Resume
Posisi minyak sawit di China semakin penting baik dalam pola konsumsi pangan minyak nabati, bahan baku industri domestik maupun dalam perekonomian melalui penciptaan kesempatan kerja (job-creating) dan pendapatan (income generating). Terkait dengan isu sustainability dalam aspek lingkungan yang berkembang di seluruh dunia termasuk di China, berbagai studi mengungkapkan bahwa minyak sawit secara relatif lebih hemat deforestasi, biodiversity loss relatif lebih rendah, relatif hemat emisi, dan relatif hemat air. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang relatif sustainable bagi ekonomi-sosial China dan lingkungan global.
PENDAHULUAN
China merupakan salah satu negara konsumen minyak nabati dan lemak terbesar dunia. Dengan populasi penduduk lebih dari 1.3 miliar orang, China mengkonsumsi minyak nabati dan lemak hewani sekitar 38 juta ton per tahun (Oil World, 2021).
Untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati dan lemak hewani tersebut, produksi minyak nabati dan lemak hewani domestik hanya mampu memenuhi sekitar 64 persen dari kebutuhan domestik akibat keterbatasan lahan dan untuk menjaga produksi biji-bijian domestik. Sehingga China harus mengimpor sekitar 36 persen dari kebutuhan domestiknya atau mengimpor sekitar 14 juta ton minyak nabati dan lemak hewani setiap tahun.
Konsumsi minyak nabati dan lemak hewani China mengalami dinamika dari tahun ke tahun, baik akibat pertumbuhan dan perubahan komposisi penduduk, pertumbuhan ekonomi, pergeseran demografi atau urbanisasi, perubahan preferensi masyarakat maupun perubahan harga minyak nabati dunia (Sheng dan Song, 2019; Wang et al., 2022; Zakaria et al., 2017, 2022). Konsumsi per kapita minyak nabati/lemak hewani China masih mengalami pertumbuhan yakni dari sekitar 23.2 kg/kapita pada tahun 2010 menjadi sekitar 27.4 kg/kapita pada tahun 2020.
Hal yang menarik dari konsumsi minyak nabati China antara lain adalah makin pentingnya minyak sawit dalam konsumsi minyak nabati China. Seiring dengan makin pentingnya minyak sawit dalam ekonomi China, tuntutan sustainability juga makin meningkat.
Tulisan ini mendiskusikan pentingnya minyak sawit dalam konsumsi minyak nabati China. Kemudian didiskusikan juga terkait bagaimana China melihat sustainability dalam konsumsi minyak nabati utama global.
MINYAK SAWIT MAKIN PENTING
Setidaknya dalam 20 tahun terakhir telah terjadi perubahan dalam konsumsi minyak nabati China yang ditandai dengan makin pentingnya minyak sawit dalam konsumsi minyak nabati China (Gambar 1). Pada tahun 2000, pola konsumsi minyak nabati China masih didominasi minyak rapeseed, kemudian disusul minyak kacang tanah, lemak hewan, minyak sawit, dan minyak kedelai. Namun pada tahun 2020, pola konsumsi minyak nabati China telah berubah dimana didominasi oleh minyak kedelai, kemudian disusul minyak sawit, minyak bunga matahari, minyak rapeseed, dan minyak kacang tanah. Perubahan pola konsumsi minyak nabati China tersebut menunjukkan bahwa minyak sawit makin penting dalam konsumsi minyak nabati China.
Gambar 1. Minyak Sawit Dalam Perubahan Pola Konsumsi Minyak Nabati China (Sumber: World Bank, data diolah)

Empat variabel jangka panjang yang penting mempengaruhi permintaan minyak sawit China yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, harga minyak kedelai, dan populasi penduduk (Zakaria et al., 2017, 2022). Perubahan berbagai faktor seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi domestik, harga minyak kedelai, dan demografi penduduk (populasi, komposisi umur, pertambahan penduduk kota) turut juga mempengaruhi konsumsi minyak sawit China.
