinan masyarakat di kawasan pedesaan. Selain itu, perkebunan sawit juga memiliki fungsi mekanisme konservasi biodiversitas dan beberapa perusahaan perkebunan sawit juga memiliki program CSR yang berkaitan dengan konservasi satwa liar. Hal ini menunjukkan bahwa perkebunan sawit berpotensi berkontribusi pada pelestarian satwa liar.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka (Link)
- Austin KG, Schwantes A, Gu Y, Kasibhatla PS. 2019. What Causes Deforestation in Indonesia? Environmental Research Letter. 14(2).
- Barredo J, Brailesco C, Teller A, Sabatini FM, Mauri A, Janouskova K. 2021. Mapping and Assessment of Primary and Old-Growth Forests in Europe. European Commission: JRC Science for Policy Report.
- Dib JB, Alamsyah Z, Qaim M. 2018. Land-Use Change and Income Inequality in Rural Indonesia. Forest Policy and Economy. 94(C): 55–66.
- Edwards RB. 2019. Export Agriculture and Rural Poverty: Evidence from Indonesian Palm Oil. Working Paper Dartmouth College.
- Euler M, Schwarze S, Siregar H, Qaim M. 2016. Oil Palm Expansion Among Smallholder Farmers in Sumatera, Indonesia. Journal Agricultural Economics. (67): 658-76.
- Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, A Brühl, Donald PF, Phalan B. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends Ecol. 23(10): 538–545.
- Foster WA, Snaddon JL., Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV. 2011. Establishing the Evidence Base for Maintaining Biodiversity and Ecosystem Function in The Oil Palm Landscapes of Southeast Asia. Philosophical Transactions Biological Sciences. 366 (1582): 3277–3291.
- Kerr S, Pfaff A, Cavatass R, Davis B, Lipper L, Sanchez A, Timmins A. 2004. Effects Of Poverty On Deforestation: Distinguishing behavior from location. ESA Working Paper No. 04-19. Agricultural and Development Economics Division. The Food and Agriculture Organization of the United Nations.
- [KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 2021. Statistik 2020 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. https://www.menlhk.go.id/site/single_post/4697/statistik-2020
- Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters. 1(2): 60–64.
- LCAworks. 2018. Land Use Change and The European Biodiesel Policy: The Expansion of Oilseed Feedstocks on Lands with High Carbon Stocks.
- Miyamoto M. 2019. Poverty Reduction Saves Forests Sustainably: Lessons for Deforestation Policies. World Development. 127: 104746.
- Ofozor CA, Abdul-Rahim AS, Sulaiman C. 2022. Impact of Poverty, Population Density, and Trade Openness on Deforestation: Fresh Evidence from Nigeria. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 1102 (2022).
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2014. The Sustainability of Indonesian Palm Oil Industry Its role in: Economic Growth, Rural Development, Poverty Reduction, and Environmental Sustainability. Bogor (ID): PASPI.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2022. Analisis Komparasi Kemajuan Sosial, Ekonomi & Ekologi Antara “Desa Sawit” Vs “Desa Non-Sawit” di Indonesia. Bogor (ID): PASPI.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
- PASPI Monitor. 2022. Menyikapi Kebijakan Anti Deforestasi Uni Eropa pada Minyak Sawit. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 3 (21): 721-726.
- PASPI Monitor. 2023a. European Deforestation-Free Regulation: Kebijakan Anti Deforestasi yang Makin Boros Deforestasi dan Emisi Global. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(4): 761-766.
- PASPI Monitor. 2023b. Pilihan Strategis Industri Sawit Nasional Merespon Kebijakan European Union Deforestation-free Regulation (EUDR). Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(5): 767-776.
- PASPI Monitor. 2023c. Dampak Ekonomi European Union Deforestation Free Regulation (EUDR) pada Industri Sawit Nasional. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(6): 777-781.
- PASPI Monitor. 2023d. Pelestarian Biodiversitas dan Biodiversitas Kebun Sawit di Indonesia. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(9): 799-806.
- PASPI Monitor. 2023e. Perkebunan Sawit: Ruralisasi Ekonomi dan Integrasikan Ekonomi Desa-Kota. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(12): 821-826.
- PASPI Monitor. 2023f. European Union Deforestation Free Regulation on Supply Chain (EUDR) Ciptakan Risiko Ketidakpastiaan Industri Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(13): 827-832.
- Pfaff A, Kerr S, Cavatass R, Davis B, Lipper L, Sanchez A, Timmins A. 2008. Effects Of Poverty on Deforestation: Distinguishing Behaviour from Location.
- Qaim M, KT Sibhatu, H Siregar, I Grass. 2020. Environmental, Economic, and Social Consequences of the Oil Palm Boom. Annual Review of Resource Economics. 12: 321-344.
- Rifin A. 2011. The Role of Palm Oil Industry in Indonesian Economy and Its Competitiveness. [disertasi]. Tokyo (JP): University of Tokyo.
- Sabatini FM, Burrascano S, Keeton WS, Levers C, Lindner M, Pötzschner F, Verkerk PJ, Bauhus J, Buchwald E, Chaskovsky O, Debaive N, Horváth F, Garbarino M, Grigoriadis N Lombardi F, Duarte IM, Meyer P, Midteng N, Mikac S, Mikoláš M, Motta R, Mozgeris G, Nunes L, Panayotov M, Ódor P, Ruete A, Simovski B, Stillhard J, Svoboda M, Szwagrzyk J, Tikkanen OP, Volosyanchuk R, Vrska T, Zlatanov T, Kuemmerle T. 2018. Where is Europe’s Last Primary Forest? Diversity and Distributions. 24(10): 1426-1439.
- Savilaakso S, Garcia C, Garcia-Ulloa J, Ghazoul J, Groom M, Guariguata MR, Laumonier Y, Nasi, R, Petrokofsky G, Snaddon J. 2014. Systematic Review of Effects on Biodiversity from Oil Palm Production. Environmental Evidence. 3(4): 1–20.
- Susila WR. 2004. Contribution of Palm Oil Industry to Economic Growth and Poverty Alleviation in Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian. 23(3): 107-114.
- Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 11(7): 1-19.
- Wilcove DS, Koh LP. 2010. Addressing the threats to biodiversity from oil-palm agriculture. Biodiversity & Conservation. 19: 999–100.
- World Growth. 2011. The Economic Benefit of Palm Oil to Indonesia.