Variabel-variabel yang mempengaruhi permintaan minyak sawit China tersebut juga terkait dengan penggunaan minyak sawit dalam perekonomian China (Gambar 3). Penggunaan minyak sawit terbesar di China secara berturut-turut adalah untuk industri catering, industri oleokimia, instant noodle industry, food processing industry, solid fat industry, dan industri biodiesel. Penggunaan minyak sawit untuk industri domestik China tersebut berkaitan erat dengan pertumbuhan ekonomi, populasi penduduk, maupun pengendalian inflasi domestik. Penggunaan minyak sawit di dalam negeri tersebut juga menunjukkan bahwa minyak sawit yang diimpor China mengalami hilirisasi terlebih dahulu di dalam negeri, baik melalui jalur hilirisasi oleofood complex, oleokimia complex maupun biofuel complex.
Gambar 3. Industri Pengguna Minyak Sawit di China (Sumber: Industry Consultation, MPOC Estimates)

Selain untuk memperoleh produk berbasis minyak sawit yang dibutuhkan China, hilirisasi minyak sawit di dalam negeri juga menciptakan kesempatan kerja atau job-creation (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2021a) dan penciptaan pendapatan atau income-generating (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2021b). Hasil studi European Economic (2016) mengungkapkan bahwa hilirisasi sawit di China menciptakan kesempatan kerja sekitar 0.68 juta orang dan penciptaan pendapatan sebesar USD 5.6 milyar. Setiap ton minyak sawit yang di impor China menciptakan sekitar 115 orang kesempatan kerja dan pendapatan sekitar USD 901 dari hilirisasi minyak sawit yang diimpor China. Artinya semakin besar minyak sawit yang diimpor China, maka semakin besar kesempatan kerja dan pendapatan yang tercipta dalam perekonomian China.
Dengan demikian, peran impor minyak sawit dalam ekonomi China bukan hanya sekadar untuk memenuhi kebutuhan konsumsi minyak nabati (pangan), melainkan juga sebagai bahan baku industri domestik. Hilirisasi minyak sawit di China menciptakan kesempatan kerja dan menciptakan pendapatan bagi rakyat China.
RELATIF SUSTAINABLE
Peningkatan peran minyak sawit dalam ekonomi China juga diwarnai dengan berbagai isu sustainability, khususnya aspek lingkungan dari proses produksi minyak sawit di negara eksportir minyak sawit seperti Indonesia dan Malaysia. Isu sustainability minyak sawit terkait dengan isu yang sering diungkapkan LSM dan sebagian peneliti seperti isu deforestasi (Vijay et al., 2016), biodiversity loss (Koh dan Wilcove, 2008; Fitzherbert et a., 2009; Foster et a., 2011; Savilaakso et al., 2014; Austin et al., 2019), dan isu lingkungan lainnya.
Masalah deforestasi, land use change, emisi, biodiversity loss sebetulnya bukan hanya terkait minyak sawit saja melainkan berlaku bagi semua komoditas, sektor, negara, dan secara lintas peradaban. Tidak satupun komoditas dan negara yang tidak terkait dengan isu-isu lingkungan tersebut baik masa lalu maupun masa kini.
Oleh karena itu dalam konteks penyediaan minyak nabati/lemak dunia, pertanyaan sustainability yang relevan bukan apakah terjadi deforestasi, biodiversity loss, emisi atau tidak. Pertanyaan yang relevan adalah untuk menyediakan minyak nabati untuk masyarakat China maupun dunia, tanaman minyak nabati mana yang lebih hemat deforestasi, biodiversity loss paling kecil, hemat emisi, dan hemat air?
Berdasarkan luas areal dan produktivitas minyak nabati dunia, secara implisit telah terlihat bagaimana intensitas deforestasi antar minyak nabati utama dunia. Dengan asumsi bahwa semua ekspansi minyak nabati merupakan suatu deforestasi, maka dengan indeks deforestasi minyak sawit sebagai benchmark, maka indeks deforestasi minyak kedelai mencapai 956 persen, indeks deforestasi minyak rapeseed 614 persen, dan indeks deforestasi minyak bunga matahari mencapai 827 persen (Gambar 4a).
Gambar 4. Perbandingan Indikator Relatif Sustainable Antar Sumber Minyak Nabati Dunia (Sumber: Beyer, 2020, 2021; Makonnen & Hoekstra, 2010, data diolah PASPI)

Dengan demikian sangat jelas bahwa dalam produksi minyak nabati dunia, deforestasi sawit adalah paling rendah dibandingkan dengan deforestasi pada minyak nabati lainnya (PASPI, 2023). Hal ini juga bermakna bahwa kehadiran minyak sawit dalam rantai pasok minyak nabati global adalah menghemat atau mencegah terjadinya deforestasi dunia yang lebih luas.
Studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) tentang komparasi biodiversity loss global antar minyak nabati dengan membandingkan biodiversitas tutupan lahan antara sesudah dan sebelum dikonversi menjadi tanaman minyak nabati. Studi tersebut mengukur indikator jejak (footprint) Species Richness Loss (SRL) per liter minyak yang dihasilkan sebagai ukuran biodiversity loss (Gambar 4b).
Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa biodiversity loss minyak sawit lebih rendah dibandingkan dengan minyak nabati lain (minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed). Secara relatif dengan SRL minyak sawit sebagai pembanding menunjukkan bahwa indeks SRL minyak kedelai 284 persen, indeks SRL minyak rapeseed 179 persen, dan indeks SRL minyak bunga matahari 144 persen. Artinya dengan SRL sebagai indikator biodiversity loss menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang paling rendah biodiversity loss-nya, sedangkan minyak nabati yang paling besar biodiversity loss-nya adalah minyak kedelai (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2021d, 2023b).
Studi Beyer et al. (2020) serta Beyer dan Rademacher (2021) juga mengungkapkan bahwa pada level ekosistem global, untuk setiap ton minyak nabati yang dihasilkan sumber minyak nabati yang paling boros emisi adalah minyak kedelai, kemudian disusul oleh minyak rapeseed dan minyak bunga matahari. Sedangkan sumber minyak nabati yang paling hemat emisi adalah minyak sawit (PASPI, 2023; PASPI Monitor, 2021e, 2023a). Jika dibandingkan dengan emisi karbon yang dihasilkan untuk memproduksi minyak sawit (Gambar 4c), emisi karbon dari produksi minyak kedelai lebih tinggi 425 persen, emisi minyak rapeseed lebih tinggi 242 persen, dan emisi minyak bunga matahari lebih tinggi 225 persen.
Studi di atas juga searah dengan hasil studi Alcock et al. (2022) juga mengungkapkan hal yang sama yakni emisi (tidak termasuk emisi land-use change) pada produksi minyak sawit lebih rendah diantara Top-4 tanaman minyak nabati utama dunia. Setiap satu kilogram minyak sawit yang diproduksi hanya menghasilkan emisi sebesar 0.43 kg CO2. Sedangkan emisi yang dihasilkan dari produksi satu kilogram minyak kedelai, minyak bunga matahari, dan minyak rapeseed berturut-turut sebesar 1.18 kg CO2, 1.13 kg CO2, dan 1.02 kg CO2.
Selain isu deforestasi, biodiversitas, emisi karbon, isu penggunaan air dalam proses produksi minyak nabati juga sering dikritisi masyarakat. Dengan menggunakan indikator evapotranspirasi menunjukkan bahwa kebutuhan air pada tanaman sawit lebih rendah dibandingkan tanaman hutan seperti lamtoro, akasia, sengon, maupun bambu (Coaster, 1938). Perbandingan kebutuhan air pada minyak nabati juga dapat diketahui melalui indikator “water footprint” yang mengukur total volume air (freshwater) yang digunakan komoditas pertanian untuk memproduksi suatu produk.
Diantara tanaman minyak nabati dengan water footprint terbesar (Gambar 4d) adalah bunga matahari (3,366 m3/ton), kemudian disusul oleh rapeseed (2,271 m3/ton), dan kedelai (2,145 m3/ton). Sementara itu, water footprint pada sawit hanya sebesar 1,098 m3/ton, atau paling rendah dibandingkan tanaman minyak nabati utama dunia (Mekonnen dan Hoekstra, 2010; Safitri et al., 2018)
Berdasarkan data dan empirical evidence di atas menunjukkan bahwa minyak sawit secara relatif lebih sustainable karena relatif hemat deforestasi, relatif rendah biodiversity loss, hemat emisi, dan hemat air dalam menghasilkan bahan pangan minyak nabati. Hal ini juga bermakna bahwa jika indikator sustainability dalam penyediaan/produksi bahan pangan minyak nabati China tergantung dari besar-kecilnya dampak pada deforestasi, biodiversity loss, emisi, dan penggunaan air, maka minyak sawit adalah bahan pangan minyak yang secara relatif lebih sustainable dibandingkan minyak nabati lainnya. Setidaknya, kehadiran minyak sawit sebagai bagian dari rantai pasok minyak nabati global dapat mengurangi atau menghemat (mencegah lebih besar) deforestasi, emisi, biodiversity loss, dibandingkan dengan minyak nabati lain.
Kesimpulan
Posisi minyak sawit di China semakin penting baik dalam pola konsumsi pangan minyak nabati, bahan baku industri domestik maupun dalam perekonomian melalui penciptaan kesempatan kerja (job-creating) dan pendapatan (income generating). Studi European Economic (2016) mengungkapkan bahwa setiap ton minyak sawit yang di impor China menciptakan sekitar 115 orang kesempatan kerja dan pendapatan sekitar USD 901 dari hilirisasi minyak sawit yang diimpor China. Artinya semakin besar minyak sawit yang diimpor China, maka semakin besar kesempatan kerja dan pendapatan yang tercipta dalam perekonomian China.
Terkait dengan isu sustainability dalam aspek lingkungan yang berkembang di seluruh dunia termasuk di China, pertanyaan mendasar adalah di antara minyak nabati yang tersedia secara internasional minyak nabati mana yang secara relatif lebih rendah deforestasi, biodiversity loss rendah, hemat emisi, hemat air? Berbagai studi mengungkapkan bahwa minyak sawit secara relatif lebih hemat deforestasi, biodiversity loss relatif lebih rendah, relatif hemat emisi, dan relatif hemat air. Hal ini menunjukkan bahwa minyak sawit adalah minyak nabati yang relatif sustainable bagi ekonomi-sosial China dan lingkungan global.
ACKNOWLEDGEMENT
Penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dalam penyusunan artikel jurnal ini.
Daftar Pustaka (LINK)
- Alcock TD, Salt DE, Wilson P, Ramsden SJ. 2022. More Sustainable Vegetable Oil: Balancing Productivity with Carbon Storage Opportunities. Science of the Environment. 829(2022): 154539
- Austin KG, Schwantes A, Gu Y, Kasibhatla PS. 2019. What Causes Deforestation in Indonesia Environmental Research Letter. 14(2).
- Beyer RM, AP Durán, TT Rademacher, P Martin, C Tayleur, SE Brooks, D Coomes, PF Donald, FJ Sanderson. 2020. The Environmental Impacts of Palm Oil and Its Alternatives. Environmental Science bioRxiv.
- Beyer RM, Rademacher T. 2021. Species Richness and Carbon Footprints of Vegetable Oils: Can High Yields Outweigh Palm Oil’s Environmental Impact? Sustainability. 13: 1813.
- Coster C. 1938. Superficial Run-off and Erosion on Java. Tecnona. 31: 613-728.
- European Economics. 2016. The Downstream Economic Impact of Palm Oil Exports. European Economics Chancery House. London.
- Fitzherbert EB, Struebig MJ, Morel A, Danielsen F, A Brühl, Donald PF, Phalan B. 2008. How Will Oil Palm Expansion Affect Biodiversity? Trends Ecol. 23(10): 538– 545.
- Foster WA, Snaddon JL., Turner EC, Fayle TM, Cockerill TD, Ellwood MDF, Broad GR, Chung AYC, Eggleton P, Khen CV. 2011. Establishing the Evidence Base for Maintaining Biodiversity and Ecosystem Function in The Oil Palm Landscapes of Southeast Asia. Philosophical Transactions Biological Sciences. 366 (1582): 3277–3291.
- Koh LP, Wilcove DS. 2008. Is Oil Palm Agriculture Really Destroying Tropical Biodiversity? Conservation Letters. 1(2): 60–64.
- Makonnen MM, Hoekstra. 2010. The Green, Blue and Grey Water Footprint of Crops and Derived Crop Products. Hydrology and Earth System Sciences. 15: 1577-1600.
- [PASPI] Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute. 2023. Mitos dan Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan Global. Edisi Keempat. Bogor (ID): PASPI.
- PASPI Monitor. 2021a. Minyak Sawit Menciptakan Kesempatan Kerja di Negara Importir. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(2): 289-292.
- PASPI Monitor. 2021b. Penciptaan Pendapatan pada Hilirisasi Minyak Sawit di Negara Importir. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(3): 293-298.
- PASPI Monitor. 2021c. Palm Oil Plantation: Save Water and Conserve Groundwater. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(27): 445-450.
- PASPI Monitor. 2021d. Biodiversity loss to Produce Palm Oil is Higher Than Other Vegetable Oils, Isn’t True?. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(45): 563-568.
- PASPI Monitor. 2021e. Carbon Emissions in Oil Palm Plantation Versus Other Vegetable Oil Plantations. Palm Oil Journal Analysis of Palm Oil Strategic Issues. 2(46): 570-574.
- PASPI Monitor. 2023a. Global Warming dan Solusi dari Industri Sawit. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(7): 783-789.
- PASPI Monitor. 2023b. Pelestarian Biodiversitas dan Biodiversitas Kebun Sawit di Indonesia. Journal of Analysis Palm Oil Strategic Issues. 4(9): 799-806.
- Safitri L, Kautsar HV, Purboseno S, Suryanti S, Wulandari RK. 2018. Model Analisis Water Footprint TBS Sawit untuk Optimalisasi Produksi dan Early Warning System Kekeringan Perkebunan Kelapa Sawit. Dipublikasikan pada Laporan Grant Riset Sawit BPDPKS tahun 2018.
- Savilaakso S, Garcia C, Garcia-Ulloa J, Ghazoul J, Groom M, Guariguata MR, Laumonier Y, Nasi, R, Petrokofsky G, Snaddon J. 2014. Systematic Review of Effects on Biodiversity from Oil Palm Production. Environmental Evidence. 3(4): 1–20.
- Sheng Y. Song L. 2019. Agricultural Production and Food Consumption in China: A Long-Term Projection. China Economic Review. 53(C): 15-29.
- Vijay V, Pimm LS, Jenkins CN, Smith SJ. 2016. The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss. Plos One. 11(7): 1-19.
- Wang R., Lee KL, Mokhtar M, Goh TL. 2022. The Challenges of Palm Oil Sustainable Consumption and Production in China: An Institutional Theory Perspective. Sustainability. 14(8):4856.
- Wilcove DS, Koh LP. 2010. Addressing the threats to biodiversity from oil-palm agriculture. Biodiversity & Conservation. 19: 999–100.
- Zakaria K. Salleh KM, Balu N. 2017. The Effect of Soybean Oil Price Changes on Palm Oil Demand In China. Oil Palm Industry Economic Jurnal. 17(1): 1-6.
- Zakaria K. Salleh KM, Varqa S, Abu Bakar N, Senawi R. 2022. Factors Contributing to China’s Intake of Palm Oil. Oil Palm Industry Economic Jurnal. 22(1): 1-10.